Thursday, August 30, 2007

Ormas Islam


Perlu Visi Sosial Baru untuk Tantangan Kontemporer

Jakarta, Kompas - Perkembangan kondisi sosial masyarakat yang semakin kompleks membuat organisasi massa Islam perlu memiliki visi sosial baru. Pandangan kontemporer ini harus mampu menjawab berbagai tantangan zaman dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Maarif Institute Raja Juli Antoni seusai penutupan "Konferensi Nasional Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan" di Jakarta, Selasa (28/8). Ajaran Islam harus mampu diterapkan pada setiap masa dalam berbagai kondisi masyarakat.

"Nilai Islam yang didasarkan pada pandangan kitab klasik perlu diperbarui dengan analisis sosial mutakhir sehingga mampu menjawab tantangan kontemporer yang semakin kompleks," katanya.

Jika ajaran agama masih diterapkan dalam tataran normatif seperti saat ini, lanjut Antoni, Islam tak akan mampu menyelesaikan berbagai masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami sebagian besar umatnya. Kemiskinan yang dialami masyarakat saat ini memiliki tantangan berbeda dengan kemiskinan pada masa lampau.

Tanpa adanya pembaruan dalam fikih sosial yang menjadi landasan teologis, maka sistem zakat, infak, maupun sedekah hanya akan berfungsi sebagai bantuan sosial kemanusiaan semata. Konsep penyejahteraan umat dan toleransi atas kesejahteraan sosial tersebut tidak akan mampu menghentikan kemiskinan struktural yang telah diwariskan turun-temurun.

Program nyata

Karena itu, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi massa (ormas) terbesar di Indonesia perlu terus mendesakkan program-program nyata dalam penanggulangan kemiskinan. Penganggaran pembangunan yang dilakukan pemerintah dan lembaga legislatif juga perlu dipantau agar anggaran yang ada berpihak pada pemberdayaan masyarakat miskin.

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Marpuji Ali menambahkan, ormas Islam perlu segera melakukan aksi nyata untuk mewujudkan penanggulangan kemiskinan. Namun, yang terjadi, sejumlah ormas justru lupa akan dasar perjuangannya untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Islam telah memberikan panduan untuk mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran. Namun, konsep ini perlu dimodernisasi sesuai kebutuhan saat ini, terutama dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan penanggulangan kemiskinan.

Direktur Program Islam dan Pembangunan The Asia Foundation John Brownlee menegaskan, ormas Islam, terutama NU dan Muhammadiyah, memiliki peran besar dalam mengarahkan perubahan sosial masyarakat. Namun, peran yang dimainkan kedua lembaga tersebut belum memberikan hasil yang optimal.

Kurang efektifnya desakan yang dilakukan ormas Islam dalam mendesakkan anggaran pembangunan pemerintah yang prorakyat disebabkan kurang terbukanya pihak pemerintah.

"NU dan Muhammadiyah, melalui organisasi sayapnya, perlu memainkan peran politiknya sehingga mampu memengaruhi kebijakan pemerintah," ungkap Brownlee. (MZW)

Mengagamakan Politik



Hermanto Harun
Alumni Universitas Al zhar, Mesir, Dosen Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi

Mengupas politik seakan tak menemukan muaranya, karena selalu faktual dan dinamis. Cerita politik juga selalu menggoda untuk dibincangkan, bahkan cukup mendominasi ranah ‘gosip’ di pelbagai media. Hal ini karena politik adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepentingan, dan area yang strategis untuk menyemai kepentingan itu adalah kekuasaan. Maka paradigma politik menjelma menjadi sebuah ungkapan “siapa mendapatkan apa, kapan dan di mana”. Dengan demikian realitas politik sangat paradoks dengan pengertian teori normatifnya.

Dalam realitasnya, perilaku politik dan norma teoretisnya terdapat tabir pemisah. Seakan keduanya berbeda jalan. Paradigma perilaku politik, bagi kebanyakan politisi, mengkristal menjadi kekuasan sebagai tujuan akhir, sehingga tindakan macheavallistik, seperti dusta, menjegal, oportunisme, dan perilaku amoral lainnya menjadi hal biasa, bahkan harus dilakukan demi tercapainya kepentingan. Sedangkan norma teoretis politik hanya menjadikan kekuasaan sebagai perantara untuk mewujudkan nilai ideal sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga, norma politik selalu mengedepankan kamus moral dalam mencapai kekuasaan.

Di sinilah tepatnya ungkapan Al Ghazali bahwa agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan roboh dan yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Ungkapan ini sinkron dengan pendapat Hasan Al Banna. Dalam bukunya Fiqh Al Siyasi, Al Banna menulis bahwa tidak ada kebaikan dalam agama jika menegasikan politik, dan tidak ada kebaikan dalam politik jika meninggalkan agama.

Pernyataan Al Banna tersebut merupakan konklusi dari pemahaman keagamaan yang integral. Baginya, keberagamaan yang benar dan tepat adalah jika agama selalu menjadi mahaguru dan tujuan berpolitik. Namun anehnya, tidak semua Muslim menyadari hal ini. Bahkan ada sekelompok gerakan Islam yang menganggap bahwa politik dan segala perangkatnya, seperti partai, demokrasi dan yang lainnya merupakan hal yang sangat paradoks dengan keinginan norma agama. Pemahaman seperti ini kadang merujuk kepada teks literal agama, dan menjustifikasi bahwa politik menjadi barang 'haram' karena tidak ada dan dilakukan pada zaman Nabi SAW.

Pemahaman dikotomik.
Sebagai akibat dari adanya pengharaman politik bagi sebagian kelompok Islam, maka peradigma politik menjelma menjadi rumus logika politik yang diwarisan kaum penjajah. Rumus logika politik yang dimaksud adalah berpolitik berarti memburu kekuasaan, dengan cara apapun, semuanya mungkin dan legal demi tercapainya tujuan kekuasaan itu. Cara politik seperti ini akhirnya dengan tanpa reserve akan sekaligus menegasikan norma agama. Hingga, adagium yang lumrah terdengar di tengah mayarakat adalah 'jika berpolitik tinggalkanlah agama, dan jika menekuni agama tinggalkanlah politik'.

Pada akhirnya politik dan agama memiliki ‘teritorial’ masing-masing dan di antara keduanya harus terpisah. Para penghuni wilayah agama menjadi nista jika berpolitik dan para politisi lumrah dan seakan tanpa dosa jika meninggalkan norma agama. Walaupun kadang, di ranah kedisinian, agamawan dan politisi sama-sama ‘berkuda’ agama dalam berpolitik, dan sama-sama mempolitisasi agama.

Pemahaman yang salah terhadap politik, sebenarnya telah menggurita dalam benak masyarakat Muslim. Hal ini, menurut penulis, paling tidak karena ada dua faktor. Pertama, realitas perilaku politik sangat sarat akan tamsil dan bukti rill, bahwa orang-orang yang dianggap memiliki label keberagamaan, seperti kiai, ustadz, dan buya seringkali larut dan terperangkap dalam dinamika politik picisan yang serupa dengan orang yang tidak mengetahui norma agama. Sehingga timbul kesan bahwa agamawan dan tidak agamawan menjadi sama saja jika berada dalam ruang politik. Akibatnya, agama menjadi tertuduh sebagai alat legitimasi politik an sich. Agama terfitnah menjadi justifikasi-justifikasi sempit dan terbatas sesuai dengan interpretasi pesan syahwat penggunanya.

Kedua, adanya pengaruh dari pola pikir (ghazwul fikr) yang ditanamkan oleh Barat terhadap dunia Islam. Semboyan agama untuk Tuhan, dan negara untuk semua merupakan ungkapan yang seringkali nyaring didengungkan di tengah dunia Islam. Juga, adagium gereja sebagai pewaris sekularisme yang inti pesannya memisahkan agama dengan negara. Ungkapan 'berikan hak Tuhan kepada Tuhan dan hak kaisar kepada kaisar' merupakan fakta bahwa dogma gereja sangat antipati dengan penyatuan agama dan negara. Walaupun pada keyataan empiriknya, Barat tetap saja menjadikan politik sebagai kendaraan dalam menyemai norma agamanya. Barat selalu saja mengurusi persoalan keagamaan menggunakan otoritas politik negara.

Dua faktor tersebut memberi andil yang signifikan terhadap paradigma politik di pelbagai negara Islam, termasuk di Indonesia. Pemahaman dikotomik terhadap agama dan politik di Indonesia cukup banyak mempengaruhi perjalanan bernegara-bangsa yang akhirnya memberi identitas Indonesia sebagai negara yang netral tarhadap agama. Ujungnya, Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim terbelenggu dalam aturan-aturan hukum yang tidak bersumber dari dogma keimanan Islam. Hasilnya, meskipun Muslim Indoensia mayoritas dalam jumlah tapi minoritas dalam politik.

Partai Islam
Pengertian politik secara leksikal sangatlah sederhana. Dalam ungkapan Arab, istilah politik dibahasakan dengan al siyasah yang berasal dari kata sa-sa yang juga berarti dabbara (mengatur), amara (perintah), naha (larangan). Menurut Abd Aziz Izzat dalam bukunya Al Nizam Al Siyasi fi Al Islam, pengertian politik berarti mengatur persoalan umat dan menjaga kemaslahatannya, dan tidak berarti penyesatan, penipuan dan permusuhan. Dengan demikian, tema sentral politik dalam agama adalah mengatur dan mengarahkan persoalan umat kepada hal yang lebih maslahat sesuai keinginan agama. Di sinilah Ibn Uqail mengungkapkan bahwa perilaku politik harus selalu mendekatkan manusia kepada yang ashlah (right) bukan fasad (disright), meskipun tidak dilakukan Rasul dan tidak dijelaskan secara literal oleh wahyu.

Jika substansi politik demikian, berarti politik memiliki tugas yang sangat mulia, terpuji, dan terhormat, karena berpolitik merupakan bagian dari intrumen keberagamaan dalam merealisasikan ajarannya. Ini artinya, politik menjadi keharusan bahkan kewajiban bagi setiap penganut agama (Islam), karena dalam menerjemahkan ajaran dan titah Tuhan, ada yang mesti menggunakan kekuasaan. Dan cara yang elegan dan konstitusional dalam merangkul kekuasaan itu adalah mutlak dengan politik. Dengan demikian, berpartai merupakan payung legalitas berpolitik. Dalam dunia kontemporer, partai politiklah yang rasional dan faktual merupakan alat perjuangan bagi terwujudkan misi dan cita agama. Bukan justru partai disingkirkan yang akhirnya menjadi tempat berteduh politisi pemuas nafsu perut dan birahi. Fahmi Huwaidi dalam bukunya Al Maqalat Al Mahzurah menulis judul Dharurat Al Hizb Al Islamy (signifikansi partai Islam). Menurut dia ada beberapa argumentasi rasional dalam mewujudkan partai Islam.

Pertama, partai merupakan lembaga yang konstitusional dalam menyalurkan aspirasi politik umat. Kedua, adanya realitas akidah yang mengharuskan seorang Muslim untuk menjalankan kehidupan secara islami. Cara tepat untuk merealisasikannya adalah ketika dipayungi hukum dan undang-undang. Dan partai merupakan bentuk yang bisa mangakomodasi kepentingan ini.

Ketiga, pekerjaan politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemahaman keberagamaan Islam. Seorang Muslim yang benar adalah ketika pengetahuan agama digunakan untuk kehidupan dunianya. Keempat, realitas demokrasi yang tertuang dalam undang-undang yang berdiri atas dasar 'hak mayoritas dan mengakui minoritas'.

Dari beberapa argumentasi tersebut, agaknya sangat rasional untuk menjadikan politik yang berbentuk partai sebagai bagian dari instrumen keberagamaan. Politik dijadikan alat untuk merealisasikan kepentingan dan kemauan agama. Maka menjadi kelaziman bagi seorang Muslim untuk mengagamakan politik, dalam arti menjadikan politik sebagai kuda dalam mewujudkan ajaran agama, bukan justru sebaliknya, menjadikan politik sebagai agama yang segalanya dipolitisasi sesuai selera, termasuk dogma agama. Jika itu yang yang terjadi, maka akhirnya kita hanya menyaksikan drama politik 'iblis' yang berjubah agamawan atau agamawan yang berhati 'iblis'.

Ikhtisar
- Menjauhkan agama dari dunia politik, telah menjadikan politik menjadi hanya dihuni oleh orang-orang yang lemah agamanya.
- Kondisi tersebut kemudian membuat politik menjadi berwajah sangat kotor.
- Realitas menunjukkan bahwa politik menjadi area penting dalam kehidupan, sehingga cukup strategis jika area itu digunakan untuk menegakkan ajaran-ajaran agama.


Saturday, August 25, 2007

"Khilafah" Bukan Sekadar Romantisme

Muhammad Ismail Yusanto

Konferensi Khilafah Internasional 2007 yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia pada 12 Agustus berjalan sangat sukses.

Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Konferensi Khilafah Internasional (KKI) akan menjadi ajang deklarasi pendirian khilafah tidak terbukti karena sejak awal KKI tidak dibuat untuk itu. KKI diselenggarakan hanya sebagai medium guna mengokohkan komitmen menegakkan syariah dan khilafah.

Namun, penilaian Azyumardi Azra (Kompas, 18/8) bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seakan-akan meratapi berakhirnya kekuasaan ke-khilafah-an Turki Utsmani adalah tidak tepat.

Sebagai Juru Bicara HTI, saya berulang kali menegaskan, perhelatan besar ini tidak dimaksudkan untuk mengenang atau memperpanjang kesedihan karena keruntuhan khilafah tidak layak untuk terus diratapi. Dan HTI sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa khilafah yang harus ditegakkan adalah khilafah Ustmaniyah yang dulu berpusat di Turki, tetapi khilafah ’ala minhaji an nubuwah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW dan dipraktikkan para khulafaurrasyidin yang merupakan sahabat utama nabi.

Satu hal penting dicatat, kewajiban menegakkan khilafah bukan didasarkan realitas historis atau kenyataan empiris, tetapi berdasarkan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT dan dan Nabi Muhammad SAW sebagai jalan untuk menerapkan syariah dan mewujudkan ukhuwah.

Sejarah

Namun, bukan berarti fakta sejarah tidak penting. Dari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran, penyimpangan ke-khilafah-an dari tuntunan Al Quran dan as Sunnah pasti akan menimbulkan masalah. Karena itu, khilafah yang kita inginkan adalah khilafah yang menjalankan norma ideal Islam secara konsisten.

Kita mengakui ada penyimpangan yang dilakukan para khalifah pada masa lalu, tetapi tidak berarti sistem khilafah itulah yang salah. Adalah tidak relevan menyalahkan sistem yang ideal hanya dengan melihat kesalahan para pelakunya.

HTI juga tidak pernah menyatakan, seluruh sejarah khilafah adalah baik semua. Ada juga khilafah yang menyimpang dari norma ideal Islam. Namun, kekecewaan terhadap keburukan sebagian khalifah tidak boleh menutupi fakta historis tentang sejarah keemasan khilafah yang lain. Ini jelas bukan merupakan tindakan yang fair.

Banyak sejarawan mencatat secara obyektif kegemilangan khilafah. Will Durant dalam The Story of Civilization, misalnya, menuliskan, para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besar bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah telah menyiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.

Dr Ali Muhammad al-Shalabi dalam kitab al-Daulah al-Utsmaniyah, ‘Awamilu al-Nuhud wa Asbabu al-Suqut dengan jelas menggambarkan peran ke-khilafah-an Utsmani dalam melanjutkan kegemilangan peradaban Islam yang dibangun para khulafa sebelumnya. Maka tak berlebihan bila Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang ke-khilafah-an Utsmani dengan: Imperium Utsmani, lebih dari sekadar mesin militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan iman, budaya, dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari yang dimiliki Imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar.

Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, dunia Islam telah melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya luas, terpelajar, perairannya amat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas dan perpustakaan lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan, dan aspek lain dari sains dan industri, kaum muslimin selalu ada di depan.

Islam di Indonesia

Dalam sejarah pengembangan Islam Indonesia, peran khilafah Ustmaniyah juga amat menonjol. Banyak ulama, termasuk sebagian yang dikenal sebagai Wali Songo, dikirim oleh khalifah. Dia turut membantu kesultanan Aceh melawan penjajah Portugis saat itu. Dalam buku Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar Raniri disebutkan, Kesultanan Aceh menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur dari khilafah Utsmaniyah.

Adalah hak Azyumardi Azra untuk mengatakan, gagasan khilafah harus dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Namun, penggunaan tafsir dari Al Baqarah ayat 30 untuk menolak sistem khilafah perlu dipertanyakan.

Ulama terkemuka mana yang menjadikan ayat ini sebagai dasar penolakan terhadap sistem khilafah? Imam al-Qurthubi dalam buku tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur’an al-Azhim (Juz 1/264) justru menjelaskan sebaliknya tentang ayat ini. Dia menulis, "Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-a’sham (yang tuli) terhadap syariat".

Menyatukan umat Islam memang berat, tetapi bukan utopis. Masalahnya terletak pada kesadaran. Bila muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan di bawah naungan khilafah, upaya penyatuan ini bukan mustahil. Penyatuan ini dimungkinkan karena karakter utama risalah Islam itu sendiri yang ditujukan untuk seluruh umat manusia (kâffat[an] li an-nâsh) dan untuk memberikan kebaikan bagi seluruh alam (rahmat[an] li al-‘âlamîn).

Dalam konteks Indonesia, ide khilafah adalah jalan untuk membawa Indonesia ke arah lebih baik. Syariah akan menggantikan sekularisme yang terbukti memurukkan negeri ini. Ide khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkeram negeri ini dalam berbagai aspek.

Hanya melalui kekuatan global, penjajahan oleh kekuatan kapitalisme global bisa dihadapi dengan cara yang sama. Karena itu, konferensi ini bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dan umat Islam terhadap masa depan Indonesia dan upaya menjaga kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.

Muhammad Ismail Yusanto Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia

Friday, August 24, 2007

Mencermati Konsep Khilafah

  • Oleh A Adib

INTERNATIONAL Khilafah Conference (IKC) atau Konferensi Internasional Khilafah (KIK) 2007 berlangsung serempak di beberapa negara pada 12 Agustus 2007, Rajab 1428 Hijriah. Di Indonesia, IKC dilaksanakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta.

"Saatnya Khilafah Memimpin Dunia". Demikian tema yang diusung untuk mengingatkan seluruh elemen bangsa, khususnya ulama, tentang hal yang dipercaya sebagai warisan Nabi Muhammad saw yang selama ini ditinggalkan, yaitu khilafah.

Mereka yang percaya sistem khilafah beranggapan, Islam tidak hanya menjadi agama semata, namun juga sebagai sistem politik. Era kekuasaan nabi Muhammad diteruskan oleh para Sahabat yang melembagakan sebuah sistem politik yang disebut khilafah.

Umat Islam yang percaya dengan sistem khilafah beranggapan, Nabi -di samping seorang rasul- juga menjadi kepala negara. Ia adalah penguasa tertinggi keagamaan dan politik. Madinah adalah negara pertama Islam di muka bumi ini, dan di dalamnya Islam mencapai bentuk yang sempurna.

Islam tidak hanya menjadi agama semata, namun juga sebagai sistem politik. Itu merupakan era kekuasaan yang diteruskan oleh para sahabat, yang melembagakan sebuah sistem politik yang disebut khilafah sebagai bentuk kekuasaan yang diidealkan untuk meneruskan sistem kekuasaan yang diwariskan oleh Nabi.

Tidak Mewariskan

Bagi sebagian besar umat Islam dunia yang tidak sependapat menyatakan, semua mesti didasarkan pada realitas sejarah. Padahal kenyataannya, sejarah Islam tak mewariskan sistem politik dan kekuasaan yang tunggal.

Ketika membangun masyarakat muslim di Madinah, Nabi tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan. Nabi juga tak pernah berpesan bahwa orang-orang sepeninggalnya harus meneruskan tradisi kekuasaan yang telah ia bangun.

Kalaupun orang-orang sepeninggalnya mengembangkan satu bentuk kekuasaan yang disebut khilafah (orang-orangnya disebut al-khulafa al-rasyidin), itu adalah keputusan politik yang dibuat untuk merespons keadaan pada waktu tersebut.

Bukti bahwa Nabi tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan politik tertentu, dapat dilihat dalam proses pengangkatan keempat khalifah, yang semuanya berkesan ad hoc serta tidak ada model yang secara konsisten diikuti dari waktu ke waktu.

Abu Bakar Shiddiq diangkat secara aklamasi dan demokratis, meski hanya oleh kalangan sahabat muhajirin. Lain halnya dengan Umar bin Khattab yang diangkat melalui wasiat, dan Utsman bin Affan yang diangkat melalui tim formatur yang diprakarsai oleh Umar, serta Ali bin Abi Thalib yang diangkat melalui aklamasi.

Tak mengherankan, jika Abdullahi Ahmad An-Naim, intelektual asal Sudan, bertanya, mana yang disebut sistem khilafah: aklamasi, wasiat, atau formatur. Itu menunjukkan bahwa urusan politik dalam Islam adalah urusan dunia. Nabi sendiri memberi kebebasan untuk berijtihad dengan sabdanya: "Kamu semua lebih mengerti urusan duniamu.'' Dasar itulah, yang dijadikan landasan para sahabat dalam menentukan sistem politik yang sesuai dengan kondisi saat itu, sehingga cara pengangkatan keempat sahabat Nabi pun berbeda-beda.

Lain pula sistem politik pada periode Tabiin setelah periode sahabat. Terjadi perubahan mendasar dalam sistem kekuasaan. Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah mengembangkan sistem dinasti, yakni kekuasaan diwariskan menurut garis keluarga. Tradisi yang dikembangkan oleh generasi sahabat sama sekali ditinggalkan.

Kekuasaan Berubah

Sejarah menunjukkan, dalam Islam bentuk kekuasaan berubah dari masa ke masa. Generasi sahabat mengembangkan cara-cara yang berbeda dari generasi Tabiin, dan demikian seterusnya.

Bentuk-bentuk kekuasaan berubah sesuai dengan kondisi dan situasi. Tidak ada satu bentuk kekuasaan lebih islami dari bentuk lainnya, dalam pengertian bahwa bentuk kekuasaan tertentu berasal dan sesuai dengan Islam, sementara lainnya tidak.

Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa sejak awal Islam tak memperkenalkan satu bentuk kekuasaan. Islam hanya menekankan pentingnya moral dalam kekuasaan.

Menjadi ironis, jika periode dinasti Islam pada kejayaan dinasti Umayyah dan Abbasiyyah -yang berhasil membangun peradaban Islam sebagai peradaban dunia- seringkali dirujuk oleh para pendukung sistem khilafah sebagai puncak dari sistem khilafah Islam.

Padahal, di zaman dinasti Islam, kekuasaan sudah banyak berubah dan terkadang menjadi despotisme yang jelas-jelas bertentangan dengan moral agama. Para khalifah naik ke panggung kekuasaan dengan cara-cara yang tidak terpuji dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Puncak dari despotisme adalah ketika khalifah mengklaim diri sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi. Irulah, ironi ketika sekelompok orang menganggap konsep khilafah sebagai bagian yang paling inheren dari agama, dan konsep tersebut dipercaya sebagai konsep kekuasaan yang diperkenalkan Nabi kepada para Sahabatnya.

Tugas umat, menurut mereka, adalah mengembalikan kekuatan umat yang tercerai berai tersebut ke dalam sistem khilafah. Pandangan seperti itu memunculkan reaksi dan tanggapan, karena tidak sesuai dengan realitas sejarah. Bahkan muncul tuduhan, bahwa konsep khilafah dimunculkan sebagai akibat dari ketidakmampuan sebagian umat Islam dalam menghadapi persaingan dunia saat ini. Mereka pun berusaha melakukan refleksi, namun tidak dibarengi dengan kritisisme yang tinggi.

Sejarah mengajarkan bahwa kejayaan Islam pada masa lalu tidak disebabkan oleh sistem politik tertentu saja, sebab kenyataannya sejarah Islam tak mewariskan sistem politik dan kekuasaan yang tunggal.

Ali Abdurraziq dari Mesir dalam bukunya yang kontroversial Al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bats fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam, menyatakan, Islam sama sekali tidak mengenal sistem khalifah. Sistem khilafah diciptakan oleh orang per orang sepeninggal Nabi saw sebagai ijtihad politik.

Pelajaran paling penting yang diberikan Abdurraziq dalam bukunya itu adalah, bahwa urusan politik dan kekuasaan merupakan urusan dunia, dan urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Agama hanya menjadi moral yang mengontrol jalannya kekuasaan. Islam adalah risalah.

Pada 1924, khilafah Islam di Istambul dengan Sultan Abdul Hamid II sebagai penguasa, secara resmi dihapus oleh Mustafa Kamal Attaturk. Peristiwa itu secara simbolis menghapus sistem khilafah dari dunia Islam.

Setahun kemudian, baik Attaturk maupun Abdurraziq menyadari bahwa sistem khilafah yang pernah menguasai dunia Islam selama 13 abad tidak dapat mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme. Sistem itu harus digantikan dengan rasionalisme.

Itu jelas bukan ironi, karena membuka mata hati dan pikiran umat Islam agar tidak terbelenggu oleh sebuah konsep politik lama untuk berijtihad kembali. Tidak salah dan tidak dosa bagi yang meninggalkan sistem khilafah untuk memilih yang lebih tepat saat ini, seperti Nabi membebaskan para Sahabat melalui sabdanya (yang artinya): " Kamu semua lebih mengerti urusan duniamu.''(68)

--- A Adib, wartawan Suara Merdeka di Jakarta.

Rumah Ibadah dan Korupsi

  • Oleh Sri Mulyadi

UNGKAPAN Uskup Agung Semarang, Ignatius Suharyo yang berbunyi "tempat ibadah bertambah, namun korupsi tidak berkurang", terasa mengelitik, kontras dan tidak nalar. Secara logika, kalau tempat ibadah bertambah tentu identik dengan jumlah umat yang takwa dan memanfaatkan Rumah Tuhan itu juga makin banyak. Dampak selanjutnya tindak korupsi, kekerasan, dan perbuatan lain yang bertentangan dengan ajaran agama akan menurun.

Analogi tersebut di mata umum memang sudah selayaknya. Semangat membangun rumah ibadah merupakan pertanda banyak orang makin memenuhi pangkuan Tuhan, dan kehidupan duniawi disadari makin tidak membawa kebahagiaan sejati.

Namun pada kasus tertentu, bisa jadi justru sebaliknya. Sesuatu yang di mata umum kontradiksi, seperti halnya analogi tempat ibadah dan korupsi tersebut, oleh sekelompok orang dianggap hal yang wajar. Persoalan ibadah tak ada korelasi dengan perbuatan yang oleh orang umum dianggap tercela. Ibadah dianggap sebagai bentuk tanggung jawab umat kepada Sang Pencipta, sementara korupsi sebagai "kewajiban" bagi diri sendiri dan keluarga.

Kok bisa begitu ya? Memang demikianlah kenyataannya. Negeri ini tak cuma mampu menghasilkan orang-orang yang bisa menembus daftar orang kaya di dunia, tetapi warganya juga "kreatif" menemukan dalih pembenar atas tindakan yang menyengsarakan rakyat kecil, egois, serta piawai memutarbalikkan logika.

Di negeri ini juga banyak ditemukan "musang berbulu domba", orang yang berpura-pura berbuat baik namun di balik tindakannya itu terselip niatan jahat. Tak sedikit birokrat atau konglomerat yang kesehariannya nampak santun, dermawan, taat menjalankan perintah agama, di sisi lain adalah koruptor atau penjarah uang rakyat.

Dalam hal pembangunan tempat ibadah atau kegiatan sosial lain, mereka kadang tampil di barisan paling depan sebagai donatur. Demi menghasilkan "potret diri" yang bersih, uang berapa pun bukanlah masalah. Ujung-ujungnya tindakan masyarakat juga menjadi terbalik, ada sanksi sosial yang luar biasa terhadap pencuri kelas teri. Tapi terhadap koruptor kakap, kadang malah lolos dari jerat hukum, entah karena fakta diputarbalikkan, lewat penyuapan, koneksi, atau ada faktor lain.

Muaranya, bisa saja terjadi sesuatu yang "ganjil". Tindakan membangun rumah ibadah yang begitu menggebu, tak seiring dengan semangat untuk berbuat sesuatu lewat kegiatan yang bermanfaat bagi banyak orang. Golongan ini sering "berlindung" di balik ungkapan "barang siapa membangun Rumah Tuhan, maka Tuhan akan membangun buat dia sebuah istana di surga."

***

Dengan "menelan mentah" kalimat itu mereka seolah ditantang, sehingga berlomba membangun rumah ibadah. Mereka tak mau tahu bahwa tempat ibadah hanya sarana untuk menjalankan perintah agama, mendekatkan diri pada Tuhan, menyebarkan ajaran agama, berhimpun demi berbuat kebajikan, dan sebagainya, yang muaranya pada kebaikan sesama.

Mereka sengaja tak mau menyadari bahwa korupsi meraup hak orang lain. Makin menyengsarakan orang miskin karena uang negara tergerogoti, merusak sistem ekonomi, sistem perekonomian negara akan kacau, bahkan dapat merusak apa saja. Kelompok jenis ini seolah lupa bahwa menggunakan harta hasil korupsi untuk membangun tempat ibadah, menurut Teten Masduki, aktivis Indonesian Corruption Wacth (ICW), termasuk pendusta agama. Mereka tak hanya berdosa di mata Sang Pencipta, namun juga dosa terhadap sesama, yang cuma bisa diampuni jika yang bersangkutan dimaafkan oleh orang yang dizalimi.

Sayangnya, perkembangan akhir-akhir ini justru orang yang menjalankan ajaran agama dengan benar, jujur, ringan tangan, disiplin, mendahulukan kepentingan orang banyak dibanding keluarga atau kelompok, malah dianggap "nyeleneh". Dituduh cari muka, sok suci, sok alim, sok pahlawan, dsb.

Rakyat pun masih saja bermimpi, betapa indahnya wajah Ibu Pertiwi seandainya pernyataan Uskup Agung Semarang, Ignatius Suharyo menjadi berbanding lurus. Artinya, semangat membangun rumah ibadah seiring dengan semakin menjamurnya umat yang peduli akan kemiskinan, pengangguran, keteraniayaan kaum marginal. Mengedepankan gotong royong, memberantas korupsi, menghindari kemurkaan, egois, ketergantungan pada negara lain.

Jurang antara si miskin dan orang kaya juga tak makin curam. Orang pun akan menyadari bahwa tindakan korupsi, menyuap aparat, mempermainkan aturan, hukum, mengutamakan kepentingan golongan, akan merusak segala sendi kehidupan di negeri ini. Musang berbulu domba tak ada lagi, yang bermunculan musang ya berbulu musang. Jati diri bangsa ini tak lepas dari fondasinya, Pancasila. (11)

-- Sri Mulyadi, wartawan Suara Merdeka di Semarang

Rumah Ibadah dan Korupsi

  • Oleh Sri Mulyadi

UNGKAPAN Uskup Agung Semarang, Ignatius Suharyo yang berbunyi "tempat ibadah bertambah, namun korupsi tidak berkurang", terasa mengelitik, kontras dan tidak nalar. Secara logika, kalau tempat ibadah bertambah tentu identik dengan jumlah umat yang takwa dan memanfaatkan Rumah Tuhan itu juga makin banyak. Dampak selanjutnya tindak korupsi, kekerasan, dan perbuatan lain yang bertentangan dengan ajaran agama akan menurun.

Analogi tersebut di mata umum memang sudah selayaknya. Semangat membangun rumah ibadah merupakan pertanda banyak orang makin memenuhi pangkuan Tuhan, dan kehidupan duniawi disadari makin tidak membawa kebahagiaan sejati.

Namun pada kasus tertentu, bisa jadi justru sebaliknya. Sesuatu yang di mata umum kontradiksi, seperti halnya analogi tempat ibadah dan korupsi tersebut, oleh sekelompok orang dianggap hal yang wajar. Persoalan ibadah tak ada korelasi dengan perbuatan yang oleh orang umum dianggap tercela. Ibadah dianggap sebagai bentuk tanggung jawab umat kepada Sang Pencipta, sementara korupsi sebagai "kewajiban" bagi diri sendiri dan keluarga.

Kok bisa begitu ya? Memang demikianlah kenyataannya. Negeri ini tak cuma mampu menghasilkan orang-orang yang bisa menembus daftar orang kaya di dunia, tetapi warganya juga "kreatif" menemukan dalih pembenar atas tindakan yang menyengsarakan rakyat kecil, egois, serta piawai memutarbalikkan logika.

Di negeri ini juga banyak ditemukan "musang berbulu domba", orang yang berpura-pura berbuat baik namun di balik tindakannya itu terselip niatan jahat. Tak sedikit birokrat atau konglomerat yang kesehariannya nampak santun, dermawan, taat menjalankan perintah agama, di sisi lain adalah koruptor atau penjarah uang rakyat.

Dalam hal pembangunan tempat ibadah atau kegiatan sosial lain, mereka kadang tampil di barisan paling depan sebagai donatur. Demi menghasilkan "potret diri" yang bersih, uang berapa pun bukanlah masalah. Ujung-ujungnya tindakan masyarakat juga menjadi terbalik, ada sanksi sosial yang luar biasa terhadap pencuri kelas teri. Tapi terhadap koruptor kakap, kadang malah lolos dari jerat hukum, entah karena fakta diputarbalikkan, lewat penyuapan, koneksi, atau ada faktor lain.

Muaranya, bisa saja terjadi sesuatu yang "ganjil". Tindakan membangun rumah ibadah yang begitu menggebu, tak seiring dengan semangat untuk berbuat sesuatu lewat kegiatan yang bermanfaat bagi banyak orang. Golongan ini sering "berlindung" di balik ungkapan "barang siapa membangun Rumah Tuhan, maka Tuhan akan membangun buat dia sebuah istana di surga."

***

Dengan "menelan mentah" kalimat itu mereka seolah ditantang, sehingga berlomba membangun rumah ibadah. Mereka tak mau tahu bahwa tempat ibadah hanya sarana untuk menjalankan perintah agama, mendekatkan diri pada Tuhan, menyebarkan ajaran agama, berhimpun demi berbuat kebajikan, dan sebagainya, yang muaranya pada kebaikan sesama.

Mereka sengaja tak mau menyadari bahwa korupsi meraup hak orang lain. Makin menyengsarakan orang miskin karena uang negara tergerogoti, merusak sistem ekonomi, sistem perekonomian negara akan kacau, bahkan dapat merusak apa saja. Kelompok jenis ini seolah lupa bahwa menggunakan harta hasil korupsi untuk membangun tempat ibadah, menurut Teten Masduki, aktivis Indonesian Corruption Wacth (ICW), termasuk pendusta agama. Mereka tak hanya berdosa di mata Sang Pencipta, namun juga dosa terhadap sesama, yang cuma bisa diampuni jika yang bersangkutan dimaafkan oleh orang yang dizalimi.

Sayangnya, perkembangan akhir-akhir ini justru orang yang menjalankan ajaran agama dengan benar, jujur, ringan tangan, disiplin, mendahulukan kepentingan orang banyak dibanding keluarga atau kelompok, malah dianggap "nyeleneh". Dituduh cari muka, sok suci, sok alim, sok pahlawan, dsb.

Rakyat pun masih saja bermimpi, betapa indahnya wajah Ibu Pertiwi seandainya pernyataan Uskup Agung Semarang, Ignatius Suharyo menjadi berbanding lurus. Artinya, semangat membangun rumah ibadah seiring dengan semakin menjamurnya umat yang peduli akan kemiskinan, pengangguran, keteraniayaan kaum marginal. Mengedepankan gotong royong, memberantas korupsi, menghindari kemurkaan, egois, ketergantungan pada negara lain.

Jurang antara si miskin dan orang kaya juga tak makin curam. Orang pun akan menyadari bahwa tindakan korupsi, menyuap aparat, mempermainkan aturan, hukum, mengutamakan kepentingan golongan, akan merusak segala sendi kehidupan di negeri ini. Musang berbulu domba tak ada lagi, yang bermunculan musang ya berbulu musang. Jati diri bangsa ini tak lepas dari fondasinya, Pancasila. (11)

-- Sri Mulyadi, wartawan Suara Merdeka di Semarang

Thursday, August 23, 2007

Poligami Justru Jadi Penyebab Perceraian


Jakarta-RoL-- Pemerintah membantah anggapan bahwa poligami dilakukan untuk menghindari terjadinya perceraian.

Dalam sidang uji materiil UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, Pemerintah yang diwakili oleh Dirjen BIMAS Islam Departemen Agama, Nasyaruddin Umar, menyajikan data yang menunjukkan poligami justru menjadi salah satu penyebab utama perceraian.

Menurut catatan dari Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, pada 2004, menurut Nasyaruddin, terjadi 813 perceraian akibat poligami. Pada 2005, angka itu naik menjadi 879 dan pada 2006 melonjak menjadi 983.

"Data-data ini menunjukkan, poligami justru melanggengkan dan menyebabkan perceraian. Poligami jadi penyebab utama bubarnya suatu perkawinan," kata Nasyaruddin.

Poligami pun, lanjut dia, juga menyebabkan terlantarnya perempuan dan anak-anak. Syarat ijin istri yang harus diperoleh seorang pria untuk berpoligami seperti yang diatur dalam UU Perkawinan, kata Nasyaruddin, dimaksudkan untuk menghindari dampak buruk akibat poligami.

UU Perkawinan, lanjut dia, sama sekali tidak menutup pintu untuk berpoligami. Namun, hanya mengatur syarat-syaratnya. Pengadilan Agama, jelas Nasyaruddin, sampai saat ini cukup banyak mengeluarkan ijin berpoligami, yang menunjukkan bahwa UU Perkawinan masih membuka jalan bagi seorang pria untuk memiliki istri lebih dari satu sepanjang memenuhi syarat yang telah ditentukan.

Pada 2004, Pengadilan Agama mengeluarkan 800 ijin poligami dari 1016 permohonan. Pada 2005, 803 ijin dari 989 permohonan, dan pada 2006 776 ijin dari 1148 permohonan. Sementara itu, ahli dari Pemerintah, Quraish Shihab, menjelaskan, tujuan perkawinan menurut Islam adalah agar seseorang mendapatkan ketenangan.

Apabila seseorang menginginkan di luar itu, lanjut dia, maka sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan perkawinan. Menurut dia, UU Perkawinan yang tetap membuka jalan bagi poligami namun dengan syarat yang ketat, sudah sejalan dengan ajaran Islam.

Ahli lain dari Pemerintah, Hujaemah T Yanggo, menjelaskan, sesuai dengan tafsir Imam Syafii, poligami hanya boleh dilakukan apabila seorang pria dapat berlaku adil dan mampu untuk menghidupi istri-istrinya.

Ia juga mengutip data Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan.

Saat ini, kata Hujaemah, jumlah laki-laki sebanyak 50,2 persen, sebanding dengan jumlah perempuan sebesar 49,2 persen. Berdasarkan data itu, ia melanjutkan, poligami yang seringkali dikatakan dilakukan untuk mengatasi jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki, sama sekali tidak beralasan.

"Dari jumlah perempuan yang 49,2 persen itu, banyak didominasi oleh janda cerai dan yang ditinggal mati suaminya. Jadi, kalau mau poligami, lebih baik dengan janda-janda itu, jangan dengan perempuan belum menikah," tuturnya. Uji materiil UU Perkawinan diajukan oleh M Insa, yang menganggap

pasal-pasal yang mengatur syarat untuk berpoligami seperti harus ada ijin istri dan Pengadilan Agama, merugikan hak konstitusionalnya guna beribadah dan membentuk keluarga melalui poligami yang sah. antara/abi

Tuesday, August 21, 2007

Hijrah dan Rahbaniyyah

KH. Jalaluddin Rakhmat

“Pada suatu hari,” kata Abdullah ibnu Mas’ud, “aku sedang menyertai Rasulullah saw yang sedang mengendarai keledainya. Ia memanggilku: ‘Hai Ibnu Ummi ‘Abd, tahukah kamu dari mana Bani Israil mengadakan tradisi kependetaan?’ Aku menjawab: ’Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Ia bersabda lagi: ‘Setelah Nabi Isa as, muncullah para tiran.’

Mereka melakukan penentangan kepada Allah. Orang-orang yang beriman marah. Mereka memerangi para tiran itu, tetapi kalah, sampai tiga kali. Tidak tersisa dari orang-orang beriman itu kecuali sedikit saja. Mereka berkata: ‘Perlawanan kita terhadap mereka telah membinasakan kita. Nanti tidak tersisa lagi seorang pun yang memanggil manusia kepada agama. Marilah kita berpisah dan menyebar di bumi sampai Allah membangkitkan seorang Nabi yang dijanjikan kepada Isa as, yakni Muhammad saw.’

Mereka tersebar di gua-gua pegunungan. Mereka adakan kependetaan. Sebagian di antara mereka berpegang teguh pada agamanya; sebagian lagi menjadi kafir. Kemudian Rasulullah saw membaca ayat: Dan kependetaan yang mereka adakan tidaklah Kami wajibkan atas mereka. Sampai akhir ayat. Kemudian beliau bersabda: ‘Hai Ibnu Ummi ‘Abd, tahukah kamu kependetaan umatku?’ Aku berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Ia bersabda: ‘Hijrah, jihad, salat, puasa, haji, dan umrah.’” (Tafsir Mizan 19:182).

Setiap agama mengenal sejumlah tradisi yang dilakukan para pengikutnya semata-mata untuk menyembah Tuhan. Mereka mempersembahkan seluruh harta dan jiwanya untuk Tuhan. Tradisi ini dijalankan secara konsisten dan terus menerus oleh sekelompok pengikut yang sangat saleh dan secara temporer oleh pengikutnya yang lain. Tradisi ini disebut kependetaan, rahbaniyyah.

Pada agama Budha, setiap pengikut dianjurkan selama beberapa waktu menjalankan kehidupan sebagai pendeta. Mereka meninggalkan keluarganya, hidup sederhana, beribadat siang dan malam, dan menyerahkan seluruh perilakunya kepada Tuhan. Mereka tinggal di biara. Pada agama Kristen, menurut Rasulullah saw, tradisi kependetaan dimulai sejak umat Kristiani dikejar-kejar, dibunuh, dan ditindas. Untuk menyelamatkan agama, sebagian di antara pemeluk Kristen masuk ke gua-gua mempraktikan jalan kesucian. Setelah Islam datang, tradisi kependetaan ini dijalankan dalam hijrah, jihad, salat, puasa, haji, dan umrah.

Ciri utama semua ibadat yang bersifat rahbaniyyah adalah kebergantungan kepada Allah saja dan keterlepasan dari apa pun dan siapa pun selain Dia. Yang pertama disebut al-inqitha’ ilallah dan yang kedua al-iqitha’ ‘an man siwah.
Ketika orang melakukan haji dan umrah, ia meninggalkan tanah airnya dan segala urusan di dalamnya. Ia melepaskan pekerjaannya. Ia melepaskan keluarganya. Ia melepaskan kekayaannya. Selama periode haji, kepentingannya hanya satu: menjalankan semua kehendak Allah. Pada waktu puasa, seorang muslim mengendalikan hawa nafsunya dan menundukkannya kepada kehendak Allah. Kepada siapa saja yang melakukan salat, Nabi berpesan: “Salatlah kamu seperti salat orang yang berpisah dengan dunia ini.”

Seperti haji dan umrah, dalam hijrah dan jihad kita harus meninggalkan rumah kita dan bergerak menuju Allah dan Rasul-Nya. Rumah kita itu dapat berupa pekerjaan kita, kekayaan kita, kedudukan kita, kekuasaan kita, juga ambisi dan kepentingan kita. Secara singkat, rumah kita adalah Ego (yang saya tulis dengan huruf besar) kita. Anda belum berhijrah bila Anda hidup seperti kerang yang membawa rumahnya ke mana pun ia bergerak.

Ketika Nabi saw berhijrah, para sahabat menyusulnya. Ada di antara mereka yang berangkat ke Madinah tidak untuk menyusul Nabi, tapi untuk menemui pacarnya. Ada juga yang berangkat karena pertimbangan bisnisnya. Mereka bergerak, tapi tidak menanggalkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Mereka menempuh perjalanan panjang sambil memikul egonya. Kelak pada hari akhirat, ada seorang pejuang menyatakan bahwa hidupnya sudah dipersembahkan untuk menegakkan agama. Tuhan berkata: “Kamu bohong, kamu berjuang untuk disebut sebagai pemberani.” Ia diseret pada wajahnya dan dilemparkan ke neraka. Ia sudah berjihad, tetapi dalam jihadnya ia gagal melepaskan egonya.

Setiap tahun, kita memperingati peristiwa hijrah. Kita dianjurkan untuk berhijrah. Pada saat yang sama, kita juga diperintahkan untuk jihad. Keduanya diajarkan Nabi saw untuk melanjutkan perjuangan menentang tirani. Bukan pergi ke gua, umat Muhammad saw harus mengibarkan bendera perlawanan dan menancapkannya di medan perang. Tetapi hijrah dan jihad harus ditegakkan di atas kependetaan, yakni melepaskan ego kita.

Anda sudah bertekad menentang tirani dan menegakkan pemerintahan yang adil dan bersih. Mengapa kini Anda sibuk memenangkan kelompok Anda, dengan berbagai manuver, termasuk dengan bekerja sama dengan sistem yang zalim? Anda sudah berniat memperjuangkan Islam. Mengapa Anda menyerang sesama muslim, menyebarkan aibnya, untuk menonjolkan diri Anda sendiri? Mengapa kini Anda meletakkan kepentingan kelompok Anda, bahkan kepentingan pribadi Anda, di atas kepentingan Islam dan kaum muslimin?

Anda sudah berhijrah, berjihad, tetapi Anda tidak melepaskan ego Anda. Hijrah dan jihad Anda kehilangan roh rahbaniyyah-nya. Kita sudah lama kehilangan roh dalam salat, puasa, haji, dan umrah kita. Dan kini kita kehilangan hijrah dan jihad kita. Tuhan, ampunilah kami!

Mencari Islamisme ideal


KH Prof.Dr. Jalaluddin Rakhmat


Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jumaat malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.

Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dngan ucapan yang tidak disangka-sangka berikut ini.

“Akhirnya, kita tidak dapat lupa - dan ini benar-benar penting - bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami - di mana pun di dunia ini - dan menggantinya dengan pemerintahan Islam.”


“Hisyam!” Saya mencela. “Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?!”

Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. “Ya,” dia berkata, “Ya, itu benar.”

Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa “absurdnya” gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. “Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim – menurut agama mereka - berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, , Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal, ” kata Dr. Lang selanjutnya. Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang. Ia mencuba mencari sejak bila wacana ini muncul dan apa alasannya.

Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb

Dari penelitiannya yang panjang, bukan sebagai orientalis tetapi sebagai pengamat partisipan, ia memperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, ide “negara Islam” – al-dawlah al-islamiyyah - bermula dari keinginan untuk menjalankan syariat Islam dalam konteks sosial politik umat Islam kontemporer. Kedua, ide negara Islam ditunjang oleh konsep klasik dar al-Islam dan dar al-harb. Dunia ini dibagi dua. Satu bahagian dunia di perintah dengan syariat Islam dan sisanya diperintah oleh aturan bukan ajaran Islam. Dalam bahasa Sayyid Quthub, dalam bukunya yang sangat revolusioner, Ma’alim fi al-Thariq, satu bahagian hidup dalam lindungan al-nizham al-Islami, dan bahagian lain dalam al-nizham al-jahili. Dr. Lang merumuskannya dengan bagus:

Formulasi hukum politik ini memisahkan dunia menjadi dua wilayah yang tidak ada sangkut-pautnya; dar al-Islam, negara yang diperintah oleh kaum Muslim menurut syariah (hukum Islam), dan dar al-harb, negara yang tidak di bawah kendali orang Muslim yang mana harus di tundukkan dengan jalan, kalau perlu, penaklukkan, supaya tunduk di bawah pemerintahan Islam. Menurut teori ini, keadaan perang yang terus menerus terjadi antara wilayah Muslim dan non-Muslim. Banyak orang dalam dunia akademia dan media Barat menyatakan bahwa teori ini memperlihatkan karakter Islam yang suka perang.

Menurut teori Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb (untuk selanjutnya saya sebut DIH), kita harus terus menerus dalam situasi berperang sebelum seluruh dunia ini diperintah oleh syariat Islam. Untuk itu, yang menjadi alasan utama adalah ayat Al-Quran surat Al-Taubah ayat 5, terkenal sebagai ayat pedang: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam penelitian Dr. Lang, semua ayat yang berkenaan dengan perang menyiratkan bahwa Islam memperkenankan peperangan hanya untuk mempertahankan diri atau membela korban-korban kesewenang-wenangan dan penindasan. Bahkan ayat pedang yang baru saja disebut, berkenaan dengan Perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh orang-orang musyrik. Sebahagian besar para ulama tafsir menyebutkan ayat pedang sebagai ayat yang “bertentangan” dengan ayat-ayat perintah perang dengan tujuan mempertahankan diri atau menentang penindasan. Untuk mengatasi “pertentangan” ini, dikemukakanlah teori nasikh-mansukh. Ayat-ayat yang melarang agresi ketenteraan (QS. Al-Baqarah; 191-193; QS. Al-Baqarah; 256; QS. Al-Nisa; 91; QS. Al-Anfal; 61), dimansukh oleh QS. Al-Taubah; 5. Dr. Lang mengutip teori nasikh-mansukh ini dari salah seorang aktivis, Muhammad Abdul Salam Faraj, yang di hukum gantung pada tanggal 15 April 1982 bersama dengan kelompok yang dituduh membunuh Presiden Anwar Sadat. Ia menulis dalam ‘kewajiban yang di lalaikan’:

Kebanyakan ahli tafsir menyatakan pendapat tertentu tentang ayat yang mereka sebut ayat pedang (QS. Al-Taubah; 5). Inilah ayat itu: “Apabila telah usai bulan-bulan haram itu, bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu menjumpai mereka, tangkap mereka, kepung mereka, dan sergap mereka.”

Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya: Al-Dahak ibn Muzahim berkata, “(Ayat ini) membatalkan perjanjian, kontrak, dan kesepakatan apa pun antara Nabi dan orang kafir.” Al-‘Ufi berkata tentang ayat ini, “Menurut Ibn ‘Abbas: Tidak ada persetujuan, tidak ada fakta pertahanan dengan orang-orang kafir yang dikenal setelah diturunkannya perintah pembatalan tuntutan kewajiban yang ditetapkan oleh perjanjian itu.”

Mufassir Muhammad ibn Ahmad ibn Juzzay Al-Kalbi berkata, “Pembatalan perintah untuk berdamai dengan orang-orang kafir, memaafkan mereka, berhubungan dengan mereka secara pasif, dan mentoleransi penghinaan-penghinaan mereka adalah sebelum perintah memerangi mereka. Oleh karena itu, tampaklah berlebihan jika pembatalan perintah hidup dengan damai bersama orang-orang kafir diulang dalam setiap bacaan Al-Quran. Perintah hidup secara damai dengan mereka disampaikan dalam 114 ayat yang tersebar di 54 surat. Semua ayat itu dihapuskan oleh ayat QS. Al-Taubah; 5 dan QS. Al-Baqarah; 216 (Ayat: Diwajibkan atas kamu untuk berperang).

Argumentasi nasikh-mansukh ini sudah kita ketahui sangat rentan kritik. Pertama, semua hadis yang dijadikan dalil nasikh-mansukh terhitung hadis yang lemah. Kedua, banyak pertentangan di antara para ulama tentang ayat yang dinasakh, dan dengan ayat mana ia dinasakh. Ketiga, formula teori nasikh-mansukh ini juga di ikhtilafkan di antara para ulama ‘Ulum Al-Quran. Keempat, nasikh-mansukh dikemukakan untuk “mendamaikan” ayat-ayat yang bertentangan; padahal Al-Quran sendiri menegaskan tidak ada pertentangan di dalamnya dan “akhirnya” menurut Dr. Lang, “Teori nasikh-mansukh ini kelihatannya mendakwa bahwa Tuhan menurunkan informasi yang berlebih dan dalam wahyu terakhir pada umat manusia sehingga Dia harus sering-sering menilai sendiri selama proses penyampaiannya. Persepsi ini sangat sulit di sesuaikan dengan gambaran Al-Quran tentang Tuhan. Tidak mengherankan cukup banyak muallaf Islam memberi tahu saya bahwa mereka betul-betul kaget dan keimanannya sangat tergoncang ketika pertama kali menemukan teori ini.”

Pemerintahan Khilafah

Kita tinggalkan Dr. Lang dan mencoba memahami teori “negara Islam” ini dari apa yang disebut oleh Eickelman dan Piscatori sebagai konsep baru yang dimunculkan para pemikir Islam abad kedua-puluh untuk “reinventing tradition.” Negara Islam dapat dihubungkan dengan sistem khalifah, yang merujuk pada pemerintahan Khulafa Al-Râsyidin. Sistem khalifah adalah tradisi pertama dalam menerapkan syariat Islam pada kehidupan bernegara. Abu Al-Hasan Al-Mawardi (991-1058) merumuskan konsep khilafah ini dalam makalahnya yang terkenal Kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Menurut Al-Mawardi, pemerintah Islam diperlukan untuk melaksanakan syariat Islam. Adalah pembaharu Islam dari Mesir, Sayyid Rasyid Ridha, yang menghubungkan sistem khalifah ini dengan konsep negara Islam. Ia melihat sistem khilafah yang dijalankan oleh empat khalifah yang pertama sebagai contoh ideal pemerinatahan Islam. Hukumat Al-Khilafah adalah al-khilafah al-Islamiyyah. Karena tidak mungkin kita menghidupkan kembali sistem khilafah, kita aplikasikan sistem khilafah pada negara Islam modern.

Sudah banyak kritik pada sistem khilafah ini. Tidak mungkin tulisan singkat ini meliput semua argumentasinya. Saya hanya akan menyampaikan pokok-pokok argumentasi terhadap sistem khilafah. Pertama, sistem pemerintahan khulafa al-rasyidin itu – bila mempelajari tarikh agak mendalam - tidaklah seideal seperti yang digambarkan. Saya takut menyebutkan contoh-contohnya karena pembaca akan menganggap saya “menyerang kesucian para sahabat Nabi”. Cukuplah saya mengutip lagi, pernyataan Munawir Sadzali, yang menyebut sahabat Nabi itu sebagai “political animals”. Kedua, di antara para khalifah itu sendiri terdapat perbedaan sistem pemerintahan. Misalnya, dalam hal pengangkatan ketua pemerintahan. Abu Bakar dipilih melalui perhimpunan singkat dan tergesa-gesa –menurut Umar bin Khaththab “faltah”- di Saqifah Bani Sa’idah. Tidak semua yang hadir dalam rapat itu setuju dengan pemilihan Abu Bakar. Umar diangkat melalui surat semacam “Supersemar” oleh Abu Bakar ketika ia sakit. Surat itu sendiri ditulis oleh Utsman yang kemudian menisbahkan surat itu kepada Abu Bakar tanpa seorang saksi pun. Utsman ditunjuk oleh Dewan Pembentukan yang semua anggotanya diangkat oleh Umar menjelang kematiannya. Ali diangkat atas desakan penduduk Madinah yang baru saja mengalami kerusuhan karena pembunuhan Utsman. Sebagai tambahan, tidak perlu disebutkan bahwa setiap khalifah yang empat itu memerintah dengan gaya yang berbeda.

Kedua, secara historis sistem khilafah ini tidak pernah dijadikan rujukan pemerintahan, kecuali ketika Utsmaniyyah mengalami keruntuhan pada abad XVIII dan XIX. Penguasa Utsmaniyyah ingin memberikan legitimasi kepada kekuasaannya dengan menemukan kembali tradisi khilafah. Disebarkan juga cerita bahwa sebelum kejatuhannya, khalifah terakhir Abbasiyyah menitipkan khilafah kepada Usmaniyyah, dengan begitu dibuatlah silsilah sampai kepada Rasulullah saw. “There were obvious political reasons why Ottoman sultans of the age of decline reformulated an appropriated the classical theory of the caliphate,” kata Halil Inalcik dalam The Cambridge Historical Islam.

Ketiga, berkaitan dengan fungsi khilafah sebagai pelaksana syariat Islam, kita melihat apa yang disebut sebagai syariat Islam itu berubah-ubah sepanjang sejarah. Pada pemerintahan reformasi Ottoman – tanzimat 1839-1876 – dibuat perundangan tentang hukum pidana dan dagang di Eropah. Di Mesir, undang-undang tentang waqaf dirumuskan berbeda dengan ketentuan waqaf seperti ada pada kitab-kitab fiqih klasik. Bahkan Arab Saudi, yang terkenal konservatif, telah mengundang-undangkan The Social Insurance Law, yang berbeda dengan fiqih klasik tentang faraidh. Di Iran sekarang telah terjadi banyak perundangan baru yang dianggap bagian dari syariat Islam, tetapi berbeda dengan kompendium fiqih klasik. Walhasil, dakwaan bahwa syariat Islam tidak berubah-ubah memerlukan pemikiran lagi kita semua.

Wilayat Al-Faqih

Dari khazanah Ahlus Sunnah, kita berpindah ke khazanah Syiah. Konsep negara Islam dirumuskan oleh Imam Khomeini dalam wilayat al-Faqih. Saya juga tidak akan mengulang kembali konsep ini yang sudah saya tulis pada tempat lain. Pada pokoknya, para fuqaha adalah orang yang melanjutkan kepemimpinan para Nabi dari para imam. Konsep wilayat al-Faqih ini sedang dan telah mengalami modifikasi berkali-kali. Kita dapat membuat rentangan konsep ini dari dalam spektrum dari statis ke populis. Wilayat al-Faqih Syaikh Jawad Mughniyyah sangat populis; sedangkan wilayat al-Faqih dari Ayatullah Khayri sangat statis.

Walaupun konsep ini lahir dari ijtihad ulama Syiah, di kalangan Ahlus Sunnah pun kita melihat kecenderungan untuk mengartikan negara Islam sebagai negara yang diperintah oleh ahli fiqih. Anda dapat menemukan konsep ini bahkan pada konsep politik dari para ulama Partai Islam SeMalaysia (PAS), setelah memenangkan pemilu kebelakangan ini. Syariat tidak lain daripada ketentuan hukum sebagaimana dirumuskan oleh para ulama.. Saya agak ngeri membayangkan hidup dalam pemerintahan Islam seperti ini di . Para ulama mungkin sepakat untuk memutuskan bahwa saya murtad, dan karena itu harus dihukum mati. Atau, seperti , saya akan ditembak karena tidak berjanggut.

Kesatuan Al-Din dan Al-Dawlah

Imam Khomeini, seperti juga para pemikir Islam lainnya, menegakkan argumentasi tentang negara Islam pada ketidak-terpisahan antara agama dan negara dalam Islam. Bukankah sangat aneh bila Islam yang mengatur kaki mana yang masuk ke tandas tetapi tidak mengatur negara; padahal negara sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Kesatuan antara al-din dan al-dawlah juga sering di nisbahkan kepada Nabi saw yang menghimpun dalam dirinya kekuasaan spiritual dan politik sekaligus.

Pada prinsipnya, saya setuju dengan kesatuan agama dan negara; namun tidak dalam pengertian keharusan mendirikan negara agama Islam. Saya sependapat dengan kesatuan the religious dan the political; tetapi tidak dalam bentuk Islamic State. Dalam makalah ini saya tidak akan memperincikan bentuk alternatif ini kecuali sekadar menegaskan bahwa keterlibatan Islam dalam politik harus ditujukan untuk menegakkan keadilan, menentang tirani, membela mustadhafin, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia. Pada bagian terakhir ini, saya juga hanya ingin menyampaikan beberapa kesukaran untuk mempertahankan konsep kesatuan agama dan negara sebagai karakteristik khas ajaran Islam (saya merujuk kepada Eickelman dan Piscatori lagi dalam Muslim Politics).

Pertama, tidak adanya pemisahan antara urusan negara dengan urusan agama bukan hanya khas Islam. Moral Majority di Amerika, teologi pembebasan di negara-negara Amerika Latin, aktivis Sikh di India, pendeta Budha di Myanmar dan Vietnam, semua berpendapat bahwa urusan negara tidak dapat dipisahkan dari urusan agama. Kedua, karena agama tidak dapat dipisahkan dari politik maka seluruh kehidupan menjadi sangat politis. Muatan politik yang mencakup berbagai kegiatan muslim menyebabkan umat Islam tidak mampu dan tidak merasa perlu membangun struktur politik. Ketiga, penegasan kesatuan ini menegaskan persepsi kaum orientalis bahwa politik Islam, berbeda dengan politik yang lain adalah politik yang tidak rasional, emosional, tak terkendalikan dan sulit diramalkan. Kembali kepada cerita Dr. Lang, orang yang menganut fahaman negara Islam memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama kekerasan, agama agresif, agama yang tidak dapat diajak berdamai.

Kesimpulan

Saya tidak punya kesimpulan apa pun. Tulisan ini dibuat tidak sebagai tulisan ilmiah. Ia hanyalah kumpulan coretan dan renungan saya selama ini. Saya tidak tahu apakah hasil refleksi ini konstruktif atau destruktif. Yang pasti, pandangan saya dalam tulisan ini sudah berbeda jauh dengan pandangan politik saya sebelumnya. Terserah kepada anda untuk menerima atau menolaknya. Jika anda ikut merenungkan kembali pandangan anda sebelumnya, anda sudah bergabung bersama saya. Tidak dalam partai politik, tetapi dalam “reinventing traditions.”


Nota: Makalah Jalaluddin Rakhmat ini merupakan hasil dari sebuah diskusi di Kelab Kajian Agama Paramadina, Jakarta, 20 Oktober 2000.


KH Prof.Dr. Jalaluddin Rakhmat


Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jumaat malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.

Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dngan ucapan yang tidak disangka-sangka berikut ini.

“Akhirnya, kita tidak dapat lupa - dan ini benar-benar penting - bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami - di mana pun di dunia ini - dan menggantinya dengan pemerintahan Islam.”


“Hisyam!” Saya mencela. “Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?!”

Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. “Ya,” dia berkata, “Ya, itu benar.”

Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa “absurdnya” gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. “Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim – menurut agama mereka - berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, , Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal, ” kata Dr. Lang selanjutnya. Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang. Ia mencuba mencari sejak bila wacana ini muncul dan apa alasannya.

Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb

Dari penelitiannya yang panjang, bukan sebagai orientalis tetapi sebagai pengamat partisipan, ia memperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, ide “negara Islam” – al-dawlah al-islamiyyah - bermula dari keinginan untuk menjalankan syariat Islam dalam konteks sosial politik umat Islam kontemporer. Kedua, ide negara Islam ditunjang oleh konsep klasik dar al-Islam dan dar al-harb. Dunia ini dibagi dua. Satu bahagian dunia di perintah dengan syariat Islam dan sisanya diperintah oleh aturan bukan ajaran Islam. Dalam bahasa Sayyid Quthub, dalam bukunya yang sangat revolusioner, Ma’alim fi al-Thariq, satu bahagian hidup dalam lindungan al-nizham al-Islami, dan bahagian lain dalam al-nizham al-jahili. Dr. Lang merumuskannya dengan bagus:

Formulasi hukum politik ini memisahkan dunia menjadi dua wilayah yang tidak ada sangkut-pautnya; dar al-Islam, negara yang diperintah oleh kaum Muslim menurut syariah (hukum Islam), dan dar al-harb, negara yang tidak di bawah kendali orang Muslim yang mana harus di tundukkan dengan jalan, kalau perlu, penaklukkan, supaya tunduk di bawah pemerintahan Islam. Menurut teori ini, keadaan perang yang terus menerus terjadi antara wilayah Muslim dan non-Muslim. Banyak orang dalam dunia akademia dan media Barat menyatakan bahwa teori ini memperlihatkan karakter Islam yang suka perang.

Menurut teori Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb (untuk selanjutnya saya sebut DIH), kita harus terus menerus dalam situasi berperang sebelum seluruh dunia ini diperintah oleh syariat Islam. Untuk itu, yang menjadi alasan utama adalah ayat Al-Quran surat Al-Taubah ayat 5, terkenal sebagai ayat pedang: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam penelitian Dr. Lang, semua ayat yang berkenaan dengan perang menyiratkan bahwa Islam memperkenankan peperangan hanya untuk mempertahankan diri atau membela korban-korban kesewenang-wenangan dan penindasan. Bahkan ayat pedang yang baru saja disebut, berkenaan dengan Perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh orang-orang musyrik. Sebahagian besar para ulama tafsir menyebutkan ayat pedang sebagai ayat yang “bertentangan” dengan ayat-ayat perintah perang dengan tujuan mempertahankan diri atau menentang penindasan. Untuk mengatasi “pertentangan” ini, dikemukakanlah teori nasikh-mansukh. Ayat-ayat yang melarang agresi ketenteraan (QS. Al-Baqarah; 191-193; QS. Al-Baqarah; 256; QS. Al-Nisa; 91; QS. Al-Anfal; 61), dimansukh oleh QS. Al-Taubah; 5. Dr. Lang mengutip teori nasikh-mansukh ini dari salah seorang aktivis, Muhammad Abdul Salam Faraj, yang di hukum gantung pada tanggal 15 April 1982 bersama dengan kelompok yang dituduh membunuh Presiden Anwar Sadat. Ia menulis dalam ‘kewajiban yang di lalaikan’:

Kebanyakan ahli tafsir menyatakan pendapat tertentu tentang ayat yang mereka sebut ayat pedang (QS. Al-Taubah; 5). Inilah ayat itu: “Apabila telah usai bulan-bulan haram itu, bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu menjumpai mereka, tangkap mereka, kepung mereka, dan sergap mereka.”

Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya: Al-Dahak ibn Muzahim berkata, “(Ayat ini) membatalkan perjanjian, kontrak, dan kesepakatan apa pun antara Nabi dan orang kafir.” Al-‘Ufi berkata tentang ayat ini, “Menurut Ibn ‘Abbas: Tidak ada persetujuan, tidak ada fakta pertahanan dengan orang-orang kafir yang dikenal setelah diturunkannya perintah pembatalan tuntutan kewajiban yang ditetapkan oleh perjanjian itu.”

Mufassir Muhammad ibn Ahmad ibn Juzzay Al-Kalbi berkata, “Pembatalan perintah untuk berdamai dengan orang-orang kafir, memaafkan mereka, berhubungan dengan mereka secara pasif, dan mentoleransi penghinaan-penghinaan mereka adalah sebelum perintah memerangi mereka. Oleh karena itu, tampaklah berlebihan jika pembatalan perintah hidup dengan damai bersama orang-orang kafir diulang dalam setiap bacaan Al-Quran. Perintah hidup secara damai dengan mereka disampaikan dalam 114 ayat yang tersebar di 54 surat. Semua ayat itu dihapuskan oleh ayat QS. Al-Taubah; 5 dan QS. Al-Baqarah; 216 (Ayat: Diwajibkan atas kamu untuk berperang).

Argumentasi nasikh-mansukh ini sudah kita ketahui sangat rentan kritik. Pertama, semua hadis yang dijadikan dalil nasikh-mansukh terhitung hadis yang lemah. Kedua, banyak pertentangan di antara para ulama tentang ayat yang dinasakh, dan dengan ayat mana ia dinasakh. Ketiga, formula teori nasikh-mansukh ini juga di ikhtilafkan di antara para ulama ‘Ulum Al-Quran. Keempat, nasikh-mansukh dikemukakan untuk “mendamaikan” ayat-ayat yang bertentangan; padahal Al-Quran sendiri menegaskan tidak ada pertentangan di dalamnya dan “akhirnya” menurut Dr. Lang, “Teori nasikh-mansukh ini kelihatannya mendakwa bahwa Tuhan menurunkan informasi yang berlebih dan dalam wahyu terakhir pada umat manusia sehingga Dia harus sering-sering menilai sendiri selama proses penyampaiannya. Persepsi ini sangat sulit di sesuaikan dengan gambaran Al-Quran tentang Tuhan. Tidak mengherankan cukup banyak muallaf Islam memberi tahu saya bahwa mereka betul-betul kaget dan keimanannya sangat tergoncang ketika pertama kali menemukan teori ini.”

Pemerintahan Khilafah

Kita tinggalkan Dr. Lang dan mencoba memahami teori “negara Islam” ini dari apa yang disebut oleh Eickelman dan Piscatori sebagai konsep baru yang dimunculkan para pemikir Islam abad kedua-puluh untuk “reinventing tradition.” Negara Islam dapat dihubungkan dengan sistem khalifah, yang merujuk pada pemerintahan Khulafa Al-Râsyidin. Sistem khalifah adalah tradisi pertama dalam menerapkan syariat Islam pada kehidupan bernegara. Abu Al-Hasan Al-Mawardi (991-1058) merumuskan konsep khilafah ini dalam makalahnya yang terkenal Kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Menurut Al-Mawardi, pemerintah Islam diperlukan untuk melaksanakan syariat Islam. Adalah pembaharu Islam dari Mesir, Sayyid Rasyid Ridha, yang menghubungkan sistem khalifah ini dengan konsep negara Islam. Ia melihat sistem khilafah yang dijalankan oleh empat khalifah yang pertama sebagai contoh ideal pemerinatahan Islam. Hukumat Al-Khilafah adalah al-khilafah al-Islamiyyah. Karena tidak mungkin kita menghidupkan kembali sistem khilafah, kita aplikasikan sistem khilafah pada negara Islam modern.

Sudah banyak kritik pada sistem khilafah ini. Tidak mungkin tulisan singkat ini meliput semua argumentasinya. Saya hanya akan menyampaikan pokok-pokok argumentasi terhadap sistem khilafah. Pertama, sistem pemerintahan khulafa al-rasyidin itu – bila mempelajari tarikh agak mendalam - tidaklah seideal seperti yang digambarkan. Saya takut menyebutkan contoh-contohnya karena pembaca akan menganggap saya “menyerang kesucian para sahabat Nabi”. Cukuplah saya mengutip lagi, pernyataan Munawir Sadzali, yang menyebut sahabat Nabi itu sebagai “political animals”. Kedua, di antara para khalifah itu sendiri terdapat perbedaan sistem pemerintahan. Misalnya, dalam hal pengangkatan ketua pemerintahan. Abu Bakar dipilih melalui perhimpunan singkat dan tergesa-gesa –menurut Umar bin Khaththab “faltah”- di Saqifah Bani Sa’idah. Tidak semua yang hadir dalam rapat itu setuju dengan pemilihan Abu Bakar. Umar diangkat melalui surat semacam “Supersemar” oleh Abu Bakar ketika ia sakit. Surat itu sendiri ditulis oleh Utsman yang kemudian menisbahkan surat itu kepada Abu Bakar tanpa seorang saksi pun. Utsman ditunjuk oleh Dewan Pembentukan yang semua anggotanya diangkat oleh Umar menjelang kematiannya. Ali diangkat atas desakan penduduk Madinah yang baru saja mengalami kerusuhan karena pembunuhan Utsman. Sebagai tambahan, tidak perlu disebutkan bahwa setiap khalifah yang empat itu memerintah dengan gaya yang berbeda.

Kedua, secara historis sistem khilafah ini tidak pernah dijadikan rujukan pemerintahan, kecuali ketika Utsmaniyyah mengalami keruntuhan pada abad XVIII dan XIX. Penguasa Utsmaniyyah ingin memberikan legitimasi kepada kekuasaannya dengan menemukan kembali tradisi khilafah. Disebarkan juga cerita bahwa sebelum kejatuhannya, khalifah terakhir Abbasiyyah menitipkan khilafah kepada Usmaniyyah, dengan begitu dibuatlah silsilah sampai kepada Rasulullah saw. “There were obvious political reasons why Ottoman sultans of the age of decline reformulated an appropriated the classical theory of the caliphate,” kata Halil Inalcik dalam The Cambridge Historical Islam.

Ketiga, berkaitan dengan fungsi khilafah sebagai pelaksana syariat Islam, kita melihat apa yang disebut sebagai syariat Islam itu berubah-ubah sepanjang sejarah. Pada pemerintahan reformasi Ottoman – tanzimat 1839-1876 – dibuat perundangan tentang hukum pidana dan dagang di Eropah. Di Mesir, undang-undang tentang waqaf dirumuskan berbeda dengan ketentuan waqaf seperti ada pada kitab-kitab fiqih klasik. Bahkan Arab Saudi, yang terkenal konservatif, telah mengundang-undangkan The Social Insurance Law, yang berbeda dengan fiqih klasik tentang faraidh. Di Iran sekarang telah terjadi banyak perundangan baru yang dianggap bagian dari syariat Islam, tetapi berbeda dengan kompendium fiqih klasik. Walhasil, dakwaan bahwa syariat Islam tidak berubah-ubah memerlukan pemikiran lagi kita semua.

Wilayat Al-Faqih

Dari khazanah Ahlus Sunnah, kita berpindah ke khazanah Syiah. Konsep negara Islam dirumuskan oleh Imam Khomeini dalam wilayat al-Faqih. Saya juga tidak akan mengulang kembali konsep ini yang sudah saya tulis pada tempat lain. Pada pokoknya, para fuqaha adalah orang yang melanjutkan kepemimpinan para Nabi dari para imam. Konsep wilayat al-Faqih ini sedang dan telah mengalami modifikasi berkali-kali. Kita dapat membuat rentangan konsep ini dari dalam spektrum dari statis ke populis. Wilayat al-Faqih Syaikh Jawad Mughniyyah sangat populis; sedangkan wilayat al-Faqih dari Ayatullah Khayri sangat statis.

Walaupun konsep ini lahir dari ijtihad ulama Syiah, di kalangan Ahlus Sunnah pun kita melihat kecenderungan untuk mengartikan negara Islam sebagai negara yang diperintah oleh ahli fiqih. Anda dapat menemukan konsep ini bahkan pada konsep politik dari para ulama Partai Islam SeMalaysia (PAS), setelah memenangkan pemilu kebelakangan ini. Syariat tidak lain daripada ketentuan hukum sebagaimana dirumuskan oleh para ulama.. Saya agak ngeri membayangkan hidup dalam pemerintahan Islam seperti ini di . Para ulama mungkin sepakat untuk memutuskan bahwa saya murtad, dan karena itu harus dihukum mati. Atau, seperti , saya akan ditembak karena tidak berjanggut.

Kesatuan Al-Din dan Al-Dawlah

Imam Khomeini, seperti juga para pemikir Islam lainnya, menegakkan argumentasi tentang negara Islam pada ketidak-terpisahan antara agama dan negara dalam Islam. Bukankah sangat aneh bila Islam yang mengatur kaki mana yang masuk ke tandas tetapi tidak mengatur negara; padahal negara sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Kesatuan antara al-din dan al-dawlah juga sering di nisbahkan kepada Nabi saw yang menghimpun dalam dirinya kekuasaan spiritual dan politik sekaligus.

Pada prinsipnya, saya setuju dengan kesatuan agama dan negara; namun tidak dalam pengertian keharusan mendirikan negara agama Islam. Saya sependapat dengan kesatuan the religious dan the political; tetapi tidak dalam bentuk Islamic State. Dalam makalah ini saya tidak akan memperincikan bentuk alternatif ini kecuali sekadar menegaskan bahwa keterlibatan Islam dalam politik harus ditujukan untuk menegakkan keadilan, menentang tirani, membela mustadhafin, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia. Pada bagian terakhir ini, saya juga hanya ingin menyampaikan beberapa kesukaran untuk mempertahankan konsep kesatuan agama dan negara sebagai karakteristik khas ajaran Islam (saya merujuk kepada Eickelman dan Piscatori lagi dalam Muslim Politics).

Pertama, tidak adanya pemisahan antara urusan negara dengan urusan agama bukan hanya khas Islam. Moral Majority di Amerika, teologi pembebasan di negara-negara Amerika Latin, aktivis Sikh di India, pendeta Budha di Myanmar dan Vietnam, semua berpendapat bahwa urusan negara tidak dapat dipisahkan dari urusan agama. Kedua, karena agama tidak dapat dipisahkan dari politik maka seluruh kehidupan menjadi sangat politis. Muatan politik yang mencakup berbagai kegiatan muslim menyebabkan umat Islam tidak mampu dan tidak merasa perlu membangun struktur politik. Ketiga, penegasan kesatuan ini menegaskan persepsi kaum orientalis bahwa politik Islam, berbeda dengan politik yang lain adalah politik yang tidak rasional, emosional, tak terkendalikan dan sulit diramalkan. Kembali kepada cerita Dr. Lang, orang yang menganut fahaman negara Islam memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama kekerasan, agama agresif, agama yang tidak dapat diajak berdamai.

Kesimpulan

Saya tidak punya kesimpulan apa pun. Tulisan ini dibuat tidak sebagai tulisan ilmiah. Ia hanyalah kumpulan coretan dan renungan saya selama ini. Saya tidak tahu apakah hasil refleksi ini konstruktif atau destruktif. Yang pasti, pandangan saya dalam tulisan ini sudah berbeda jauh dengan pandangan politik saya sebelumnya. Terserah kepada anda untuk menerima atau menolaknya. Jika anda ikut merenungkan kembali pandangan anda sebelumnya, anda sudah bergabung bersama saya. Tidak dalam partai politik, tetapi dalam “reinventing traditions.”


Nota: Makalah Jalaluddin Rakhmat ini merupakan hasil dari sebuah diskusi di Kelab Kajian Agama Paramadina, Jakarta, 20 Oktober 2000.