Sunday, August 12, 2007

Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah


Formalisasi Syariat Tak Ada Matinya

Perjuangan formalisasi syariat tak pernah berhenti. Kini, perjuangan itu diwakili gerakan Islam syariat yang berpandangan salafiyah-ideologis. Mengapa gerakan tersebut tak pernah mati? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Haedar Nashir di Kantor Berita Radio 68H Jakarta.
-----------

Apa yang dimaksud dengan istilah "salafiyah-ideologis"?
(Haedar Nashir): Penggunaan istilah salafiyah-ideologis itu saya rujukkan ke semangat puritanisasi yang tumbuh dalam beberapa gerakan Islam setelah era reformasi.

Menurut saya, itu gejala yang lain dari gerakan salafiyah umumnya. Salafisme memang merupakan gerakan kebangkitan Islam yang tekanannya pada pemurnian dan ingin menerapkan Islam secara otentik sebagaimana era salaf (generasi Islam perdana).

Pada generasi salafiyah sebelumnya, gerakan-gerakan semacam itu bercabang menjadi kelompok yang fokus untuk pemurnian dan yang lebih ke arah pembaruan Islam.

Apakah saat ini tekanannya cenderung ke politik?
Nah, semangat puritanisasinya kemudian memperoleh tambatan pada aspek Islam dalam konstruksi syariat yang muara sebenarnya ke arah integralisme Islam yang telah tereduksi.

Orientasi ideologis mereka sangat kentara. Mereka ingin menerapkan syariat dalam konteks negara -syariat yang melembaga ke dalam negara. Dari situ, saya menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan tersebut lebih berorientasi pada tujuan-tujuan politik.

Apakah ada kelanjutan atau pertalian antara gerakan salafiyah-ideologis itu dengan gerakan Islam sebelumnya seperti NII atau DI/TII dan unsur-unsur salafisme dalam Muhammadiyah?
Gerakan salafiyah awal, seperti Muhammadiyah, NU dan lainnya, pada 1930-an memang sempat juga berwacana soal ideologi negara. Tapi, saat itu, konteksnya memang dalam rangka sedang mencari dasar negara.

Ketika itu, semua segmen masyarakat Indonesia sedang mencari, termasuk kelompok nasionalis. Muhammadiyah dan NU lahir dalam pergumulan yang mulai paham tentang modernisme. Karena itu, tawarannya bersifat demokratis sekali.

Masih adakah kelanjutannya sekarang?
Masih. Itu tecermin dalam kelompok yang menginginkan Piagam Jakarta melembaga kembali. Jadi, ada semacam dendam ideologis setelah kegagalan Piagam Jakarta. Tapi, persambungan itu bukanlah model ideologis yang sama seperti era 1930-an, tapi lebih bernuansa.

Sekarang, gerakan-gerakan Islam syariat itu tumbuh di tiga wilayah besar yang selama ini dikenal sebagai basis DI/TII yang terkuat. Yaitu, Jawa Barat, Aceh, Sulawesi, dan beberapa daerah tertentu di Jawa Tengah.

Apa poin yang ingin Anda tekankan?
Ada dua konstruksi yang problematis dalam gerakan Islam syariat sekarang. Pertama, Islam mereka konstruksi sebagai ajaran yang kâffah atau menyeluruh dan ingin dimasukkan ke hampir semua aspek kehidupan. Mereka memaknai Islam secara absolut dan harfiah.

Tapi, di sisi lain, Islam juga mengalami reduksi sedemikian rupa ketika hanya diterjemahkan sebagai syariat yang lebih condong ke aspek hudud (hukum pidana). Karena itu, ketika tampil dengan slogan mereka, yang muncul sesungguhnya adalah syariatisasi dan ideologisasi Islam yang berorientasi pada kekuasaan.

Poin kedua?
Dalam konteks kontinuitas dan diskontinuitas tersebut, gerakan salafiyah-ideologis bisa juga dilihat sebagai semacam sempalan dari yang sudah ada sebelumnya. Mereka seakan memutus mata rantai corak Islam Indonesia yang bersifat moderat dan terkadang tampil sebagai antitesis upaya domestifikasi Islam yang dibawakan para wali serta generasi Islam awal abad XX.

Akibatnya, yang terjadi adalah munculnya wajah Islam yang begitu absolut, lebih rigid, harfiah, dan cenderung tidak toleran terhadap pandangan orang lain.

Apa dampak gerakan itu jika kelak semakin luas di tengah masyarakat Indonesia?
Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, suasana toleransi pada umat Islam akan semakin sempit. Padahal, selama ini, Islam menjadi dinamis karena keragaman internalnya.

Tapi, kalau gerakan tersebut menguat, kalau ada banyak pandangan yang bermunculan, cara menanggapinya tidak lagi dengan dialog, tapi fatwa dan klaim sesat-menyesatkan.

Kedua, proses dakwah Islam akan selalu bercorak struktural, yakni orientasi akhirnya terletak pada perebutan kekuasaan. Memang, aspek kekuasaan juga penting guna membangun negara agar berfungsi untuk mengurusi rakyat. Tapi, ketika agama terlalu ambisius ingin masuk ke pusaran kekuasaan, itu justru akan mematikan gerakan pencerahan dan fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Lantas, yang ketiga?
Ketiga, kendati umat Islam Indonesia di republik ini mayoritas, secara sosiologis mereka tetap sangat beragam. Mayoritas itu justru "kaum abangan" dengan latar belakang sosio-kultural dan religiusitas yang tetap Islam. Nah, tampilnya corak Islam yang absolut dan serba-syariat menjadi arus yang kuat sangat mungkin menimbulkan fragmentasi di tubuh umat Islam. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka yang selama ini abangan dan sudah nyaman dengan corak Islam kultural berpaling ke tempat lain yang lebih memberikan kenyamanan secara teologis.

Apa rekomendasi buku yang diangkat dari disertasi Anda itu untuk gerakan Islam lainnya atau pemerintah?
Ada dua rekomendasi. Yang pertama, buat gerakan Islam yang sudah menjadi arus besar seperti Muhammadiyah dan NU, mereka perlu merevitalisasi gerakan dakwahnya. Tantangannya, bagaimana memperkaya khazanah keagamaan agar bisa menjawab problem-problem kultrural dan struktural di masyarakat yang selama ini sedang mengalami krisis.

Nah, jawaban-jawaban teologis yang penuh mozaik dari Islam mainstream itu mungkin bisa menjadi alternatif bagi proses objektikasi serta netralisasi gerakan Islam syariat.

Yang kedua?
Bagi pemerintah, sejauh tak mampu memecahkan problem kemiskinan dan marginalisasi sosial karena peran yang salah kaprah, radikalisme atas nama apa pun akan selalu tumbuh, termasuk atas nama agama. Hal tersebut akan memberikan peluang bagi gerakan-gerakan Islam semacam itu untuk tetap tumbuh dan mekar di negeri ini. (novriantoni)

No comments: