Tuesday, October 30, 2007

Tinggi, Toleransi di Indonesia


Jakarta, Kompas - Meski menjadi bagian terbesar dari bangsa, umat Islam Indonesia dinilai memiliki toleransi yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Terpeliharanya budaya lokal dan kebebasan menjalankan ibadah dalam masyarakat multikultur menunjukkan penghargaan atas kebebasan beragama di Indonesia.

Hal itu dikatakan Ketua Delegasi Tokoh Islam Australia Ameer Ali saat berkunjung ke Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta, Senin (29/10). Ameer yang didampingi sejumlah tokoh Muslim Australia bertemu dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Berbagai bangunan agama selain Islam, seperti candi, tetap terpelihara dengan baik. Ragam kebudayaan selain dari masyarakat Islam juga masih dilestarikan dan dihargai.

Organisasi massa Islam yang ada, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, juga lebih berkonsentrasi membina umat daripada terjun ke arena politik. Padahal, kedua ormas tersebut memiliki massa yang jumlahnya mencapai puluhan juta orang.

Menurut Ameer, kondisi umat Islam Indonesia mirip dengan umat Islam di Australia. Mereka juga berasal dari berbagai bangsa dengan budaya yang majemuk. Karena itu, tantangan terbesar umat Islam Australia adalah mengintegrasikan mereka yang berasal dari berbagai suku bangsa dan meningkatkan kesejahteraan.

"Di Australia tidak ada agama negara dan setiap warga negara dijamin kebebasannya dalam beragama," kata Ameer.

Din Syamsuddin mengatakan, Islam bukanlah agama yang sekadar mengatur tentang ritual keagamaan. Islam mengutamakan nilai-nilai moralitas atau akhlak umatnya terhadap siapa pun.

Sejarah awal didirikannya Muhammadiyah sendiri adalah untuk menjadi elemen penting dan efektif bagi penguatan masyarakat madani di Indonesia. Penyebaran ide-ide sosial dalam masyarakat Islam lebih gencar dilakukan daripada pengembangan ide politik.

Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak ingin berubah menjadi partai politik meski memiliki jumlah warga yang cukup besar.

Penguatan Muslim Indonesia harus dilakukan melalui peningkatan kualitas hidup mereka. Muhammadiyah melalui berbagai badan otonomnya memberi perhatian pada bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian, hingga isu kesetaraan jender. (MZW)

Saturday, October 27, 2007

'Agama Sosial'



Oleh :Laode Ida
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI

Baru-baru ini keinginan untuk kembali menawarkan Pancasila seabagai satu-satunya asas yang harus dianut

oleh paratia-partai politik (parpol) kembali mencuat. Setidaknya hal itu muncul ketika pemerintah, melalui RUU tentang revisi UU Parpol yang sekarang ini sedang dibahas di DPR, mengusulkan agar asas parpol tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD ’45, atau perlunya menjadikan Pancasila satu-satunya asas parpol. Maka secara spontan pula sebagian parpol tegas menghindarinya bahkan menolaknya.

Kita bisa maklum karena selain sebagian di antara parpol itu ada yang secara tegas menyatakan berasaskan Islam dan atau ada juga yang menggunakan terminologi lain, juga didasarkan pada pemikiran yang tidak mau mempersamakan antara ideologi atau dasar negara dan asas parpol. Itu semua dianggap sebagai bagian dari ekspresi berdemokrasi di era reformasi ini, dengan dasar argumen yang masing-masing memiliki fondasi filosofis yang juga kuat.

Tak perlu eksplisit
Pertanyaannya, salahkah kalau tak (mau) mencantumkan asas Pancasila? Atau, apakah mereka yang tak mencantumkan asas Pancasila itu lantas dikatakan ‘tak Pancasilais’? Harap jangan terlalu tergesa-gesa memvonisnya. Soalnya, setiap parpol atau bahkan setiap kelompok masyarakat memiliki agenda sendiri-sendiri, di mana asas merupakan pernyataan abstrak dari spesifikasi perjuangan masing-masing. Tepatnya, asas merupakan faktor pembeda utama dari suatu parpol atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya, dan sekaligus memastikan eksistensi atau jati dirinya.

Kendati demikian mereka itu bukan berarti menyimpang dari Pancasila sebagai dasar negera kita. Mengapa?

Pertama, seluruh masyarakat bangsa ini telah memposisikan Pancasila sebagai fondasi abstrak yang mendasari dan melingkupi seluruh kehidupakan kenegaraan kita. Ia merupakan nilai luhur yang bersifat umum, diyakini sebagai ideologi negara yang membedakannya dengan ideologi-ideologi negara di luar Indonesia. Dan, karena merupakan suatu nilai abstrak yang diyakini oleh masyarakat bangsa ini, maka posisinya lebih tepat disebut sebagai 'agama sosial' atau 'civic religion'.

Parpol dan atau kelompok-kelompok masyarakat yang ada seperti ormas dan sejenisnya, meski tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas, mereka sebenarnya sudah mereka merupakan bagian dari penganut civic religion itu. Sebab, mereka-mereka itu merupakan warga bangsa yang tinggal dalam wilayah NKRI, yang harus tunduk pada seluruh aturan negara yang berideologikan Pancasila.

Kedua, dengan mencantukan agenda perjuangan speifik yang dinyatakan secara abstrak sebagai asas, masing-masing parpol dan atau kelompok masyarakat bisa secara terarah mengamalkan atau mempraktikkan nilai-nilai Pancasila. Pencantuman agama tertentu sebagai asas parpol, misalnya, harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan untuk membumikan sila pertama dari Pacasila (Ketuhanan Yang Maha Esa). Atau, mereka mempraktikkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila lainnya berdasarkan ajaran agama masing-masing. Semua ini, tentu saja harus terlebih dahulu dipahami bahwa setiap orang atau kelompok yang ingin menjalankan ajaran agamanya masing-masing merupakan bagian elementer-substansial dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Memang, kalau setiap parpol atau kelompok masyarakat mencantumkan Pancasila sebagai asasnya tidak ada masalah. Tetapi tak perlu heran kalau agenda perjuangan mereka juga bersifat umum, di mana boleh jadi tak akan menjadi perangsang untuk memperoleh pendukung lebih banyak. Sebab, ternyata agenda yang diperjuangkannya lebih bersifat umum, sementara kepentingan masyarakat dari waktu ke waktu terus berubah, di mana sejatinyalah parpol atau kelompok masyarakat menjawabnya juga sesuai dengan kebutuhan. Tepatnya, barangkali, asas parpol dan atau kelompok-kelompok masyarakat juga bisa berubah setiap saat dengan ketentuan harus dipastikan tetap dalam bingkai nilai-nilai Pancasila.

Persoalan bangsa sekarang ini sebenarnya bukan lagi pada pedebatan soal formalitas asas Pancasila atau bukan, melainkan lebih pada praktik kehidupan yang sudah menyimpang dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada era orde baru di mana Pancasila dijadikan sebagai doktrin, justru berbagai penyimpangan terhadap nilai-nilai substansial dari Pancasila terjadi di mana-mana. Apalagi kemudian nilai-nilai doktrinal ideologis itu ditafsirkan berdasarkan kepentingan pihak yang berkuasa, sehingga kebenarannya bukan saja menjadi sangat relatif melainkan sekaligus merupakan bagian dari kesalahan fundamental. Bukankah sumber dan sekaligus yang memahami nilai-nilai keindonesian yang abstraksinya terkonstruksi dalam Pancasila itu terus hidup dalam masyarakat dengan tafsir subjektif-objektifnya masing-masing?

Nilai-nilai Pancasila merupakan produk sosial kolektif atau nilai-nilai luhur yang diwariskan dan terkonstruksi dalam masyarakat di mana negara hanya membingkainya, sehingga tafsirnya pun tidak boleh menjadi monopoli suatu kelompok atau kekuasaan tertentu. Yang terpenting dalam konteks ini adalah bahwa karena nilainya sangat luhur dan idealistik, maka ia menjadi filter penyaring dari segala kehendak, kecenderungan praktik, dan nilai yang buruk. Di sini, negara berperan sebagai pemelihara nilai-nilai itu, dan sekaligus membentengi masyarakat agar tidak terasuki oleh nilai-nilai yang merusak tatanan idealistik-luhur yang ada itu.

Di era reformasi sekarang ini, memang sangat terasakan praktik dan atau perilaku masyarakat terutarama para penyelenggara negara menjadi bablas. Korupsi, kolusi, konspirasi, suap-menyuap, dan perilaku sejenisnya marak terjadi. Kebijakan otonomi daerah ternyata tidak merupakan tahapan untuk perbaikan pemerintahan sebagai implementasi dari nilai-nilai Pancasila, melainkan sebagai wujud dari desentralisasi dan pembiaran terhadap praktik pemerintahan yang buruk. Dan, sudah pasti semua itu merupakan wujud penyimpangan nilai-nilai substansial dari Pancasila.

Parpol menjadi wahana resmi memprotek segala penyimpangan nilai-nilai Pancasilais itu. Tak ada yang secara signifikan berdaya melawan kesewenangan para penyelenggara parpol, padahal sebagian di antara mereka mencantumkan Pancasila, atau lebih dahyatnya lagi, mencantumkan label suatu agama sebagai asasnya.

Semua ini, jelas-jelas merupakan wujud dari penyimpangan terhadap Pancasila yang terus saja ditoleransi. Pertanyaannya kemudian, masih pantaskah kita menyatakan bahwa para pengurus parpol kita yang terjebak pada praktik pragmatis yang merusak keluhuran itu disebut Pancasilais? Disadari memang, bahwa memudarnya nilai-nilai 'civic religion' ini berjalan bersamaan dengan lepasnya monopoli, kendali, dan hegemoni negara. Kekuasaan yang lahir di atas legitimasi rakyat yang kuat pun ternyata tak mampu menjadi pengendali untuk tegaknya kembali nilai-nilai ’agama sosial’. Sementara kekuasaan parpol yang begitu dominan dengan membangun suatu jaringan mengarahkan pada kecenderungan ’semua bisa halal kalau para elite parpol yang berkonspirasi itu sudah tak mempersoalkannya’.

Langkah mendesak
Kondisi seperti ini memang sangat memprihatinkan. Seharusnya pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat tak bisa tinggal diam dan perlu melakukan sesuatu yang siginifikan. Ini tentu saja kalau pemerintahan yang memiliki legitimasi sosial langsung dari rakyat itu memiliki kesadaran untuk berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik.

Caranya? Pertama, pemerintah harus mulai dengan melakukan kontrol internal, semacam pengawasan melekat. Karena terus terang saja, kerusakan negara sekarang ini sangat parah dan sistematis. Para penguasa di daerah otonom itu umumnya memanfaatkan kekuasaannya dengan memapankan jaringan pendukung di parpol-parpol afiliasinya untuk selalu mengamankan atau melindungi kejahatan aparatnya di daerah otonom.

Kedua, melakukan pembenahan terhadap parpol-parpol dimulai dengan membereskan hal yang secara langsung bisa dikendalikan oleh pihak pemerintahan pilihan rakyat. Para parpol yang berkuasa haruslah memberikan contoh untuk secara langsung dijadikan acuan oleh parpol-parpol yang berada di luar kendalinya. Sebab tanpa upaya ini, pelanggaran substansial dari nilai-nilai Pancasila terus terjadi. Persoalannya, apakah para pemimpin parpol yang masuk dalam jaringan kekuasaan sekarang ini mau berbuat untuk itu? Rasanya sulit untuk dijawab 'ya', karena istilah ’mumpung’ masih benar-benar dipraktikkan oleh mereka.

Ikhtisar
- Pancasila sudah menjadi nilai-nilai dasar yang tidak perlu harus secara eksplisit dinyatakan sebagai asas bagi parpol atau kelompok masyarakat yang lain.
- Lagipula, penyebutan secara eksplisit Pancasila sebagai asas itu tidak menjamin terhindarnya pelanggaran substansial terhadap nilai-nilai dasar tersebut.
- Karena itu, wacana untuk mendorong agar Pancasila menjadi asas tunggal bagi parpol menjadi tidak relevan.

Fundamentalisme Islam-Politik



Oleh : M Faishal Aminuddin

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

Perdebatan tentang kiprah fundamentalisme Islam-politik telah terbingkai dalam wacana yang serba miring dan bias. Banyak tuduhan yang dialamatkan dari keberadaannya sebagai Islam radikal yang harus selalu dicurigai. Konsekuensi yang jelas-jelas ditanggung dalam kehidupan bernegara di Indonesia adalah munculnya stigmatisasi bahwa fundamentalisme mengandung bibit a-demokratis yang hanya merecoki arah politik nasional.

Sinisme terhadap keberadaan fundamentalisme Islam-politik sepertinya terlebih dulu dipahami dalam matarantai yang menghubungkan konteks regional dengan global. Anthony Buballo dan Greg Fealy (2005) menemukan fakta yang menarik yang menyebutkan fundamentalisme Islam-politik di Indonesia banyak dipengaruhi dan berjaringan dengan aliran serupa yang ada di Timur Tengah.

Para ideolognya di Indonesia, menurut Buballo dan Fealy tidak mengadopsinya dengan mentah-mentah melainkan telah meramu sebuah aktivitas baru untuk menghubungkan antara Islam, politik, dan masyarakat dalam satu wajah. Dalam kancah politik hal itu sangat terlihat pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang membawa agenda politik pemberlakuan syariah sebagai salah satu tujuan dalam politik nasional. Di tingkat global, parpol tersebut menolak pembaratan dengan segala macam produk ideologinya.

Mendukung demokrasi
Parpol yang berasaskan Islam yang ada di Indonesia misalnya mempercayai mekanisme dan menempuh jalur demokrasi untuk memperjuangan Islam sebagai solusi mirip dengan Hizb al Wasat di Mesir atau Partai Pembangunan dan Keadilan di Turki. Perkembangan dan pelembagaan politik yang dicapai oleh PKS, PPP dan PBB memang menggembirakan karena, selain bisa membuktikan fundamentalisme Islam-politik bukanlah persoalan bagi Indonesia, malah bisa dijadikan bahan untuk merekonstruksi gagasan dialog Barat-Islam dengan melibatkan kelompok ini.

Secara psikologis, tudingan beberapa pemerintahan Barat, sebut saja AS, Inggris, dan Australia yang menstigmatisasi fundamentalisme dalam wajah anarkhis berakibat pada pencitraan yang sudah dibangun oleh PKS. Di antara pemimpin ormas Islam moderat pun nyaris tidak pernah bertanya apa penyebab penolakan PKS atas Barat.

Kalangan pengambil kebijakan di Barat banyak terpengaruh tesis benturan peradaban Samuel Huntington yang berangkat dari pemahamannya tentang Islam politik bisa menjadi ancaman peradaban Barat yang berkarakter demokrasi sekuler (Huntington:1997). Namun, Huntington tidak spesifik menjernihkan siapa yang dimaksud sebagai Islam politik. Ada begitu banyak gerakan politik yang membawa bendera Islam di negara-negara yang mengklaim Muslim atau negara sekuler yang dihuni oleh mayoritas Muslim.

Fundamentalisme di Indonesia merupakan kelompok minoritas karena ada Islam modernis dan tradisionalis yang juga mempunyai afiliasi politik di tingkat yang lebih formal yakni partai politik, di samping organisasi yang sudah mapan dan menyejarah. Dalam teorisasi Azzam Tamimi (2005), ketika minoritas berada di wilayah negara yang menjamin keamanan dan kebebasan berekspresi serta mempertahankan keyakinannya, maka tidak ada jalan lain kecuali mengikuti aturan main yang sudah dibuat. Tugas mereka selanjutnya adalah mengorganisasi keyakinannya di dalam masyarakat atau komunitasnya untuk disuarakan dalam mekanisme dan saluran politik yang ada.

Alasan utama yang bisa ditangkap dari uraian Tamimi menepis kekhawatiran meluasnya pengaruh fundamentalisme sebagai kekuatan baru yang bisa mengubah tatanan demokrasi sekuler. Fundamentalisme politik yang diusung oleh parpol berasaskan Islam juga berciri modern dan progresif sehingga bisa menarik simpati serta menghasilkan peralihan pemilih yang menambah jumlah suara pada pemilu. Demikian halnya dengan asas Islam yang dimanfestasikan dalam tujuan untuk menerapkan syariah sebagai pilar bernegara tidak bisa dianalogikan dengan keinginan untuk mengganti Indonesia sebagai negara Islam.

Fundamentalisme yang hidup dalam demokrasi sekuler berupa simbiosis mutualisme. Misi yang dibawa juga sama normatifnya dengan misi dari kekuatan politik nasionalis, sosialis, sekularis, atau basis religius lainnya seperti perang terhadap korupsi, penegakan keadilan dan hukum, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan lainnya.

Lebih jelasnya, sangat dibutuhkan kehati-hatian dan kejernihan untuk membentuk persepsi atas terminologi fundamentalisme. Ada kecurigaan kalau selama ini stigmatisasi atas betapa buruknya wajah fundamentalisme justru berasal dari kelompok Islam moderat sendiri yang membawa perdebatan teologis ke ranah politis. Fundamentalisme merupakan barang baru di pentas politik nasional, setidaknya apa yang dibawa oleh PKS bisa jadi diturunkan dari parpol Islam Masyumi yang mempercayai bahwa dengan jalan demokrasi dan konstitusional, tujuan untuk mengegolkan syariah bisa dilakukan.

Wajah anarkis dari fundamentalisme yang disebut-sebut banyak terlibat dalam berbagai kegiatan terorisme dan pengrusakan di sana-sini atas nama Islam lebih cocok disebut Islam radikal. Pembeda penting antara fundamentalisme dan radikalisme terletak pada cara penyampaian, pola perjuangan dan tujuan. Tidak dapat dipungkiri alasan keberadaan keduanya bisa mempunyai perbedaan yang sangat tipis.

Politik Indonesia seharusnya lebih mengakomodasi semua kekuatan politik yang ingin mencoba peruntungannya melalui aturan main yang ada. Jangan terburu-buru untuk menghakimi dengan landasan yang bersifat artifisial dan simbolik dalam keadaan panik.

Betapapun, fundamentalisme Islam politik yang membawa sekeranjang agenda politik, sangatlah sah dan perlu diberikan penghormatan, perlindungan, dan kepastian pada mereka untuk beraktivitas. Tidak perlu ada kekhawatiran, apalagi ketakutan. Jika dalam kerangka dialog Barat-Islam hanya melibatkan Islam moderat tanpa mengajak kelompok fundamentalis sama halnya menafikkan kekuatan penting.

Alih Paradigma Politik Islam



Oleh : Mohammad Nasih

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Nasional Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI

Politik Islam di Tanah Air telah mengalami dinamika yang sangat panjang mulai dari masa prakemerdekaan sampai sekarang. Di tengah pergulatannya dengan aliran politik yang lain, maupun karena represi negara (baca: kekuasaan), politik Islam mengalami pergeseran paradigma politik yang cukup signifikan. Jika meletakkan politik Islam di salah satu kutub dan politik nasionalis di kutub yang lain (ini mengabaikan aliran politik yang lain yang sebenarnya ada, seperti Marxisme dan sosialisme), dalam beberapa hal keduanya sudah saling mendekati atau sudah terjadi konvergensi pada satu titik.

Dalam konteks masa depan Indonesia, tentu saja hal ini sangat menggembirakan, karena energi para aktivis politik di Tanah Air tidak habis hanya untuk membicarakan perbedaan cara pandang tentang relasi antara agama (Islam) dan negara. Para aktivis bisa lebih mengkonsentrasikan diri untuk mencari solusi konkret terhadap permasalahan-permasalahan bangsa secara lebih mendasar. Bahkan lebih dari itu, mereka akan terlepas dari kemunduran paradigma politik. Sebab, jika mengulang yang dulu pernah terjadi, itu bisa dikatakan sebagai sebuah langkah mundur.

Perbedaan pandangan
Pada masa prakemerdekaan, bibit-bibit perbedaan antara kelompok politik Islam dan nasionalis sudah mulai tampak. Pada era 1920-an, perdebatan ideologis antara kedua kekuatan politik yang berlainan ideologi ini terjadi dengan sangat sengitnya. Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga awal tahun 1940-an, menjelang Indonesia merdeka, dan bahkan masih juga terjadi ketika Indonesai telah merdeka. Tepatnya, perdebatan tentang apakah Indonesia akan dibangun dengan dasar Islam ataukah dengan dasar yang lain, terjadi di dewan konstituante. Dan akhirnya, dengan kebesaran hati, kelompok politik Islam mengalah demi keutuhan bayi Indonesia yang baru diproklamasikan kemerdekaannya.

Dua kutub ini direpresentasikan oleh dua tokoh Mohammad Natsir di kubu (nasionalis) Islam, dan Soekrano di kubu nasionalis (sekuler). Di kubu Islam, hampir semuanya adalah aktivis-aktivis dan pemimpin-pemimpin organisasi-organisasi massa Islam seperti Muhammadiyah dan NU. Walaupun demikian, para aktivis politik Islam terus berusaha agar cita-cita awal mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara bisa terwujud. Perjuangan itu mereka lakukan secara struktural dengan melakukan aktivitas politik praktis sehingga dapat masuk ke lembaga-lembaga pengambil kebijakan yang tentu saja berpengaruh untuk masa depan cita-cita politik mereka. Tetapi, cita-cita mereka tak juga menampakkan bakal terwujud. Bahkan Partai Masyumi yang gencar dalam melakukan perjuangan ini dibubarkan oleh pemerintah Soekarno.

Pergantian rezim politik, juga tidak memberikan angin segar kepada kekuatan politik Islam. Pada masa orde baru, bahkan penguasa tidak lagi memberikan ruang yang memadai kepada umat Islam untuk melakukan aktivitas politik untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu mereka. Soeharto berkuasa secara represif dan memaksa umat Islam untuk menanggalkan Islam yang semula dijadikan sebagai asas mereka dalam berkumpul dan berserikat. Semua organisasi politik dan organisasi massa dipaksa oleh rezim orde baru untuk menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas tunggal) dan mereka yang menolak kemauan penguasa itu, risikonya adalah dibubarkan dengan paksa. Hal ini terjadi pada masa awal tahun 1980-an.

Dalam banyak kasus, sikap penguasa ini telah merugikan umat Islam, karena telah membuat sebagian besar organisasi Islam menjadi lemah dan bahkan mengalami deideologisasi. Contoh yang sangat konkret mengenai proses pelemahan ini terjadi pada organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang bersikeras tidak mau menerima Pancasila sebagai asas organisasi dan akhirnya bergerak di bawah tanah (underground). Tentu saja, kondisi seperti ini jauh lebih sulit daripada organisasi berjalan secara normal. Karena isu ini pula, HMI, organisasi kemahasiswaan Islam terbesar dan tertua di Indonesia mengalami perpecahan yang sampai saat ini tak terdamaikan.

Represi penguasa tersebut akhirnya berujung dengan hantaman gelombang reformasi yang menumbangkan rezim otoriter orde baru yang dikomandani Soeharto. Era penuh represi berubah menjadi era keterbukaan dan kebebasan. Dalam suasana kebebasan inilah, muncul kembali politik aliran yang dulu pernah ada. Salah satu aliran yang muncul adalah Islam sebagai aliran politik.

Namun, mainstream Islam sebagai aliran politik tidak seperti pada masa prakemerdekaan dan masa orde lama. Sebagian dari para pemimpin umat justru telah berpandangan bahwa Islam terlalu sempit jika dijadikan sebagai baju untuk berpolitik. Menggunakan Islam sebagai baju dan bendera oleh mereka dianggap justru akan membuat perjuangan Islam melalui jalur politik mengalami kegagalan. Sikap seperti ini setidaknya terlihat dari Amien Rais dan Gus Dur yang keduanya adalah pemimpin organisasi besar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan NU, yang lebih suka mendirikan partai politik dengan tidak menggunakan Islam sebagai dasar atau asas. Bahkan dari nama partai yang kemudian dikomandani oleh keduanya, tersurat wawasan nasionalisme (kebangsaan). Amien Rais memimpin PAN (Partai Amanat Nasional) dan Gus Dur memimpin PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Geser haluan
Sikap pemimpin umat yang kemudian lebih memilih langkah politik seperti ini oleh sebagian kritikus politik dilihat sebagai sebuah langkah pragmatisme saja. Sebab, umat Islam telah mengalami perubahan pandangan dengan wawasan Islam kultural yang sangat subur di masa orde baru. Jadi, pandangan para pemimpin umat yang tidak menggunakan Islam sebagai asas formal organisasi politik yang mereka pimpin, justru dianggap sebagai strategi politik untuk meraup dukungan yang lebih besar. Sebab, mereka telah melihat realitas sejarah politik di Indonesia bahwa politik Islam tak pernah menang. Karena itu, bila ingin menang, langkah politik yang harus diambil adalah mengubah haluan.

Para aktivis politik Islam yang tetap berada pada jalur 'keras' juga tidak lagi bersikap seperti para pendahulunya. Mereka telah menerima pandangan Indonesia sebagai negara-nasional dan tidak lagi menuntut untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Mereka bergeser dari tuntutan itu menuju kepada tuntutan penerapan syariat Islam. Tetapi, kekuatan mereka ternyata tidak signifikan untuk mempengaruhi kebijakan di tingkatan lembaga formal yang mempunyai otoritas untuk itu.

Di parlemen periode 1999-2004, isu pengembalian Piagam Jakarta dan penerapan syariat Islam hanya didukung oleh Fraksi PPP dan PBB yang jumlahnya sangat tidak signifikan untuk bisa mencapai tujuan. Tampaknya kondisi yang terakhir ini akan relatif konstran dalam konstelasi politik periode mendatang karena representasi aktivis politik yang mengambil jalur 'keras' ini juga tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Ikhtisar
- Dua aliran besar politik di Tanah Air, yakni Islam dan nasionalis, masih menjadi warna yang sangat dominan.
- Di masa orde baru, aliran politik Islam sempat tergerus akibat kebijakan asas tunggal Pancasila.
- Setelah reformasi, ternyata aliran politik Islam juga tidak secara tegas dalam menempatkan diri.
- Sebagian pemuka justru memandang Islam sebagai baju yang terlalu sempit untuk berpolitik.

Terbangunnya' Trust' Dorong Pemberdayaan Ekonomi Umat Islam


Terbangunnya' Trust' Dorong Pemberdayaan Ekonomi Umat Islam

Brisbane-RoL-- Potensi modal umat Islam Indonesia yang dapat didayagunakan untuk membiayai pembangunan ekonomi keluarga-keluarga miskin seperti model Grameen Bank di Bangladesh sangat besar namun terhalang oleh belum terbangunnya "trust" (kepercayaan) di masyarakat Muslim yang berpunya.

"Adalah tantangan kita bersama untuk terus menggalang modal sosial dan membangun 'trust' yang minim di masyarakat karena masih kuatnya praduga dan ketakutan akan korupsi menyulitkan pemberdayaan modal umat untuk mendukung dana bergulir bagi usaha-usaha kecil produktif," kata ekonom Dr.Muhammad Handry Imansyah.

Berbicara di depan belasan peserta pengajian Jumat malam Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB), peneliti tamu di Universitas Teknologi Queensland (QUT) itu mengatakan, potensi besar modal umat tersebut antara lain dapat dilihat dari fenomena calon jamaah haji di Tanah Air.

Betapa tidak, selain jumlahnya yang sangat besar, tidak sedikit di antara mereka harus rela masuk daftar tunggu selama lima tahun sebelum bisa berangkat ke Tanah Suci Mekah. Namun, di balik kenyataan itu, mungkin saja, banyak di antara mereka yang sudah menunaikan haji berkali-kali, katanya. "Mungkin saja, lima puluh persennya sudah pernah haji sebelumnya. Padahal kalau dana haji mereka itu bisa digulirkan untuk membangun ekonomi pedesaan umat, tentu akan sangat baik efeknya," kata Muhammad Handry Imansyah.

Dalam hal ini, peranan para ulama dalam meyakinkan orang-orang Islam yang berkecukupan materi dan sudah berkali-kali naik haji itu sangat penting supaya mereka mau menyalurkan dananya untuk membangun ekonomi umat sebagai ibadah dan wujud kesalehan sosial mereka. Saat ini, sepuluh juta orang menganggur dan 40 juta orang lainnya miskin di Indonesia. Namun, untuk dapat meyakinkan orang-orang Islam yang kaya itu, "trust" di masyarakat mutlak dibangun.

Sebagai kelompok mayoritas di Indonesia, umat Islam memiliki tanggungjawab besar dalam meningkatkan modal sosial yang mulai luntur itu dengan mendorong integritas, kredibilitas, profesionalitas dan akuntabilitas menjadi bagian dari karakter mereka sehingga kepercayaan di masyarakat terbangun, katanya. "Salah satu yang diperlukan adalah adanya lembaga-lembaga keuangan yang dijalankan secara profesional dan akuntabel supaya potensi dana umat yang besar itu dapat didayagunakan," katanya.

Lembaga-lembaga keislaman di Indonesia pun sudah saatnya dikelola secara profesional untuk bisa meningkatkan kepercayaan umat sehingga kebiasaan-kebiasaan seperti menggaji stafnya secara tidak wajar sudah harus ditinggalkan karena hal itu hanya akan merusak produktivitas dan integritas, katanya.

Menyinggung tentang cerita sukses Grameen Bank membangunan perekonomian rakyat kecil di Bangladesh, dosen Universitas Lambung Mangkurat yang pernah terlibat dalam unit survelensi Departemen Keuangan RI itu mengatakan, lembaga pembiayaan mikro itu sangat mengenal para nasabahnya. Bank yang didirikan Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Prof. Muhammad Yunus, itu sangat memahami karakteristik para nasabahnya yang sebagian besar adalah kaum wanita sebagai penggerak ekonomi keluarga.

Sebenarnya Indonesia juga pernah menerapkan konsep semacam itu tahun 1980-an melalui kehadiran lembaga-lembaga perkreditan kecamatan di beberapa daerah, seperti Semarang dan Yogyakarta, katanya. Lembaga-lembaga perkreditan kecamatan dengan sasaran kelompok-kelompok masyarakat itu dapat berjalan relatif baik namun semuanya berubah setelah pemerintah menerapkan liberalisasi sektor perbankan, katanya.

Sejak liberalisasi sektor perbankan itu, penyaluran kredit usaha ditangani secara formal oleh bank-bank komersial. Dalam kasus Indonesia, bank yang karakternya mirip dengan Grameen Bank yang menargetkan masyarakat kecil sebagai nasabahnya juga ada, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI).

"Bahkan BRI juga menjadi model bagi negara berkembang. Saat krisis moneter dulu, BRI justru mampu bertahan karena sasarannya adalah sektor pertanian. Swasembada beras yang pernah dicapai Indonesia tahun 1980-an juga tidak terlepas dari peran BRI," katanya. antara/mim

Friday, October 26, 2007

Dialog Antaragama


Mencari Model Hubungan Antarkelompok

ST SULARTO

Upaya dialog antaragama atau lebih tepat dialog antarpenganut agama mengalami pasang surut. Tahun 1970-an mengalami masa keemasan, dialog antaragama digerakkan oleh Menteri Agama Mukti Ali dengan pemikir-pemikir menerobos seperti Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, dan sejumlah nama lain dari kelompok Islam, kemudian menjelang tahun 1998 oleh pemikir Kristen Protestan seperti Th Sumartana.

Setelah reformasi dengan adanya gesekan-gesekan di antara agama-agama, dialog dicoba dihidupkan kembali lewat lembaga-lembaga nonpemerintah seperti DIAN/Interfidei, MADIA, ICRP, dan sejumlah lembaga lain dengan semangat menemukan kesamaan-kesamaan sebagai jembatan bertemu.

Masyarakat Dialog Antar-agama (MADIA) yang lahir tahun 1995 berangkat dari keprihatinan bersama kalangan aktivis keagamaan. Para perintisnya, seperti Budhy Munawar-Rachman, Retnowati, Sr Bernardia Guhit, Trisno S Sutanto, Kautsar Azhari-Noer, merasa semakin sempitnya ruang terbuka bagi perjumpaan agama-agama yang jujur, terbuka, dan kritis. "Kami lebih melihat sebagai jejaring terbuka ketimbang sebuah lembaga yang struktural-hierarkis," kata Amanda Suharnoko, Ketua Umum MADIA.

Kebutuhan akan dialog yang jujur dan mendalam itu pula yang mendorong lahirnya Forum Persaudaraan Antar-Umat Beriman (FPUB Yogyakarta) tahun 1997 yang kemudian menjadi "rumah joglo"-nya bukan saja dialog antaragama, tetapi juga respons FPUB terhadap problem sosial-ekonomi, hingga dampak gempa besar di Yogyakarta tahun 2006. Dipimpin oleh KH Abdul Muhaimin (pimpinan Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede), FPUB lalu menjadi model jejaring di sejumlah kota dan provinsi lain.

Model jejaring dipilih mengingat keterbatasan sumber daya. Model jejaring lebih memungkinkan perjumpaan. Lewat pengalaman selama ini, MADIA belajar bahwa persahabatan merupakan kunci dialog antariman. Meminjam kata-kata Amanda, "bagi kami, dialog merupakan percakapan di antara para sahabat yang horizonnya semakin luas. Dalam perjumpaan itu setiap orang dapat berbagi visi, keprihatinan, dan tradisi keimanan".

Koordinator Program MADIA Trisno S Sutanto setuju pendapat Ulil Abshar-Abdalla yang mengibaratkan MADIA sebagai rumah besar yang didiami berbagai tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Masing-masing tradisi punya kamar sendiri. Tetapi tradisi itu bisa bertemu di kamar mana pun, bisa di teras depan, di ruang makan, bahkan di dapur sekalipun. Mereka bisa bercanda atau bisa bersitegang. Malah tidak tertutup kemungkinan, kalau kehidupan bersama dalam rumah itu sudah akrab, para penghuninya bisa saling menengok, mengintip, bahkan nyelonong masuk ke kamar orang lain.

Visi atau impian tentang rumah bersama itu, demikian Amanda dan Trisno Sutanto, selama ini menjiwai dan menjadi sumber dinamika MADIA. Apa yang diusahakan tidak lebih dari menjaga atau menciptakan ruang-ruang terbuka bagi perjumpaan berbagai tradisi keagamaan. Upaya yang dilakukan tidak lebih dari "merayakan perbedaan".

Dengan semangat serupa, DIAN/Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) yang berkantor di Yogyakarta didirikan untuk mengkaji gambaran posisi dan peran agama-agama di tengah masyarakat.

Maksud itu direalisasi atas dasar kerja sama yang terbuka dan kritis. Almarhum Eka Darmaputera sebagai Ketua Yayasan DIAN/Interfidei mencatat, diperlukan tafsiran yang kreatif terhadap moto Bhinneka Tunggal Ika. Dialog dan kerja sama antaragama merupakan pemahaman kreatif terhadap masalah pluralisme di mana terjadi proses interaksi yang terbuka dan saling menghargai.

Th Sumartana (alm) selaku Direktur DIAN/Interfidei dalam pertemuan jejaring kelompok- kelompok antariman di Malino, Januari 2002, menaruhkan harapan pada gerakan antariman atau gerakan lintas-SARA. Dia kritik kegagalan agama- agama berperan aktif dalam merawat kehidupan bersama yang tercabik- cabik oleh konflik setelah Mei 1998. Lembaga-lembaga keagamaan cenderung hanya ingin membela kelompok agamanya sendiri.

Apa yang digambarkan dan menjadi obsesi lembaga yang didirikannya, DIAN/Interfidei, mendapat pengesahan pada tahun-tahun belakangan ini. Agama secara kelembagaan gagal karena cara beragama yang belum terbuka, penuh rasa benar sendiri, dan belum menghargai keyakinan orang lain. Dengan latar belakang kasus Maluku dan Poso yang terjadi hampir bersamaan waktu dengan pertemuan Malino 2002, terlihat menjamurnya jejaring kelompok dialog antaragama. Dan, pada pertemuan berikutnya tahun 2006 di Banjarmasin, seperti dikemukakan Elga Sarapung—Direktur DIAN/Interfidei sekarang—suasana tidak kalah menarik dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya di Malino.

Menurut Elga, pertemuan jejaring itu berdampak positif di daerah-daerah. Secara tidak langsung, perasaan untuk "bertemu dengan kebedaan masing- masing" berkembang di daerah. Mereka ibarat kelompok kritis. Selain membangun kebersamaan di antara agama-agama lain, Interfidei tidak kalah sengit dicurigai oleh kalangan Kristen Protestan sendiri. "Pluralisme dan pluralitas dalam segala hal, termasuk agama di Indonesia, perlu terus dikembangkan, dan tidak sedikit rasa curiga berasal dari kalangan Kristen yang awal- nya menjadi induk Interfidei," kata Elga seraya menghibur diri, "Kami tidak putus asa, kok."

Interfidei menempatkan diri sebagai fasilitator bertemunya gagasan-gagasan jejaring kelompok, membangun dialog yang produktif dengan cara mempertemukan pemeluk agama-agama. Dialog antarpemeluk agama-agama menjadi langkah awal dari dialog antaragama dan dialog antara agama dan masyarakat.

Dalam kegiatannya, Interfidei membangun kerja sama produktif dengan Candidasa dengan tokoh sentral almarhum Ibu Gedong Bagus Oka.

DIAN/Interfidei menyelenggarakan beberapa kali dialog antarjejaring kelompok agama seperti di Malino dan Banjarmasin. Dalam pertemuan-pertemuan itu didialogkan persoalan masing-masing, dengan kasus hangat pada waktu itu Maluku dan Papua. "Kami akan teruskan ini, misalnya tahun depan kami akan terlibat dalam pertemuan Masa Depan Pluralisme dan Dialog Antaragama," lanjut Elga.

Kini DIAN/Interfidei, dengan keterbatasan dana, terus melakukan penelitian, mendialogkannya lewat Newsletter Interfidei, dan membangun kerja sama dengan berbagai kelompok.

Muncul belakangan, dibandingkan dengan kelompok-kelompok aktivitas dialog agama, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Dibandingkan dengan DIAN/Interfidei, apalagi MADIA, ICRP lebih terstruktur—walaupun ketiganya sama-sama nonsektarian, nonprofit, nonpemerintah, dan independen yang mempromosikan dialog dan kerja sama lintas iman. ICRP yang diresmikan oleh Presiden RI (waktu itu) KH Abdurrahman Wahid tahun 2000 dimotori tokoh-tokoh agama seperti Djohan Effendi, Siti Musdah Mulia, Sudhamek AWS. Dalam kepengurusan 2003-2006 tercantum nama wakil-wakil kelompok agama/kepercayaan seperti Rm Ig Ismartono SJ (Katolik), KH Abdul Muhaimin (Islam), Pdt Yudho Purowidagdo (Kristen Protestan), KS Lindasari Wiharja (Khonghucu), P Djatikusumah (Kepercayaan Adat Sunda Wiwitan).

Menurut Musdah Mulia, Ketua Umum ICRP, dalam program kerja di antaranya ICRP memfasilitasi diskusi dengan berbagai kelompok agama dan kepercayaan. ICRP mendukung cara-cara nonkekerasan dalam menyelesaikan konflik-konflik berlatar belakang keagamaan-sosial-politik, membangun tradisi dialog antariman dan kepercayaan terutama untuk kalangan akar rumput. Produk yang rutin disampaikan antara lain majalah dua bulanan MaJEMUK. Merayakan Perbedaan Menuai Perdamaian. Majalah ini menjadi sarana transformasi wacana dan informasi sekitar dialog antariman.

Bagi Islam, dialog antaragama, ujar Musdah Mulia—karena dari segi ajaran maupun tradisi jauh dari kekerasan—tidak masalah. Pluralitas dalam arti keberagaman dalam suatu masyarakat sudah menjadi bagian dari sejarah Islam, dalam kerajaan Islam pun Islam hanya dianut oleh raja dan kerabatnya, mayoritas rakyat bukan Islam. Fenomena kekerasan berkembang ketika negara-negara non-Islam berperilaku sebagai penjajah. ICRP dalam konteks itu berusaha membangun citra bersama berbagai lembaga dan individu mengembangkan studi perdamaian dan resolusi konflik serta memperjuangkan hak-hak sipil kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam berbagai perspektif seperti jender, HAM, kehidupan beragama, ekonomi, sosial, politik.

Menghargai keberadaan lembaga-lembaga dialog agama, Beny Susetyo Pr merasa perjuangan hubungan antaragama dan antarpenganut agama akan semakin sulit. "Dialog antaragama dan antarpemeluk agama mengalami masa keemasan pada tahun 1970-an dengan motor Pak Mukti Ali," kata rohaniwan yang saat ini duduk sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia.

Baginya, dialog agama saat ini adalah dialog kemasan, membangun citra masing-masing agama. Padahal, dialog yang benar adalah dialog kehidupan dengan syarat utama belajar tentang kejujuran. "Kejujuran itu sekarang hilang," tegasnya.

Suburnya lembaga-lembaga dialog antariman di mata Beny menunjukkan kerinduan untuk bertemu, mendialogkan kehidupan dengan semangat jujur.

Mengutip secara tak sengaja eksistensialis Jacques Maritain dengan buku klasiknya, I and Thou, dialog tidak harus dikemas, tetapi situasi kehidupan yang akan mengundang orang berdialog. Dialog yang sejati meliputi pemahaman diri ke dalam, pengenalan akan partner dialog, dan ketekunan membaca tanda- tanda zaman untuk melakukan dialog.

Proses seperti itu tidak terjadi di negeri ini, tambah Beny. Padahal, lewat kehidupan itulah agama-agama bisa bertemu. Kalau dialog itu mengarah ke sana, dulu ada yang memberi istilah dialog karya atau kemudian dialog sosial, maka agama-agama dan para pemeluknya akan bersama-sama mencari.

Agama sebagai institusi memang tidak lagi menjadi tempat bertanya sebab dalam kenyataan agama dan kekuasaan itu berselingkuh, padahal agama seharusnya ada dalam posisi zona netral, yang bisa menjadi tempat berlindung bagi semua orang.

