Thursday, January 31, 2008

Pemerintah Diingatkan Soal Ahmadiyah


Selasa, 22 januari 2008 | 04:03 WIB

Jakarta, Kompas - Umat Islam wajib mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil keputusan tentang Ahmadiyah.

Demikian kata Ketua Umum Hizbuth Tahrir Indonesia M Al Khaththath dalam diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan ke 34 di Jakarta, Senin (21/1).

”Bukan berarti menghancurkan minoritas, tetapi Ahmadiyah ini sudah menyerang aqidah Islam, sesat dan menyesatkan umat Islam. Ini seharusnya menjadi pertimbangan mereka yang membela Ahmadiyah dengan alasan Hak Asasi Manusia,” ujarnya.

Pada saat yang sama Amin Jamaluddin dari Majelis Ulama Indonesia mengatakan, pernyataan Ahmadiyah beberapa waktu lalu, sebenarnya masih menyesatkan. Apalagi, kitab tazkhiroh yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang menggantikan Nabi Muhammad SAW, tetap saja dijadikan pegangan.

Aliran Ahmadiyah

Secara terpisah, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqiel Siradj menegaskan dengan 12 butir pernyataan sikap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang disampaikan minggu lalu menunjukkan JAI merupakan kelompok Ahmadiyah Lahore yang diakui dunia Islam internasional. Karana itu, JAI berhak hidup dan berkembang di Indoensia sama dengan aliran Islam lainnya.

Kelompok Ahmadiyah terbagi dalam dua golongan, yaitu Ahmadiyah Qodiyan dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodiyan yang berpusat di India mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi dan kitab Tadzkirah menjadi kitab suci. Di Indonesia, kelompok ini sebelumnya direpresentasikan oleh JAI.

Sedangkan Ahmadiyah Lahore yang berpusat di Pakistan, sejak semula memang tidak menimbulkan masalah. Kelompok Ahmadiyah ini hanya mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai guru atau mursyid dan pembawa kabar gembira semata. Sedangkan Tadzkirah hanya menjadi buku catatan sejarah Mirza Gulam Ahmad. Golongan ini di Indonesia direpresentasikan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Pengikut Ahmadiyah Indonesia sebagian besar kelompok Ahmadiyah Qodiyan.

Dengan pernyataan sikap JAI minggu lalu, menunjukkan JAI sekarang termasuk dalam kelompok Ahmadiyah Lahore. Kelompok Ahmadiyah Lahore ini diakui oleh negara-negara Islam lainnya. Anggota mereka juga diperbolehkan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, sama dengan aliran Islam lainnya. (MZW/MAM)

Wednesday, January 16, 2008

Ahmadiyah

MUI: Keputusan Ahmadiyah
Berarti Pemerintah Ikut Mengotori Tanah Suci



Jakarta-RoL-- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Kholil Ridwan, menyatakan Pemerintah Indonesia telah ikut mengotori tanah suci, Mekkah dan Madinah terkait dengan keputusan Bakor Pakem yang melegalkan keberadaan Ahmadiyah di tanah air.

"Pasalnya, keputusan ulama di dunia sudah menyatakan bahwa Ahmadiyah itu di luar Islam, yang berarti tidak boleh masuk ke Mekkah," katanya dalam acara pertemuan MUI dengan Forum Umat Islam (FUI), di Jakarta, Rabu. Ia juga menyatakan putusan Bakor Pakem terhadap Ahmadiyah itu sangat tidak aspiratif sesuai dengan keinginan umat Islam di tanah air.

Dengan putusan terhadap Ahmadiyah itu, kata dia, berarti sudah tiga aspirasi umat yang tidak diperhatikan oleh pemerintah, setelah sebelumnya mengenai RUU Pornografi kemudian keberadaan Majalah Playboy. "Hal ini menunjukkan Bakor Pakem yang menghantarkan keberadaan Ahmadiyah menjadi legal, sangat tidak aspiratif," katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin, mengatakan, MUI tidak terlibat dan bertanggung jawab atas keluarnya keputusan Bakor Pakem terkait Ahmadiyah. "Semula akan dikonsultasikan dahulu dengan MUI, ternyata tidak dan langsung dibawa dan diputuskan," katanya. Ia menegaskan MUI sendiri tetap bersikap bahwa Ahmadiyah tetap sebagai aliran sesat dan akan disampaikan kepada pemerintah seiring Bakor Pakem sudah mengeluarkan keputusan tentang aliran Ahmadiyah.

