Monday, February 18, 2008

Paradoks Budaya


Oleh : Haedar Nashir

Seperti apa wajah budaya masyarakat Indonesia saat ini? Agaknya, tak begitu mudah melukiskannya. Kadang tampak khusyuk dan religius. Tapi tiba-tiba muncul panorama serbametal dan ingar-bingar. Kesalehan dan kebrutalan seolah berjalan beriringan, kadang tampil sama-sama populer dan semarak. Paradoks budaya tengah berlangsung seolah saling memperebutkan hegemoni kultural.

Ketika nyawa melayang dan kerusuhan demi kerusuhan mewarnai dunia persepakbolaan di negeri ini, kompetisi tetap berlangsung tanpa keprihatinan yang serius. Kendati Menpora berteriak keras, para pengurus sepak bola Indonesia seolah menganggap kebrutalan seperti itu lazim adanya. Bahkan dunia sepak bola masih dipimpin dari balik jeruji besi, dan para pengurusnya dengan bangga menantang ketentuan FIFA.

Mungkin orang-orang di luar negeri heran, kenapa masih ada bangsa yang begitu naif di muka bumi ini. Nalar sehat yang sederhana pun dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang keterlaluan.

Konser musik keras di Bandung berbuah rusuh dan memakan korban nyawa karena salah urus penyelenggara. Jika menyaksikan sebagian konser-konser musik sejenis di negeri ini, banyak panorama yang begitu liar. Penonton selain dibikin terhipnosis dalam histeria massa, juga mengikuti irama musik dengan liar. Hati ini dibikin tertegun, kenapa musik harus begitu metal dan binal?

Generasi muda hanyut dalam budaya populer yang seakan tak mengajar apapun yang maknawi selain menghempaskan diri dalam kegembiraan-kegembiran primitif. Padahal musik dan seni sejatinya mengajarkan kelembutan, keindahan, dan kehalusan untuk membangun akal budi dan peradaban yang luhur.

Panorama kontras lainnya hadir di negeri ini. Tatkala masyarakat Situbondo, Bondowoso, dan daerah-daerah sekitarnya tengah ditimpa musibah, di kota-kota besar dan media layar kaca gegap gempita orang-orang merayakan Valentine's day.

Budaya luar yang sumir begitu mudah diserap dan dipindahkan, yang sebenarnya asing dengan kultur masyarakat kita sendiri. Persis ketika masyarakat di negeri ini setiap tahunnya melakukan pesta kembang api dan suka-cita yang meluap-luap tatkala merayakan kehadiran tahun baru. Tahun baru tak dimaknai kian berkurangnya waktu dan momentum untuk menghisab amal, malah menjadi sebuah pesta.

Budaya latah seolah telah menjadi pakaian bangsa ini. Bahkan yang tampil dan dipakai sesungguhnya budaya serbaserpihan yang kelihatan wah di luar, tetapi compang-camping kehilangan makna. Laksana buih, berbusa-busa tanpa esensi.

Banyak orang melarutkan diri dalam suka-cita yang serba indrawi, tapi hampa isi. Kelihatan berguna terutama dari luaran, namun kehilangan makna. Serbamemesona tetapi tidak banyak memberi arti. Itulah budaya serpihan, ibarat kain robek. Budaya yang telah kehilangan banyak makna, selain simbol dan pesona luar.

Dalam budaya serba meriah, sulit sekali menebak secara persis di posisi mana psikologi rohaniah orang-orang Indonesia saat ini. Setelah gempa dan Tsunami meluluhluntahkan Aceh dan Nias. Menyusul berbagai gempa bumi di Bantul dan Klaten, Sumatra Barat, Bengkulu, dan daerah-daerah lainnya, kini banjir, longsor, dan badai angin meluas di berbagai daerah.

Alam bertubi-tubi menunjukkan ulah dan kemarahannya, sebagai pantulan dari hukum alam yang murni sekaligus produk pengaruh ulah-tangan manusia yang suka merusak. Adakah semua bencana dan musibah telah mengubah orientasi kejiwaan dan nalar orang-orang Indonesia untuk lebih reflektif? Bangsa ini makin dijejali sajian konsumerisme budaya yang serbaindrawi. Budaya yang memuja dan memamerkan keglamoran materi, kesenangan, konflik, dan jalan pintas. Budaya yang menihilkan daya nalar dan moral.

Tengoklah acara-acara televisi yang begitu memproduksi tayangan-tayangan rendahan. Judul-judul sinetron yang selain vulgar dan rendahan, juga memerkosa akal sehat. Menakjubkannya, semua kevulgaran dan ketaknaralan itu terus diproduksi dengan gempita dan dikonsumsi masyarakat dengan riangnya. Dalam kemasygulan dan ketakberdayaan kadang kita bertanya penuh nada heran, hendak dibawa ke mana bangsa ini oleh para pegiat dan para pemilik modal yang begitu liar dan rakus? Memang, tak sepenuhnya metal dan liar. Ruang budaya masyarakat saat ini juga di sejumlah sudutnya ada yang diisi dengan semarak spiritualitas. Ada panorama spiritualisasi sebagai budaya tandingan. Semacam oase di balik ingar-bingar kebudayaan sekular yang mengajarkan hidup apa saja boleh. Di ruang publik makin marak majelis-majelis zikir dan doa, mujahadahan, tahlilan, dan majelis-majelis taklim yang tampil kenes. Acara-acara doa dan pertobatan massal pun dikumandangkan di sejumlah tempat, memohon kepada Tuhan untuk keselamatan bangsa dan negeri ini. Para elite agama, seniman, dan pejabat pun banyak yang antusias menampilkan spiritualisasi yang populer itu sebagai bagian dari panggilan dakwah.

