Friday, September 28, 2007

HISAB berasal dari bahasa Arab "hasaba" artinya menghitung, mengira dan membilang. Jadi hisab adalah kiraan, hitungan dan bilangan. Kata ini banyak disebut dalam al-Quran diantaranya mengandung makna perhitungan perbuatan manusia. Dalam disiplin ilmu falak (astronomi), kata hisab mengandung arti sebagai ilmu hitung posisi benda-benda langit. Posisi benda langit yang dimaksud di sini adalah lebih khusus kepada posisi matahari dan bulan dilihat dari pengamat di bumi. Hitungan posisi ini penting dalam kaitannya dengan syariah khususnya masalah ibadah misalnya; shalat fardu menggunakan posisi matahari sebagai acuan waktunya, penentuan arah kiblat dengan menghitung posisi bayangan matahari, penentuan awal bulan hijriyah dengan melihat posisi bulan dan mengetahui kapan terjadi gerhana dengan menghitung posisi matahari dan bulan. Ilmu Falak yang mempelajari kaidah-kaidah Imu Syariah tersebut dinamakan Falak Syar'i (Ilmu Falak + Ilmu Syariah = Falak Syar'i). Di Indonesia nama yang populer adalah Falak saja.

Tokoh2 Falak Indonesia

ImageAhmad Dahlan, K.H : Nama kecilnya Muhammad Darwis (ada literatur yang menulis Darwisy), dilahirkan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi bertepatan dengan tahun 1285 Hijriyah dan meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923 M/ 7 Rajab 1342 H, jenazahnya dimakamkan di Karangkajen Yogyakarta. Dalam bidang ilmu Falak ia merupakan salah satu pembaharu, yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat yang 24 derajat arah Barat Laut. Sebagai ulama yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat membenarkan setiap kekeliruan, mencerdaskan setiap kebodohan. Dengan berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari melalui K.H. Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh Darat (Semarang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Dahlan menghitung kepersisan arah kiblat pada setiap masjid yang melenceng. Setelah "tragedi kiblat" di Masjid Agung, ia pun mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal kiprahnya, ia kerap mendapat rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan agama baru. Namun keteguhan sikapnya menyebabkan ia dicatat sebagai pelopor pembetulan arah kiblat dari semua surau dan masjid di Indonesia. Tak cuma itu reputasi yang ditorehkannya. Berdasarkan pengetahuan ilmu Falak dan Hisab yang dimilikinya, Dahlan melalui Muhammadiyah, mendasarkan awal puasa dan Syawal dengan Hisab (perhitungan)


ImageAhmad Badawi, K.H : Ahli Falak yang menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965 M/1382-1385 H dan 1965-1968 M/1385-1388 H. Ia lahir pada tanggal 5 Februari 1902 M/ 1320 H di Kampung Kauman Yogyakarta dan meninggal dunia pada hari Jum'at 25 April 1969 M/8 Safar 1389 H pukul 09.25 WIB di PKU Yogyakarta, putra K.H. Ahmad Faqih dan Hj. Habibah (adik K.H. Ahmad Dahlan). Semasa kecil, ia pertama-tama belajar di Madrasah Ibtidaiyah Diniyyah Islamiyyah yang didirikan dan diasuh langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan. Setelah itu ia melanjutkan belajar di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena ketekunan dan rajin belajar, K.H. Ahmad Badawi terkenal sebagai ahli fikih, ahli hadis, dan ahli falak. Semua karyanya ditulis dengan tangan dalam huruf arab maupun latin dengan rapi. Karyanya yang berkaitan dengan ilmu falak adalah Djadwal Waktu Sholat se-lama2nja, Tjara Menghitoeng Hisab Haqiqi Tahoen 1361 H, Hisab Haqiqi, dan Gerhana Bulan. Negara Islam yang pernah dikunjungi diantaranya : Pakistan, Irak, Kuwait, Teheran, Saudi Arabia, Beirut, dan Jordan.

ImageSaadoe'ddin Djambek (Bukittinggi, 24 Maret 1911 M/ 1330 H-Jakarta, 22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H). Seorang guru serta ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan formal pertama di HIS (Hollands Inlandsche School) hingga tamat pada tahun 1924 M/1343 H. Kemudian ia melanjutkan studinya ke sekolah pendidikan guru, HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool). Setelah tamat dari HIK pada tahun 1927 M/1346 H, ia meneruskannya lagi ke Hogere Kweekschool (HKS), sekolah pendidikan guru atas, di Bandung, Jawa barat, dan memperoleh ijazah pada tahun 1930 M/1349 H. Selama empat tahun (1930-1934 M/1349-1353 H) ia mengabdikan diri sebagai guru Gouvernements Schakelschool di Perbaungan, Palembang. Setelah menjalani tugasnya sebagai guru di palembang, ia berusaha melanjutkan pendidikannya, ia mengajukan permohonan untuk dipindahtugaskan ke Jakarta agar dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Di Jakarta ia bekerja sebagai guru Gouvernement HIS nomor 1 selama setahun. Pada tahun 1935 M/1354 H ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Indische Hoofdakte (program diploma pendidikan) di Bandung sampai memperoleh ijazah pada tahun 1937 M/1356 H. Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh ijazah bahasa Jerman dan bahasa Perancis. Setelah mengikuti pendidikan di Bandung, ia kembali menjalankan tugas sebagai guru Gouvernement HIS di Simpang Tiga (Sumatra Timur). Sebagai seorang guru, ia tidak pernah berhenti mengembangkan karier di bidang pendidikan. Kariernya terus meningkat, dari guru sekolah dasar sampai menjadi dosen di Perguruan Tinggi dan terakhir menjadi pegawai tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin, yang mengajar di Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang hitung-menghitung penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H. Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu falak dikembangkannya melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu falak, ia banyak menulis tentang ilmu hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H), (3) Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H). Karya yang terakhir ini merupakan pergumulan pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan qamariyah.


ImageWardan Diponingrat, K.R.T: Ahli falak, nama kecilnya adalah Muhammad Wardan, dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1911 M bertepatan dengan tanggal 20 Jumadal Ula 1329 H di Kauman, Yogyakarta dan meninggal dunia pada tanggal 3 Februari 1991 M/ 19 Rajab 1411 H. Ayahnya, yaitu kyai Muhammad Sangidu seorang penghulu keraton Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Penghulu Kyai Muhammad Kamaludiningrat sejak 1913 M/1332 H sampai 1940 M/1359 H. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Keputran (sekolah khusus untuk para keluarga keraton) dan Standard Schoel Moehammadijah di Suronatan (lulus tahun 1924 M/1343 H). Kemudian melanjutkan ke Madrasah Muallimin sampai lulus pada tahun 1930 M/1349 H. Satu tahun sesudah itu Muhammad Wardan sebenarnya berkeinginan belajar ke tanah Arab, tapi karena kendala biaya tidak dapat memenuhi cita-citanya tersebut, akhirnya ia melanjutkan ke Pondok Jamsaren Solo. Selain nyantri ia juga mengikuti kursus Bahasa Belanda di Sekolah Nederland Verbond dan les privat bahasa Inggris. Setelah mendapatkan berbagai ilmu, Muhammad Wardan berusaha mengamalkan dan mengajarkannya. Pada tahun 1934 M/1353 H sampai 1936 M/1355 H, dia menjadi guru Madrasah Al-Falah Yogyakarta, kemudian pada tahun 1936-1945 M/1355-1365 H menjadi guru di Sekolah Muballighin Muhammadiyah Yogyakarta. Memasuki masa perjuangan fisik, aktivitas Muhammad Wardan di bidang pendidikan terhenti dan ia melibatkan diri di dalam Angkatan Perang Sabil (APS) dan ia dipercaya sebagai anggota bidang markas ulama. Setelah perjuangan fisik mereda dan Indonesia dapat mencapai kemerdekaan secara penuh, pada tahun 1948-1962 M/1368-1381 H ia mengabdikan diri sebagai guru di Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta dan pada tahun 1951-1952 M/1371-1372 H juga mengajar di Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1954-1956 M/1374-1376 H ia ditugaskan oleh Departemen Agama RI untuk menjadi guru di Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Yogyakarta dan guru di Sekolah Persiapan PTAIN Yogyakarta. Sejak 1973 M/1393 H sampai wafatnya ia diangkat sebagai anggota dewan kurator IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karena kepiawaiannya di bidang ilmu Falak, sejak tahun 1973 hingga wafatnya dipercaya sebagai anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI. Muhammad Wardan merupakan salah seorang tokoh penggagas teori wujudul hilal yang hingga kini masih digunakan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Adapun karya-karyanya di bidang ilmu falak, yaitu Umdatul Hasib, Persoalan Hisab dan Ru'jat Dalam Menentukan Permulaan Bulan, Hisab dan Falak, dan Hisab Urfi dan Hakiki.


ImageAbdur Rachim, H : Ahli falak, dilahirkan di Panarukan pada tanggal 3 Februari 1935 M/ 1354 H. Tamat Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada bulan April 1969 M/ Safar 1389 H, sebagai sarjana teladan dan mendapatkan lencana "Widya Wisuda", dan pada tahun 1982 M/1403 H, mengikuti Studi Purna Sarjana (SPS) dapat menyelesaikannya sebagai peserta teladan. karirnya sebagai pendidik dimulai sejak sebagai mahasiswa tingkat doktoral, dipercaya sebagai asisten H. Saadoe'ddin Djambek dalam mata kuliyah ilmu falak mulai tahun 1965 M/1385 H, pada tahun 1972 M/1392 H diangkat sebagai dosen tetap dalam mata kuliah tafsir, sesuai dengan jurusannya. Pada tahun yang sama diangkat sebagai ketua Lembaga Hisab dan Ru'yah, dan pada tahun itu juga diangkat sebagai Ketua Jurusan Tafsir Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tahun 1976 M/1396 H diangkat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademis Fakultas Syari'ah IAIN, dan tahun 1981 M/1402 H diserahi tugas sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta. Disamping itu beliau juga sebagai dosen, yang ikut membina mahasiswa di Fakultas UII, dalam mata kuliah Ilmu Falak dan Ahkamul Qadla. Tugas ini dilakukan sejak tahun 1972 M/1392 H, dan sejak tahun 1974 M/1394 H dipercaya sebagai anggota penyusun Al-Qur'an dan Tafsir. Karirnya memperdalam Ilmu Falak menjadikan beliau diserahi tugas untuk melanjutkan tugas gurunya H. Saadoe'ddin Djambek (setelah meninggal) sebagai Wakil Ketua Badan Hisab Ru'yah Departemen Agama Pusat tahun 1978 M/1399 H, pada tahun itu juga mewakili Pemerintah Indonesia menghadiri Konferensi Islam di Istambul. Selanjutnya pada tahun 1981 M/1402 H sebagai delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Islam di Tunis. Kemudian atas kepercayaan Menteri Agama, beliau diutus lagi menghadiri Konferensi Islam Internasional di Aljazair pada tahun 1982 M/1403 H. Guru-guru beliau yang memberi warna bagi kariernya ialah : Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. Dr. H. Muhtar Yahya, H. Saadoe'ddin Djambek, Sa'di Thalib dan Saleh Haedarah. Sedangkan karya-karya ilmiahnya yang berkaitan dengan ilmu Falak yang telah diterbitkan, antara lain : Mengapa Bilangan Ramadlan 1389 H ditetapkan 30 Hari ? (1969 M/1389 H), Menghitung Permulaan Tahun Hidjrah (1970 M/1390 H), Ufuq Mar'i sebagai Lingkaran Pemisah antara Terbit dan Terbenamnya Benda-benda Langit (1970 M/1390 H), Ilmu Falak (1983 M/1404 H), dan Kalender Internasional



Basit Wahid, H : Salah seorang tokoh Falak, lahir di Yogyakarta pada tanggal 12 Desember 1925 M/1344 H. Pendidikannnya dimulai di Sekolah Dasar Muhammadiyah, kemudian melanjutkan di SLTP Muhammadiyah dan Muallimin. Setelah lulus dari Muallimin, ia melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada Fakultas Tehnik Jurusan Kimia. Menurut penuturannya, keahliannya dalam bidang ilmu Falak diperoleh dari guru-gurunya, yaitu : K.H. Syamsun Jombang, K.H. Siraadj Dahlan (Putra Pendiri Muhammadiyah), dan K.H. Muhammad Wardan Diponingrat. Menurutnya pula untuk menambah wawasannya dalam bidang falak ia pernah mengunjungi Jerman, Nederland, Australia, dan Malaysia. Sebagai seorang ahli falak, ia pernah diberi amanat menjadi Ketua Bagian Hisab Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan wakil Muhammadiyah di Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama Pusat. Basit Wahid termasuk ahli falak yang produktif dalam menuangkan gagasan-gagasannya tentang hisab-rukyat melalui berbagai media massa, diantaranya : Serba-serbi Kalender 1995, Kalender Hijriah Tiada Mitos di dalamnya, Rukyat dengan Alat Canggih, Memahami Hisab sebagai Alternatif Rukyat, Astronomi dan Astrologi, Waktu-waktu Sholat dan Puasa di Pelbagai tempat di Permukaan Bumi, dan Penentuan Awal Bulan Hijriah.



Titik Temu Penyeragaman Kelender Hijriyah di Indonesia

Kemungkinan ada dua versi Idul Fitri 1423 semakin jelas. Muhammadiyah telah mengumumkan secara resmi bahwa mereka akan beridul fitri pada 5 Desember 2002. Pemerintah masih akan menunggu hasil rukyat pada 4 Desember untuk menetapkan Idul Fitri secara resmi. Tetapi tampaknya, kemungkinan besar akan jatuh pada 6 Desember 2002. Nahdlatul Ulama (NU) yang berpegang pada rukyat telah menetapkan kriteria bahwa rukyatul hilal bisa saja ditolak bila ketinggiannya kurang dari 2 derajat, seperti yang terjadi pada Idul Fitri 1418/1998. Walau pun disebagian besar Indonesia bulan telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib 4 Desember, namun ketinggian sangat rendah (kurang dari 1 derajat) untuk dapat dirukyat. Apalagi pada musim hujan saat ini di sebagain besar Indonesia, rukyatul hilal kemungkinan gagal.

Sepintas masalah perbedaan tampaknya antara metode hisab dan metode rukyat. Sebenarnya bukan perbedaan hisab-rukyat. Kinci utama perbedaan adalah kriterianya. Kalender nasional yang menyatakan Idul Fitri pada 6 Desember adalah hasil hisab (perhitungan astronomi) juga, seperti halnya yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Hasil hitungan ketinggian bulannya pun sama. Hanya Muhammadiyah menggunakan kriteria sederhana, tanpa memperhitungkan faktor transparansi atmosfer dan sensitivitas mata, yaitu wujudul hilal. Sedangkan kalender nasional menggunakan kriteria imkanur rukyat (kemungkinan rukyat) yang secara empirik memperhitungkan faktor transparansi atmosfer dan sensitivitas mata.

Sampai kapan perbedaan seperti ini terus berlangsung? Jawabnya, tinggal satu langkah lagi yang sangat berat: cari titik temu kriteria. Perdebatan soal dalil hisab dan rukyat kini telah usang dan tidak relevan lagi. Hisab dan rukyat tidak mungkin lagi dipisahkan. Kasus perbedaan penetapan Idul Fitri 1418 menunjukkan inti masalahnya bisa disederhanakan hanya satu: perbedaan kriteria. Kalangan hisab ada dua kutub: kriteria wujudul hilal dan kriteria imkanur rukyat. Kalangan rukyat pun ada dua kutub: tanpa kritria imkanur rukyat dan dengan kriteria imkanur rukyat.

KRITERIA

Apa yang diperlukan seorang ahli hisab bila harus mengambil keputusan masuknya bulan qamariyah, misalnya dalam pembuatan kalender? Pertama, seperangkat tabel atau rumus dan alat hitungnya untuk menentukan posisi bulan dan matahari, saat terbenamnya, dan saat ijtimak. Kedua, kriteria imkanur rukyat (imkanur rukyat). Tanpa kriteria, data-data itu tidak memberikan informasi apa pun tentang kapan masuknya tanggal baru. Kriteria imkanur rukyat adalah interpretasi akan perintah Nabi untuk rukyatul hilal. Pada posisi berapa derajat atau saat kapan hilal dapat diamati.

Terlalu berlebihan bila ada ahli hisab mengatakan hisab terlepas dari rukyat. Batasan waktu "maghrib" dalam setiap perhitungan posisi atau beda waktu terbenam menunjukkan keterikatan dengan rukyat, karena saat maghrib itulah rukyatul hilal biasanya dimulai. Walau pada zaman Nabi terjadi beberapa kali gerhana matahari, yang pada dasarnya bisa untuk merukyat ijtima', tidak ada riwayat yang mengaitkan gerhana dengan masuknya bulan baru. Pada saat itu pengetahuan tentang hubungan gerhana matahari dan rukyatul hilal belum berkembang. Kini hubungan itu telah jelas hingga dalam pertimbangan penentuan awal Ramadhan 1403 oleh Menteri Agama, gerhana matahari total 11 Juni 1983 dijadikan dasar rukyat bahwa ijtimak telah terjadi.

Kriteria imkanur rukyat pertama yang banyak digunakan para ahli hisab sebagai batasan masuknya awal bulan adalah wujudul hilal (dengan kriteria tinggi hilal positif atau waktu terbenam matahari lebih dahulu daripada bulan) atau ijtima' qablal ghurub (waktu ijtima' sebelum maghrib). Biasanya para ahli hisab hanya menghitung untuk satu lokasi saja atau menggunakan garis tanggal ketinggian bulan nol derajat atau garis tanggal saat bulan terbenam pada saat maghrib untuk tinjauan globalnya. Kriteria itu merupakan kriteria paling sederhana yang sebenarnya perlu ditinjau ulang dengan makin berkembangnya ilmu astronomi dan perangkat hisabnya.

Garis tanggal nol derajat tidak bisa digunakan secara mandiri tanpa melihat kriteria ijtima' qablal ghurub. Gambar garis tanggal awal Sya'ban 1423 menunjukkan secara jelas, di wilayah Indonesia hilal sudah wujud sebelum terjadi ijtima'. Sebaliknya, pada Jumadil ula 1423 ijtima' terjadi sebelum maghrib, tetapi bulan masih di bawah ufuk.

Masalah lainnya, wujudul hilal hanya mempertimbangkan posisi bulan dan matahari sehingga lebih tepat disebut "wujudul qamar. Hilal lebih cenderung pada fenomena rukyat yang bukan hanya masalah posisi tetapi juga masalah atmosfer yang dilalui cahaya bulan serta sensitivitas mata manusia. Karena pertimbangan masalah atmosfer ini, Rasulullah memberikan pedoman "bila berawan" lakukan istikmal. Ada riwayat lain menyebutkan "perkirakan" yang ditafsirkan membuka peluang untuk hisab. Tetapi semestinya peluang itu ditafsirkan tidak sebatas hisab posisi (wujudul hilal), melainkan juga perkiraan masalah atmosfer yang dilalui cahaya bulan tersebut dan sensitivitas mata manusia.

Masalah atmosfer sangat sulit diperkirakan. Sangat tergantung dengan banyak faktor seperti suhu udara, kejernihan udara, dan kecerlangan cahaya matahari yang dihamburkan (cahaya senja). Cara yang banyak dilakukan adalah dengan cara empirik berdasarkan pengalamanan rukyatul hilal puluhan atau ratusan tahun. Data keberhasilan dan ketidakberhasilan rukyatul hilal dibandingkan dengan data hisab astronomis. Maka diperoleh kriteria ketinggian, jarak bulan-matahari, beda waktu terbenam matahari-bulan, atau umur bulan sejak ijtima' yang secara umum menjamin keberhasilan rukyatul hilal di suatu daerah pada suatu musim tertentu. Dengan makin banyaknya data, kriteria bisa dibagi lagi antara pengamatan tanpa alat dan dengan alat (teleskop atau binokuler).

Sungguh awal yang sangat baik ketika prakarsa Indonesia memperkenalkan kriteria imkanur rukyat berdasarkan analisis sederhana atas data rukyat di Indonesia diterima ditingkat regional. Kriteria Departemen Agama Indonesia diterima sebagai kriteria bersama dalam forum MABIMS yang mencakup Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kriteria yang kini dikenal sebagai kriteria MABIMS adalah sebagai berikut: Tinggi hilal minimum 2o, jarak dari matahari minimum 3o, atau umur bulan (dihitung sejak saat newmoon / ijtima' - bulan dan matahari segaris bujur) saat matahari terbenam minimum 8 jam.

Banyak ormas Islam telah menerima kriteria ini, seperti NU. Sayangnya, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, belum bersedia menggunakan kriteria tersebut karena dianggap belum berdasarkan pertimbangan ilmiah astronomi. Secara astronomi, kriteria MABIMS lebih maju dari kriteria wujudul hilal dengan memasukkan faktor atmosfer dan sensitivitas mata dalam analisis empirik batas keberhasilan rukyatul hilal. Memang, analisisnya masih sederhana. Tetapi sebagai upaya ilmiah, hal itu wajar dan bisa diperbaiki seperti lazimnya temuan-temuan ilmiah. LAPAN telah berupaya memperbaiki kriteria MABIMS tersebut dengan mengkaji ulang semua data rukyatul hilal di Indonesia.

PERSIS (Persatuan Islam) yang sempat menerapkan kriteria MABIMS pada beberapa beberapa tahun terakhir (termasuk kalender 1423), tampaknya kembali mundur mengambil kriteria wujudul hilal. Masalahnya, tampaknya hanya salah memahami makna kriteria imkanur rukyat, seolah-olah itu bagian dari metode rukyat. Kriteria imkanur rukyat sepenuhnya adalah kriteria hisab yang memanfaatkan data-data rukyatul hilal puluhan tahun untuk menafsirkan makna hadits rukyat dalam bentuk kuantitatif posisi bulan. Hadits dan ayat Al-Quran yang menyebutkan tentang hisab tampaknya ditafsirkan sempit seolah-olah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Kriteria imkanur rukyat lainnya juga bagian dari hisab, malah lebih akurat daripada kriteria wujudul hilal. Kembali dari kriteria MABIMS ke kriteria wujudul hilal adalah langkah mundur, ibarat meninggalkan kalkulator kembali ke tabel logaritma.

Secara internasional saat ini ada sekitar 13 kriteria yang biasa digunakan. Salah satunya dikembangkan oleh Mohammad Ilyas dari IICP (International Islamic Calendar Programme), Malaysia. Kriteria imkanur rukyat yang dirumuskan IICP sebagai berikut: Beda tinggi bulan-matahari minimum agar hilal dapat teramati adalah 4 derajat bila beda azimut bulan - matahari lebih dari 45 derajat , bila beda azimutnya 0o perlu beda tinggi lebih dari 10,5 derajat. Selain itu, sekurang-kurangnya bulan 40 menit lebih lambat terbenam daripada matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar untuk daerah di lintang tinggi, terutama pada musim dingin. Hilal juga harus berumur lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropik dan berumur lebih dari 20 jam bagi pengamat di lintang tinggi.

Kriteria lain yang banyak digunakan adalah kriteria Yallop yang lebih merinci tentang kemungkinan rukyat dengan alat dan tanpa alat bantu. Kriteria-kriteria tersebut secara mudah dapat diterapkan dalam program MoonCalc yang dikembangkan Dr. Monzur Ahmed yang dapat diperoleh dari internet. Salah satu kriteria dasar yang dapat digunakan yang telah ditunjukkan berdasarkan pengamatan dan model teoritik adalah limit Danjon: hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut bulan-matahari kurang dari 7 derajat. Hal ini disebabkan oleh batas kepekaan mata manusia yang tidak mungkin melihat "tanduk" sabitnya hilal yang lebih redup dari ambang batas kepekaan mata manusia. Pada jarak sudut bulan-matahari sedikit lebih dari 7 derajat, hilal mungkin hanya tampak sebagai goresan tipis, tanpa tanda-tanda lengkungan sabit. Bila kurang dari 7 derajat, sama sekali mata rata-rata manusia tidak bisa menangkap cahaya hilal tersebut.

TITIK TEMU

Kriteria imkanur rukyat sebenarnya adalah titik temu antara metode hisab dan rukyat. Ahli rukyat terus melakukan rukyatnya dengan dipandu data-data hisab. Hasilnya kelak akan memperbaiki kriteria imkanur rukyat. Ahli hisab silakan terus menghisab, tanpa melupakan pengalaman rukyat yang memberi batas kriteria imkanur rukyat. Kini masalahnya, titik temu itu belum berupa titik yang tunggal. Khusus di Indonesia titik temu itu ada tiga: kriteria wujudul hilal, kriteria MABIMS, dan kriteria astronomi internasional. Menyatukan ketiganya adalah hal yang mungkin, hanya perlu waktu dan melebarkan tingkat toleransi semua pihak.

Bila benar keberatan tokoh Muhammadiyah untuk menerima kriteria MABIMS hanya karena anggapan kriteria itu tidak punya dasar ilmiah astronomis adalah alasan organisatoris, maka tinggal satu langkah untuk menyatukan titik temu itu di Indonesia. Langkah itu adalah kaji ulang kriteria MABIMS dengan analisis astronomi dengan data asli Indonesa. Terlalu berat kalau para astronomon Indonesia menarik para ahli hisab rukyat Indonesia untuk mengikuti kriteria astronomi internasional. Karena itu bisa berarti menolak sebagian besar data rukyatul hilal di Indonesia. Secara ilmiah, tidak semudah itu untuk membuang data, hanya gara-gara berbeda dengan kriteria internasional. Banyak hal yang harus dikaji lagi untuk menjelaskan terjadinya perbedaan data tersebut. Misalnya, kriteria internasional mungkin saja didasarkan pada data rukyat yang benar-benar tampak jelas tanda-tanda sabitnya, sedangkan di Indonesia mungkin saja sekadar titik cahaya yang diyakini pada posisi hilal langsung dilaporkan sebagai hilal. Sumpah memperkuat kesaksian tersebut.

Adanya dokumentasi lengkap yang dilakukan Departemen Agama RI memungkinkan untuk melakukan analisis astronomis yang diperlukan untuk memilah-milah pengamatan hilal yang meyakinkan secara astronomis dan yang diduga mengandung kesalahan pengamatan. Sumpah bukanlah kriteria ilmiah yang dapat dipertimbangkan secara astronomis. Orang yang beriman dan jujur bisa saja salah lihat. Maka data perlu diseleksi dulu. Peneliti LAPAN telah melakukan kaji ulang atas semua data rukyatul hilal dan menganalisisnya dengan data astronomi.

Data pengamatan hilal diambil dari himpunan keputusan Menteri Agama tentang penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal 1381-1418 H / 1962-1997 M. Ada 38 pengamatan rukyatul hilal yang dilaporkan dalam selang waktu tersebut. Data pengamatan hilal yang dianalisis adalah tanggal pengamatan, jumlah lokasi pengamatan dan jumlah pengamat, serta waktu pengamatan. Data tersebut kemudian dikonfirmasikan dengan data astronomis penampakan bulan serta planet Venus dan Merkurius pada saat matahari terbenam.

Data astronomis yang dikonfirmasikan mencakup saat matahari terbenam di lokasi pengamatan, saat terjadinya ijtima' (bulan baru), serta tinggi dan azimut matahari dan bulan pada saat matahari terbenam. Dari data tersebut dapat dihitung umur bulan, beda tinggi bulan-matahari, beda azimut bulan-matahari, serta jarak sudut bulan-matahari.

Pada umumnya beda tinggi yang kurang dari 3 derajat (tinggi hilal kurang dari 2 derajat, karena tinggi matahari terbenam hampir -1 derajat) hanya dilaporkan dari 1 atau 2 lokasi pengamatan. Hal ini bisa menunjukkan bahwa rendahnya beda tinggi bulan-matahari mungkin disebabkan oleh kesalahan pengamatan, yaitu menganggap objek terang yang sebenarnya bukan hilal sebagai hilal. Objek terang itu bisa berupa objek latar depan di bumi (a.l. awan, lampu di kejauhan, pesawat terbang jauh yang bergerak searah pandangan sehingga tampak hanya bergerak perlahan ke bawah) atau objek latar belakang di langit (terutama dari planet Venus dan Merkurius yang posisinya dekat posisi bulan).

Untuk mengurangi efek kesalahan pengamatan tersebut, dilakukan analisis awal untuk memilah data dengan ketentuan berikut: Bila beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat (kriteria beda tinggi minimum menurut Ilyas), harus didukung hasil pengamatan yang dilakukan oleh tim pengamat independen di tiga lokasi atau lebih. Selain itu, data pengamatan minimum harus didukung satu laporan lengkap tentang waktu pengamatannya sehingga bisa diuji kebenarannya berdasarkan perbandingan dengan waktu terbenam bulan. Bila semua waktu pengamatannya ternyata setelah waktu bulan terbenam, data tersebut tidak digunakan. Dengan kriteria utama ini jumlah data berkurang dari 38 menjadi 15 data.

Ketentuan lainnya mempertimbangkan gangguan astronomis dari planet Venus atau Merkurius yang cukup terang yang bisa mengecohkan pengamat. Untuk meminimumkan kemungkinan kesalahan pengamatan maka dibuat ketentuan tambahan: Bila pada saat pengamatan ada planet Venus atau Merkurius yang cukup terang dekat dengan posisi bulan, maka data tersebut juga tidak digunakan. Maka data akhir yang dianalisis selanjutnya berjumlah 11 data (5 pengamatan awal Ramadlan dan 6 pengamatan awal Syawal).

Setelah faktor gangguan latar depan dan latar belakang dieliminasi, diperoleh kriteria imkanur rukyat di Indonesia, sebagai penyempurnaan kriteria MABIMS adalah sebagai berikut: Umur hilal minimum 8 jam, jarak sudut bulan-matahari minimum 5,6 derajat, beda tinggi minimum 3 derajat (tinggi hilal minimum ~ 2 derajat) untuk beda azimut sekitar 6 derajat. Untuk beda azimut kurang dari 6 perlu ketinggian yang lebih besar. Untuk beda azimut 0 derajat, beda tingginya minimum 9.1 derajat (tinggi hilal ~ 8 derajat).

Kriteria tersebut selain tidak jauh berbeda dari kriteria MABIMS tetapi juga lebih mendekati kriteria astronomi internasional. Diharapkan kriteria baru ini (diusulkan nama "Kriteria LAPAN" - sebagai lembaga penelitian antariksa yang independen dari kepentingan ormas) dapat diterima oleh semua kalangan, termasuk Muhammadiyah dan PERSIS. Kriteria tersebut telah mengakomodasikan semua aspek penting dalam praktek hisab rukyat di Indonesia, mulai dari hasil rukyat para ahli rukyat Indonesia sampai analisis astronomis yang menjadi acuan para ahli hisab. Diharapkan kriteria itu juga menjadi kriteria resmi pemerintah dalam menyikapi kemungkinan perbedaan di masyarakat.

Kriteria LAPAN hanyalah salah satu tawaran. Intinya, satu langkah penting penyatuan kalender hijriyah di Indonesia adalah mengkaji ulang secara bersama kriteria yang akan diambil. Semestinya bertaklid pada kriteria lama dihilangkan dan memulainya dari pemahaman bersama akan makna dalil-dalil syariat dan tafsir ilmiahnya dalam astronomi modern. Hasilnya adalah satu kriteria yang mengikat semua pihak yang kemudian disosialisasikan pada semua lapisan praktisi hisab-rukyat. Memang tidak mudah, tetapi peluangnya sudah terbuka. Masyarakat tentu sangat berharap akan keterbukaan jiwa para ahli hisab-rukyat Indonesia untuk mencapai titik temu.

Beda Idfitri dg Negara2 Arab

Negara-negara Arab, seperti Arab Saudi, Irak, Yaman, dan Yordania mengawali Puasa Ramadan 19 Desember 1998, lebih awal daripada puasa di Indonesia. Itu berarti mereka pun akan beridul fitri lebih awal, Senin 18 Januari 1999.

Sebagian orang di Indonesia mungkin bingung menerima berita seperti itu. Apalagi pada saat puasa terakhir mendengar kabar di negara-negara Arab sudah beridul fitri. Haruskah membatalkan puasa karena berpuasa pada saat idul fitri itu haram?

Untuk menyikapinya setidaknya dua hal pokok perlu difahami. Pertama, perlu diklarifikasi penentuan awal Ramadan di negara- negara Arab. Kedua, berdasarkan argumentasi syariah, perlu diperjelas harus atau tidak kita mengikuti kesaksian mereka.

Ramadan dan Syawal 1419

Untuk mencari klarifikasi penentuan awal Ramadan di negara- negara Arab satu-satunya cara yang dapat kita lakukan adalah mengevaluasinya dengan hisab yang akurat. Jangan berharap mereka bisa dan mau memberikan penjelasan informasi rinci tentang kesaksian rukyatul hilal 18 Desember lalu. Mereka selalu mengklaim bahwa mereka menentukan awal Ramadan dan bulan-bulan lainnya semata-mata dengan rukyat, tanpa menggunakan hisab. Tetapi bagaimana prosedur pengamatannya, mereka tidak terbuka.

Ketika terjadi kontroversi penentuan hari wukuf 1410 H yang diumumkan Arab Saudi jatuh pada 1 Juli 1990, saya mengirim surat kepada lembaga fatwa Arab Saudi, Presidency of Islamic Research, IFTA & Propagation, menanyakan tentang prosedur penentuan awal Dzulhijjah dan bulan-bulan lainnya di Arab Saudi. Tidak ada jawaban yang memuaskan. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz hanya mengirimkan fatwa yang pernah dikeluarkan lima belas tahun sebelumnya, 1395 H, tentang hisab astronomis.

Prosedur rukyatul hilal di Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya masih merupakan teka-teki. Kabarnya Departemen Agama RI pun tidak dapat memperoleh jawaban memuaskan tentang hal itu.

Dalam diskusi di ISNET beberapa tahun lalu, ada yang menginformasikan bahwa di Arab Saudi ada kebiasaan pemberian penghargaan dari raja kepada penemu hilal yang pertama. Bila informasi ini benar, bisa jadi orang awam pun berlomba untuk menemukan hilal. Dan bisa jadi pula, seperti disinyalir kalangan Muhammadiyah pada saat kontroversi wukuf 1410 H lalu, ada pengamat yang melaporkan bulan sabit akhir bulan pada pagi hari sebagai hilal awal bulan. Mungkin karena keawamannya.

Bila dasar keputusannya hanya keimanan dan kejujuran pengamat hilal, tanpa mau mengkonfirmasikan benar tidaknya hilal yang teramati, maka keputusan kontroversial penentuan awal bulan qamariyah bisa terjadi. Keputusan negara-negara Arab mengawali puasa pada 19 Desember 1999 juga termasuk kontroversial dari segi hisab astronomis.

Hisab global menunjukkan bahwa garis tanggal awal Ramadan 1419 melintasi Amerika Tengah, Afrika bagian utara, Eropa bagian Selatan, dan Rusia. Maka pada saat maghrib 18 Desember di wilayah Amerika Selatan, Afrika, sebagian besar Asia, dan Australia bulan telah terbenam. Bagaimana mungkin ada laporan rukyatul hilal di negara-negara Arab saat itu bila bulannya telah terbenam pada saat maghrib. Apalagi ijtima' awal Ramadan baru terjadi tengah malamnya.

Mungkin ada yang menyangsikan akurasi hisab astronomisnya. Saya bisa katakan bahwa akurasi hisab astronomis saat ini sudah sangat baik, ketelitiannya sampai orde detik. Bukti yang bisa ditunjukkan adalah penentuan waktu gerhana matahari total. Gerhana matahari sesungguhnya adalah ijtima' yang dapat diamati.

Dalam setiap pengamatan gerhana matahari total, astronom telah mempunyai data hisab pada detik ke berapa bulan menutup matahari. Sehingga untuk pengamatan mereka biasa melakukan hitung mundur beberapa detik sebelum peristiwa itu untuk menyiapkan pemotretan kejadian-kejadian istimewa yang amat singkat itu. Akurasi perhitungan astronomi itu bisa menjadi dasar untuk mempercayai hisab astronomis penentuan awal bulan qamariyah.

Jadi, dari segi astronomi, penentuan awal Ramadan di negara- negara Arab sebenarnya lebih awal dari seharusnya. Atau dengan kata lain, kesaksian rukyatul hilal yang mereka lalukan sebenarnya keliru. Pasti bukan hilal awal Ramadan yang mereka lihat. Mungkin bulan sabit akhir Syaban yang teramati pagi hari. Mungkin juga objek terang yang dikira hilal.

Konsekuensi penentuan awal Ramadan yang keliru (secara astronomi) akan berdampak juga pada penentuan idul fitri. Pada 29 Ramadan (16 Januari di negara-negara Arab) orang akan mencari hilal. Bila tidak teramati (hampir pasti tidak mungkin teramati karena pada saat maghrib bulan telah terbenam), maka mereka akan memutuskan istikmal, menggenapkan bulan Ramadan 30 hari. Jadilah Idul fitri di sana akan jatuh pada 18 Januari 1999.

Mungkinkah idul fitri di Indonesia akan jatuh pada 18 Januari, sama dengan di negara-negara Arab?

Analisis hisab global menujukkan bahwa garis tanggal awal Syawal melintasi Amerika Selatan, Afrika tengah, Turki, dan Rusia. Maka pada saat maghrib 17 Januari di negara-negara Arab dan sebagian besar Asia serta Australia, bulan telah terbenam. Jadi sebenarnya tidak mungkin ada rukyatul hilal di sebagian besar Asia, termasuk di Indonesia, pada maghrib 17 Januari. Bila ada laporan kesaksian hilal di Indonesia pada hari itu, secara astronomi dapat ditolak. Karena, tidak mungkin bulan yang telah terbenam mewujudkan hilal.

Jadi idul fitri di Indonesia tidak mungkin jatuh pada 18 Januari. Pasti akan jatuh pada 19 Januari.

Tinjauan Syariah

Tinjauan di atas semata-mata didasarkan pada argumentasi ilmiah astronomis. Keliru secara astronomis belum tentu digolongkan keliru secara syariah.

Secara syariah, syarat diterimanya kesaksian hilal hanyalah keimanan dan keadilanan pengamat. Sehingga satu-satunya alat bukti kesaksian hilal yang biasa digunakan adalah sumpah dengan nama Allah. Karena keimanan dan keadilan hanyalah Allah yang mengetahui kebenarannya.

Sebenarnya makna adil yang disyaratkan bagi pengamat hilal juga mengandung pengertian pemahaman yang benar tentang hilal. Karena makna adil secara syariah adalah menempatkan sesuatu secara semestinya.

Pengamat yang adil semestinya memeriksa dengan sungguh-sungguh apakah objek yang dilihatnya itu benar-benar hilal atau bukan. Kalau perlu, gunakan teleskop atau binokuler untuk memastikannya. Hisab yang terbukti akurasinya juga semestinya tidak disisihkan. Pengamat yang adil akan mengutamakan kebenaran daripada segala kepentingan duniawi.

Dalam beberapa kasus rukyatul hilal yang kontroversial, sumpah pengamat dianggap sebagai sesuatu yang final. Tidak ada konfirmasi objek yang dilihatnya itu hilal atau bukan. Tetapi secara syariah, suatu keputusan yang telah diambil itu sah untuk diikuti oleh orang yang meyakininya. Nabi melarang berpuasa pada hari yang meragukan (yawmusy syak). Tetapi bagi orang yang meyakini hari itu sudah masuk awal Ramadan, tentunya hari itu tidak dianggap meragukan.

Jadi, kunci sah tidaknya mengikuti keputusan awal puasa (secara analogi, juga idul fitri) adalah keyakinan akan kebenaran keputusan itu. Maka pilihlah keputusan mana yang paling diyakini, bukan memilih mana yang paling disukai atau paling menguntungkan.

Dalam hal keputusan awal Ramadan dan idul fitri di negara-negara Arab, Muslim di sana sah secara syariah untuk melaksanakan keputusan otoritas setempat, walau pun secara astronomis kontroversial. Tetapi sahkah Muslim di Indonesia mengikuti keputusan negara-negara Arab? Tidak ada dalil qath'i (pasti) yang menyatakan keputusan rukyatul hilal di mana pun harus diikuti oleh semua negara.

Pendapat keberlakukan rukyat secara global bersifat ijtihadiyah. Dasarnya, sifat umum perintah Nabi untuk berpuasa dan beridul fitri bila ada kesaksian rukyatul hilal, yang ditafsirkan bahwa kesaksian itu berlaku untuk semua wilayah. Alasan lainnya, bahwa itu menjamin penyeragaman seluruh dunia. Tetapi analisis astronomis menunjukkan bahwa perbedaan tidak mungkin dihilangkan dengan cara demikian.

Pendapat keberlakukan rukyat secara lokal pun bersifat ijtihadiyah. Hadits itu pun bisa ditafsirkan bahwa kesaksian rukyat bersifat lokal. Nabi tidak memerintahkan untuk menanyakan kesaksian hilal di tempat lain sebelum memutuskan untuk berpuasa atau beridul fitri. Apalagi ada kaidah syariah yang menyatakan bahwa dalam hal ibadah, segalanya haram kecuali bila diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Jadi, masalah sah tidaknya mengikuti keputusan awal puasa dan idul fitri di negara-negara Arab dikembalikan pada ijtihad mana yang paling diyakini. Hanya saja dari segi kemudahan bagi ummat, rukyat lokal lebih baik daripada rukyat global (PR, 15 April 1998).

Kita harus menghormati saudara-saudara kita yang mengikuti ijtihad keberlakukan rukyat secara global. Bagi mereka, tidak sah berpuasa 18 Januari, karena saat itu mereka harus beridul fitri. Tetapi bagi mayoritas kaum Musliman di Indonesia yang menganut keberlakukan rukyat secara lokal, tidak sah membatalkan puasa pada 18 Januari karena di Indonesia saat itu masih hari terakhir Ramadan, belum idul fitri.

Idul Adha Yg berbeda di Saudi


Kejadian tahun 1411 H/1991 berulang lagi. Idul Adha di Indonesia dan di Arab Saudi berbeda hari. Pada tahun 1991 wukuf di Arafah terjadi pada 21 Juni 1991 dan Idul Adha di Arab Saudi jatuh pada 22 Juni 1991. Sedangkan di Indonesia Idul Adha jatuh pada 23 Juni 1991. Tahun ini Arab Saudi mengumumkan hari wukuf 9 Dzulhijjah jatuh pada 16 April 1997 dan Idul Adha jatuh pada 17 April 1997. Sedangkan di Indonesia Idul Adha akan jatuh pada 18 April.

Menghadapi kenyataan itu biasanya timbul beberapa pertanyaan di masyarakat. Mengapa terjadi perbedaan hari Idul Adha? Mengapa Arab Saudi yang terletak di sebelah barat Indonesia bisa lebih dahulu merayakan Idul Adha? Dan kapankah puasa hari Arafah bagi masyarakat di Indonesia, 16 April atau 17 April? Bila mengetahui asal-usulnya, "perbedaan" itu sebenarnya semu belaka dan pertanyaan- pertanyaan itu sangat mudah terjawab.

Dua Garis Tanggal

Adanya dua sistem kalender yang kita anut, syamsiah (solar calendar) dan qamariyah (lunar calendar), menyebabkan kita akan menghadapi dua garis tanggal: garis tanggal syamsiah dan garis tanggal qamariyah. Garis tanggal mesti ada karena bumi kita bulat sehingga perlu pembatas pergantian hari.

Garis tanggal syamsiah ditentukan berdasarkan kesepakatan internasional yang menjadikan garis bujur 0 derajat melalui Greenwich dan garis bujur 180 derajat melalui lautan Pasifik. Di sebelah timur garis tanggal internasional tanggalnya lebih muda daripada yang di sebelah baratnya. Contoh yang paling baik adalah catatan sejarah penyerahan Jepang kepada tentara sekutu. Kejadiannya sama, tetapi buku-buku sejarah di Amerika menyebutnya penyerahan itu terjadi pada tanggal 14 Agustus 1945. Sedangkan buku-buku di Asia, termasuk di Indonesia, menyebutkan tanggal 15 Agustus 1945. Garis tanggal qamariyah pun sama sifatnya seperti garis tanggal internasional. Di sebelah timur garis tanggal qamariyah tanggalnya pun lebih muda dari pada di sebelah baratnya. Bedanya, garis tanggal qamariyah tidak tetap pada garis bujur tertentu. Posisinya selalu berubah setiap bulannya, tergantung posisi bulan dan matahari.

Ada dua definisi yang saat ini digunakan dalam pembuatan garis tanggal qamariyah. Pertama, berdasarkan visibilitas hilal seperti yang dilakukan oleh IICP (International Islamic Calendar Programme, berpusat di Malaysia). Dan yang kedua, berdasarkan syarat minimal bulan di horizon pada saat matahari terbenam. Cara yang ke dua yang biasanya digunakan di Indonesia. Cara ini pun yang paling sederhana, namun cukup baik untuk menjadi kriteria pertama mengkonfirmasikan rukyatul hilal.

Berdasarkan perhitungan cara yang ke dua, garis tanggal awal Dzulhijjah 1417/1997 melalui pantai barat Australia, pantai barat Sumatra, India, Kazakhstan, dan Rusia bagian barat. Dengan demikian garis tanggal ini memisahkan Arab Saudi dengan Indonesia. Adanya garis tanggal yang memisahkan Arab Saudi dan Indonesia itulah yang menyebabkan Idul Adha di Arab Saudi lebih dahulu (menurut kalender syamsiah) daripada di Indonesia. Pada hari Kamis 17 April di bagian barat garis tanggal itu (misalnya Arab Saudi) sudah memasuki 10 Dzulhijjah (Idul Adha) sedangkan di sebelah timurnya masih tanggal 9 Dzulhijjah.

Ini analog dengan contoh penyerahan Jepang kepada tentara Sekutu tersebut di atas yang terjadi tanggal 15 Agustus 1945 menurut catatan di Asia, tetapi menurut catatan di Amerika. Hal ini terjadi karena adanya garis tanggal internasional yang memisahkannya. Perhitungan astronomis yang lebih rinci bisa membuktikan keadaan itu. Ijtimak 1 Dzulhijjah 1417 terjadi pada 7 April 1997 pukul 11:04 UT atau pukul 14:04 waktu Arab Saudi, pukul 18:04 WIB. Dengan kata lain, di Arab Saudi ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub) sedangkan di sebagian besar Indonesia saat itu matahari sudah terbenam. Jadi berdasarkan saat ijtimak itu saja dapat difahami bahwa masuknya awal Dzulhijjah di Arab Saudi lebih dahulu daripada di Indonesia.

Bukti lain bisa ditunjukkan dengan menghitung saat matahari terbenam dan bulan terbenam. Hilal pada prinsipnya sudah wujud di ufuk barat bila saat bulan terbenam lebih lambat daripada saat matahari terbenam. Pada tanggal 7 April, di Mekkah matahari terbenam pukul 18:38 sedangkan bulan terbenam lebih lambat lagi, pukul 18:45. Sehingga 1 Dzulhijjah jatuh pada tanggal 8 April dan Idul Adha jatuh pada 17 April 1997.

Di Indonesia pada tanggal 7 April itu bulan terbenam lebih dahulu daripada matahari. Di Jakarta bulan terbenam pukul 17:54 sedangkan matahari terbenam pukul 17:55. Dan di Bandung bulan terbenam pukul 17:51 sedangkan matahari terbenam pukul 17:52. Bulan sudah di bawah ufuk pada saat matahari terbenam. Dengan demikian 1 Dzulhijjah jatuh pada 9 April dan Idul Adha jatuh pada 18 April 1997.

Kapan Puasa Arafah?

Wukuf di Arafah dilaksanakan pada 9 Dzulhijjah. Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, pada hari Arafah itu disunahkan berpuasa. Menurut hadits Rasulullah SAW yang diceritakan Abu Qatadah r. a., puasa hari Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang berlalu dan tahun mendatang. Oleh karenanya puasa hari Arafah ini tergolong puasa sunah yang muakad (utama) sehingga banyak orang yang melaksanakannya.

Mendengar pengumuman Arab Saudi bahwa wukuf di Arfah jatuh pada tanggal 16 April dan Idul Adha jatuh pada 17 April, mungkin banyak orang yang bimbang kapan mesti berpuasa hari Arafah.

Hari Arafah adalah 9 Dzulhijjah. Di Indonesia, 9 Dzulhijjah jatuh pada 17 April. Tetapi orang akan bimbang bila berpuasa pada 17 April karena hari itu di Arab Saudi sudah Idul Adha. Menurut Nabi SAW, berpuasa pada hari raya haram hukumnya. Kalau begitu, ada yang berpendapat berpuasalah pada tanggal 16 April karena hari Arafah hanya ada di Arab Saudi, maka mengaculah pada Arab Saudi.

Sepintas pendapat itu nampaknya benar. Kalau dikaji lebih lanjut sebenarnya pendapat itu keliru. Pola pikir seperti itu hanya terjadi bila kita merancukan sistem kalender syamsiah dengan sistem kalender qamariyah. Berpuasa hari Arafah di Indonesia pada tanggal 16 April berarti kita tunduk pada kesamaan tanggal syamsiah antara Arab Saudi dan Indonesia. Bukan pada ketentuan kalender qamariyah, 9 Dzulhijjah. Pada tanggal 16 April itu di Indonesia baru tanggal 8 Dzulhijjah.

Ada satu prinsip yang harus diingat dalam penentuan waktu ibadah: penentuan secara lokal. Wukuf di Arafah ditentukan berdasarkan penentuan awal Dzulhijjah di Arab Saudi. Awal Ramadan ditentukan berdasarkan rukyatul hilal di masing-masing wilayah. Waktu salat ditentukan berdasarkan posisi matahari di masing-masing tempat. Demikian pula waktu untuk melakukan puasa-puasa sunah, termasuk puasa hari Arafah, 9 Dzulhijjah. Tidak bisa diganti menjadi tanggal 8 Dzulhijjah hanya karena alasan perbedaan tanggal syamsiahnya.

Untuk menjawab masalah kapan mesti berpuasa, baiklah kita runtut perjalanan waktu berdasarkan peredaran bumi dengan berpegang pada keyakinan puasa Arafah tetap harus 9 Dzulhijjah. Bagi Muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai sejak fajar 16 April. Makin ke barat waktu fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal puasa kira-kira 3 jam sesudah di Arab Saudi, tetapi tetap tanggal 16 April. Makin ke barat lagi, di pantai barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah makin bergeser lagi, 11 jam setelah Arab Saudi. Saat itu orang di Arab Saudi sebentar lagi berbuka puasa. Tanggalnya tetap 16 April. Di Hawaii, puasa Arafah juga 16 April, tetapi fajar awal puasanya sekitar 13,5 jam setelah Arab Saudi. Bila diteruskan ke barat, di tengah lautan Pasifik ada garis tanggal internasional. Mau tidak mau sebutan 16 April harus diganti menjadi 17 April walaupun hanya berbeda beberapa jam dengan Hawaii. Awal puasa Arafah di Indonesia pun yang dilakukan sekitar 6,5 jam setelah fajar di Hawaii, dilakukan dengan sebutan tanggal yang berbeda hanya gara-gara melewati garis tanggal internasional. Di Indonesia puasa Arafah harus dilakukan pada 17 April 1997. Itulah tetap tanggal 9 Dzulhijjah, sama dengan tanggal qamariyah di Arab Saudi. Berdasarkan penalaran seperti itu pula, dalam konperensi kelender Islam internasional di Malaysia, ada salah satu panduan penting yang dirumuskan yang bisa menjadi pegangan bagi umat Islam dalam penentuan waktu ibadah. Panduan itu menyatakan bahwa dalam menentukan awal Ramadan atau awal bulan Islam lainnya, jangan mengacu pada wilayah yang di sebelah barat, tetapi mengacu pada wilayah di sebelah timur. Berdasarkan panduan itu, kita akan semakin yakin dan mempunyai alasan kuat untuk berpuasa Arafah pada 17 April, bukan mengikuti Arab Saudi yang berada di sebalah barat Indonesia yang berpuasa pada 16 Apri

Ramadhan Pd Jaman Rasululloh


Ramadan berarti bulan musim panas terik. Pada zaman sebelum Rasulullah SAW, masyarakat Arab tidak murni menggunakan kalender qamariyah (bulan), tetapi setiap tiga tahun menambahkan satu bulan tambahan untuk menyesuaikan dengan dengan musim. Sistem kalender campuran itu biasa disebut sistem qamari-syamsiah (luni-solar calendar). Nama bulan lain yang berkaitan dengan musim adalah Rabiul awal dan Rabiul akhir yang berarti bulan musim semi pertama dan terakhir.

Berdasarkan nama tersebut, pada zaman itu Ramadan jatuh sekitar bulan Agustus-September, Rabiul awal pada Februari-Maret, dan Rabiul akhir pada Maret-April. Itu sesuai dengan keadaan musim di bumi belahan utara.

Bila dihitung mundur, saat Nabi Muhammad SAW menerima risalah kenabian pada 17 Ramadan tahun gajah ke 41 (tahun ke 41 sejak kelahiran Nabi, 13 tahun sebelum hijrah) bertepatan dengan 13 Agustus 610. Perhitungan mundur itu menggunakan perhitungan kalender qamariyah murni. Mungkin ini bisa menunjukkan bahwa sampai dengan saat itu sistem kelender yang digunakan adalah sistem qamari-syamsiah. Dan sesudah kerasulan Nabi Muhammad SAW sistem kalender yang digunakan murni qamariyah.

Tidak ada keterangan yang pasti sejak kapan Rasulullah SAW menetapkan sistem kalendar murni qamariyah, menggantikan sistem qamari-syamsiah. Namun sangat mungkin dilakukan setelah turunnya ayat At-Taubah 36-37 yang merupakan perintah Allah untuk menghapus sistem campuran tersebut dan menggantikannya dengan sistem qamariyah murni.

Pada ayat 36 At-Taubah Allah menegaskan, "Sesungguhnnya jumlah bulan pada sisi Allah adalah dua belas menurut ketetapan Allah sejak hari diciptakannya langit dan bumi..." Dengan bahasa astronomi, ayat itu bermakna Allah telah menetapkan bahwa peredaran bumi mengitari matahari yang mendefinisikan batasan waktu 'tahun' setara dengan dua belas kali lunasi (datangnya hilal) yang mendefinisikan batasan waktu 'bulan'. Satu tahun syamsiah adalah 365,2422 hari, sedangkan satu bulan qamariyah adalah 29,5306 hari. Jadi satu tahun qamariyah berjumlah 354 hari, sebelas hari lebih pendek daripada kalender syamsiah.

Ayat berikutnya, At-Taubah 37, mengecam praktek Annasiy, yaitu mengulur atau menambah bulan yang hanya akan menambah kekafiran, pengingkaran kepada Allah. Bulan suci yang telah disepakati bersama (Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Muharam) bisa tergeser karenanya. Sesudah Dzulhijjah ada bulan ketiga belas sehingga menggeser bulan Muharram.

Penambahan bulan itu untuk menyesuaikan dengan musim, tetapi dilakukan sepihak sehingga bisa mengacaukan kesepakatan yang telah ada. Dalam prakteknya, annasiy bisa dilakukan dengan menambah satu bulan tambahan setiap tiga tahun untuk menggenapkan selisih tahunan yang 11 hari itu.

Ramadan Zaman Rasul

Ayat perintah puasa Ramadan diturunkan oleh Allah pada bulan Sya'ban 2 H. Berarti Rasulullah SAW sempat melaksanakannya sebanyak 9 kali sebelum beliau wafat pada 12 Rabiul awal 11 H. Menurut atsar Ibnu Mas'ud dan Aisyah disebutkan bahwa Rasulullah SAW semasa hidupnya lebih banyak berpuasa Ramadan 29 hari daripada 30 hari. Puasa Ramadan pada zaman Rasulullah SAW ini menarik untuk dibuktikan dengan hisab astronomi.

Saya telah menghisab posisi hilal awal Ramadan dan Syawal semasa Rasulullah SAW hidup dari 2 H - 10 H. Analisis astronomi tersebut memang menunjukkan selama sembilan tahun itu enam kali Ramadan panjangnya 29 hari, hanya tiga kali yang 30 hari (lihat tabel). Dari analisisi itu juga diketahui bahwa pada zaman Nabi itu puasa dilakukan pada musim semi dan musim dingin dengan waktu puasa mulai sekitar pukul 4 sampai sekitar 17:30 pada musim semi dan mulai sekitar pukul 4:30 sampai sekitar 16:40 pada musim dingin.

Puasa pertama berawal pada Ahad 26 Februari 624 dan idul fitrinya jatuh pada Senin 26 Maret 624. Berarti lama puasa 29 hari. Perang Badar yang terjadi saat itu pada 17 Ramadan 2 H (13 Maret 624) jatuhnya pada hari Selasa. Perhitungan ini berbeda dengan riwayat yang menyatakan bahwa perang Badar terjadi malam Jum'at.

Salah satu Idul Fitri pada zaman Nabi terjadi pada hari Jumat, yaitu 1 Syawal 3 H yang bertepatan dengan 15 Maret 625. Inilah satu-satunya idul fitri yang jatuh pada hari Jum'at semasa Rasulullah SAW hidup. Mungkin inilah kejadian yang berkaitan dengan hadits yang membolehkan meninggalkan salat Jum'at bila pagi harinya telah mengikuti salat hari raya. Dalam hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan dari Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Pada hari ini (Jumat) telah berkumpul dua hari raya, maka siapa yang mau, (salat hari rayanya) telah mencukupi salat Jumatnya, tetapi kami tetap akan melakukan salat Jumat."

Tahun Hijriyah

Awal Ramadan

Idul Fitri

Hari Puasa

2
Ahad, 26 Feb. 624
Senin, 26 Mar. 624
29
3
Kamis, 14 Feb. 625
Jum'at, 15 Mar. 625
29
4
Selasa, 4 Feb. 626
Rabu, 5 Mar. 626
29
5
Ahad, 25 Jan. 627
Senin, 23 Feb. 627
29
6
Kamis, 14 Jan. 628
Sabtu, 13 Feb. 628
30
7
Senin, 2 Jan. 629
Rabu, 1 Feb. 629
30
8
Jum'at, 22 Des. 629
Ahad, 21 Jan. 630
30
9
Rabu, 12 Des. 630
Kamis, 10 Jan. 631
29
10
Ahad, 1 Des. 631
Senin, 30 Des. 631
29

MUI dan Penyatuan Hari Raya


T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung, Anggota Badan Hisab dan Rukyat)



Republika, 05 Februari 2004

Alhamdulillah. Rasa syukur sepatutnya kita nyatakan dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia yang ditetapkan pada 16 Desember 2003 lalu. Walau pun media massa lebih tertarik pada fatwa bunga bank, sebenarnya fatwa MUI tersebut juga memuat hal penting, yaitu tentang penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Sangat disayangkan kurangnya minat media massa memberitakannya, termasuk ketika sosialisasinya sebelum sidang itsbat penentuan awal Dzulhijjah dan Idul Adha 1424 di Depag. Padahal fatwa itu telah membuka jalan menuju penyatuan awal Ramadhan dan hari raya yang didambakan umat Islam. Keseragaman awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha 1424 tahun ini semata-mata karena posisi bulan dan matahari memungkinkan untuk terjadinya keseragaman, bukan berarti telah terpecahkannya masalah perbedaan pendapat yang sering kali muncul tentang penentuan awal-awal bulan qamariyah. Masih ada hal-hal yang harus diselesaikan dalam upaya penyatuan umat yang seharusnya kita mulai pada masa tenang ini, bukan saat terjadi perbedaan. Fatwa MUI tersebut mempunyai makna sangat penting dalam upaya tersebut.

Implikasi fatwa

Fatwa MUI menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama) dan hisab (perhitungan astronomi). Ini menegaskan bahwa kedua metode yang selama ini dipakai di Indonesia berkedudukan sejajar.

Keduanya merupakan komplemen yang tidak terpisahkan. Masing-masing punya keunggulan, namun juga punya kelemahan kalau berdiri sendiri. Butir kedua menyatakan bahwa seluruh umat Islam Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Butir kedua ini sangat terkait dengan butir ketiga bahwa dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib kerkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, dan instansi terkait. Dua butir fatwa ini sangat penting dan membuka jalan penyatuan hari raya Islam. Dasarnya mengacu pada perintah taat kepada pemimpin atau pemerintah (ulil amri) dalam QS 4:59, sesudah perintah untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Juga hadis Nabi riwayat Bukhari yang memerintahkan untuk taat kepada pemimpin walaupun ia seorang budak Habsyi. Dalam fikih juga dikenal kaidah bahwa keputusan hakim (pemerintah) bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat. Walau pun kita akui betapa kuatnya dominasi keormasan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, fatwa ulama di MUI semestinya tidak diabaikan. Keinginan kuat umat untuk mendapatkan keseragaman dalam memulai puasa Ramadhan serta merayakan Idul Fitri dan Idul Adha telah diakomodasikan dengan fatwa perlunya ketaatan kepada satu otoritas, yaitu pemerintah sebagai ulil amri. Ini adalah awal untuk mempersatukan hal-hal teknis yang sekian lama sulit dipersatukan. Keterbukaan para pemimpin ormas Islam untuk mengajak anggotanya untuk menuju penyatuan sangat didambakan.

Bila sebelumnya ada kesan keenganan melepaskan pendapat ormasnya dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah karena terkesan mengikuti pendapat ormas lain yang tidak disetujui landasannya, semoga fatwa ini menghilangkan kesan tersebut. Kita mengikut kepada pemerintah (diwakili Menteri Agama) yang telah mengakomodasi pendapat MUI, ormas-ormas Islam, dan para pakar instansi terkait. Ketaatan tersebut juga mengikuti kaidah fikih untuk menghilangkan perbedaan pendapat demi menjaga ukhuwah.

Butir keempat fatwa menegaskan tentang mathla' (keberlakuan ru'yatul hilal) yang dianut Indonesia bahwa hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal di rukyat walau pun di luar wilayah Indonesia yang mathla'-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI. Ini menyatakan bahwa di mana pun ada kesaksian hilal yang mungkin dirukyat dalam wilayah hukum Indonesia (wilayatul hukmi) maka kesaksian tersebut dapat diterima. Juga kesaksian lain di wilayah sekitar Indonesia yang telah disepakati sebagai satu mathla', yaitu negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Hal ini sebenarnya telah berjalan, namun pernyataan "hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat" memberi arti tidak semua kesaksian dapat diterima. Bila di suatu daerah hilal tidak mungkin terlihat karena ketinggiannya di bawah ufuk, maka kesaksian hilalnya tidak dapat diterima dan tidak boleh dijadikan pedoman. Kasus-kasus kesaksian hilal yang diterima yang sebenarnya telah di bawah ufuk, tidak boleh terulang lagi. Kedudukan rukyat dan hisab yang setara yang dinyatakan dalam butir pertama fatwa tersebut akan menjadi kontrol tidak terulangnya kasus seperti itu.

Hal yang juga penting dalam fatwa tersebut adalah rekomendasi agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait. Hal-hal teknis yang membuat metode hisab dan rukyat tampak berbeda, dapat dipersatukan dengan kriteria tersebut. Hal ini perlu dijelaskan kepada anggota masing-masing ormas Islam bahwa pada dasarnya hisab dan rukyat dapat mempunyai kriteria yang sama sebagai titik temunya. Dikhotomi hisab dan rukyat dapat dihilangkan.

Kriteria tersebut akan merupakan rambu-rambu bagi Menteri Agama sebelum memutuskan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Minimal kriteria tersebut memberikan batasan ru'yatul hilal yang bisa diterima dan yang sepatutnya ditolak berdasarkan pengalaman jangka panjang, sekaligus memberi batasan untuk menentukan masuknya awal bulan dari hasil perhitungan astronomi atau hisab. Lazimnya, kriteria tersebut dinamakan kriteria imkanur ru'yat (kemungkinan untuk teramatinya hilal) atau visibilitas hilal. Misalnya, hilal mungkin untuk dirukyat bila tingginya lebih sekian derajat, jarak dari matahari sekian derajat, dan umurnya sekian jam.

Memang tidak mudah mengubah paradigma yang telah melekat sekian lama di kalangan anggota masing-masing ormas. Ada kesan sikap resistensi pada sebagian anggota masing-masing ormas untuk mengkritisi kriteria yang selama ini dipegang oleh ormasnya. Sikap memandang pendapat ormasnya yang unggul dan merendahkan pendapat lainnya, ternyata masih dijumpai dalam diskusi-diskusi intern ormas Islam. Namun, banyak juga yang mulai membuka diri dalam upaya mencari titik temu kriteria yang berbeda-beda tersebut.

Dalam kaitan inilah, Majelis Ulama Indonesia bersama Departemen Agama perlu mengupayakan muktamar bersama ormas Islam yang keputusannya mengikat semua pihak. Ada indikasi musyawarah terbatas perwakilan ormas Islam tidak berdampak kepada perubahan di masing-masing ormas, karena satu-dua wakil akan berhadapan dengan resistensi anggota yang lebih besar. Walau pun masih ada kendala aturan organisatoris dalam menerapkan secara langsung hasil muktamar bersama, namun dengan banyaknya perwakilan daerah yang dilibatkan akan lebih mudah menghilangkan resistensi dalam muktamar atau munas masing-masing ormas.

Kriteria bersama Rekomendasi dalam fatwa tersebut perlu segera direalisasikan karena ketaatan kepada ulil amri (pemerintah) akan lebih kuat kalau didasari pada keyakinan bahwa pemerintah pun menggunakan kriteria yang disepakati bersama. Dengan demikian tidak akan terjadi kecurigaan bahwa pemerintah lebih mengakomodasi pendapat salah satu atau beberapa ormas saja. Tahun 1424-1426 (2003-2005) adalah masa tenang yang tidak rawan terjadinya perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pada masa inilah kriteria bersama harus sudah diperoleh agar dapat mengantisipasi kemungkinan perbedaan pada tahun-tahun mendatang.

Dengan kondisi kriteria yang masih beragam seperti saat ini, ketinggian hilal sekitar 2 derajat atau kurang sangat rawan menimbulkan perbedaan.

Pengalaman penentuan Idul Fitri 1418 menjadi pelajaran penting bahwa kriteria sangat menentukan. Pada waktu itu ketinggian hilal hanya sekitar 0,9 derajat. Bagi kalangan NU yang mengandalkan ru'yatul hilal, muncul dua pendapat. Ada yang menerima kesaksian dari Cakung dan Bawean sehingga ber-Idul Fitri pada 29 Januari 1998. Ada pula yang menolaknya karena ketinggiannya kurang dari kelaziman tinggi minimal imkanur ru'yat 2 derajat sehingga ber-Idul Fitri 30 Januari 1998.

Bagi Muhammadiyah dan Persis yang mengandalkan hisab, waktu itu keputusannya pun berbeda. Muhammadiyah yang berdasarkan kriteria wujudul hilal langsung memutuskan Idul Fitri pada 29 Januari 1998. Sedangkan Persis yang waktu itu mengikuti kriteria MABIMS tinggi minimal 2 derajat memutuskan Idul Fitri 30 Januari 1998. Saat itulah pertama kali sidang itsbat tidak menghasilkan keputusan yang bulat. Pemerintah memutuskan Idul Fitri 30 Januari 1998, tetapi mempersilakan umat Islam yang meyakini untuk ber-Idul Fitri pada 29 Januari 1998.

Kasus perubahan Idul Adha 1422 dari 23 Februari 2002 seperti tercantum dalam kalender yang mengacu pada Keputusan Menteri Agama tahun 2001 menjadi 22 Februari 2002 juga karena tidak adanya kriteria yang disepakati bersama. Keputusan Menteri Agama didasarkan pada kriteria MABIMS yang mensyaratkan umur hilal minimal 8 jam dan tingginya minimal 2 derajat. Saat itu umur hilal pada akhir Dzulqaidah masih kurang dari 2 derajat. Namun ternyata ada laporan kesaksian hilal yang secara ilmiah diragukan, namun dapat diterima oleh Menteri Agama. Hasilnya, memang keseragaman hari Idul Adha, namun Menteri Agama harus membuat keputusan baru yang mengubah keputusan sebelumnya. Ini pun pertama kali terjadi hari libur diubah. Kondisi rawan perbedaan karena rendahnya ketinggian hilal terjadi antara lain pada awal Ramadhan 1422/2001, Idul Adha 1422/2002, Idul Fitri 1423/2002, dan Idul Adha 1423/2003.

Kemudian kita memasuki masa tenang selama tahun 1424-1426 (2003- 005) karena tidak ada yang rawan terjadinya perbedaan. Baru kemudian Idul Fitri 1427/2006 dan 1428/2007 berpotensi terjadinya perbedaan lagi kalau kriteria bersama belum diperoleh. Dengan niat baik bersama, insya Allah tiga tahun masa tenang ini dapat dimanfaatkan semua ormas Islam bersama MUI, Departemen Agama, dan instansi terkait lainnya untuk mengkaji ulang kriteria penentuan awal bulan qamariyah untuk mencapai titik temu.



T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung. Anggota Badan Hisab dan Rukyat

Thursday, September 27, 2007

DINAMIKA PERJUANGAN MUHAMMADIYAH



Kompetensi Dasar
Mahasiswa dapat menguraikan dinamika perjuangan Muhammadiyah di era Kolonialisme, era kemerdekaan, orde lama, orde baru dan era transisi menuju demokrasi.

Hasil Belajar
1. Mahasiswa dapat menguraikan dinamika perjuangan Muhammadiyah di era kolonialisme Belanda dan Jepang;
2. Mahasiswa mampu menjabarkan dinamika perjuangan Muhammadiyah di era kemerdekaan hingga orde lama;
3. Mahasiswa mampu menjelaskan peran Muhammadiyah di era orde baru; dan
4. Mahasiswa mampu menguraikan perjuangan Muhammadiyah di era transisi menuju demokrasi.
5. Mahasiswa mampu merumuskan peran pemberdayaan dan penguatan masyarakat madani (masyarakat sipil) dalam era transisi menuju demokrasi dewasa ini.

Kata Kunci
Kolonialisme; Penghayatan Lokal; Tradisionalisme; Pemurnian Keagamaan; Perlawanan Fisik; Konfrontasi Ideologi; Kepribadian Muhammadiyah; Politik Alokatif; High Politic; Tauhid Sosial; The Great NGO; Penguatan Masyarakat Sipil (Masyarakat Madani).



Pengantar
Mengkaji dinamika Muhammadiyah dari sisi perjuangannya sejak era kolonial hingga era reformasi (transisi menuju demokrasi) dewasa ini sangatlah kompleks sekaligus menarik. Sisi kompleksnya adalah karena perjuangan Muhammadiyah bersinggungan dengan aspek yang luas seperti sosial—termasuk pendidikan--, budaya, keagamaan, ekonomi dan politik. Sedangkan sisi menariknya adalah Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi sosial yang oleh sementara kalangan dikatakan sebagai The Great Non-Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang terbesar, baik dalam konteks nasional ataupun global, yang memiliki jaringan kelembagaan dan amal usaha seperti pendidikan dan kesehatan yang terbentang sampai pelosok negeri dan memiliki beberapa perwakilan di luar negeri. Bahkan Muhammadiyah sendiri telah berusia hampir satu abad; sebuah usia yang matang melakukan rekayasa zaman.
Melalui kajian tentang dinamika perjuangan Muhammadiyah berikut ini, pembaca akan memperoleh informasi tentang kiprah Muhammadiyah dari sejumlah sisi, baik dakwah, pendidikan dan persinggungannya dengan dunia politik. Tentu saja, apa yang tertuang dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari apa yang telah dan sedang dilakukan Muhammadiyah, oleh karena itu kajian atas sumber atau rujukan lainnya serta pendalaman melalui diskusi menjadi sesuatu yang penting.


Muhammadiyah di Era Kolonialisme
Muhammadiyah pada awal pertumbuhannya tidak dapat dilepaskan dari sosok Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923). Kiai ini lahir dan berjuang di tengah alam penjajahan. Ia bangkit dari balik kemelaratan sosial akibat penjajahan dan menguatnya feodalisme yang menelantarkan hak-hak sosial secara wajar. Kaum kolonial terutama Belanda yang paling lama mengabaikan tradisi lokal dan bangsa sekaligus memiliki pengaruh paling mendalam terhadap bangsa pribumi melalui supra dan infrastruktur ekonomi dan politik yang dipaksakannya. Pada konteks demikian, bangsa kolonial memang hanya mengutamakan kepentingan ekonomi dan politiknya atas bangsa yang dijajahnya (Ruswan, 1997: 127).
Pada waktu itu, kolonial Belanda membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga lapis hierarkis (strata sosial): pertama, kaum Hindia-Belanda sebagai lapis atas; kedua, bangsa Timur Asing sebagai lapis kedua; dan ketiga, masyarakat pribumi senagai lapis ketiga/terendah. Dengan pandangan seperti ini, peluang masyarakat pribumi untuk memperoleh hak hidup yang layak dan hak bersekolah pun hanya dibatasi untuk kalangan ningrat (priyayi). Apalagi, jelas-jelas pendidikan yang dibangun kaum penjajah sekadar sebagai “politik balas-budi” (ethical politic); sebuah pendidikan tidak serius untuk bangsa terjajah.
Hal yang perlu dipertimbangkan sebagai background sosial Ahmad Dahlan adalah bahwa jauh sebelum kolonialisme bercokol, Nusantara sudah menyelami penghayatan-penghayatan lokal, misalnya kepercayaan lokal-sinkretis-Jawa sebagai konteks religio-kultural tempat Muhammadiyah berada, di mana Keraton menempatkan diri sebagai penjaga gawangnya. Nalar lokal yang sinkretis itu semakin menguat dengan hadirnya tradisi Hindu-Budha, yang pada akhirnya antara Jawaisme, Hinduisme dan Budhisme adalah arus yang memperteguh dinamika lokal Jawa.
Di tengah kepungan tradisionalisme, Islam hadir sebagai sebuah kultur sekaligus subkultur baru di tengah lokalitas budaya di berbagai wilayah di Nusantara. Dinamika sosio-religio-kultural secara lokal sudah bersemi antara tradisi lokal, Hindu-Budha dan Islam. Oleh karena itu, secara alamiah, persingungan yang intensif nalar feodal yang ditransmisikan melalui peguron (Hindu-Budha) di satu sisi dan nalar-universal Islam di sisi yang lain merupakan dinamika sosial yang susah dihindari. Pengembangan dan tarik-menarik antara budaya lokal dan Islam adalah realitas yang tidak dapat dibantah.
Selanjutnya, persinggungan antara Muhammadiyah dan kultura lokal pun tidak dapat dihindarkan. Seorang Ahmad Dahlan yang masih memiliki hubungan khusus dengan kalangan Keraton tetap mengekpresikan sikap aspresiatif terhadap kultur Jawa, penggunaan bahasa Jawa untuk komunikasi keseharian dan tulisan serta berpartisipasi dalam kegiatan lokal seperti grebeg (Najib Burhani, 2005:102). Muhammadiyah menempuh jalan damai (peaceful way) dalam menyemaikan Islam di tengah masyarakat lokal Jawa.
Secara sosiologis, dinamika sosial dan budaya pada masa Ahmad Dahlan yang berkembang adalah: pertama, menguatnya kolonialisme-imperialisme yang mereproduksi kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat; kedua, alam feodalisme terutama kratonisme Jawa yang memproduk para pengabdi sosial yang tunduk pada elite-elite lokal (feodalisme); ketiga konservatisme pendidikan yakni 1) pendidikan hanya diperuntukan bagi elite Pribumi (sekolah kolonial), kalangan ningrat (peguron keraton); dan 2) ketertutupan pendidikan pesantren sebagai representasi pendidikan Muslim. Segitiga jebakan yakni kolonialisme, feodalisme dan konservatisme telah menyudutkan masyarakat dalam ruang ketidakberdayaan dan ketidakadilan sosial.
Problem-problem sosial di atas, oleh beberapa elite masyarakat pada waktu itu direspons secara berbeda. Respons perjuangan bergerak di antara bidang struktural-politik dan bidang kultural (sosial, budaya dan pendidikan). Hal yang menarik sebenarnya adalah ternyata Kiai Ahmad Dahlan mengambil lingkup sosial dan keagamaan—termasuk pendidikan—sebagai agenda transformasi gerakannya. Ia banyak belajar dan mengambil pengalaman dari fenomena Sarekat Islam sebagai sebuah gerakan yang bercorak ideologis-politik dan ekonomi serta pola perjuangan model Budi Utomo yang mengambil jalan politik dengan segala keterbatasan dan kelebihannya masing-masing. Pilihan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan diduga kuat dipengaruhi di antaranya oleh Muhammad Abduh di Mesir dalam upayanya merekonstruksi Al-Azhar (Arbiyah Lubis, 1993: 178). Hal yang tidak dapat diabaikan adalah kecerdasan Ahmad Dahlan sebagai tokoh yang telah lama bermukim di Timur Tengah dan bersinggungan dengan tokoh-tokoh Nasional pada masanya.
Secara historis perlu dikemukakan bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, negara-negara di Timur Tengah (khususnya Mesir), India dan Indonesia memang memiliki kemiripan dalam menginterpretasikan Islam sebagai dasar keagamaan maupun arah reformasi sosio-kultural. Selama periode tersebut, semua wilayah ini dikuasai rezim Kolonialisme Barat. Mesir dan India dijajah Inggris dan Indonesia dijajah Belanda. Oleh karena itu, pengalaman sebagai negeri terjajah telah memainkan peran yang penting dalam membentuk ide-ide pembaruan dan reformasi di kalangan komunitas Muslim, termasuk Muhammadiyah (Jainuri,1999:17). Sehingga arus modernisasi Muhammadiyah di samping sebagai upaya membangkitkan kembali semangat berijtihad, juga dalam rangka merespons tantangan penjajahan.
Reformasi di bidang keagamaan dan sosio-kultural yang dilakukan oleh Muhammadiyah inilah selanjutnya dapat dikategorikan sebagai “polimorphic” yakni dalam makna bahwa gerakan tersebut diwujudkan dalam berbagai bidang (Jainuri, 1999:17), seperti pendidikan, tabligh, sosial, ekonomi dan budaya, serta pada aspek tertentu dalam gerakan politik. Hal ini perlu ditegaskan bahwa Muhammadiyah memang menyatakan diri sebagai organisasi sosial-keagamaan, tetapi Muhammadiyah sendiri juga memiliki strategi politik dalam merespons Kolonialisme. Strategi politik yang dimaksud adalah pembangunan kecerdasan dan mentalitas umat agar bangkit sejajar dengan negara-negara maju; bukan menjadi menjadi bangsa kuli bagi kaum penjajah.
Sikap yang dibangun Ahmad Dahlan terhadap kaum kolonial Belanda memang tidak konfrontatif tetapi kooperatif. Sikap ini berbeda dengan kalangan Muslim pada umumnya yang reaktif dalam merespons bahwa semua hal yang berasal dari Barat itu haram dan siapapun yang mengikutinya berarti kafir (infidel). Ahmad Dahlan memotivasi anggota-anggotanya untuk memanfaatkan bentuk-bentuk modernisasi Barat yang dapat diterima oleh nilai-nilai Islam. Ini berarti, Muhammadiyah tidak begitu saja mengambil gagasan modernisasi, tetapi menyaringnya. Seperti watak modernisasi Barat yang mengeksploitasi alam, budaya dan manusianya ditentang oleh Ahmad Dahlan, namun modernisasi dalam bentuk berfikir maju untuk menyelesaikan kesengsaraan umat, membangun sarana pendidikan dan kesehatan yang maju diadopsi secara kreatif.
Sebagai sebuah organisasi reformis, sebenarnya Muhammadiyah memiliki karakteristik tersendiri. Ahmad Jainuri (1999: 63-67) mengidentifikasi karakterisitik gerakan reformasi Muhammadiyah sejak awal berdirinya sebagaimana hal itu juga dimiliki oleh gerakan reformasi pada umumnya sebagai berikut:
1. Motivasi ekonomi. Hal ini terkait dengan hubungan antara ide-ide reformasi dan aktivitas ekonomi. Ide-ide reformasi pada umumnya tumbuh di kalangan pedagang dan kelas menengah (masyarakat perkotaan). Sebagai pedagang batik, Ahmad Dahlan, misalnya sering berkunjung ke sejumlah kota untuk tujuan bisnis. Jaringan perdagangannya telah menciptakan platform dalam menyebarluaskan ide-ide Muhammadiyah ketika organisasi ini diperbolehkan oleh Pemerintah Kolonial untuk beroperasi di luar Yogyakarta. Munculnya cabang-cabang Muhammadiyah di beberapa daerah dalam banyak hal disponsori oleh para pedagang lokal, misalnya pedagang-pedagang di Pekalongan, Minangkabau dan Surabaya.
2. Mobilitas Sosial. Yakni hubungan antara ide-ide reformasi dan mobilitas (pergerakan) horisontal dari sejumlah kelompok. Muhammadiyah telah mendorong berseminya komunitas yang berkepribadian yang aktif (mobile personality). Aktivitas kewirausahaan Ahmad Dahlan telah membentuk sikap yang maju dan percaya diri dibandingan dengan kelompok non-pedagang. Watak ini menggeser pandangan-pandangan feodal sekaligus mengarahkan masyarakat pada semangat kemandirian ekonomi dan budaya tanpa meninggalkan etika keagamaan.
3. Pemurnian keagamaan dan memperbarui peran-peran sosial. Karakter ini meninjau ulang bahwa prinsip beragama tidak berhenti di ritual-peribadatan tetapi beragama itu mesti memiliki manfaat sosial (social significance). Pandangan ini mengarahkan pada sebuah sikap bahwa beragama itu mesti menjadikan pemeluknya saleh, aktif dan responsif terhadap perubahan masyarakat berikut permasalahannya. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan menghindari praktek sufistik yang mengarah pada kesalehan pribadi dan akhirat semata, tetapi praktek sufistik yang membimbing menjadi pribadi-pribadi yang saleh dan taat beribadah sekaligus peduli dalam memperbaiki masyarakatnya (kesalehan sosial).
Selanjutnya pada saat revolusi fisik 1945 menghadapi pendudukan Jepang, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah mengambil peran. Kegiatan pengajian anggota Muhammadiyah setiap malam Selasa di Kauman Yogyakarta sempat menghadirkan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk menyelaraskan perjuangan dalam bidang militer dan perjuangan dalam bidang spiritual. Bahkan Mesjid Besar Kauman pada waktu itu menjadi markas Angkatan Perang Sabil (APS).
Dalam keadaan darurat di atas, Muhammadiyah memberi instruksi kepada cabang-cabangnya di Jawa dan Madura, yang isinya:
[S]eluruh anggota Muhammadiyah harus turut bekerja dan berjuang untuk meluhurkan serta menegakkan ajaran Islam dan negara Republik Indonesia. Masing-masing mengambil tempat yang disanggupi dan yang tepat (Sukriyanto AR dan A. Munir Mulkhan [1985] dalam Syaifullah, 1997:129).
Oleh karena itu, tidak aneh apabila pada masa revolusi fisik, penanganan pengembangan pendidikan dan sosial dinomorduakan karena banyak sumber daya manusia Muhammadiyah yang terserap revolusi, baik ikut dalam pertempuran maupun duduk dalam pemerintahan atau dalam bidang lain (PP Muhammadiyah Majlis Pustaka [1995] dalam Syaifullah, 1997:129).
Sementara itu di kawasan Sulawesi, NICA Belanda berusaha menguasai daerah tersebut. Sebagai reaksinya, Dr. Ratulangie, pada November 1945 membentuk Pusat Keselamatan Rakyat Sulawesi (PKRS). H. S.D. Muntu, Ketua Muhammadiyah Wilayah Sulawesi, ikut duduk menjadi anggota organisasi tersebut. Di kawasan Aceh, pada 12 Agustus 1947, Muhammadiyah berperan aktif membentuk Dewan Pertahanan Daerah (DPD). Di Sumatera Utara, khususnya Medan, inisiatif mobilisasi Islam dalam perjuangan anti-Balanda digerakkan oleh seorang tokoh muda Muhammadiyah, Bachtiar Yunus; serta masih banyak lagi peran-peran perjuangan fisik di tingkat lokal yang dilakukan oleh para anggota Muhammadiyah (Syaifullah, 1997:134-137).
Peran Muhammadiyah melalui perjuangan senjata pada masa itu merupakan tuntutan kontekstual dan dinamis yang mesti dilakukan. Meskipun Muhammadiyah secara kelembagaan bukan kekuatan militer tetapi Muhammadiyah terutama para anggotanya terinspirasi untuk berbuat yang terbaik bagi bangsanya. Naluri perjuangan ini telah mengakar dan tumbuh dalam Muhammadiyah.

Muhammadiyah di Era Kemerdekaan dan Orde Lama
Lima tahun sebelum Ahmad Dahlan meninggal dunia, dalam rapat tahunan (algemeene vergadering) pada 1918 muncul dualisme gagasan, yaitu Muhammadiyah sebagai organisasi politik dan Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan (Syaifullah, 1997:95). Gagasan pertama diwakili oleh Agus Salim—salah seorang penandatangan Piagam Jakarta tahun 1945—dan gagasan kedua diwakiliki oleh Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah. Munculnya dualisme ini dimungkinkan karena agenda rapat tahunan tersebut membicarakan UU dasar atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) persyarikatan Muhammadiyah.
Perbincangan mengenai pentingnya politik bagi Muhammadiyah, ditambah dengan gaya retorika dan agitasi Agus Salim sebagai tokoh politik Syarikat Islam membuat peserta rapat tahunan terpikat padanya. Hal ini disaksikan dan diakui oleh salah seorang kader Ahmad Dahlan yang ikut dalam rapat tersebut, yaitu Hadjid, yang pada kemudian hari menjadi anggota Konstituante dari fraksi Masyumi. Namun argumentasi Ahmad Dahlan kemudian mengemuka bahwa membangun bangsa ini di satu sisi serta perjuangan menegakkan Islam di sisi yang lain merupakan perjuangan yang panjang. Dengan melihat kondisi objektif sumber daya manusia muslim pada aspek sosial, ekonomi, pendidikan dan politik yang masih rendah, tidak mungkin perjuangan itu dilakukan dalam kancah politik-kekuasaan semata tetapi yang lebih penting bagi Ahmad Dahlan adalah perjuangan memperbaiki sumber daya manusianya melalui pendidikan.
Tarik-menarik pemikiran dan kepentingan apakah Muhammadiyah mesti menjadi organisasi politik atau organisasi sosial terus berlanjut seiring dengan menguatnya kesadaran nasional menuju kemerdekaan 1945 dan masa-masa berikutnya. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu lumrah saja muncul di tengah himpitan dinamika sosial dan politik yang kian memanas yang menuntut respons cepat dan diplomatis. Tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Prof. Kahar Muzakkir yang mewakili umat Islam menyerukan perlunya Islam sebagai landasan ideologi negara. Ini berarti Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam diharapkan memainkan peran besar dalam konteks dinamika sosial dan politik kelak di kemudian hari.
Namun demikian, sikap tegas Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan tetap berkumandang. Dalam khutbah iftitah Muktamar Muhammadiyah I sesudah kemerdekaan RI pada 1950, Muhammadiyah menyatakan:
[R]asa kebangsaan, rasa keagamaan, rasa kenasionalan, dan bahwa [kejayaan] agama Islam hanya dapat dicapai di negara Indonesia yang merdeka, tidak pernah hilang dan tiada pernah lepas dari tiap keluarga Muhammadiyah. Meskipun tidak berpolitik [Muhammadiyah bukan organisasi politik], yang menjadi tujuan Muhammadiyah adalah sama dengan yang menjadi tujuan tiap golongan putra-putra tanah air, yaitu berjasa untuk tanah air dan bangsa dengan dorongan iman dan agamanya, agar bangsanya berbudi luhur dan tanah airnya kelak beroleh kedudukan mulia dan terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain (Sukriyanto AR dan A. Munir Mulkhan [1985] dalam Syaifullah, 1997:128).

Selanjutnya fase penting yang menandai kiprah sosial-politik Muhammadiyah adalah ketika bersinggungan dengan Partai Masyumi. Partai Masyumi lahir di Yogyakarta pada 7-8 November 1945 yang diputuskan dalam Kongres Muslimin Indonesia di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai respons umat Islam terhadap imbauan pemerintah melalui pengumuman 3 Oktober 1945 yang mengajak rakyat untuk mendirikan partai. Kongres tersebut juga mengikrarkan bahwa pertama, Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Kedua, bahwa Masyumi-lah yang akan memperjuangkan nasib umat Islam Indonesia (Syafi’i Ma’arif, 1987:48; Syaifullah, 1997:141-142).
Peristiwa tersebut menyiratkan bahwa Muhammadiyah merupakan salah satu unsur penting pendirian Masyumi sekaligus pada akhirnya beberapa pimpinan Muhammadiyah duduk dalam kepengurusan Masyumi pertama (1945) dan berikutnya (1949; 1951; 1952; 1954; 1956; 1959). Dalam kurun waktu tertentu, lebih-lebih setelah NU keluar (1952), Muhammadiyah selalu menjaga perimbangan orang-orangnya dalam Masyumi (lihat tabel 1).


Tabel 1. Persentase Wakil Muhammadiyah dalam PP Masyumi
No.
Tahun
Juml. Anggota PP Masyumi
Juml. Wakil Muh.
Persentase
Rata-Rata (%)
1
1945
24
11
45,83

2
1949
14
4
28,57

3
1951
16
9
56,25

4
1952
13
7
53,85

5
1954
15
8
53,33

6
1956
19
12
63,16

7
1959
19
13
68,42


Juml.
120
66

55
Sumber: Syaifullah, 1997:159

Seperti terlihat pada tabel di atas, peran Muhammadiyah dalam Masyumi sedemikian signifikan. Selama satu dasawarsa wakil Muhammadiyah dalam PP Masyumi di atas 50%. Namun demikian, hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi selanjutnya cenderung menurun, khususnya pada paro kedua 1950-an. Hingga 1959 Muhammadiyah menjadi anggota istimewa Masyumi, setahun sebelum partai ini bubar. Kiprah politik Muhammadiyah ini sekaligus memposisikan pimpinan dan anggota Muhammadiyah dalam dinamika dan spektrum politik yang kental, meski akhirnya Muhammadiyah mengambil sikap untuk putus hubungan dengan Masyumi (8 September 1959) setelah melewati masa mesra (1945-1955) dan masa renggang (1956-1956) (Syaifullah, 1997:198-221). Apalagi pada 1956 Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta memutuskan bahwa keanggotaan Muhammadiyah dalam Masyumi mulai dihapus secara perlahan namun dengan tetap menjaga hubungan baik dengan Masyumi (Musthafa Kamal P & A. Adaby Darban, 2002:145).
Situasi genting yang ditandai dengan konfrontasi ideologi yang memuncak pada Orde Lama, Muhammadiyah sendiri di bawah kepemimpinan HM. Yunus Anis (1959-1968). Situasi sosial dan politik yang tidak menentu itu yang akhirnya melahirkan pedoman penting berupa Kepribadian Muhammadiyah. Sikap ideologis Muhammadiyah ini sekaligus sebagai wacana tanding (counter discourse) terhadap ide Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) yang dipopulerkan Sukarno. Jika Nasakom diposisikan sebagai sinkretisme ajaran (heterodoxy), maka Kepribadian Muhammadiyah dapat dipandang sebagai pemurnian ajaran Islam (ortodoxy). Kepribadian Muhammadiyah menjadi orientasi kembali semangat dakwah Islamiyah dalam membangun bangsa Indonesia yang mengalami keterpurukan sosial, budaya dan ekonomi.
Hingga berakhirnya Orde Lama atau rezim Sukarno, Muhammadiyah memainkan diri sebagai garda depan penentang Partai Komunis Indonesia sekaligus menandai prakarsa Muhammadiyah ikut mendukung lahirnya Orde Baru.

Muhammadiyah di Era Orde Baru
Setelah tenggelamnya rezim Sukarno, bangunlah pemerintahan Suharto. Pemerintahan Suharto merupakan rezim yang paling lama berkuasa, sekitar 32 tahun (1966-1998). Dengan kendaraan Golkar sebagai partai politik penguasa, Suharto menancapkan kekuasaannya secara kuat sehingga acapkali tampak sangat beringas terhadap rakyat. Pada tingkat kebijakan-kebijakannya pun sering mengundang ‘ketakutan’ sosial termasuk organisasi sosial-kemasyarakatan dan keagamaan untuk mencoba melawan. Bagaimana Muhammadiyah menyikapi dan mengambil posisi?
Pada konteks kekuasaan, Muhammadiyah tetap memposisikan diri sebagai organisasi sosial dan keagamaan yang mengambil jarak yang sama terhadap semua partai politik. Aktivitas dakwah, pendidikan, rumah sakit, panti asuhan dan kegiatan sosial lainnya tetap berjalan dan mengambil peran akomodatif/kooperatif dengan pemerintah. Watak ini terus diemban dan disemaikan oleh para pimpinan Muhammadiyah sejak Orde Baru yakni KH. Ahmad Badawi (1962-1968), KH. Faqih Usman (1968), KH. AR Fakhrudin (1968-1990), KH. A. Azhar Basyir (1990-1995).
Watak kooperatif Muhammadiyah itu bahkan ditunjukkan ketika lahirnya ketentuan mengenai keharusan bagi semua orsospol untuk mencantumkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas organisasi. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam menempuh jalur akomodatif yakni dengan mencantumkan kedua asas tersebut. Jalan ini diambil sebagai strategi dan diplomasi membangun hubungan baik dengan pemerintah. Karena, senyatanya, Muhammadiyah dalam keputusan dan semangatnya tetap berkhidmat untuk selalu kembali kepada sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Sunnah serta semangat berijtihad. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 oleh Muhammadiyah ditempatkan sebagai kalimah sawa’ (common denominator/titik temu) antar komponen bangsa seperti halnya Piagam Madinah di Era Kenabian Muhammad SAW, sementara rujukan teologisnya adalah tetap nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sikap bersahabat Muhammadiyah terhadap pemerintah di pihak lain bukan berarti merontokkan daya kritis Muhammadiyah untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Dari sejumlah rencana dan produk perundang-undangan seperti UU Perkawinan, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Keormasan dan UU Peradilan Agama, Muhammadiyah selalu mengambil peran agar nilai-nilai Islam dapat terinternalisasi dalam wilayah kebijakan-politik di antaranya melalui penyusunan UU (legal drafting) tersebut tanpa Muhammadiyah sendiri mengubah diri menjadi partai atau kekuatan politik praktis. Inilah yang disebut sebagai politik alokatif Muhammadiyah (M. Din Syamsuddin, 1995:35).
Amal usaha Muhammadiyah di sektor pendidikan telah menyumbang kurang lebih 10% untuk seluruh jumlah lembaga pendidikan swasta di Indonesia yang terdiri dari lembaga pendidikan TK hingga Perguruan Tinggi. Sementara itu rumah sakit, klinik dan panti asuhan semakin berkembang dan memberi manfaat sosial yang luas. Sehingga dalam analisis gerakan sosial, Muhammadiyah merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terbesar di dunia yang memiliki infrastruktur dan jaringan yang sedemikian luas. Bahkan sempat muncul wacana tentang fenomena Muhammadiyah sebagai ‘negara dalam negara’, karena Muhammadiyah sendiri memiliki aturan yang otonom di luar kekuasaan negara meski Muhammadiyah sendiri tetap memiliki andil besar dalam membesarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah seorang tokoh Muhammadiyah yang memiliki daya kritis yang kuat di antaranya adalah Amien Rais yang akhirnya menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah (1995). Sebelumnya pada 1993, Amien Rais menggulirkan wacara suksesi kepemimpinan nasional. Di sini ‘suara politik’ sebagian besar tokoh Muhammadiyah vis-à-vis negara. Sehingga tokoh maupun Muhammadiyah itu sendiri acapkali dicurigai mulai bermain politik praktis. Seiring dengan proses reformasi yang terus bergulir dan remuknya sistem Orde Baru maka berakhirlah era kepemimpinan Suharto. Sekaligus ini menandai babak dan tantangan baru bagi peran Muhammadiyah dalam panggung sosial dan kebangsaan di era transisi menuju demokrasi atau lebih dikenal dengan sebutan era reformasi.

Muhammadiyah di Era Transisi Menuju Demokrasi
Proses reformasi yang mulai bergulir oleh sementara kalangan dianggap sebagai era transisi menuju demokrasi. Oleh seorang Indonesianis, Robert W. Hefner, Muhammadiyah dan NU ditempatkan sebagai kekuatan civil Islam yang paling kokoh. Artinya, masa depan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim itu sangat tergantung pada dua kekuatan ormas ini dalam mengimbangi kekuatan negara. Muhammadiyah diharapkan mampu melakukan reformasi dan pemberdayaan sosial yang semakin bermakna dan maslahat.
Keberanian tokoh Muhammadiyah seperti Amien Rais melakukan kritik terhadap fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme di sektor pemerintahan, kritik terjadap ekploitasi alam di Irian Jaya oleh PT Freeport, dan sebagainya diharapkan dapat ditindaklanjuti secara kreatif oleh segenap lapis Muhammadiyah. Politik yang menyuarakan aspirasi dan kemaslahatan rakyat inilah yang dikenal dengan sebutan ‘High Politic’, sebagaimana digagas oleh Amien Rais.
Wajah Muhammadiyah dikenal juga cukup moderat di bawah kepemimpinan Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif (2000-2005). Muhammadiyah dianggap relatif mampu membangun dialog pemikiran yang beragam ‘ke dalam’ (Muhammadiyah) sendiri dan ‘ke luar’ (dengan pemerintah, organisasi sosial dan keagamaan lainnya). Syafi’i menilai bahwa dinamika pemikiran keagamaan dan sosial yang beragam itu wajar-wajar saja sepanjang tidak menimbulkan pertumpahan darah dan hal itu digunakan untuk mengasah pemikiran dan membuka hati untuk menjawab tantangan Muhammadiyah ke depan yang semakin kompleks. Syafi’i Ma’arif (PP Muhammadiyah) bersama dengan Hasyim Muzadi (PB NU) juga bergandengan tangan melawan korupsi sebagai penyebab remuknya tatanan dan moralitas bangsa.
Pada ranah dakwah, Muhammadiyah mulai menganggap penting upaya ’spiritualisasi syari’ah’. Gagasan ini msebenarnya muncul sejak Muktamar di Aceh pada 1995 dan terus digelindingkan hingga era reformasi sekarang ini. Ide ini mengandung pengertian bahwa dalam membimbing masyarakat untuk mengamalkan ajaran Islam diharapkan tidak berhenti hanya dalam tataran ritual-peribadatan, tetapi juga menghayatinya selanjutnya membentuk sikap dan perilaku muslim yang sesungguhnya (muslim kaffah). Yakni muslim yang saleh secara pribadi maupun sosialnya. Sehingga di lingkungan Muhammadiyah bekembang ide ’tauhid sosial’ yakni implementasi keyakinan kepada Allah SWT dalam rangka memperbaiki dan membangun masyarakatnya secara sungguh-sungguh (tauhid in action).
Untuk memperkaya wawasan tentang subjek dakwah Muhammadiyah, salah seorang tokoh Muhammadiyah, Abdul Munir Mulkhan, melakukan penelitian tentang peta subjek dakwah di dalam lingkungan Muhammadiyah yang diambil dari fenomena Kecamatan Wuluhan, Jember, Jawa Timur. Riset Mulkhan (2000) menunjukkan bahwa warga Muhammadiyah dalam mengamalkan praktek keagamaan baik ritual auatu sosial, sebenarnya tidak satu bentuk yakni tidak sekadar murni berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis secara tekstual sebagaimana dipahami Majlis Tarjih tetapi juga ada warga Muhammadiyah yang toleran dan pada tingkat tertentu dipengaruhi oleh budaya jawa yang akrab dengan takhayul, bid’ah dan khurafat, dipengaruhi paham tradisional (terutama NU) dan dipengaruhi oleh neosinkretis (yakni nasionalisme dan marhaenisme). Oleh karena warga Muhammadiyah mencerminkan keragaman maka Muhammadiyah sangat menyadari perlunya sikap dakwah yang sejuk, damai dan mencerahkan bagi semua kalangan.
Dari kebutuhan mengenai hal tersebut lahirlah keputusan tentang ’Dakwah Kultural’ yang ditetapkan pada Muktamar 2000 di Jakarta. Ide dakwah kultural merupakan upaya melakukan dinamisasi dan perluasan dakwah Muhammadiyah dalam berbagai lingkup sosial, ekonomi, sains dan teknologi, politik dan budaya dengan memanfaatkan keanekaragaman instrumen dakwah yang ada di daerah atau lokalitas tempat Muhammadiyah melakukan aktivitasnya. Dengan demikian, Muhammadiyah berikhtiar melakukan pengembangan strategi dakwah dalam konteks yang dinamis sekarang ini, baik dalam skala lokal, nasional maupun global.
Dalam Muktamar tersebut lahir pula Pedoman Hidup Islami (PHI) warga Muhammadiyah. PHI ini berisi tentang ajaran dan nilai-nilai Islam yang dapat dijadikan panduan untuk mengembangkan masyarakat Islami dalam tataran individual, kelompok hingga kehidupan bangsa dan bernegara. Pedoman ini muncul sebagai jawaban Muhammadiyah tentang perlunya mengejawantahkan Islam sebagai sistem nilai dalam seluruh level dan lingkup kehidupan sosial. PHI yang berisi ajaran-ajaran pokok Islam ini pun pada akhirnya gayung-bersambut dengan gerakan dakwah kultural yang berisi strategi menginternalisasikan ajaran dan nilai-nilai keislaman di tengah masyarakat.
Selanjutnya tampuk kepemimpinan Muhammadiyah pada 2005-2010 hasil Muktamar 2005 di Malang Jawa Timur dipegang oleh Din Syamsuddin. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini disinyalir memiliki pengalaman politik praktis yang lebih kental, di samping pengalaman di dunia birokrasi. Di samping itu, ia juga seorang intelektual Muslim yang menaruh perhatian besar dalam mengembangkan keilmuan dan dakwah Islamiyah di Indonesia dan internasional. Sehingga diharapkan Muhammadiyah lebih dapat berkiprah secara lebih responsif, anggun dan beradab dalam menyikapi persoalan-persoalan sosial dan keagamaan di tanah air dan belahan dunia yang lain.
Pada konteks sosial ke depan, agaknya Muhammadiyah masih diharapkan menjadi pilar penguatan masyarakat madani (civil society) yang mesti melakukan pembaruan dan penajaman daya rekat sekaligus kritisnya terhadap negara di satu sisi dan melakukan perbaikan sosial secara lebih partisipatif di sisi yang lain.

Ikhtisar

Fase
Peran Muhammadiyah


Pencerdasan dan pencerahan umat : agama, sosial dan budaya
Kolonialisme
Lokalisme
Kemerdekaan dan Orde Lama
Orde Baru
Transisi Menuju Demokrasi
Perlawanan Fisik
Konfrontasi Ideologi
Kontrol Sosial dan Pemberdayaan Masy
Penguatan Masyarakat Madani
Legal drafting


Tugas Mahasiswa
Lakukan diskusi kelompok tentang peran apa yang mesti dilakukan Muhammadiyah dalam memberdayakan masyarakat di masa kini! Rumuskan kerangka diskusinya dengan melakukan: 1) identifikasi masalah (peta kondisi masyarakat); 2) analisis potensi Muhammadiyah; 3) langkah-langkah yang dapat ditempuh Muhammadiyah.

Daftar Pustaka
Abdul Munir Mulkhan. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Achmad Jainuri. 1999. The Formation of the Muhammadiyah’s Ideology 1912 – 1942. Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press. (Buku ini merupakan disertasinya di McGill University, Canada).
Ahmad Najib Burhani. 2005. “The Muhammadiyah’s Attitude to Javanese Culture in 1912-1930: Appreciation and Tension”. Jurnal Media Inovasi. Edisi Khusus Muktamar Malang.
Arbiyah Lubis. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang.
Musthafa Kamal P. dan A. Adaby D. 2002. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: LPPI UMY dan Pustaka Pelajar.
M. Din Syamsuddin. 1995. “The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in The Now Order Indonesia”. Jurnal Studia Islamika. Vol. 2 No. 1.
Ruswan. 1997. Colonial Experience and Muslim Educational Reform: A Comparison in Aligarh and Muhammadiyah Movement. Canada, McGill University, 1997.
Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.