"Kita akan merumuskan surat yang akan dikirim ke pemerintah, bahwa Ahmadiyah itu belum berubah dan tetap sesat," katanya. Sementara itu, sejumlah ormas yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) mengeluarkan pernyataan keras terhadap keputusan Bakor Pakem tersebut.

Pimpinan Gerakan Umat Islam(GUI), Habib Abdurrahman Assegaf, mengeluarkan ancaman jika pemerintah tidak melarang Ahmadiyah sampai 30 hari ke depan, maka umat Islam di tanah air dan tidak tertutup kemungkinan umat Islam dunia akan memperjuangkan tuntutan itu dengan cara sendiri.
"Putusan Bakor Pakem itu suatu bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap umat Islam," katanya.

Hal senada dikatakan oleh Ketua Umum Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali Da'i, mengatakan keputusan itu patut diprotes dan dikecam, karena sudah melecehkan umat Islam. "Putusan itu berarti menafikan pernyataan ulama dunia yang sudah mengeluarkan fatwa sesat sejak 1974," katanya.

Sementara itu, Ketua Tim Pembela Muslim (TPM), Mahendradatta, menyatakan, pihaknya bersedia membantu umat Islam di tanah air yang menggugat pimpinan daerah jika mengizinkan aliran itu tetap ada dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait keputusan Bakor Pakem tersebut. "Umat Islam setiap daerah dapat mengajukan gugatan kepada pimpinan daerah dan presiden," katanya. antara/mim

Wednesday, January 9, 2008

Diskusi di UNNES, Semarang

Membendung Gerakan Radikalisme Agama

Oleh Tedi Kholiludin

Kita harus mengakui secara jujur bahwa inilah sejarah Islam. Bahwa ada dinamika dan kekerasan Khawarij misalnya, ya itulah yang menjadi kenyataan sejarah dalam agama kita. Kita harus jantan melihat sejarah Islam secara objektif.

Lebih lanjut dosen IAIN Walisongo, Semarang ini juga menegaskan bahwa kekerasan yang berkedok agama sesungguhnya bersumber dari manusia, bukan agama. Karena secara normatif agama-agama di dunia ini menebarkan kasih sayang dan rahmat, bukan kekerasan, apalagi laknat. Aksi kekerasan lebih merupakan reaksi atas ketidakpuasan dan frustasi atas modernitas dan perubahan yang tengah terjadi.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh pembicara ke dua, Ibnu Shodiq. Tokoh Islam kanan di Universitas Negeri Semarang (UNNES) ini mengemukakan bahwa radikalisme tidak pernah ada di dalam agama Islam. Karena baginya, radikalisme itu muncul karena adanya sistem ketidakadilan yang sengaja dilancarkan oleh Barat, khususnya Amerika, pada umat Islam. Ia menegaskan bahwa Indonesia juga akan menjadi negara ke delapan target Amerika dan Barat paska Irak untuk menjadi sasaran tembak isu terorisme. “Oleh karena itu umat Islam harus mempersiapkan segalanya, termasuk pendidikan militer untuk menghadapi sekutu Amerika”, tandas sarjana jebolan UNDIP ini. Di akhir paparan singkatnya, tokoh yang banyak menyebut organisasi garis keras (FPI) ini menyatakan bahwa tatkala hukum tidak ditegakkan di negeri ini, maka biarkanlah kelompok yang ingin menegakkan Islam secara kaffah yang menjalankannya.

Acara yang digelar di Auditorium utama Universitas Negeri Semarang ini juga menghadirkan kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Hamid Basyaib. Tokoh jebolan UII (Universitas Islam Indonesia) ini, lebih menyoroti wacana radikalisme dari kacamata politik-sosiologis. Berbeda dengan statement Ibnu Shadiq, Hamid mengemukakan bahwa tradisi kekerasan dan radikalisme agama telah muncul sejak Islam lahir. “Ingat, dari empat khalifah kita yang menjadi tauladan umat Islam, tiga diantaranya mati terbunuh”, ungkap Hamid.

Hal tersebut menjadi bukti bahwa kekerasan dan fenomena radikalisme Islam telah muncul dan lahir sejak awal Islam. Namun demikian Hamid melihat fenomena itu sebagai bentuk dinamika sejarah saja. “Kita harus mengakui secara jujur bahwa inilah sejarah Islam. Bahwa ada dinamika dan kekerasan Khawarij misalnya, ya itulah yang menjadi kenyataan sejarah dalam agama kita. Kita harus jantan melihat sejarah Islam secara objektif”, tandasnya.

Namun demikia ia merasa sedih dan mengelus dada ketika melihat di beberapa daerah di Indonesia, banyak orang yang memaksakan keyakinan yang dipercayainya untuk dijalankan oleh semua kalangan. “Saya malu sebagai orang Islam melihat realitas ini. Bagaimana mungkin seseorang yang dianggap sudah menjalankan syari’at sesuai dengan tuntutan Islam, tapi masih ingin saja memaksakan ajarannya untuk dijalankan oleh kaum non muslim, Masya Allah!”, tukasnya.

Di akhir penjelasannya, Hamid banyak mengutip tokoh pemikir muslim kontemporer, seperti Fazlurrahman yang menawarkan pemikiran hermeneutika ala double movement. Menurut Hamid, meskipun seperlima ayat Alqur’an adalah ayat-ayat tentang hukum, tetapi hokum-hukum tersebut tidak kemudian menjadi satu-satunya patokan. “Yang terpenting adalah menjunjung nilai-nilai etika yang ada dalam al-Qur’an”, ucapnya mengingatkan.

Menguatkan beberapa statemen yang dilontarkan oleh Arja, tentang upaya praktis dalam membendung gerakan radikalisme Islam di Indonesia, tokoh JIL ini semakin percaya diri untuk menyerukan komunikasi dan dialog. “Dengan cara-cara seperti itulah Islam akan mungkin diharapkan sebagai tonggak dalam menggapai perdamaian dunia, bukan dengan cara-cara kekerasan yang ahumanis”, tukasnya.

Akhirnya, Hamid mengakhiri dengan penjelasan bahwa biarlah polemik itu tetap ada, karena dengan polemik suatu bangsa akan menjadi dewasa. Namun kita tetap mengutamakan tema dialog dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi. Kekerasan dan radikalisme bukanlah tema yang patut untuk dikedepankan. “Sudah saatnya kita membendung radikalisme yang terjadi dalam agama-agama dengan mengusung dialog.”[]

Tadarus Ramadan JIL 1428 H sesi II


Takfir Minimalis al-Ghazali

Oleh Saidiman

Pada kesempatan lain, al-Ghazali mengkritik para teolog (ahli kalam) yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengerti dalil-dalil teologi. Al-Ghazali menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mengetahui Tuhan. Dan surga tidak hanya dimonopoli oleh kaum teolog. Atas dasar itulah maka, bagi Kiai Husein, sesungguhnya al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas yang mengusung ide-ide kebebasan.

Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) “Mengaji Pemikiran al-Ghazali” sesi kedua (25/9) membahas buku Fayshal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Sesi ini mengundang KH. Husein Muhammad, Nanang Tahqiq, dan Novriantoni Kahar sebagai pembicara. Tadarus dipandu oleh Mohamad Guntur Romli.

Setelah sesi sebelumnya mengurai pemikiran al-Ghazali seputar kritikan al-Ghazali terhadap beberapa masalah dalam debat filsafat, melalui buku Tahafut al-Falasifah, sesi yang dihadiri sekitar seratus peserta ini lebih banyak bicara tentang konteks dan fenomena pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali. Pertanyaan besar yang ingin diajukan dalam diskusi ini adalah motivasi apa yang mendorong al-Ghazali dalam melakukan pengkafiran terutama terhadap tiga masalah dalam filsafat? Pertanyaan lanjutannya adalah, sejauhmana pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali berpengaruh terhadap fenomena umat Islam saat ini yang begitu mudah terjebak ke dalam proses takfir semacam itu?

Nanang Tahqiq memulai presentasinya dengan mencoba memberikan konteks terhadap gagasan-gagasan al-Ghazali. Menurut Tahqiq, masa di mana al-Ghazali hidup adalah masa yang serba sulit. Saat itu umat Islam berada dalam ancaman disintegrasi yang demikian menyedihkan. Masing-masing kelompok Islam berusaha tampil meraih simpati dengan cara merebut legitimasi teologis atas kelompok mereka. Akibatnya, pengakafiran tidak kuasa dihindarkan. Tahqiq menyebut saat itu sangat lumrah didapati kelompok Hanbali mengafirkan Asy’ari demikian pula sebaliknya. Kelompok Asy’ari juga menyulut kebencian dengan mengkafirkan kelompok Mu’tazila, demikian sebaliknya.