Di mata Beny Susetyo, MADIA, DIAN/Interfidei, ICRP, dan masih banyak lagi—lembaga-lembaga yang secara internal sudah pluralis—dalam gerak dan cita-citanya merupakan arena dan sarana untuk menemukan model hubungan antarkelompok yang plural, toleran positif dalam arti dengan senang menerima setiap orang adalah dirinya sendiri, menghargai eksistensi masing-masing.

Walaupun pluralitas-kemajemukan sudah given untuk negeri ini, ternyata untuk mewujudkannya dalam praksis membutuhkan perjuangan tanpa henti yang semakin berat—belum lagi umumnya lembaga-lembaga "pejuang" seperti itu terkendala oleh dana.

Catatan: Tulisan ini dikembangkan dari wawancara "Kompas" dengan Amanda Suharnoko, Elga Sarapung, Siti Musdah Mulia, Beny Susetyo Pr, Oktober 2007.

Monday, October 22, 2007

Korupsi dan Ateisme Praksis



Mohammad Nasih
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI

Dalam bulan Ramadlan ini kita disuguhi kejadian yang sangat memprihatinkan juga ironis. Seorang anggota Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, ditangkap basah sedang menerima uang suap. Sebuah institusi yang menjadi jantung penegakan hukum malah dinodai dengan praktik yang benar-benar membuat mata rakyat semakin terbelalak bahwa korupsi masih terjadi di mana-mana, tak terkecuali di lembaga pengawal hukum.

Adalah sebuah ironi, di Indonesia yang dikenal sebagai bangsa religius, praktik korupsi marak terjadi. Padahal dalam doktrin agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, secara jelas diajarkan bahwa tindakan merugikan orang lain dengan cara apa pun, termasuk mengambil hak dan memakan harta mereka, terlebih harta anak-anak yatim, adalah tindakan yang diancam dengan hukuman berat. Namun, ternyata ancaman doktrin keagamaan tersebut tak serta-merta menghentikan para penganut agama untuk melakukan korupsi. Terbukti, dalam hal korupsi, Indonesia menjadi negara yang menempati posisi nomor enam teratas di dunia.

Praktik korupsi memang telah menjamur dalam setiap lini masyarakat. Bahkan praktik haram ini juga terjadi dan dilakukan oleh orang yang secara personal dipandang sangat religius atau saleh secara individual, karena taat menjalankan ritual agama. Shalat dan ritual lainnya dalam agama tidak kemudian menyebabkan seseorang tidak melakukan tindakan yang dilarang agama.

Praktik korupsi telah menjamur di lembaga-lembaga penegak hukum, juga lembaga-lembaga keagamaan, baik lembaga keagamaan dalam struktur negara, maupun lembaga keagamaan dalam masyarakat yang berbentuk ormas. Sesuatu yang sangat ironis, tetapi itulah kenyataannya. Menurut Ibnu Khaldun, seorang antropolog Muslim yang sangat terkenal karena karya monumentalnya yang berjudul Muqaddimah, penyebab utama tindakan korupsi adalah kelompok yang memerintah sudah mulai bernafsu untuk hidup mewah. Pendapat Khaldun ini sangat tepat karena kekuasaan dapat membuat orang mempunyai kewenangan yang lebih besar.

Pendapat Khaldun tersebut dapat disejajarkan dengan pendapat Lord Acton, sejarawan asal Inggris, bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan. Para penguasa mempunyai kewenangan untuk mengendalikan aspek-aspek yang bertali-temali dengan pemerintahan dan ekonomi, termasuk sumber daya alam milik negara. Dengan demikian, kalau kekuasaan tersebut tidak dilambari oleh jiwa yang asketik maka dorongan untuk menyelewengkan kekuasaan demi mengumpulkan harta kekayaan akan sulit dibendung.

Terlebih jika mekanisme checks and balances dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan belum berjalan dengan baik dan mentradisi. Penyelewengan terhadap kekuasaan terjadi karena kesalahan orientasi dalam memegang kekuasaan. Kekuasaan yang seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk mensejahterakan, hanya dijadikan sarana untuk mensejahterakan diri sendiri. Politik yang sesungguhnya adalah seni untuk melayani rakyat, malah dipahami sebagai seni untuk merebut kekuasaan dan dengan kekuasaan tersebut para penguasa minta dilayani. Korupsi tidak hanya berupa pengambilan uang secara langsung, tetapi juga berupa pembuatan kebijakan politik dan ekonomi yang hanya untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan rakyat banyak.

Mengambil kekayaan negara untuk kepentingan diri, keluarga, atau kelompok, berarti telah menyabot harta rakyat banyak yang di dalamnya terdapat orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Kekayaan negara adalah untuk keperluan dan kesejahteraan rakyat banyak. Tentu saja, perilaku mengorup kekayaan negara kemudian menyebabkan ada banyak warga negara yang tidak mendapatkan hak untuk dipenuhi keperluannya dan disejahterakan.

Ateisme praksis
Praktik korupsi, sesungguhnya merupakan indikasi hipokritisme masyarakat. Sebab, masyarakat melakukan tindakan pelanggaran terhadap ajaran agama yang oleh para pemeluknya tentu sudah diyakini. Inilah yang oleh agama sendiri dikritik sangat keras.

Maraknya praktik korupsi akan membalik anggapan tentang religiusitas masyarakat Indonesia. Lama kelamaan akan muncul pertanyaan apakah masyarakat Indonesia benar-benar masyarakat yang religius ataukah bukan. Yang akan muncul sebagai tesis kemudian adalah bahwa masyarakat ini sesungguhnya adalah masyarakat hipokrit. Atau juga bisa disebut sebagai masyarakat yang menjalankan ateisme praksis. Istilah yang terakhir ini digunakan untuk menggambarkan orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi dalam hidup sehari-hari seperti tidak yakin adanya Tuhan.

Dalam masyarakat, tampaknya ada pemahaman yang salah mengenai perilaku buruk yang terampuni dan tak terampuni. Perilaku menyimpang yang dipandang terampuni menyebabkan orang menjadi relatif permisif. Yang menjadi masalah, terdapat pemahaman teologi yang salah kaprah, yaitu bahwa dosa apa saja bisa diampuni oleh Tuhan kecuali dosa syirik. Inilah paham teologi yang kemudian seolah mentoleransi orang melakukan korupsi. Karena itu, harus diciptakan teologi kontemporer bahwa korupsi sesungguhnya adalah praktik syirik sosial yang dosanya paling besar dan tak terampuni.

Dengan kata lain, secara konseptual teologis, sesungguhnya korupsi merupakan salah satu varian syirik. Dikatakan demikian, karena seseorang yang melakukan korupsi, sesungguhnya telah mengorientasikan hidupnya untuk mengumpulkan harta kekayaan dan menuhankan materi. Tuhan yang sesungguhnya, pada hakikatnya disubordinasikan.

Paham lain yang perlu direkonstruksi adalah berkaitan dengan relasi antara iman dan amal saleh. Inilah yang akan mengantarkan pada keterpaduan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Harus ditekankan bahwa iman dan amal saleh ibarat dua sisi dari sekeping mata uang yang apabila salah satu di antara keduanya tidak ada, maka sama dengan ketiadaan keduanya. Karena itu, walaupun seseorang secara ritual adalah baik, akan tetapi ketika bersamaan dengan itu tetap melakukan korupsi, berarti kesalehan ritual tersebut tidak berarti sama sekali.

Memaafkan

H Fuad Nashori
Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, Ketua Umum PP Asosiasi Psikologi Islami

Ragam dan kedalaman pengalaman buruk antara manusia satu dan yang lain berbeda-beda. Pada sebagian orang, terdapat pengalaman yang sedemikian buruk sehingga sangat membekas dalam hati. Pengalaman dilecehkan secara seksual waktu kecil, orangtua bercerai, siksaan fisik dari orang yang lebih dewasa, dan berbagai pengalaman memalukan di waktu remaja dan dewasa, adalah beberapa contoh pengalaman yang orang merasa harus menyimpannya rapat-rapat. Sebanyak 22 persen perempuan dan 10 persen laki-laki dari responden yang diteliti Psychology Today (berjumlah 24 ribu orang), pernah mengalami trauma seksual sebelum mereka berusia 17 tahun.

Bahaya sakit hati
Kalau dalam diri seseorang terdapat pengekangan diri atau penyumbatan atas rasa sakit hati, maka ia akan menghadapi risiko berupa terganggunya kesehatan jangka panjang dan rendahnya performa diri dalam berbagai aspek kehidupan. Diungkapkan oleh James W Pennebaker dalam buku Ketika Diam Bukan Emas, orang-orang yang masalah kesehatannya paling parah telah mengalami paling sedikit satu trauma masa kecil yang tidak pernah mereka kisahkan kepada siapapun.

Dari 200 responden yang pernah diwawancarai oleh Pennebaker, 65 orang memiliki trauma masa kecil yang mereka rahasiakan. Mereka mendapatkan diagnosis hampir semua masalah kesehatan besar dan kecil: kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala bahkan sakit telinga. Dari penjelasan tersebut dapat diungkapkan bahwa apabila ada sesuatu yang tidak menyenangkan masuk ke sistem diri kita, maka langkah yang semestinya kita tempuh adalah melakukan pengungkapan diri. Bila hal ini tidak dilakukan, maka risiko yang bakal kita hadapi adalah masalah kesehatan jangka panjang dan rendahnya performa diri kita. Dengan demikian, manusia memerlukan sarana untuk selalu bisa melakukan pengungkapan diri.

Secara sosial, pengungkapan diri kadang tidak mudah. Pengalaman-pengalaman yang memalukan sangat tidak nyaman untuk diceritakan. Pennebaker menggambarkan bahwa orang-orang yang kehilangan keluarganya tidak menderita stres terlalu lama karena menceritakan kesedihan akibat kehilangan orang yang dicintai biasanya dianggap sebagai hal yang tidak memalukan. Orang merasa bebas saja ketika ingin mengungkapkannya kepada orang lain. Tetapi menceritakan bahwa "saya pernah diperkosa teman bapak" atau "saya pernah disodomi oleh tetangga saya" kepada orang lain adalah hal yang sangat memalukan. Oleh karena itu, diperlukan upaya lain yang memungkinkan seseorang mengungkapkan berbagai macam pengalamannya dalam bentuk ungkapan lisan maupun tertulis.

Bila seseorang merasa orang lain sangat mendominasinya, maka ia sering tidak berani mengungkapkannya. Bila kita tidak suka dengan teman kita, maka kita tidak bisa begitu saja mengungkapkannya. Ada beberapa risiko yang kita hadapi. Pertama, kita dipandang tidak memiliki kesabaran. Kedua, orang akan membenci kita karena kita dianggap sengaja menyerang salah satu bagian dari dirinya atau bahkan menyerang diri orang tersebut secara keseluruhan. Dalam situasi semacam ini, orang lebih senang untuk melakukan pengekangan.

Budaya Jawa misalkan mengajarkan untuk melakukan pengekangan. Istilah ngono yo ngono neng ojo ngono (secara harfiah: begitu ya begitu namun jangan begitu) menunjukkan agar kita tidak mengungkapkan pikiran-perasaan kita apa adanya kepada orang lain, tetapi harus dikemas dengan bahasa yang pas. Kalaupun dilakukan pengungkapan diri, biasanya melalui aktivitas rerasan atau ghibah. Namun, aktivitas rerasan ini pun secara moral-agama dianggap sebagai 'tega memakan bangkai saudara sendiri'. Oleh karena itu, kalau mau menjadi seorang yang menerapkan norma agama, maka orang akan memilih untuk tidak melakukan perilaku membicarakan hal-hal pribadi (biasanya yang negatif) atas diri orang lain dan memerlukan forgiveness (pemaafan).

Memaafkan dan kebahagiaan
Pemaafan atau memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati. Boleh jadi ingatan akan kejadian yang memilukan hati di masa lalu masih ada, akan tetapi persepsi bahwa kejadian itu sesuatu yang menyakitkan hati telah terhapuskan. Keterbukaan diri untuk memberi maaf kepada orang lain yang menyakiti hati kita adalah tanda utama yang dapat segera ditangkap orang lain. Memberi maaf adalah salah satu perintah agama.

Nabi Muhammad adalah contoh pribadi pemaaf. Setiap kali menerima stimulasi yang tidak menyenangkan, Nabi Muhammad selalu memiliki kesiapan untuk memberikan maaf atau pengampunan terhadap seseorang yang menyakitinya. Salah satu peristiwa yang menggambarkan pemaafan Nabi Muhammad adalah saat beliau mencoba berdakwah terhadap masyarakat Thaif. Orang-orang Thaif ternyata tidak menerima dakwah yang disampaikan Nabi. Mereka mengusir dan melempari Nabi. Melihat keadaan yang tidak manusiawi tersebut, ada malaikat yang menawarkan diri untuk membalas perlakuan yang diterima Nabi. Tetapi Nabi Muhammad ternyata sangat pemaaf dan menolak tawaran itu.

Ketika seseorang telah memiliki kepribadian pemaaf seperti Nabi Muhammad, maka tidak ada bekas luka yang terpelihara dalam hatinya. Bahkan hidup orang-orang yang suka memberi maaf juga lebih bahagia. Frederic Luskin, pelopor Stanford Forgiveness Project, mengungkapkan ada tiga hal yang menjadikan kehidupan orang yang suka memberi maaf menjadi lebih sehat. Menurut dia, orang yang memberi maaf tidak mudah tersinggung saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain. Selain itu, mereka tidak mudah menyalahkan orang lain ketika hubungannya dengan orang tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan. Hal seperti itu dapat dicapai karena mereka memiliki penjelasan nalar terhadap sikap orang lain yang telah menyakiti mereka.

Pemberian maaf yang ada dalam diri seseorang terjadi melalui serangkaian proses. Robert Enright dan Gayle Reed mengungkapkan adanya empat fase untuk pemberian maaf. Pertama, fase pengungkapan, yaitu ketika seseorang merasa sakit hati dan dendam. Kedua, fase keputusan, yaitu orang tersebut mulai berpikir rasional dan memikirkan kemungkinan untuk memaafkan. Pada fase ini orang belum dapat memberikan maaf sepenuhnya.

Ketiga, fase tindakan, yaitu adanya tingkat pemikiran baru untuk secara aktif memberikan maaf kepada orang yang telah melukai hati. Kempat, fase pendalaman, yaitu internalisasi kebermaknaan dari proses memaafkan. Di sini orang memahami bahwa dengan memaafkan, ia akan memberi manfaat bagi dirinya sendiri, lingkungan, juga semua orang. Menurut saya, ada dua fase lagi agar pemaafan dapat berlangsung secara optimal, yaitu fase memberi sesuatu yang berharga bagi orang lain, seperti memohonkan ampunan dan doa keselamatan bagi orang yang pernah menyakiti kita. Tahap lainnya adalah bekerja sama kembali dengan yang bersangkutan.

Ikhtisar
- Penelitian ilmiah mengungkapkan bahwa pengekangan rasa sakit hati mengganggu kesehatan pelakunya.
- Karena itu, langkah pengungkapan diri merupakan hal penting, meski tidak selalu mudah untuk dijalankan.
- Kebiasaan untuk memaafkan merupakan salah satu cara terbaik untuk menghilangkan pengekangan atas rasa sakit hati.
- Sifat memaafkan bukan hanya bermanfaat bagi diri pelakunya tapi juga bagi orang lain dan lingkungannya.

Makna Idul Fitri

Nur Faizin Muhith
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Tafsir dan Ilmu-ilmu Alquran Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Lepas dari kemungkinan adanya perbedaan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, yang jelas, seluruh umat Islam di dunia ini akan segera merayakan hari yang biasa dianggap 'kemenangan' tersebut. Perayaan rutin setiap tahun ini menjadi momen sangat penting setelah berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadhan. Seluruh umat Islam merayakannya dengan suka dan cita, tak berbeda yang rajin puasa maupun yang hanya alakadarnya.

Sebagaimana sudah maklum, selain Hari Raya Idul Fitri, umat Islam juga punya Hari Raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Dalam literatur-literatur Islam klasik, hari raya ini disebut Idul Akbar (hari raya besar), sementara Idul Fitri hanya disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya kecil).. Sebagaimana hari-hari besar lain, Idul Fitri tentu memiliki makna umum sebagai hari libur nasional sekaligus makna khusus yang dirasakan umat Islam. Paling tidak, Idul Fitri dianggap sebagai hari kemenangan mengalahkan hawa nafsu dengan berpuasa sebulan penuh.

Erat kaitannya dengan Hari Raya Idul Fitri adalah zakat fitrah yang wajib dikeluarkan setiap individu Muslim. Kalimat kedua dari dua terma ini (Idul Fitri dan zakat fitrah) adalah kalimat yang berasal dari bahasa Arab fithrah yang berarti natural atau dalam bahasa Indonesianya biasa diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang suci, bersifat asal, atau pembawaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1997)..

Sisi etimologis
Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, kata 'id yang dalam bahasa Arab bermakna `kembali', dari asal kata 'ada. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri ini selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata 'adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya (Ibnu Mandlur, Lisaanul Arab).

Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan 'id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit (lihat QS Al Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat identik dengan makan-makan dan minum-minum yang serba mewah. Dan ternyata Allah SWT pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS Al-Maidah: 115).

Jadi, tidak salah dalam pesta Hari Raya Idul Fitri masa sekarang juga dirayakan dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Dalam hari raya tak ada larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.

Abdur Rahman Al Midani dalam bukunya Ash-Shiyam Wa Ramadhân Fil Kitab Was Sunnah (Damaskus), menjelaskan beberapa etika merayakan Idul Fitri. Di antaranya di situ tertulis bahwa untuk merayakan Idul Fitri umat Islam perlu makan secukupnya sebelum berangka ke tempat shalat Id, memakai pakaian yang paling bagus, saling mengucapkan selamat dan doa semoga Allah SWT menerima puasanya, dan memperbanyak bacaan takbir. Kata yang kedua adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna `berbuka puasa'

(ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna `yang mula-mula diciptakan Allah SWT` (Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran: hlm 40, 2002). Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah SWT berfirman dalam Alquran: "Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?.

Mereka menjawab:"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (QS. Al A`râf: 172)." Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah SWT. Dalam hadis, Rasulallah SAW juga mempertegas dengan sabdanya: "Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari)." Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas.

Sisi terminologi
Kendati dalam literatur-literatur Islam klasik, Idul Fitri disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya yang kecil) sementara Idul Adhha adalah Idul Akbar (hari raya yang besar), umat Islam di Tanah Air selalu terlihat lebih semarak merayakan Idul Fitri dibandingkan hari-hari besar lainnya, bahkan hari raya Idul Adha sekalipun. Momen Idul Fitri dirayakan dengan aneka ragam acara, dimulai dengan shalat Id berjamaah di lapangan terbuka hingga halal bi halal antarkeluarga yang kadang memanjang hingga akhir bulan Syawal.

Dalam terminologi Islam, Idul Fitri secara sederhana adalah hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya, kata fitri disitu diartikan `berbuka atau berhenti puasa` yang identik dengan makan-makan dan minum-minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri pun disambut dengan pesta makan-makan dan minum-minum mewah yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.

Terminologi Idul Fitri seperti ini harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna Idul Fitri sendiri, juga terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai `kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci` sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.

Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.

Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan `perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum` sehingga yang tadinya dilarang makan siang, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam., atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan. Kemudian, karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan. Ringkasnya, kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang saleh musiman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrian dan nilai ketakwaan.

Ikhtisar
- Idul fitri merupakan momentum terbaik bagi setiap manusia untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk yang suci dan terampuni dosanya.
- Cuma, saat ini masih banyak kalangan yang mengartikan Idul Fitri hanya sebagai hari terbebasnya manusia dari kewajiban berpuasa.
- Ada juga kalangan yang menjadikan Idul Fitri sebagai hari pamer kemewahan.
- Mereka yang keliru memaknai Idul Fitri hanya akan menjadi manusia yang saleh secara musiman.

Moral Negara Usai Puasa


Subagyo
Advoklat Publik Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesiadi Surabaya dan Walhi Jatim

Meskipun setiap tahun, Muslim di negara ini dilatih untuk bermoral dengan jalan berpuasa, yang tujuannya adalah untuk membentuk pribadi takwa (bermoral), tetapi tetap saja moral di negara ini sekadar menjadi ajaran dan bahan dakwah. Angka korupsi tetap tinggi. Angka pengangguran serta kemiskinan juga tetap tinggi, meski di sisi lain menunjukkan adanya kelompok kemewahan yang sangat menyolok.

Puasa bagi sedikit orang telah memberikan penyadaran, tetapi bagi banyak orang hanya menjadi ritual yang akan berujung pada sebuah pesta besar yang bernama Hari Raya Idul Fitri. Orang yang berpuasa kebanyakan tidak menjadi 'kembali suci' seperti makna Idul Fitri, tapi ancang-ancang untuk mencari mangsa setelah lepas dari liburan Idul Fitri.

Para artis Muslim pada bulan puasa tampil beda dengan mengenakan baju koko atau yang perempuan mengenakan jilbab dan baju panjang. Tetapi selepas puasa mereka berpesta pora kembali dalam busana yang tetap saja pamer aurat. Baju koko ataupun mukena bagi artis Muslim di Indonesia, atau mungkin juga bagi lainnya, bukanlah alat ketakwaan untuk menutup aurat, tapi menjadi bagian koleksi mode.

Kalau pada bulan puasa, pemerintah dengan tekanan lembaga agama (Islam) melakukan paksaan menutup lokalisasi, kafe-kafe, diskotek dan bar yang biasa digunakan untuk pesta pora memuntahkan hawa nafsu, maka setelah puasa usai, semuanya kembali seperti semula. Kemaksiatan terhenti sejenak, dan merebak kembali begitu puasa dan Idul Fitri berlalu. Kelihatannya bulan puasa hanya mereka jadikan bulan penyamaran dan kelihatan lagi aslinya setelah Idul Fitri berlalu.

Problem moral
Pancasila telah disepakati secara final sebagai sumber segala sumber hukum di negeri ini, dan itu juga diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi konsep politik di negara ini juga dikampanyekan harus adanya pemisahan antara agama dan negara. Artinya, negara tidak mengurusi soal moral, sebab moral biar diurusi oleh agama. Ini adalah paham sekularisme. Ada yang setuju dan tidak setuju dan biar jalan demokrasi (musyawarah) yang menyelesaikannya.

Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Tapi jangan lupa bahwa bicara soal Pancasila juga bicara soal moral, sebab negara berdasarkan berketuhanan Yang Maha Esa. Karena itulah dahulu kita di sekolah diberikan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kalau begitu, mestinya bulan puasa seharusnya juga menjadi training (pelatihan) bagi masyarakat Muslim untuk menaati hukum, karena ketaatan terhadap hukum juga bagian dari ajaran moral agama dan Pancasila.

Moral Pancasila mengajarkan orang agar takwa kepada Tuhan, mempunyai perikemanusiaan yang adil dan beradab, memegang teguh persatuan nasional, melaksanakan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam demokrasi Pancasila, serta mewujudkan keadilan sosial, terutama bagi rakyat Indonesia. Semua sila Pancasila dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bicara soal moral ketuhanan, ternyata masih berlaku dominasi kebenaran, meski masing-masing agama mengajarkan toleransi. Dalam Islam dikenal ajaran laa ikraha fiddiin (tak ada paksaan dalam agama), serta lakum diinukum waliyadiin (bagiku agamaku, bagimu agamamu). Orang merasa dirinya paling benar, memakai jubah Tuhan.

Moral kemanusiaan yang adil dan beradab juga masih menjadi teka-teki. Setiap hari di televisi kita menyaksikan penggusuran rakyat kecil yang dianggap mengotori trotoar dan tempat-tempat megah, serta di stren kali, dengan cara yang represif. Kita juga masih sering mendengar pernyataan dari oknum militer atau polisi yang memerintahkan 'tembak di tempat' untuk mereaksi aksi rakyat yang dipermainkan pemerintah. Dari contoh-contoh itu terlihat betapa aparat masih menggunakan cara-cara biadab dalam menangani problem sosial. Pembangunan, meminjam Sri Edi Swasono, mengalami dehumanisasi.

Moral persatuan Indonesia juga kembang-kempis. Ketika Aceh dihantam tsunami, banyak sekali yang simpati kepada para korban dan banyak sumbangan mengalir. Begitu pula ketika gempa Jogja. Tetapi ketika masalah yang ditangani adalah soal reformasi hukum, maka di kelembagaan negara terjadilah konflik antarlembaga tinggi negara.

Dalam pemilihan umum pun seringkali terjadi konflik horisontal antarkonstituen partai politik. Terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial yang mencolok di negara ini juga menunjukkan belum adanya semangat persatuan nasional, sebab masih terlalu banyak orang yang sibuk menikmati kekayaannya sendiri tanpa mau tahu dengan nasib sesama warga negara.

Kalau soal demokrasi Pancasila, sejak reformasi tahun 1998 ada perubahan lebih demokratis tapi hanya kuantitasnya, sebab belum berakibat pada perbaikan nasib rakyat. Yang banyak terjadi adalah perebutan kekuasaan. Kata Johan Galtung (1996) mungkin dalam negara otoriter pemerintah bisa menindas kelas elite, tapi dalam negara demokrasi mereka menindas kelas bawah. Itu tampak dalam pengkhianatan amanat rakyat. Kini, para pengurus negara yang telah dipilih bisa menikmati segala fasilitas mereka bahkan cenderung korupsi dan lupa dengan nasib rakyat kecil.

Menurut Bung Hatta, negara ini belum berdasarkan Pancasila jika pemerintah dan masyarakatnya belum melaksanakan UUD 1945 terutama pasal 27 ayat (2), 31, 33 dan 34 (Muhammad Hatta, 1977). Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 menyebutkan angka buta huruf anak usia 15 tahun mencapai 12.881.080 orang. Sampai Maret 2006 masyarakat miskin paling banyak di pedesaan sebanyak 63,41 persen. Orang miskin Indonesia menurut BPS hingga Maret 2007 masih 37,17 juta jiwa. Ini menunjukkan bahwa keadilan sosial pun masih merupakan angan-angan.

Tidak efektif
Apalagi, pemerintah ternyata menerapkan kebijakan ekonomi instan yang berakibat pada penghisapan produksi dalam negeri oleh asing atau pun pemilik modal privat. Angka penghisapan di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2002 rata-rata lebih dari 50 persen (Mubyarto, 2005). Ini berarti dari total 100 persen produksi di Indonesia, yang dapat dinikmati rakyat hanya sekitar 50 persen, sisanya dihisap oleh para pemilik modal. Keadaan itu tidak membuat pemerintah berpikir tetapi malah bersemangat terus untuk menjual BUMN kepada swasta, bahkan sektor minyak dan gas bumi pun diserahkan ke tangan asing.

Ternyata, moral Pancasila yang menjadi dasar serta asas hukum final yang secara filosofis bersumberkan pada moral agama, tidak cukup efektif untuk hanya diajarkan dan bahkan bangsa ini telah berpuluh-puluh tahun kehilangan makna agama itu sendiri. Cukup memprihatinkan kalau ternyata agama hanya dijadikan merek untuk ladang bisnis, sehingga bulan puasa yang dijalani dengan lapar dan dahaga tidak membuahkan peningkatan kualitas moral negara, tapi sekadar menjadi ritual serta momen bisnis bagi yang memanfaatkannya.

Ikhtisar

- Berkah dari momentum Ramadhan dan Idul Fitri belum bisa sepenuhnya ditangkap oleh negeri ini.
- Buktinya, setelah momentum tersebut lewat, moral negara secara umum tidak mengalami perbaikan.
- Penguasa negara cenderung memanfaatkan demokrasi untuk mengambil keuntungan pribadi.
- Kebijakan ekonomi instan yang dijalankan pemerintah juga membuat masyarakat hanya bisa menikmati 50 persen dari produktivitas negara.

Negeri yang Fitri



Oleh : Anton Setyo Nugroho

Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Antropologi Lingkungan dan Ilmu Sosial, Saga University, Jepang

Lebaran yang telah berlalu menyisakan sebuah momentum menawan bagi seluruh Muslim di dunia, tak terkecuali umat Muslim Indonesia. Kurang lebih 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Suasana hiruk-pikuk Idul Fitri seakan merasuk secara mendalam ke seluruh pelosok negeri. Jutaan manusia berbondong-bondong melakukan mudik. Dari rakyat kecil hingga pejabat tak mau ketinggalan untuk bisa berlebaran di kampung halaman masing-masing.

Tetapi di balik itu semua seakan kita lupa tentang makna Idul Fitri itu sendiri. Hanya seremoni dari perayaan tersebut yang sering menghiasi layar media. Padahal Idul Fitri mempunyai makna yang lebih mendalam. Secara individual, seseorang yang benar-benar khusyuk dan ikhlas menjalani puasa maka dia akan kembali suci. Dengan modal itu, tentunya kita akan menapaki bulan-bulan berikutnya dengan kualitas yang lebih baik. Keberhasilan Ramadhan akan ditentukan oleh perilaku kita pasca-Ramadhan ini.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara yang sebagian dihuni oleh umat Muslim ini, seharusnya masyarakat Indonesia lebih mudah dalam memaknai dan mengimplementasikan makna dari Ramadhan dan Idul Fitri tersebut. Puasa telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada seluruh umat Muslim di manapun berada tanpa memandang siapa dia. Seorang yang miskin, pedagang, petani, pegawai sampai presiden pun tidak terlepas dari kewajiban ini jika dia mengaku sebagai seorang Muslim. Artinya jika seluruh umat Muslim ini benar-benar kembali fitri, tentunya kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi lebih baik.

Potret di Hari Fitri
Sampai detik dan hari ini kita sudah menapaki Idul Fitri sebanyak 62 kali semasa bangsa ini menikmati kemerdekan. Namun kita bisa bayangkan secara individu maupun sebagai bangsa, kualitas kita masih jauh dari harapan. Perilaku individu dan sebagian besar pemimpin kita masih jauh dari harapan. Detik demi detik selalu terdengar di telinga kita tentang merebaknya kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, dan korupsi.

Sampai tahun 2006 tingkat kemiskinan di Indonesia kurang lebih masih mencapai 18 persen. Jumlah penganggur di Indonesia pada tahun yang sama, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), telah mencapai 10,93 juta orang dan jumlah itu lebih didominasi oleh kelompok usia muda yang berpendidikan sekolah menengah. Kenyataan ini menjadi terasa sangat aneh karena kita mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah. Padahal kemiskinan ini menjadi akar permasalahan yang berujung pada kriminalitas, rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Sumber daya manusia Indonesia pun masih tertinggal dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Secara keseluruhan kualitas SDM Indonesia masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas. Sebesar 53,1 persen penduduk pada kelompok usia ini, hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah, 41,2 persen berpendidikan sekolah menengah, dan hanya 5,6 persen yang berpendidikan diploma atau sarjana. Sedangkan tingkat indeks kualitas SDM Indonesia menduduki peringkat ke-112 dari 175 negara pada tahun 2006. Kondisi politik di negeri ini juga tidak jauh beda dari potret kualitas SDM tersebut. Tingkat korupsi, kolusi, nepotisme di seluruh jajaran struktural di Indonesia baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif masih sulit untuk dikurangi.

Para pemimpin bangsa ini justru lebih disibukkan untuk memikirkan eksistensi politik tahun 2009 ketimbang memikirkan rakyat yang selalu dalam kesulitan. Memikirkan pendanaan partai politik lebih penting ketimbang membangun infrastruktur maupun perekonomian untuk rakyat. Pertentangan-pertentangan terus dipertontonkan di hadapan rakyat yang seharusnya tidak perlu dan menghabiskan energi. Memang sebuah perbedaan adalah rahmat yang diberikan Allah SWT, akan tetapi membuat rakyat bingung merupakan sebuah kenistaan.

Seharusnya pemimpin-pemimpin bangsa ini lebih mementingkan persatuan umat daridapa perbedaan-perbedaan yang menonjolkan golongan maupun kelompoknya. Melihat fenomena seperti itu, muncul sikap pesimistis yang ada di benak kita. Masih adakah harapan bagai negara kita ini untuk menjadi negeri yang penuh rahmat baldatun toyyibatun wa Rabbun ghaffur?. Negeri yang diberikan kenikmatan oleh Allah SWT dengan kemakmuran, kesejahteraan, dan ketenteraman karena mampu mengelola dirinya dengan benar dan diliputi rasa syukur.

Seharusnya kekhawatiran tadi tidak perlu dimunculkan jika kita benar-benar melaksanakan puasa Ramadhan dan dapat memaknai Idul Fitri dengan benar. Dalam suasana yang fitri ini sudah saatnya kita mulai hijrah kearah yang lebih baik. Pada Bulan Syawal ini kita seperti dilahirkan suci kembali. Dengan hati suci tentunya kita harus mampu mengubah perilaku-perilaku buruk yang pernah kita lakukan.

Masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim harus mampu mengubah sikap dan kebiasaan buruknya karena mereka telah tertempa selama Ramadhan. Perubahan perilaku-perilaku kurang baik ke arah yang lebih baik akan memacu masyarakat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Masyarakat harus lebih memahami hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih arif dan bijaksana. Menumbuhkembangkan pribadi-pribadi yang suka bekerja keras seperti yang Rasulullah SAW teladankan, adalah langkah yang sangat diperlukan. Melalui individu yang unggul maka daya saing bangsa akan meningkat.

Perlu keteladanan
Perubahan seperti itu bukan saja diperlukan oleh masyarakat biasa, tetapi perubahan perilaku untuk menjadi lebih baik, utamanya juga diperlukan oleh para pemimpin kita dari tingkat atas sampai bawah. Idul Fitri seharusnya dijadikan momentum oleh para pemimpin untuk hijrah ke arah yang lebih baik. Jika para pemimpin ini benar-benar khusyuk menjalankan ibadah Ramadhan tentunya akan terlihat hasilnya setelah Lebaran ini. Mampukah para pemimpin bangsa ini melakukan hijrah dalam hal perilaku berpolitik, moralitas, menjunjung tinggi hukum, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi maupun golongannya. Mampukah mereka memahami hakikat makna demokrasi yang elegan. Bukan demokrasi yang penuh intrik, manipulasi, persaingan kasar sampai money politics.

Perubahan besar akan lebih cepat terlaksana jika para pemimpin kita mempunyai keberanian untuk melakukan perubahan secara fundamental untuk memperbaiki bangsa ini. Kita memerlukan pemimpin yang berani melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi dan kebobrokan lainnya itu sebenarnya bersumber dari sistem yang lemah alias sistem yang menjebak siapa pun untuk berbuat keburukan. Bercermin dari Rasulullah SAW tentunya perubahan itu berawal dari keteladanan pemimpin. Kita berharap kepada para pemimpin yang telah bertempur di medan Ramadhan ini mampu mengimplementasikan sikapnya setelah Idul Fitri. Mereka kembali bersatu menentukan arah dan bekerja keras demi mewujudkan negeri yang fitri, adil dan makmur sesuai amanat UUD 1945.

Ikhtisar
- Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim semestinya menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya makna hakiki dari pelaksanaan ibadah Ramadhan dan Idul Fitri.
- Cuma, dalam kenyataannya, momentum yang sangat berharga itu tidak termanfaatkan dengan baik sehingga dinamika kenegaraan di Indonesia masih jauh dari harapan.
- Masyarakat Indonesia memerlukan keteladanan untuk bisa menjadikan momentum tersebut sebagai sarana berhijrah menuju kondisi yang lebih baik.

Silaturahmi dan Kekuatan Maaf


Oleh : Imam Mujahid

Sekretaris Jurusan Dakwah STAIN Surakarta

Tatkala fajar menyingsing di awal bulan Syawal, saat itu pulalah bermunculan manusia-manusia baru, manusia yang kembali pada fitrah yang suci, kesucian menurut asal kejadian manusia. Menurut Quraish Shihab, ber-Idul Fitri dalam arti kembali kepada kesucian akan selalu menimbulkan perbuatan yang indah, benar, dan baik. Menurut dia, kesucian merupakan gabungan dari tiga unsur tersebut.

Lewat kesucian seseorang akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar, dan indah. Kesucian juga akan melahirkan seni; mencari yang baik menimbulkan etika; mencari yang benar menghasilkan ilmu. Dengan demikian seseorang akan senantiasa menutup mata terhadap kesalahan dan keburukan orang lain. Kalaupun terlihat, selalu dicari nilai-nilai positif dalam sifat-sifat negatif tersebut. Dan tatkala tidak diketemukan, maka ia akan memberikan maaf, bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan.

Kesucian yang disimbolkan oleh adanya maaf dari Allah, lalu kita sempurnakan dengan maaf kepada sesama manusia dengan kesadaran akan ketidaksempurnaan diri melalui perkataan yang biasa kita ucapkan 'mohon maaf lahir batin' yang sesungguhnya merupakan bentuk pelaksanaan hak manusia. Di sinilah tampak jelas keterkaitan antara ungkapan minal a’idina wal fa’izin yang berdimensi vertikal dengan ungkapan mohon maaf lahir batin yang berdimensi horizontal.

Urgensi maaf
Ajaran Islam sangat concern terhadap permasalahan maaf-memaafkan, di mana ia merupakan suatu dimensi sosial kehidupan yang menurut Alquran sangat sentral untuk ditegakkan. Karena dari sinilah kehidupan kemasyarakatan yang sehat dimulai. Jika suatu masyarakat telah tumbuh saling curiga, fitnah, dan semangat balas dendam, maka sebuah pertanda bahwa masyarakat tersebut sedang sakit. Alhamdulillah, kiranya penyakit ini semakin menjauh dari kehidupan masyarakat kita. Sehingga kedamaian yang kita dambakan insya Allah sebentar lagi terwujud.

Fenomena-fenomena ke arah pebaikan ini dapat kita tangkap dari kegiatan yang dilakukan masyarakat dengan menggelar berbagai acara silaturahmi, open house, dan halal bihalal. Bahkan acara ini sudah menjadi acara tradisi kenegaraan yag dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini.

Salah satu hikmah silaturahmi belakangan ini yang dapat kita petik adalah road show yang dilakukan oleh Wakil Presiden Republik Indoesia Yusuf Kalla dengan mengunjungi beberapa mantan pemimpin bangsa dan para seterunya pada masa lalu. Terlepas apakah ini bermuatan politik atau tidak, ini adalah sebuah kesadaran dari seorang pemimpin yang tengah berkuasa untuk melakukan silaturahmi dengan membuang sikap arogan dan egoistis.

Lebih jauh lagi kita perlu meneladani sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan akhlak Alquran. Setelah berhasil menaklukkan kota Makkah dalam peristiwa pembebasan kota Makkah dan memegang tampuk kekuasaan tertinggi, Rasulullah sama sekali tidak menyimpan dendam. Sebagai pemimipin yang didukung penuh oleh kekuatan rakyat, Rasulullah dapat berbuat apa saja kepada musuhnya. Namun, beliau justru memaafkan mereka yang telah menyakiti dan berbuat aniaya kepada dirinya, keluarganya, dan para pengikutnya. Dengan kekuatan maaf, beliau berhasil membangun rekonsiliasi, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk melupakan masa lalu dan membangun masa depan. Rasulullah berhasil.

Selanjutnya kekuatan maaf juga mampu membesarkan Afrika Selatan melalui tokohnya, Nelson Mandela. Setelah sukses menumbangkan rezim apartheid dan memegang tampuk kekuasaan dengan slogan healing the past, facing the future, Mandela berhasil membangun rekonsiliasi nasional. Mandela pun berhasil.

Belajar dari sejarah tersebut dengan format keindonesiaan, tentunya kita dapat melakukan hal yang sama dengan memulainya dari hal yang paling kecil sampai kepada hal yang lebih besar. Mulai dari hal yang bersifat individu sampai kepada hal yang bersifat kepentingan nasional. Mulai dari lingkungan terdekat sampai ke lingkungan terjauh sekalipun.

Oleh karenanya bersamaan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri ini, kita sebagai kaum Muslimin dengan kesadaran penuh saling maaf-memaafkan kepada sesama dalam rangka memulai hidup baru. Mungkin sikap seperti ini masih sangat berat untuk dilaksanakan, tetapi kalau kita mampu bersikap sebagaimana yang telah diteladankan Nabi Muhammad SAW, maka insya Allah rahmat Allah akan senantiasa lebih dekat dengan kita semua.

Bukankah Allah SWT senantiasa mengingatkan kepada kita semua bahwa sesuatu yang kita benci itu, boleh jadi menyimpan potensi yang kelak kita butuhkan, dan pada sesuatu yang kita senangi, siapa tahu kelak menyimpan potensi yang kita benci. Inilah hikmah kehidupan di balik sikap saling memaafkan, di mana pada dasarnya sikap ini akan melahirkan implikasi terhadap suasana batin yang menyenangkan bagi semua pihak dan lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya apabila kita melakukan kesalahan, maka segeralah meminta maaf dengan niat yang tulus.

Kini kesempatan itu ada di hadapan kita. Dengan semangat Idul Fitri kita dapat memulai hubungan baik atau memperbaharui hubungan yang kurang harmonis dengan sesama. Terlebih, menjalin hubungan baik atau memperbaiki hubungan yang rusak dengan sesama yang dilakukan umat Islam di Hari Raya Idul Fitri ini memang telah jauh-jauh hari dipersiapkan dan terbentuk melalui tahap pengkondisian, yakni usaha menyucikan diri yang intensif selama satu bulan penuh di Bulan Ramadhan.

Dengan demikian, pada Hari Raya Idul Fitri telah tercipta suasana batin yang kondusif antara berbagai pihak yang memungkinkan orang saling memaafkan. Karena pada dasarnya persoalan maaf-memaafkan bukanlah semata urusan perkataan, melainkan juga adanya suasana batin yang kondusif, sehingga mampu mendorong terciptanya kesadaran yang tulus untuk memberi dan menerima maaf. Akhirnya, Idul Fitri bukanlah satu-satunya waktu untuk saling memaafkan. Menyatakan maaf sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, ketika kita merasa melakukan kesalahan.