Harapan kita semoga majelis-majelis spiritual yang marak itu tidak berhenti di ranah simbolik semata. Apalagi sekadar spiritualitas gincu yang memesona bentuk keagamaan luaran, sekaligus diproduksi oleh media sebagai jualan baru yang menguntungkan dunia industri entertainment yang memang penuh energi kreatif untuk menjual apa pun yang laris di negeri ini.

Alangkah esensial dan fungsional manakala majelis-majelis zikir dan doa itu menjadi washilah nyata untuk menampilkan kesalehan yang autentik, baik di ranah individual maupun sosial. Manakala tidak, tidak beda dengan budaya populer yang kini tengah membanjiri masyarakat di negeri ini.

Untuk itu, kalangan Muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia perlu menyusun rancang-bangun dan strategi kebudayaan yang jelas. Di satu pihak merupakan pantulan dari nilai-nilai Islami yang universal dan dapat menjadi alternatif yang cerdas dalam kehidupan masyarakat yang tengah berada dalam dominasi kebudayaan dan peradaban modern Barat yang berbasis humanisme-sekuler.

Di pihak lain adaptif dan berpijak pada bangunan masyarakat Indonesia yang cair dan majemuk, sehingga Islam dan budaya Islami yang ditampilkan berakar dalam sanubari masyarakat Indonesia. Agenda ini bersifat klasik tetapi tidak pernah tuntas dibahas dan diperdebatkan dalam gerakan dakwah dan pembangunan umat Islam di Indonesia.

Kebudayaan itu bukan sekadar produk, tapi juga alam pikiran yang dikonstruksikan sebagai "mode for action" (pola bagi kelakuan) sekaligus juga buah dari "mode of actian" (pola dari kelakuan) yang saling berinteraksi dan menjadi sistem pengetahuan kolektif masyarakat dalam mengarungi kehidupan bersama.

Karena itu tidak bisa dengan pola paksaan dan monolitik. Para wali di masa lalu paham betul realitas dan corak kehidupan masyarakat Nusantara kala itu, sehingga dengan cerdas mampu menampilkan kebudayaan Islam yang adaptif dan lentur.

Sayang kreasi para wali itu kemudian difosilkan menjadi warisan kebudayaan yang statis, bahkan diawetkan dalam sangkar-besi tradisionalisme Islam yang selain mengawetkan keterbelakangan juga selalu dijadikan alat legitimasi kekuasaan para elite lokal.

Padahal kebudayaan itu semestinya dinamis tanpa kehilangan jati diri dan warisan yang memang pantas untuk dipertahankan sebagai mozaik yang berfungsi untuk mengawal nilai-nilai kebaikan hidup. Ketika tradisionalitas dan ketertinggalan diawetkan atasnama memelihara nilai-nilai lama, maka yang terjadi arus penjungkirbalikkan sikap menjadi serbapermisif pada budaya luar yang datang dengan dahsyatnya, yakni kebebasan yang serbajebol atas nama kemajuan atau kemodernan.

Tidak tahu persis. Apakah kegiatan-kegiatan spiritualisasi yang semarak dalam majelis mujahadahan, doa dan zikir kolektif, dan sejenisnya benar-benar merupakan ekspresi umat untuk memenuhi hajat spiritual yang autentik atau sebaliknya menjadi media legitimasi elite dalam perjuangan mobilitas diri melalui institusi-institusi keagamaan.

Hingga di sini harapan kita semoga yang terjadi memang spiritualisasi yang bersifat transformasional, yang selain memenuhi keperluan memperkaya basis moral dan spiritual elite serta massa umat; sekaligus juga menjadi salah satu pilar terbentuknya kebudayaan atau lebih jauh lagi peradaban Islami yang tengah dirindukan.

Namun kalau boleh berharap, mestinya segenap proses spiritualisasi Islam yang kini tengah menemukan momentumnya yang gempita itu menuju pada muara terbentuknya kebudayaan Islami yang memberi warna substansial dan transformasional bagi kebudayaan masyarakat Indonesia.

Bukan malah mengawetkan keterbelakangan atau sebaliknya mendatangkan budaya lain yang serba asing baik yang datang dari Barat maupun belahan dunia lain. Manakala harapan luhur seperti itu tak terpenuhi, maka spiritualisasi yang marak itu pun tidak lebih dari sekadar buaian tradisionalisme yang sarat ritual simbolik sekaligus rentan terhadap politisasi yang bernapas pendek. Jika itu terjadi, kebudayaan Islami menjadi jauh panggang dari api.

No comments: