Tuesday, July 31, 2007

Jilbab dan Kebab Turki

Oleh Novriantoni
30/07/2007

Sukses PKP boleh jadi membesarkan hati partai-partai yang punya spirit agama Islam di tempat lain. Tapi tak gampang menjadi partai Islam mirip PKP. Sejarah politik Turki mungkin saja telah membuat mereka matang untuk tidak lagi terjebak dalam kubangan sloganisme sebuah partai agama. Karena itu, setidaknya selama 5 tahun terakhir, mereka tidak gegabah menyuguhkan agenda-agenda islamisme kepada rakyat Turki.

Kini, tak hanya soal jilbab dan kebab Turki perlu dikaji. Dinamika sosial-politik Turki belakangan ini sungguh sangat menarik. Dalam lima tahun terakhir (2002-2007), sebuah partai Islam bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP), dianggap sukses memimpin Turki. Karena itu, dalam pemilu legislatif pekan lalu, PKP kembali dipercaya untuk mengisi mayoritas kursi di parlemen Turki (47% atau 341 dari 550 anggota perlemen).

Sukses PKP boleh jadi membesarkan hati partai-partai yang punya spirit agama Islam di tempat lain. Tapi tak gampang menjadi partai Islam mirip PKP. Sejarah politik Turki mungkin saja telah membuat mereka matang untuk tidak lagi terjebak dalam kubangan sloganisme sebuah partai agama. Karena itu, setidaknya selama 5 tahun terakhir, mereka tidak gegabah menyuguhkan agenda-agenda islamisme kepada rakyat Turki.

PKP konsisten berada dalam bingkai sekularisme. Bahkan para petingginya, seperti Recep Erdogan, seakan hendak menunjukkan bahwa ajaran Islam selaras dengan praktek sekularisme politik. Beberapa hari setelah menang pemilu, ia menyatakan tetap berada dalam garis besar haluan Musthafa Kemal Attaturk, pendiri Turki modern. Partainya menolak formalisasi agama, berhubungan secara wajar dengan Israel, dan pandai bergaul di lingkungan internasional.

Karena itu, kolomnis harian As-Syarqul Awsat, Abdurrahman Rasyid, menilai PKP tidaklah segaris dengan kaum revivalis Islam di tempat lain yang terjun ke dunia politik praktis. Kaum revivalis Islam di tempat lain, tidak pantas menepuk dada dengan suksesnya PKP. Sebab, baik dalam wacana maupun performa politik, PKP lebih liberal dari partai-partai Islam di mana pun.

Sampai kini, PKP tak pernah menunjukkan gelagat sebagai partai Islam yang anti-kebebasan, Mereka juga tidak terobsesi untuk menyeragamkan penampilan konstituen perempuan mereka dengan jilbab, tidak anti bunga bank, bahkan tidak canggung bertandang ke Tel Aviv atau menjamu para petinggi Israel di Ankara. Jangankan dalam tindakan, dalam wacanapun isu ini sangat dihindari oleh kaum Islamis di tempat lain.

Kinerja pemerintahan Turki di masa Perdana Menteri Erdogan pun dianggap cukup membanggakan. Dalam sejarah Turki, PKP paling sukses mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Investasi luar dan dalam negeri meningkat, sektor pariwisata bergeliat. Keberhasilan itu sudah cukup untuk menutup kekecewaan rakyat Turki karena diombang-ambing Uni Eropa untuk masuk klub negara-negara maju tersebut.

Erdogan juga dinilai berhasil menjaga keseimbangan politik dalam negeri Turki, sehingga hampir semua segmen masyarakat Turki yakin akan kepemimpinan PKP. Hubungan internasional Turki dengan negara-negara lain membaik, bahkan isu separatisme Kurdi mereda. Tak ada kelompok yang merasa terancam kebebasan sipilnya dengan sukses partai berbasis Islam tersebut. Karena itu, kata islamis pun kurang tepat untuk menyebut PKP. Mereka lebih tepat disebut partai pengusung watak Islam yang liberal, yang tercerahkan.

Namun di balik optimisme itu, masih tersisa kesangsian terhadap PKP. Terutama setelah mereka sukses menguasai mayoritas kursi di parlemen dan kemungkinan akan memuluskan langkah Abdullah Gul menjadi presiden Turki. Tidak hanya militer yang menjadi pengawal setia sekularisme Turki yang kini harap-harap cemas. Dunia pun sedang menunggu: apakah PKP memang beda atau setali tiga uang dengan watak partai kaum Islamis lainnya.

Jika PKP tetap bermain cantik dalam politik, setia pada konstitusi Turki, fokus pada pembangunan sosial-ekonomi, dan tidak mengajukan slogan Islam adalah solusi, maka ia layak menjadi teladan bagi partai-partai Islam di tempat lain. Tapi jika terlalu berambisi untuk mengambil semua dan melakukan revolusi Islam terhadap tatanan sosial-politik Turki, inilah mungkin awal kekalahannya.

Kita masih akan menunggu, apakah PKP akan menjadi sisi unik yang perlu dipelajari dari Turki, atau kita harus kembali mengenang Turki dari kontrovesi jilbab dan lezatnya kebab. [Novriantoni]

Siklus Hidup


Oleh : Haedar Nashir

Bilal bin Rabah melakukan iftirah jelang ajalnya tiba. "Aku sungguh bahagia karena tak lama lagi akan berjumpa dengan Rasulullah", begitulah ujar muadzin dan sahabat terkasih Nabi itu dengan nada lirih, ketika dalam suasana kritis istrinya bertanya kenapa suaminya itu tampak bahagia menyongsong kematian.

Iftirah, ungkapan rasa bahagia di tengah kelaziman orang berduka. Bukan bahagia lahir laksana kesebelasan sepak bola melakukan selebrasi pascakemenangan, tapi sebuah kepasrahan batin sekaligus pengharapan positif menerima takdir Allah berupa kematian. Banyak sahabat dan para salaf al-shalih menempuh tangga kemuliaan jelang kematiannya, mengikuti jejak Nabi sang Panutan. Para sufi menyebutnya raja', totalitas pengharapan menyambut ajal karena akan berjumpa dengan Tuhan (liqa' ar-Rabah-u) di hari akhirat nan abadi.

Banyak orang mengambil hikmah dan kemuliaan dalam melewati titik kritis dalam perjalanan hidupnya, sebagaimana mungkin tak sedikit yang menyia-nyiakannya. Anak cucu Adam, siapa pun dia, memiliki siklus yang digariskan Tuhan: lahir, hidup, dan pada akhirnya mati. Tak akan pernah ada yang hidup kekal. Stefhen Hawking sang fisikawan terbesar di abad ini menjadi lebih religius dan menemukan Tuhan di balik kedahsyatan dan rahasia alam semesta yang dipelajarinya, setelah menapaki masa kritis dalam kehidupannya.

Iskandar Dzulqarnain, bahkan minta jasadnya diarak dengan kedua tangannya terbuka manakala dia meninggal, untuk mengingatkan kepada rakyatnya bahwa sang kaisar nan digdaya itu pada akhirnya harus berhadapan dengan kematian tanpa membawa perhiasan duniawi apa pun. Lalu, setiap orang ingin belajar hidup lebih bermakna, sesudah itu mati penuh arti. Bukan hidup yang sia-sia, sekadar jadi jasad yang berjalan. Kematian sebagaimana siklus lahir dan hidup, merupakan sesuatu yang sarat dengan rahasia Tuhan.

Detik ini kita berjumpa dengan orang atau sahabat yang begitu dekat, tapi sesaat kemudian dia dipanggil Tuhan. Beribu sebab lahiriah orang meninggal, tetapi takdir Allah tentang kematian pastilah tiba. Tuhan pasti mengambil yang satu itu tanpa bisa ditunda atau diakhirkan. Minta dispensasi sedetik pun untuk beramal saleh tak akan pernah diberikan, kendati dengan rengekan panjang dan memelas di hadapan Tuhan (QS. Al-Munafiqun/63: 10-11).

Dari Tuhan segalanya datang, kepada-Nya pula dikembalikan, suka-rela maupun terpaksa. Karenanya, tak akan pernah ada yang menentukan kepastian siklus hidup manusia, kecuali Tuhan sendiri. Sedigdaya Firaun sekalipun, yang mengaku dirinya tuhan (ana rabbu-kum al-'ala), akhirnya harus menempuh kepastian ajal, bahkan secara mengenaskan digulung Laut Merah.

Namun, hamba Tuhan di muka bumi ini warna-warni. Rupanya tak mudah bagi setiap orang untuk menemukan makna dan kemuliaan dalam menjalani siklus hidup yang niscaya itu. Ketika lahir memang tak ada pilihan. Tapi sewaktu menjalani kehidupan, terentang banyak jalan ikhtiar. Apakah beriman atau menjadi kafir. Memilih kebaikan atau keburukan. Menempuh jalan lurus atau kesesatan. Ingin meraih kemuliaan atau kehinaan.

Dan sejumlah pilihan-pilihan yang diberikan Tuhan untuk manusia menjalaninya dengan segala konsekuensinya. Dia ciptakan hidup dan mati untuk mengetahui siapa yang terbaik amalannya (QS Al-Mulk/67: 2). Lalu, tak sedikit yang menyia-nyiakannya. Hidup sekadar hidup, mati pun kehilangan arti. Mudah-mudahan kita tak termasuk dalam hidup nan hampa semacam itu.

Tuhan memang mewanti-wanti, bahwa kehidupan duniawi itu "mata' al-gurur". Sering jadi lahan permainan dan tipu-daya, kendati sejatinya dunia itu "majra al-akhirat" ladang menuju akhirat yang abadi. Sekali lengah, semuanya bisa berubah. Seharusnya jadi ladang yang subur, malah tandus dan digersangkan. Jadi pejabat dan pemimpin publik tak amanah. Jadi politisi dan pegiat politik, malah sibuk sendiri dan gemar muhibah ke luar negeri, hingga tak begitu hirau dengan rakyat yang diwakili.

Politik sekadar jadi jalan tol kekuasaan belaka, bahkan atasnama agama dan dakwah. Jadi penegak hukum malah memperkosa dan mempermainkan hukum. Jadi pengusaha merusak aset dan kekayaan negara. Pagar pun makan tanaman. Hidup laksana mengejar layang-layang putus. Siklus lahir, hidup, dan mati dilalui sebagai sebuah kerutinan dan mobilitas diri yang meluap-luap minus penghayatan. Sekali hidup sesudah itu mati tak berarti. Banyak hal bermakna berlalu begitu saja, tak membuahkan kemaslahatan, keberkahan, dan rahmat bagi semesta kehidupan. Bagaikan kera menimbang-nimbang buah kelapa, tak tahu cara memakannya.

Menempuh siklus hidup dengan makna dan kemuliaan konon tak mudah. Laksana aqabah, tangga pendakian. Siapa yang berhasil menempuhnya dengan penuh makna dan kemaslahatan, dialah yang menempuh kesempurnaan. Menurut Buya Hamka, manusia baru mencapai maqom kesempurnaan manakala melampaui tiga tahap dengan baik dan benar yaitu: hidup, berpikir, dan mati. Siapa pun tak akan lepas dari kehidupan yang niscaya itu. Makhluk Tuhan lainnya di muka bumi memang juga hidup dan mati, tapi tak bisa berpikir. Hidup dan mati hewan primata pun tak bermakna apa-apa kecuali sebatas jasad dan proses alamiah belaka, minus jiwa dan keadaban. Manusia sejati hidup dan mati secara berarti, bukan sebuah kesia-siaan.

Berpikir pun menjadi bagian dari perjalanan manusia yang hakiki dan penuh arti itu, yang menghasilkan ilmu dan peradaban. Bukan hidup asal hidup dan mati asal mati. Peradaban itulah yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya. Tak berlebihan jika Rene Descartes (1596-1650) mengeluarkan adagium cogito ergo sum, "aku berpikir karena itu aku ada". Tuhan bahkan lebih keras lagi ketika berfirman: "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun" (QS Al-Anfal/8: 22).

Berpikir hakiki tentu saja bukan sekadar kegiatan nalar-instrumental dan intelektual-akademik, tetapi juga tafakur dan tadabur atas segala ciptaan Allah, kemudian memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya atas spirit ibadah dan kekhalifahan di muka bumi ini. Berpikir yang melahirkan generasi manusia "insan kamil", masyarakat "khaira ummah", dan menebar rahmatan lil-'alamin bagi kehidupan kemanusiaan semesta.

Kita sungguh tak berharap, kian banyak manusia di muka bumi ini yang jasadnya hidup tapi mati kesadarannya yang hakiki. Tengoklah, di Musium Tahrir di Cairo tergolek mumi jasad-jasad raja Mesir kuno, termasuk Ramses II sang Firaun yang superdigdaya. Jasadnya diawetkan tapi tanpa ruh, minus jiwa. Kita pun tentu tak ingin banyak orang menjadi mumi di negeri ini, lebih-lebih yang memegang amanat publik. Jasadnya hidup namun rasa, pikir, dan nuraninya mati-suri. Manakala itu terjadi, betapa suramnya masa depan negeri dan dunia kemanusiaan. Bahkan, di yaum al-akhir kelak pun hidup tanpa sukma semacam itu akan lebih suram lagi sebagaimana diingatkan Tuhan:

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai" (QS. Al-'Araf/7: 179).

Banyak "orang mati sebelum mati", begitulah kata para sufi dan aulia. Jasad dan sosok tubuhnya sempurna, tapi mati-rasa, mati-pikir, dan mati-nurani. Menjadi manusia-manusia "al-basar", makhluk jasadiah belaka. Tidak sebagai "al-insan", hamba-hamba Tuhan yang mulia dan berperadaban agung. Umar bin Abdul Azis, khalifah nan arif di masa keemasan Islam, dikisahkan sering tak tidur malam dan menangis jelang kematiannya, karena tak ingin dirinya dituntut rakyatnya di akhirat kelak atas amanat yang tak tertunaikan.

Padahal Khaifah dari dinasti Ummayah yang satu ini dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan amanah, sebagaimana Amirul Mukminin Umar bin Khattab semasa hayatnya. Memang, tak mudah menjalani siklus hidup penuh makna dan kemuliaan sebagaimana para penerus risalah Nabi yang utama itu. Tak mudah, bukan berarti tak dapat dilakukan. Kemuliaan dan kesempurnaan hidup adalah mutiara bagi siapa pun yang ingin meraihnya, kendati semua hal di dunia ini selalu terkena hukum nisbi dan tak sepenuhnya ideal. Satu hal yang jelas, jangan biarkan siklus hidup kehilangan makna dan keutamaan. Apalagi mati-suri.

Monday, July 30, 2007

Prof. Dr. Nur Syam: Gerakan Islam Radikal Rugikan NU-Muhammadiyah


Oleh : CHOIRUL MAHFUD/SYIRAH

Menguatnya gejala fundamentalisme Islam yang saat ini menjadi fenomena di seluruh penjuru dunia memang bak jamur di musim hujan. Di Jawa Timur, fenomena penyebaran paham radikalisme Islam telah terjadi melalui beragam cara, salah satu diantaranya penyusupan melalui organisasi masyarakat (Ormas) Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Hal ini telah menyita perhatian intelektual Muslim, pemerhati Islam radikal dan Guru Besar Sosiologi IAIN Surabaya, Prof. Nur Syam, M.Si.

“Pasca Reformasi, fenomena gerakan radikalisme Islam di Indonesia, khususnya di propinsi Jawa Timur, berkembang sangat pesat,” katanya. Menurutnya hal ini terindikasi dari muncul dan berkembangnya beragama organisasi radikal.

Menurut Syam mereka cukup pandai memanfaatkan media dalam menyebarkan gagasan-gagasannya. Imbasnya gerakan mereka semakin kuat di masyarakat

Untuk lebih jelasnya berikut ini wawancara khusus kontributor Syirah Choirul Mahfud di Surabaya dengan Nur Syam di kantornya, Gedung Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa, 3 Juli kemarin:

Dalam pengamatan Anda sejauh mana gerakan fundamentalisme dan radikalisme Islam di Jawa Timur beberapa tahun belakangan ini?

Pasca Reformasi, fenomena gerakan radikalisme Islam di Indonesia, khususnya di propinsi Jawa Timur, berkembang sangat pesat. Hal itu, ditandai dengan muncul dan berkembangnya beragam organisasi Islam radikal melalui berbagai cara dan media, baik cetak maupun elektronik. Media massa telah mereka buat seperti bulletin dan majalah. Lalu, mereka sebar media itu ke setiap masjid, terutama tiap hari jum’at. Hampir semua masjid mendapat selebaran dan bulletin dari kelompok mereka. Akibatnya, pengaruhnya cukup kuat dan sangat pesat.

Organisasi apa saja yang bisa dikatagorikan sebagai kelompok gerakan Islam radikal dan fundamental tersebut?

Organisasi gerakan Islam yang dilabeli Islam radikal dan fundamental perlu dilihat terlebih dahulu dari dua sudut pandang. Pertama, adakah pelaku dan subjek gerakan itu. Kedua, adakah pengaruhnya bagi suatu masyarakat.

Mengenai pertanyaan pertama, di propinsi Jawa Timur ternyata ada gerakan seperti itu. Organisasi gerakan Islam radikal dan fundamental tersebut yang bisa diidentifikasi di antaranya adalah; Hizbut Tahrir (HTI), Majelis Mujahidin (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain.

Organisasi Itulah sebagai pelaku. Sementara pengaruh organisasi tersebut bagi dinamika Islam di Jawa Timur lumayan kuat dari fase ke fase. Di zaman Orde Baru memang masih belum tampak jelas karena sistem, tetapi di akhir era Orde Baru mereka mulai berani menampakkan diri hingga era reformasi seperti sekarang ini kelompok itu terus berani menampakkan, melakukan pengaruh yang kuat dan penyebarannya serta bahkan ingin menguasai.

Siapa sajakah target dan sasaran gerakan radikalisme Islam, khususnya di Jawa Timur?

Semua kelompok, terutama masyarakat perkotaan, pelajar, mahasiswa. Di Surabaya, kelompok Islam radikal sudah merambah dan menguasai kegiatan mahasiswa kampus. Mahasiswa-mahasiswa kampus yang sudah banyak dipengaruhi oleh gerakan ini adalah kampus ITS (Institut Tehnologi Surabaya), (Fakultas) Kedokteran Unair (Universitas Airlangga), Unesa (Universitas Esa Tunggal), Universitas Hang Tuah, Untag (Universitas Tjuhbelas Agustus) dan lain-lain. Wujudnya adalah Lembaga Dakwah Kampus (LDK), KAMMI dan mereka semua memiliki jaringan nasional dan internasional, terikat maupun tidak.

Tidak hanya itu, belakangan gerakan Islam radikal juga sudah memengaruhi warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, khususnya anak-anak muda NU dan Muhammadiyah. Banyak aset NU dan Muhammadiyah yang direbut.

Akhir-akhir ini sudah banyak kasus mengenai hijrahnya warga NU dan Muhammadiyah mengikuti kelompok gerakan Islam radikal dan fundamental itu. Memang secara kultural adalah masih warga NU, tetapi bukan secara formal dan sudah sebagai anggota dan pengurus kelompok Islam radikal.

Misal saja, ada kasus bahwa bapaknya alumni Tebuireng, dan dosen. Tetapi justru anaknya jadi aktivis HTI, dan yang menjadi imam di rumah adalah anaknya bukan bapaknya. Menariknya lagi, Anak kiai jadi ketua FPI. Di salah satu pertemuan PBNU ada yang mengeluhkan sebagian pengurus mengundurkan diri karena sudah menjadi anggota dan pengurus organisasi itu.

Cara apa saja yang ditempuh kelompok Islam radikal, di Jawa Timur khususnya, dalam memengaruhi dan mengembangkan konsep dan gerakan ideologi mereka ke dalam Ormas Islam?

Kelompok ini sungguh luar biasa dan memiliki daya penarik kuat. Tetapi bisa dipahami sesungguhnya mereka menggunakan sistem yang saya sebut sebagai gerakan “taqiyah”, yaitu dengan cara memasuki dan membaur dalam sebuah kelompok. Setelah cara itu berhasil, lalu kemudian ketika mereka sudah memiliki taring, lantas dia menampakkan diri. Misalnya Di beberapa daerah, ada banyak pengurus NU yang sesungguhnya anggota kelompok gerakan radikal Islam itu.

Cara kedua yang ditempuh kelompok ini adalah menggunakan metode sel (sel system). Metode ini telah berhasil mereka jalankan dan sangat ampuh. Karena, mereka mendidik satu atau dua orang. Lalu, kemudian hasil didikan itu disuruh mengembangkan dan memengaruhi orang lain dan begitu seterusnya.

Apakah gerakan Islam radikal itu membahayakan dan bisa menjadi ancaman disintegrasi bangsa dan persatuan umat Islam di Indonesia?

Kalau targetnya itu adalah khilafah maka hal itu sangat membahayakan bagi NKRI. Apalagi ketika konsep ini diberlakukan dan dijalankan di negeri ini. Sebab, hal itu akan melahirkan ruang-ruang yang berbeda secara konstitusional. Saya ingin menyitir pada pertemuan guru besar se-Indonesia adalah perlunya menegakkan dan menjaga kesatuan atau integrasi bangsa berdasar pancasila dan UUD 1945.

Adakah tindakan persekusi atau kekerasan yang dilakukan kelompok ini secara bebas?

Saya rasa mereka belum berani melakukan hal-hal yang mengarah pada kekerasan, khususnya di daerah Jawa Timur. Sebab, kelompok mereka masih kecil, makanya cara yang mereka pakai dengan metode yang saya sebut sebagai teknik taqiyah. Seperti misalnya dengan menjadi jamaah masjid, lalu aktif jamaah dan kegiatan masjid lalu dipilih menjadi takmir. Setelah itu kemudia, merebut masjid dan memengaruhi umat.

Khalid Abou elFadl, pemikir dari Mesir, dalam The Great Theft mengatakan bahwa berkembang biaknya gerakan radikalisme Islam ditengarai oleh “diamnya” kelompok Islam moderat. Pertanyaanya, apakah fenomena kuatnya pengaruh Islam radikal di Jawa Timur sama seperti tesis Fadl tersebut?

Saya setuju dengan pernyataan itu, cuma dalam konteks Jawa Timur, tampaknya masyarakat belum banyak yang menyadari dan mengetahui rivalnya itu sebagai ancaman dan musuh. Sebab manakala umat Islam tidak memiliki musuh yang jelas secara langsung maupun tidak membuat kita tidak kritis, responsif dan tidak bisa bergerak apa-apa. Tetapi situasi akan berbeda ketika sudah jelas posisi kita manakala terkepung musuh maka gerakan perlawanan akan terjadi.

Lantas, bagaimana upaya ormas (NU dan Muhammadiyah misalnya) dalam menyikapi masalah tersebut?

Karena pengaruhnya di hampir semua kawasan dan pelosok Jawa Timur khususnya, maka Pak Ali Maschan Moesa sebagai ketua PWNU Jatim menggunakan langkah untuk membentengi pengaruh gerakan Islam radikal di sembilan titik di daerah Jawa Timur. Tapi maaf saya tidak tahu persis di mana saja daerah itu. Hal ini wajar, mengingat masjid dan mushala telah banyak diambil alih oleh kelompok ini.

Menurut saya pribadi, dalam konteks ini maka perlu ditempuh jalan alternatif yang dipelopori oleh anak-anan Muda NU dan Muhammadiyah. Bagaimana caranya anak-anak muda NU dan Muhammadiyah perlu menjalin kerjasama untuk menyelamatkan Islam multikultural yang rahmatan lil alamin. Hal ini penting, karena kita saat ini menghadapi suatu kenyatan menghadapi rival yang sangat jelas. Kesadaran bersama ini penting.

Praktisnya, melalui pelatihan dan penguatan pentingnya menyadari dan melaksanakan nilai-nilai pendidikan multikultural. Dalam konteks ini, perbedaan NU dan Muhammadiyah perlu diarahkan pada titik nol dan secara bersama-sama menghadapi rival bersama tersebut. Tentu saja, anak-anak Muda NU dan Muhammadiyah tersebut tidak perlu memakai cara-cara kekerasan tetapi gerakan penyadaran dan pencerahan. Mungkin dengan melakukan aksi bersama dan berkarya.

Terakhir, bagaimana menurut Anda masa depan gerakan radikalisme Islam di Indonesia, khususnya di Jawa Timur?

Menurut hemat saya, masa depan gerakan Islam radikal di Jawa Timur bisa semakin kuat dan sebaliknya bisa semakin melemah. Kondisi itu sangat ditentukan dan bergantung pada kita semua umat Islam di Indonesia, utamanya warga muslim di Jawa Timur. Apakah kita membiarkan atau mencegahnya. Pencegahan tanpa kekerasan melalui berbagai bentuk penyadaran adalah jalan terbaik. []

Prof. Dr. Nur Syam: Gerakan Islam Radikal Rugikan NU-Muhammadiyah


Oleh : CHOIRUL MAHFUD/SYIRAH

Menguatnya gejala fundamentalisme Islam yang saat ini menjadi fenomena di seluruh penjuru dunia memang bak jamur di musim hujan. Di Jawa Timur, fenomena penyebaran paham radikalisme Islam telah terjadi melalui beragam cara, salah satu diantaranya penyusupan melalui organisasi masyarakat (Ormas) Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Hal ini telah menyita perhatian intelektual Muslim, pemerhati Islam radikal dan Guru Besar Sosiologi IAIN Surabaya, Prof. Nur Syam, M.Si.

“Pasca Reformasi, fenomena gerakan radikalisme Islam di Indonesia, khususnya di propinsi Jawa Timur, berkembang sangat pesat,” katanya. Menurutnya hal ini terindikasi dari muncul dan berkembangnya beragama organisasi radikal.

Menurut Syam mereka cukup pandai memanfaatkan media dalam menyebarkan gagasan-gagasannya. Imbasnya gerakan mereka semakin kuat di masyarakat

Untuk lebih jelasnya berikut ini wawancara khusus kontributor Syirah Choirul Mahfud di Surabaya dengan Nur Syam di kantornya, Gedung Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa, 3 Juli kemarin:

Dalam pengamatan Anda sejauh mana gerakan fundamentalisme dan radikalisme Islam di Jawa Timur beberapa tahun belakangan ini?

Pasca Reformasi, fenomena gerakan radikalisme Islam di Indonesia, khususnya di propinsi Jawa Timur, berkembang sangat pesat. Hal itu, ditandai dengan muncul dan berkembangnya beragam organisasi Islam radikal melalui berbagai cara dan media, baik cetak maupun elektronik. Media massa telah mereka buat seperti bulletin dan majalah. Lalu, mereka sebar media itu ke setiap masjid, terutama tiap hari jum’at. Hampir semua masjid mendapat selebaran dan bulletin dari kelompok mereka. Akibatnya, pengaruhnya cukup kuat dan sangat pesat.

Organisasi apa saja yang bisa dikatagorikan sebagai kelompok gerakan Islam radikal dan fundamental tersebut?

Organisasi gerakan Islam yang dilabeli Islam radikal dan fundamental perlu dilihat terlebih dahulu dari dua sudut pandang. Pertama, adakah pelaku dan subjek gerakan itu. Kedua, adakah pengaruhnya bagi suatu masyarakat.

Mengenai pertanyaan pertama, di propinsi Jawa Timur ternyata ada gerakan seperti itu. Organisasi gerakan Islam radikal dan fundamental tersebut yang bisa diidentifikasi di antaranya adalah; Hizbut Tahrir (HTI), Majelis Mujahidin (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain.

Organisasi Itulah sebagai pelaku. Sementara pengaruh organisasi tersebut bagi dinamika Islam di Jawa Timur lumayan kuat dari fase ke fase. Di zaman Orde Baru memang masih belum tampak jelas karena sistem, tetapi di akhir era Orde Baru mereka mulai berani menampakkan diri hingga era reformasi seperti sekarang ini kelompok itu terus berani menampakkan, melakukan pengaruh yang kuat dan penyebarannya serta bahkan ingin menguasai.

Siapa sajakah target dan sasaran gerakan radikalisme Islam, khususnya di Jawa Timur?

Semua kelompok, terutama masyarakat perkotaan, pelajar, mahasiswa. Di Surabaya, kelompok Islam radikal sudah merambah dan menguasai kegiatan mahasiswa kampus. Mahasiswa-mahasiswa kampus yang sudah banyak dipengaruhi oleh gerakan ini adalah kampus ITS (Institut Tehnologi Surabaya), (Fakultas) Kedokteran Unair (Universitas Airlangga), Unesa (Universitas Esa Tunggal), Universitas Hang Tuah, Untag (Universitas Tjuhbelas Agustus) dan lain-lain. Wujudnya adalah Lembaga Dakwah Kampus (LDK), KAMMI dan mereka semua memiliki jaringan nasional dan internasional, terikat maupun tidak.

Tidak hanya itu, belakangan gerakan Islam radikal juga sudah memengaruhi warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, khususnya anak-anak muda NU dan Muhammadiyah. Banyak aset NU dan Muhammadiyah yang direbut.

Akhir-akhir ini sudah banyak kasus mengenai hijrahnya warga NU dan Muhammadiyah mengikuti kelompok gerakan Islam radikal dan fundamental itu. Memang secara kultural adalah masih warga NU, tetapi bukan secara formal dan sudah sebagai anggota dan pengurus kelompok Islam radikal.

Misal saja, ada kasus bahwa bapaknya alumni Tebuireng, dan dosen. Tetapi justru anaknya jadi aktivis HTI, dan yang menjadi imam di rumah adalah anaknya bukan bapaknya. Menariknya lagi, Anak kiai jadi ketua FPI. Di salah satu pertemuan PBNU ada yang mengeluhkan sebagian pengurus mengundurkan diri karena sudah menjadi anggota dan pengurus organisasi itu.

Cara apa saja yang ditempuh kelompok Islam radikal, di Jawa Timur khususnya, dalam memengaruhi dan mengembangkan konsep dan gerakan ideologi mereka ke dalam Ormas Islam?

Kelompok ini sungguh luar biasa dan memiliki daya penarik kuat. Tetapi bisa dipahami sesungguhnya mereka menggunakan sistem yang saya sebut sebagai gerakan “taqiyah”, yaitu dengan cara memasuki dan membaur dalam sebuah kelompok. Setelah cara itu berhasil, lalu kemudian ketika mereka sudah memiliki taring, lantas dia menampakkan diri. Misalnya Di beberapa daerah, ada banyak pengurus NU yang sesungguhnya anggota kelompok gerakan radikal Islam itu.

Cara kedua yang ditempuh kelompok ini adalah menggunakan metode sel (sel system). Metode ini telah berhasil mereka jalankan dan sangat ampuh. Karena, mereka mendidik satu atau dua orang. Lalu, kemudian hasil didikan itu disuruh mengembangkan dan memengaruhi orang lain dan begitu seterusnya.

Apakah gerakan Islam radikal itu membahayakan dan bisa menjadi ancaman disintegrasi bangsa dan persatuan umat Islam di Indonesia?

Kalau targetnya itu adalah khilafah maka hal itu sangat membahayakan bagi NKRI. Apalagi ketika konsep ini diberlakukan dan dijalankan di negeri ini. Sebab, hal itu akan melahirkan ruang-ruang yang berbeda secara konstitusional. Saya ingin menyitir pada pertemuan guru besar se-Indonesia adalah perlunya menegakkan dan menjaga kesatuan atau integrasi bangsa berdasar pancasila dan UUD 1945.

Adakah tindakan persekusi atau kekerasan yang dilakukan kelompok ini secara bebas?

Saya rasa mereka belum berani melakukan hal-hal yang mengarah pada kekerasan, khususnya di daerah Jawa Timur. Sebab, kelompok mereka masih kecil, makanya cara yang mereka pakai dengan metode yang saya sebut sebagai teknik taqiyah. Seperti misalnya dengan menjadi jamaah masjid, lalu aktif jamaah dan kegiatan masjid lalu dipilih menjadi takmir. Setelah itu kemudia, merebut masjid dan memengaruhi umat.

Khalid Abou elFadl, pemikir dari Mesir, dalam The Great Theft mengatakan bahwa berkembang biaknya gerakan radikalisme Islam ditengarai oleh “diamnya” kelompok Islam moderat. Pertanyaanya, apakah fenomena kuatnya pengaruh Islam radikal di Jawa Timur sama seperti tesis Fadl tersebut?

Saya setuju dengan pernyataan itu, cuma dalam konteks Jawa Timur, tampaknya masyarakat belum banyak yang menyadari dan mengetahui rivalnya itu sebagai ancaman dan musuh. Sebab manakala umat Islam tidak memiliki musuh yang jelas secara langsung maupun tidak membuat kita tidak kritis, responsif dan tidak bisa bergerak apa-apa. Tetapi situasi akan berbeda ketika sudah jelas posisi kita manakala terkepung musuh maka gerakan perlawanan akan terjadi.

Lantas, bagaimana upaya ormas (NU dan Muhammadiyah misalnya) dalam menyikapi masalah tersebut?

Karena pengaruhnya di hampir semua kawasan dan pelosok Jawa Timur khususnya, maka Pak Ali Maschan Moesa sebagai ketua PWNU Jatim menggunakan langkah untuk membentengi pengaruh gerakan Islam radikal di sembilan titik di daerah Jawa Timur. Tapi maaf saya tidak tahu persis di mana saja daerah itu. Hal ini wajar, mengingat masjid dan mushala telah banyak diambil alih oleh kelompok ini.

Menurut saya pribadi, dalam konteks ini maka perlu ditempuh jalan alternatif yang dipelopori oleh anak-anan Muda NU dan Muhammadiyah. Bagaimana caranya anak-anak muda NU dan Muhammadiyah perlu menjalin kerjasama untuk menyelamatkan Islam multikultural yang rahmatan lil alamin. Hal ini penting, karena kita saat ini menghadapi suatu kenyatan menghadapi rival yang sangat jelas. Kesadaran bersama ini penting.

Praktisnya, melalui pelatihan dan penguatan pentingnya menyadari dan melaksanakan nilai-nilai pendidikan multikultural. Dalam konteks ini, perbedaan NU dan Muhammadiyah perlu diarahkan pada titik nol dan secara bersama-sama menghadapi rival bersama tersebut. Tentu saja, anak-anak Muda NU dan Muhammadiyah tersebut tidak perlu memakai cara-cara kekerasan tetapi gerakan penyadaran dan pencerahan. Mungkin dengan melakukan aksi bersama dan berkarya.

Terakhir, bagaimana menurut Anda masa depan gerakan radikalisme Islam di Indonesia, khususnya di Jawa Timur?

Menurut hemat saya, masa depan gerakan Islam radikal di Jawa Timur bisa semakin kuat dan sebaliknya bisa semakin melemah. Kondisi itu sangat ditentukan dan bergantung pada kita semua umat Islam di Indonesia, utamanya warga muslim di Jawa Timur. Apakah kita membiarkan atau mencegahnya. Pencegahan tanpa kekerasan melalui berbagai bentuk penyadaran adalah jalan terbaik. []

An-Naim: Sekularisme Bukan berarti Peminggiran Islam dari Kehidupan Publik

(Tulisan Kedua)

Oleh : AGUS SETIA BUDI & FATHURI SR/SYIRAH

Baik, kita kembali pada soal sekularisme, mayoritas orang Indonesia antipati, ketika mendengar istilah Sekualrisme. Kira-kira hal apa yang menyebabkan itu semua?

Resistensi terhadap sekularisme, paling tidak, disebabkan oleh istilah itu sendiri, terutama karena keterkaitan istilah ini dengan pemerintahan kolonial dan konotasinya yang antipati terhadap agama. Sejak jatuhnya rezim Soeharto, debat mengenai hal ini telah berkembang menuju arah yang baru. Tidak lagi dalam kerangka perdebatan mengenai Pancasila, tetapi beranjak pada isu-isu baru, seperti otonomi daerah dan munculnya kelompok-kelompok politik, sosial dan kultural baru yang suaranya diabaikan pada masa orde baru.

Di satu sisi, seperti JIL dan majalah Syirah berusaha untuk menawarkan dan mengembangkan diskursus keislaman yang lebih inklusif dan kritis, termasuk prinsip sekularisme. Namun di sisi lain, ada pula suara-suara lain, seperti Hartono Ahmad Jaiz dan majalah Sabili, yang menyerukan interpretasi yang lebih sempit dan eksklusif terhadap Islam dan syariah yang tidak konsisten dengan negara sekular yang menyediakan kerangka bagi pluralisme dan konstitusionalisme.

Sikap-sikap yang muncul dalam debat ini tidak bisa disederhanakan menjadi dua kelompok yang setuju dan tidak setuju dengan istilah sekularisme. Malah, banyaknya variasi pendapat mengenai hubungan antara Islam dan negara yang membentang dari peleburan total hingga pemisahan total memperlihatkan bahwa pemahaman tentang sekularisme di Indonesia sangat majemuk.

Sebagai analisa final, saya hanya ingin menekankan bahwa terpenting dari semua proses ini adalah menjaga agar proses debat tetap hidup dan konstruktif. Menerapkan negara Islam atau negar sekuler dalam konteks Indonesia, akan sangat problematik bila kemungkinan untuk debat dan adaptasi dihilangkan.

Contoh-contoh tendensi negatif bisa dilihat dari sejarah paska-kemerdekanan Indonesia, termasuk fatwa terbaru MUI yang menyatakan bahwa pluralisme dan sekularisme sebagi anti Islam. Debat yang konstruktif harus bisa menghindari tuduhan yang provokatif seperti itu dan bisa berdasar pada argumen-argumen yang substantif dan saling menghormati.

Bagaimana korelasi Sekularisme dengan Islam, negara dan Politik dalam Prespektif Historis?

Sekularisme yang didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga keterkaitannya dengan poliitk lebih konsisten dengan sejarah masyarakat Islam daripada dengan ide paska kolonial mengenai negara Islam yang bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan negara yang koersif (memaksa). Pemisahan antara otoritas keagamaan dan otoritas negara merupakan perisai pengaman yang penting bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam.

Dengan membuktikan bahwa sekularisme semacam itu merupakan hal yang islami, saya berharap bisa membantu menghilangkan anggapan umat Islama bahwa konsep ini merupakan pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama di ruang privat.

Sebetulnya tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal karena setiap masyarakat Barat menegosiasikan hubungan antar agama dan negara dan antar agama dan politik sesuai dengan kontek sejarah mereka. Keliru juga memahami bahwa di negara Eropa dan Amerika yang dianggap sekular, agama telah dipinggirkan ke ruang privat.

Jelas bahwa hubungan anatara negara dan agama dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda dengan (keadaan) di masyarakat Barat. Ada pembedaan yang jelas antara institusi negara dan agama dalam maysarakat Islam.

Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan negara yang baku dalam masyarakat Islam, yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi, dan hubungan antara institusi-institusi tersebut.

Maksudnya ?

Penekanan saya perbedaan institusi agama dan negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu masyarakat Islam tersebut harus menjadi model bagi masyarakat Islam saat ini dan pada masa depan. Ide seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak dinginkan karena masyarakat muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat muslim sebelumnya.

Usaha untuk menerapkan pengalaman historis tersebut akan menjadi tidak konsisiten dengan asumsi mengenai pentingnya menegosiasikan secara kontekstual hubungan agama dan negara serta hubungan agama dan politik.

Sebagai pertanyan terakhir, kira-kira Apa kesimpulan dari buku anda?

Kesimpulan dasar yang saya ajukan untuk buku ini adalah bahwa dabat seputar hubungan antara Islam, negara, dan masyarakat di Indonesia cenderung memunculkan dikotomi yang keliru dan dilema yang tak perlu. Adalah sebuah kekeliruan bila kita membayangkan adanya dikotomi yang tajam antara negara Islam dan negara sekular hanya dengan melihat adanya institusi politik sekular, terutama dalam kondisi masyarakat muslim dewasa ini.

Namun, seperti saya tekankan sejak awal, sekularisme tidak berarti peminggiran Islam dari kehidupan publik atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat. Keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan publik dan menetapkannya menjadi undang-undang atau peraturan melalui Public reason, dengan tetap tunduk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik muslim dan non-muslim.

Jika pendekatan ini diambil, umat Islam tidak harus memilih antara negara Islam yang menerapkan syariah atau negara sekular yang yang betul-betul menolak syariah.[]


An-Naim: Sekularisme Bukan berarti Peminggiran Islam dari Kehidupan Publik

(Tulisan Pertama)

Oleh : AGUS SETIA BUDI & FATHURI SR/SYIRAH

Abdullah Ahmad An-Na’im adalah pemikir Muslim terkemuka dari Sudan. Dikenal luas sebagai pakar Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-negeri Islam dan Afrika, di samping isu-isu tentang Islam dan politik. Dia juga menekuni riset-riset lain yang difokuskan pada advokasi strategi reformasi melalui tranformasi budaya internal. Saat ini An-Na-im bekerja sebagai professor Charles Howard Candler di bidang Hukum di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat

Saat ini Abdullah, demikian ia minta disapa, sedang mempromosikan buku barunya Islam dan Negara Sekular, Menegosiasikan Masa Depan Syariah.

Di antara pemikiran penting dari Abdullah soal ini adalah, sebagaimana dikatakannya, “Sekularisme tidak berarti pemingiran Islam dari kehidupan publik atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat.”

Menurutnya keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsip-prinsip syariah sebgai kebijakan publik dan menetapkannya mejadi undang-undang atau peraturan melalui Public reason (pemikiran umum). Tetapi hal itu dilakukan dengan tetap tunduk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Mnusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik muslim dan non-muslim.

Untuk lebih dalam membahas soal ini, berikut hasil wawancara Fathuri SR dan Agus Setia Budi dari Syirah dengan Abdullah di Kampus II Universitas Islam Negeri Jakarta 23 Juli lalu:

Secara garis besar apa yang akan Anda tawarkan dalam buku baru anda?

Syariat memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Namun, saya dengan tegas menolak penerapan syariat yang dipaksakan oleh tangan-tangan negara. Menurut saya, sebagai ajaran suci, syariah haruslah dilaksanakan oleh setiap muslim secara sukarela. Karena penerapannya oleh negara secara formal dan paksa, dapat menyebabkan prinsip-prinsip syariat kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya.

Oleh karena itu, negara secara kelembagaan haruslah dipisahkan dari Islam agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam. Negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama manapun.

Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama.

Karenanya, dalam buku saya ini ingin mengadvokasi prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun dengan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, melalui apa yang disebut sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi.

Bagaimana dengan fenomena di pelbagai daerah di Indonesia,yang memberlakukan syariat Islam?
Penegakkan syariat Islam di Indonesia menurut saya justru malah merendahkan syariah itu sendiri karena apa yang dipraktekkan di beberapa wilayah di Indonesia tidak menyentuh pada substansi syariah. Hanya kulitnya saja.

Di daerah Indonesia yang memberlakukan syariat Islam, pada hakekatnya bukan memelihara kesucian syariah, akan tetapi jika ditelisik lebih dalam lagi mereka cenderung meremehkan atau mengentengkannya.

Kecenderungan ini dipicu karena kedangkalan pemahaman tentang syariat para pendorong pemberlakuan syariah. Mereka perlu mendapatkan pencerahan dari orang-orang yang expert di bidang syariat.

Hal ini ditunjukkan oleh pilihan mereka untuk memprioritaskan pelaksanaan kulit syariah daripada substansinya. Yang diberlakukan di beberapa daerah hanya berkutat pada persoalan tata cara berpakaian, wanita tidak boleh pergi pada malam hari tanpa ditemani muhrimnya. Lalu jika seseorang ingin nikah mereka harus punya sertifikat yang menerangkan bahwa ia benar-benar sudah bisa membaca al-Quran ini adalah sebuah kekonyolan.

Mereka, maksudnya para pendukung penegakkan syariat Islam, dalam pandangan saya tidak pernah menitikberatkan pada inti syariat sendiri, di antaranya soal keadilan sosial. Misalnya bagaimana memberantas korupsi sampai akar-akarnya. Mereka tidak menyentuh pada persoalan pokok syariat, justru meraka lebih terobsesi dengan “seks”.

Kemanapun mereka (para wanita) yang di daerah pemberlakukan syairat Islam harus berbalutkan kain panjang, kerudung yang sampai sedada dan lain sebagainya. Syariah hanya dijadikan pajangan oleh para elit penguasa.

Pandangan mengenai negara Islam sebetulnya berdasarkan klaim yang keliru karena prinsip-prinsip syariah yang akan diterapkan oleh negara pada dasarnya hanya mmepresentasikan pandangan elit yang akhirnya akan menjadi kebijakan negara dan bukan hukum Islam. Sebaliknya, negara sekular yang benar-benar menafikan agama dalam kebijakan publik dan undang-undang juga berdasarkan pada klaim yang keliru karena Islam atau agama lain tidak bisa dipisahkan dari politik.

Dan perlu dicatat juga bahwa memisahkan agama dari adat Istiadat atau budaya dalam pengalaman historis maupun kontemporer masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang tidak mungkin karena masyarakat Indonesia tidak dapat hidup dalam kategori analisis yang abstrak semacam itu. Jadi harus ada kompromi anatara budaya dan agama.

Jika demikian bagaimana dengan sekularisme di Indonesia?

Perdebatan seputar sekularisme pada masa pra-kemerdekaaan dan terus berlanjut hingga masa sesudahnya bisa disederhanakan ke dalam dua fraksi, yaitu nasionalis sekular atau nasionalis yang netral-agama dan nasionalis Islam. Debat ini terus berlangsung selama masa pergerakan, sejak tuntutan parlemen Indonesia hingga masa persiapan kemerdekaan. Momen kunci perdebatan ini adalah momen proklamasi kemerdekaann Indonesia, saat tujuh kata tentang tentang kewajiban menjalankan syariah dihapuskan dari Pancasila. Menurut hemat saya, perdebatan ini merupakan perdebatan yang sehat dan penting dan tentui harus terus berlanjut di kemudian hari.

Tantangannya sekarang adalah bagaimana mengawal dan mempromosikan proses ini dengan cara-cara yang konstruktif daripada menyia-nyiakan waktu dan tenaga untuk mendirikan sebuah ilusi bernama negara Islam atau negara sekular yang meminggirkan agama dari ruang publik sepenuhnya karena kedua hal tersebut merupakan dikotomi yang keliru dan dilema yang tidak perlu.

Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan agama dan politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama pun sebagai agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya terhadap masyarakat yang plural dan egaliter.

Namun, dengan hanya mengakui lima agama secara resmi, negara Indonesia membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh warga negara. Pandangan yang dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia secara jelas menyebutkan tempat bagi orang yang menganut lima agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya.[]


Membendung Wacana Syari’at Islam di NTB

Oleh : ACHMAD JUMAELY*

Walau sekian perda-perda bernuansa syari’at Islam itu gagal. Nampaknya usaha sekelompok masyarakat NTB yang menginginkan syari’at Islam diterapkan di daerah ini masih menggebu-gebu. Indikasinya paling tidak terlihat dari semakin terang-terangannya berbagai acara diskusi, seminar dan workshop yang membicarakan prospek penerapan syari’at Islam di daerah ini.

Akhir Mei lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar sebuah diskusi cukup panas dengan tema “Prospek Penerapan Syari’at Islam di NTB”. Diskusi ini selain menghadirkan pengurus HTI Pusat juga mengundang pembicara-pembicara lokal di NTB. Dari perjalanan diskusi, hanya satu sesi yang cukup menarik ingin saya ceritakan dalam tulisan ini. Seorang peserta diskusi yang juga pengurus HTI cabang NTB secara serampangan mengidentifikasi daerah Bima sebagai daerah yang dulunya berkultur Islam murni. Karena alasan ini, ia menaruh harapan besar, ke depan Bima bisa menjadi daerah pencontohan penerapan syari’at Islam di Indonesia.

Beberapa data dangkal yang diungkapkan pengurus HTI itu adalah realitas bahwa pernah terdapat kesultanan Bima yang merupakan hasil ekspansi kerajaan Makasar. Selain itu, ia juga memberikan apresiasi kepada Bupati Dompu yang menerbitkan Peraturan Daerah No 4 Tahun 2005 tentang Jum’at Khusuk dan Perda No 5 Tentang Wajib baca Al-Qur’an.

Pembicara dari Bima Drs. Abdul Wahid, M.Ag yang juga dosen IAIN Mataram serta-merta menampik tegas pernyataan tersebut. Menurut Wahid, salah besar jika dikatakan Bima berkultur Islam murni. Menurutnya, Islamisasi di Bima berjalan secara kultural. Proses islamisasi disana hampir tidak samasekali mengadopsi mentah-mentah Islam Murni (arab) namun lebih mengedepankan sinergitas Islam dengan kearifan lokal.

Hal ini menurutnya dapat dilihat dari aturan-aturan pemerintahan yang tidak didapati semisal hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam untuk rakyat yang melakukan Zina. Lanjut Wahid, adanya model kesultanan di Bima juga bukan berarti menunjukkan bahwa Bima sedari awal menerapkan syari’at Islam. Karena model kesultanan di Bima sangat berbeda dengan model kesultanan dalam Islam yang menggunakan kekhalifahan. Kesultanan di Bima lebih mirip struktur raja-raja di Jawa yang mengedepankan garis keturunan atau feodalisme.

Kehadiran Ba’asyir

Selain diskusi yang diadakan HTI itu, beberapa waktu lalu masyarakat juga di kejutkan dengan agenda Road Show Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’ayir ke sejumlah daerah di NTB seperti Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Yang menambah keterkejutan kita adalah antusiasme masyarakat yang menyambut Ba’asyir dengan gegap gempita. Menurut pemberitaan media, di Lombok Timur pengajian Ustad yang baru keluar penjara itu dihadiri hampir sepuluh ribu jama’ah. Di lombok tengah tidak kalah sekitar 15 Ribu.

Dalam ceramahnya yang sangat provokatif, di dua tempat itu Ba’asyir dengan santun mengungkapkan harapannya agar NTB dapat segera menerapkan syari’at Islam. Ia mengeluarkan ayat dan hadist yang menjanjikan jika syari’at Islam di terapkan maka kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Ide lama yang sering ia wacanakan tak ayal keluar juga, demokrasi sudah saatnya diganti dengan Allah-krasi. Demokrasi lanjut Ba’asyir, telah menjadi biang keladi masalah-masalah yang merundung negeri ini seperti bencana, korupsi dan lain sebagainya. Menerapkan demokrasi tambah Ba’asyir adalah kafir kebangsaan, karena demokrasi telah menempatkan kedaulatan Allah di bawah kedaulatan Rakyat. Walaupun ide ini -bagi kaum terpelajar seperti mahasiswa- terdengar ‘konyol’, tapi lain dengan masyarakat awam yang rupanya tersilaukan dan bertepuk tangan dengan idenya ini, walau sebetulnya sialu dan tepuk tangan belum tentu tanda setuju.

Menyelamatkan NTB Dari Syari’at Islam

Dua fenomena diatas bisa jadi adalah perkembangan terbaru agenda formalisasi Syari’at Islam di NTB. Untuk diketahui. dua tahun sebelumnya, Di NTB juga marak wacana perda-perda -bernuansa Syari’at islam- yang kemunculannya hampir bersamaan di Tiga Daerah. Pertama-tama terjadi di Lombok Timur dengan Perda zakat Profesi dan Minuman Keras. Lalu daerah Dompu yang menerapkan perda Jum’at Khusuk dan Wajib Baca Qur’an dan Kota Mataram yang memunculkan rancangan Perda Anti Maksiat.

Ketiga agenda pemerintah itu mentah di tengah jalan. Untuk di Lombok Timur misalnya, mengalami kegagalan setelah ribuan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) ngeluruk mendemo Bupati Ali Bin Dahlan yang terindikasi menilap hasil pungutan zakat profesi itu untuk agendanya kunjungan dan memberikan sumbangan ke Masjid dan sekolah-sekolah. Masyarakatpun berhasil menuntut penghapusan perda tersebut. Namun Bupati Lombok Timur kelihatannya enggan menarik perda tersebut hingga hari ini. sehingga ia mengambil jalan tengah, siapa yang mau berzakat silakan, yang tidak juga tidak apa-apa.

Untuk di kota Mataram, Rancangan Perda Anti Maksiat belum-belum sudah lebih dulu ditentang masyarakat. Berkat usaha beberapa LSM yang mengadakan Hearing dan penelitian tentang perspepsi masyarakat terhadap perda tersebut Wali Kota H. M. Ruslan menjadi urung menerapkannya. Hingga sekarang Raperda tersebut tiada kabar.

Yang lumayan berhasil perda Jum’at Khusuk dan Wajib baca AlQur’an di Kabupaten Dompu. Perda tersebut awal-awalnya terlaksana secara massif. Misalnya setiap hari Jum’at masyarakat dengan antusias mensterilkan area masjid dari keramaian. Tidak boleh ada mobil atau kendaraan lain lewat di jalan yang berdekatan dengan masjid. Satu Jam sebelum waktu sholat Jum’at masyarakat sudah harus berkumpul di masjid untuk bersiap-siap sholat jum’at. Untuk perda wajib baca Qur’an, Bupati memberlakukan kebijakan kenaikan pangkat bagi PNS yang hapal sekian jus Al-Qur’an.

Namun dua perda di kabupaten Dompu ini akhirnya tak berjalan mulus. Masyarakat secara alami terlihat bosan dengan peraturan tersebut terlebih setelah Bupati Abu Bakar (Beko) terindikasi korupsi yang kemudian mengantarkannnya di periksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.

Walau sekian perda-perda bernuansa syari’at Islam itu gagal. Nampaknya usaha sekelompok masyarakat NTB yang menginginkan syari’at Islam diterapkan di daerah ini masih menggebu-gebu. Indikasinya paling tidak terlihat dari semakin terang-terangannya berbagai acara diskusi, seminar dan workshop yang membicarakan prospek penerapan syari’at Islam di daerah ini. Acara-acara tersebut banyak digelar secara terbuka dengan melibatkan penuh masyarakat. Yang menjadi support systemnya, jelas adalah MMI, HTI, PKS dan beberapa ormas lokal yang memang sedari awal sangat fundamentalis.

* Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) IAIN Mataram


Syahadat dan Kasih Sayang

Oleh : Ahmad Tohari

Rubrik Hikmah di harian ini Senin lalu menampilkan tulisan Iffatul Muzarkasyah yang berjudul Cinta dan Persatuan, dan dibuka dengan teks hadis Bukhari Muslim: Tiada beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Hadis ini sahih dan rasanya setiap orang Islam mampu merasakan serta meyakini kemuliaan nilai dan ajaran yang dikandungnya. Apalagi Kanjeng Nabi bukan hanya bersabda, melainkan juga mengamalkannya. Dan, pada awal turunnya Islam, cinta di antara sesama Muslim adalah kekuatan utama penyebaran agama ini. Pada masa itu orang luar sangat tertarik kepada Islam karena melihat hubungan persaudaraan yang mesra, penuh kasih sayang, di antara sesama pengikut Kanjeng Nabi.

Namun, sepeninggal Kanjeng Nabi, cinta dan persatuan di tengah masyarakat Islam mulai luntur, bahkan parah keadaannya. Hubungan antar-Muslim kurang membuktikan adanya jiwa kasih sayang. Cukup banyak bukti. Misal, rendahnya angka pembayar zakat, sedekah, infak, dsb; sangat tingginya korupsi, tingginya angka kekerasan. Bahkan perilaku sederhana seperti sikap ramah, suka menolong, berprasangka baik, dan menjaga perasaan sesama Muslim sudah menjadi barang mahal.

Barangkali situasi demikian membuktikan kebenaran kata orang bahwa kita hanya beragama tapi tidak beriman. Agama telah diperkerdil menjadi lembaga-lembaga, ormas-ormas, jamaah-jamaah. Menjadi kumpulan ritus. Serbaformal tapi kering jiwa yakni iman itu.

Ah, mungkin ini ulah setan yang telah sukses mencuri iman kita. Orang dibuat lupa akan teks, ajaran, dan jiwa hadis yang hebat tadi. Untuk membuat orang Islam melupakannya maka setan menumbuhkan semangat ananiyah, egoisme, nafsi-nafsi atau apalah namanya. Setan juga berhasil menumbuhkan sikap curiga, buruk sangka, bahkan dengki di antara sesama Muslim. Wah!

Apakah hal itu akan dibiarkan berkembang sehingga umat Islam tetap miskin rasa kasih sayang, sementara tugas membuktikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin tetap menjadi kewajiban bersama? Dan bila umat mau belajar mengamalkan perintah berkasih-sayang, dari mana mulainya?

Seorang teman memberi jawaban atas pertanyaan ini. Mau mengembangkan amal kasih sayang terhadap sesama, istiqamahlah dengan syahadat.

''Syahadat adalah kesaksian yang menyadarkan dengan tuntas bahwa tidak ada ilah selain Allah. Sasaran yang dituju oleh kesaksian ini pertama-tama adalah diri kita, sedangkan objek di luar kita adalah nomor dua.''

''Maksudmu?'' tanya saya.
''Ya, kita harus bertekad, pertama, tidak akan meng-ilah-kan diri kita. Kita sering lupa, lebih banyak potensi berhala berada dalam diri kita daripada di luarnya.''

''Maksud kamu?'' kejar saya.
''Ya, Peng-ilah-an atau pemberhalaan diri, sadar atau tidak sering kita lakukan. Bentuknya bisa macam-macam, tapi dasarnya adalah egosentrisme; bahwa diri dan kepentingan diri dijadikan pusat sekaligus orientasi kehidupan. Maka diri dianggap subjek paling penting. Alangkah mudah kita merasa lebih penting daripada orang lain terutama terhadap mereka yang miskin. Kamu akan merasa dirimu lebih penting, lebih berharga daripada, misalnya, seorang gelandangan yang melintas di hadapanmu. Iya?''

Saya merenung sejenak, lalu nyengir untuk mengiyakan.
''Dan kamu pasti tidak merasa bahwa itu adalah bentuk peng-ilah-an diri yang paling umum dilakukan. Padahal itu merupakan pelanggaran terhadap makna syahadat. Ingatlah, Kanjeng Nabi mau minum dari cawan yang baru dipakai oleh Bilal. Beliau juga hanya tertawa-tawa ketika dikencingi oleh anak gelandangan Badui yang dibopongnya dengan penuh kasih sayang. Mengapa? Karena Kanjeng Nabi tidak merasa lebih penting dari siapapun.''

Saya masih terbengong-bengong.
''Nah, sekarang kamu ingin bisa mencintai orang lain dengan tulus? Pertama, singkirkan rasa bahwa dirimu lebih penting dari orang lain. Atau, yakinkan dirimu bahwa orang lain, seorang gelandangan sekalipun, sama penting dengan dirimu. Dan apabila mereka kamu beri kasih sayang, Allah akan membalas kamu dengan lebih melalui mereka atau melalui pihak lain. Dan sebaliknya!

''Sayangnya setan memang telah sukses membangun egosentrisme di hati manusia, tak terkecuali kita yang sudah mengucap syahadat. Padahal egosentrisme merupakan bentuk halus peng-ilah-an diri yang menghambat pengembangan sikap dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Dan, kata Kanjeng Nabi sendiri, tanpa kemampuan mengembangkan kasih sayang, sama dengan ketiadaan iman dalam diri kita. Dan Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak bakal terwujud.''

Jujur, karena terkesima, saya tak sanggup menanggapi kata-kata teman ini. Namun setidaknya saya merasa mendapat ilmu baru bahwa kesaksian tauhid atau syahadat tidak cukup diucapkan tetapi harus pula diamalkan. Dan pengamalannya yang sederhana tapi sangat penting adalah membuang jauh egosentrisme yang menghambat amal kasih sayang dan persatuan. Terima kasih, teman.

Siklus Hidup


Oleh : Haedar Nashir

Bilal bin Rabah melakukan iftirah jelang ajalnya tiba. "Aku sungguh bahagia karena tak lama lagi akan berjumpa dengan Rasulullah", begitulah ujar muadzin dan sahabat terkasih Nabi itu dengan nada lirih, ketika dalam suasana kritis istrinya bertanya kenapa suaminya itu tampak bahagia menyongsong kematian.

Iftirah, ungkapan rasa bahagia di tengah kelaziman orang berduka. Bukan bahagia lahir laksana kesebelasan sepak bola melakukan selebrasi pascakemenangan, tapi sebuah kepasrahan batin sekaligus pengharapan positif menerima takdir Allah berupa kematian. Banyak sahabat dan para salaf al-shalih menempuh tangga kemuliaan jelang kematiannya, mengikuti jejak Nabi sang Panutan. Para sufi menyebutnya raja', totalitas pengharapan menyambut ajal karena akan berjumpa dengan Tuhan (liqa' ar-Rabah-u) di hari akhirat nan abadi.

Banyak orang mengambil hikmah dan kemuliaan dalam melewati titik kritis dalam perjalanan hidupnya, sebagaimana mungkin tak sedikit yang menyia-nyiakannya. Anak cucu Adam, siapa pun dia, memiliki siklus yang digariskan Tuhan: lahir, hidup, dan pada akhirnya mati. Tak akan pernah ada yang hidup kekal. Stefhen Hawking sang fisikawan terbesar di abad ini menjadi lebih religius dan menemukan Tuhan di balik kedahsyatan dan rahasia alam semesta yang dipelajarinya, setelah menapaki masa kritis dalam kehidupannya.

Iskandar Dzulqarnain, bahkan minta jasadnya diarak dengan kedua tangannya terbuka manakala dia meninggal, untuk mengingatkan kepada rakyatnya bahwa sang kaisar nan digdaya itu pada akhirnya harus berhadapan dengan kematian tanpa membawa perhiasan duniawi apa pun. Lalu, setiap orang ingin belajar hidup lebih bermakna, sesudah itu mati penuh arti. Bukan hidup yang sia-sia, sekadar jadi jasad yang berjalan. Kematian sebagaimana siklus lahir dan hidup, merupakan sesuatu yang sarat dengan rahasia Tuhan.

Detik ini kita berjumpa dengan orang atau sahabat yang begitu dekat, tapi sesaat kemudian dia dipanggil Tuhan. Beribu sebab lahiriah orang meninggal, tetapi takdir Allah tentang kematian pastilah tiba. Tuhan pasti mengambil yang satu itu tanpa bisa ditunda atau diakhirkan. Minta dispensasi sedetik pun untuk beramal saleh tak akan pernah diberikan, kendati dengan rengekan panjang dan memelas di hadapan Tuhan (QS. Al-Munafiqun/63: 10-11).

Dari Tuhan segalanya datang, kepada-Nya pula dikembalikan, suka-rela maupun terpaksa. Karenanya, tak akan pernah ada yang menentukan kepastian siklus hidup manusia, kecuali Tuhan sendiri. Sedigdaya Firaun sekalipun, yang mengaku dirinya tuhan (ana rabbu-kum al-'ala), akhirnya harus menempuh kepastian ajal, bahkan secara mengenaskan digulung Laut Merah.

Namun, hamba Tuhan di muka bumi ini warna-warni. Rupanya tak mudah bagi setiap orang untuk menemukan makna dan kemuliaan dalam menjalani siklus hidup yang niscaya itu. Ketika lahir memang tak ada pilihan. Tapi sewaktu menjalani kehidupan, terentang banyak jalan ikhtiar. Apakah beriman atau menjadi kafir. Memilih kebaikan atau keburukan. Menempuh jalan lurus atau kesesatan. Ingin meraih kemuliaan atau kehinaan.

Dan sejumlah pilihan-pilihan yang diberikan Tuhan untuk manusia menjalaninya dengan segala konsekuensinya. Dia ciptakan hidup dan mati untuk mengetahui siapa yang terbaik amalannya (QS Al-Mulk/67: 2). Lalu, tak sedikit yang menyia-nyiakannya. Hidup sekadar hidup, mati pun kehilangan arti. Mudah-mudahan kita tak termasuk dalam hidup nan hampa semacam itu.

Tuhan memang mewanti-wanti, bahwa kehidupan duniawi itu "mata' al-gurur". Sering jadi lahan permainan dan tipu-daya, kendati sejatinya dunia itu "majra al-akhirat" ladang menuju akhirat yang abadi. Sekali lengah, semuanya bisa berubah. Seharusnya jadi ladang yang subur, malah tandus dan digersangkan. Jadi pejabat dan pemimpin publik tak amanah. Jadi politisi dan pegiat politik, malah sibuk sendiri dan gemar muhibah ke luar negeri, hingga tak begitu hirau dengan rakyat yang diwakili.

Politik sekadar jadi jalan tol kekuasaan belaka, bahkan atasnama agama dan dakwah. Jadi penegak hukum malah memperkosa dan mempermainkan hukum. Jadi pengusaha merusak aset dan kekayaan negara. Pagar pun makan tanaman. Hidup laksana mengejar layang-layang putus. Siklus lahir, hidup, dan mati dilalui sebagai sebuah kerutinan dan mobilitas diri yang meluap-luap minus penghayatan. Sekali hidup sesudah itu mati tak berarti. Banyak hal bermakna berlalu begitu saja, tak membuahkan kemaslahatan, keberkahan, dan rahmat bagi semesta kehidupan. Bagaikan kera menimbang-nimbang buah kelapa, tak tahu cara memakannya.

Menempuh siklus hidup dengan makna dan kemuliaan konon tak mudah. Laksana aqabah, tangga pendakian. Siapa yang berhasil menempuhnya dengan penuh makna dan kemaslahatan, dialah yang menempuh kesempurnaan. Menurut Buya Hamka, manusia baru mencapai maqom kesempurnaan manakala melampaui tiga tahap dengan baik dan benar yaitu: hidup, berpikir, dan mati. Siapa pun tak akan lepas dari kehidupan yang niscaya itu. Makhluk Tuhan lainnya di muka bumi memang juga hidup dan mati, tapi tak bisa berpikir. Hidup dan mati hewan primata pun tak bermakna apa-apa kecuali sebatas jasad dan proses alamiah belaka, minus jiwa dan keadaban. Manusia sejati hidup dan mati secara berarti, bukan sebuah kesia-siaan.

Berpikir pun menjadi bagian dari perjalanan manusia yang hakiki dan penuh arti itu, yang menghasilkan ilmu dan peradaban. Bukan hidup asal hidup dan mati asal mati. Peradaban itulah yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya. Tak berlebihan jika Rene Descartes (1596-1650) mengeluarkan adagium cogito ergo sum, "aku berpikir karena itu aku ada". Tuhan bahkan lebih keras lagi ketika berfirman: "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun" (QS Al-Anfal/8: 22).

Berpikir hakiki tentu saja bukan sekadar kegiatan nalar-instrumental dan intelektual-akademik, tetapi juga tafakur dan tadabur atas segala ciptaan Allah, kemudian memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya atas spirit ibadah dan kekhalifahan di muka bumi ini. Berpikir yang melahirkan generasi manusia "insan kamil", masyarakat "khaira ummah", dan menebar rahmatan lil-'alamin bagi kehidupan kemanusiaan semesta.

Kita sungguh tak berharap, kian banyak manusia di muka bumi ini yang jasadnya hidup tapi mati kesadarannya yang hakiki. Tengoklah, di Musium Tahrir di Cairo tergolek mumi jasad-jasad raja Mesir kuno, termasuk Ramses II sang Firaun yang superdigdaya. Jasadnya diawetkan tapi tanpa ruh, minus jiwa. Kita pun tentu tak ingin banyak orang menjadi mumi di negeri ini, lebih-lebih yang memegang amanat publik. Jasadnya hidup namun rasa, pikir, dan nuraninya mati-suri. Manakala itu terjadi, betapa suramnya masa depan negeri dan dunia kemanusiaan. Bahkan, di yaum al-akhir kelak pun hidup tanpa sukma semacam itu akan lebih suram lagi sebagaimana diingatkan Tuhan:

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai" (QS. Al-'Araf/7: 179).

Banyak "orang mati sebelum mati", begitulah kata para sufi dan aulia. Jasad dan sosok tubuhnya sempurna, tapi mati-rasa, mati-pikir, dan mati-nurani. Menjadi manusia-manusia "al-basar", makhluk jasadiah belaka. Tidak sebagai "al-insan", hamba-hamba Tuhan yang mulia dan berperadaban agung. Umar bin Abdul Azis, khalifah nan arif di masa keemasan Islam, dikisahkan sering tak tidur malam dan menangis jelang kematiannya, karena tak ingin dirinya dituntut rakyatnya di akhirat kelak atas amanat yang tak tertunaikan.

Padahal Khaifah dari dinasti Ummayah yang satu ini dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan amanah, sebagaimana Amirul Mukminin Umar bin Khattab semasa hayatnya. Memang, tak mudah menjalani siklus hidup penuh makna dan kemuliaan sebagaimana para penerus risalah Nabi yang utama itu. Tak mudah, bukan berarti tak dapat dilakukan. Kemuliaan dan kesempurnaan hidup adalah mutiara bagi siapa pun yang ingin meraihnya, kendati semua hal di dunia ini selalu terkena hukum nisbi dan tak sepenuhnya ideal. Satu hal yang jelas, jangan biarkan siklus hidup kehilangan makna dan keutamaan. Apalagi mati-suri.