Dengan kondisi pengkafiran yang begitu lumrah semacam ini, al-Ghazali tampil sebagai sosok yang moderat dengan hanya mengkafirkan tiga hal dalam filsafat: qadim-nya alam; Tuhan tidak mengetahui yang partikular (juz’iyyah); dan tiadanya kebangkitan jasmani. Selebihnya, menurut Tahqiq, al-Ghazali tidak lagi mengkafirkan apa-apa. Pada posisi ini, bagi Tahqiq, sebetulnya al-Ghazali ingin menawarkan alternatif bagi tradisi pengkafiran yang begitu akut saat itu. Al-Ghazali tentu punya banyak kelemahan dalam proses pengkafiran ketiga hal di atas, tetapi setidaknya ia memberi contoh bentuk pengkafiran yang tidak membabi-buta sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.

Dalam buku Faisyal Tafriqah, al-Ghazali menyatakan bahwa sikap kafir-mengkafirkan umumnya disebabkan oleh perbedaan pendirian mazhab atau perbedaan cara pandang dengan kelompok lain yang menjadi kompetitornya, bukan karena argumentasi-argumentasi yang bertanggungjawab. Itulah sebabnya al-Ghazali memberikan batasan yang ketat terhadap proses pengkafiran. Pengakfiran hanya mungkin dilakukan oleh seorang ahli, pun hanya menyangkut soal-soal yang paling mendasar.

Melanjutkan tesis yang telah dibangun oleh Nanang Tahqiq, KH. Husein Muhammad mencoba memperjelas posisi al-Ghazali yang menurut dia banyak disalahpahami oleh para pengkritiknya. Kiai Husein melihat bahwa al-Ghazali adalah sosok yang kontroversial justru karena kedalaman ide dan keluasan jelajah intelektualnya. Terlalu banyak orang salah dalam menilai al-Ghazali justru karena pembacaannya yang parsial, tanpa mencoba melihat al-Ghazali secara utuh. Kiai Husein menolak pembacaan parsial tersebut tanpa melihat bangunan metodologinya. Al-Ghazali memang tampak mengajukan pemikiran yang ta’arudh (kotradiktif), tadhadud (berlainan), hirah (membingungkan), taraddud (ragu-ragu), dan jam’ wa farq (seolah-olah utuh tapi retak), tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah penjelajahan intelektual yang sangat kaya. Tak heran, jika umat Islam menganggapnya sebagai manusia Islam teragung setelah Nabi Muhammad.

Mengutip Maurice Bouyge, Kiai Husein menyatakan bahwa buku al-Tafriqa ditulis dalam masa al-Ghazali mengucilkan diri (488-499). Pada masa-masa inilah sejumlah buku ditulis oleh al-Ghazali: Ihya Ulum al Din, al Munqidz min al Dhalal, al Mustasyfa, Misykat al Anwar, dan lainnya.

Menurut Kiai Husein, fenomena pengkafiran yang begitu marak saat itu juga menimpa al-Ghazali sendiri. Pemikiran-pemikirannya banyak diserang oleh pelbagai kalangan. Kelompok agamawan yang paling banyak menyerangnya adalah para ahli fiqh, ahli kalam (teolog), dan ahli hadits. Sejak awal, al-Ghazali selalu merespon para pengkritiknya dengan cara membuat buku. Kritikan-kritikan semacam itu pulalah yang melatarbelakangi al-Ghazali mengahadirkan karya al Tafriqa tersebut.

Dalam buku itu, al-Ghazali menyebut para pengkritiknya sebagai orang-orang fanatik (al muta’asshib) yang sedang marah. Al-Ghazali begitu risau bahwa mereka yang begitu mudah terlibat dalam pengkafiran semata-mata adalah karena buah dari hasutan orang lain. Hasud, iri, dan dengki adalah penyakit yang sangat berbahaya dan begitu sulit disembuhkan. Al-Ghazali menegaskan: “orang yang menganggap kafir orang yang menolak atau menentang doktrin Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali, atau mazhab lain adalah sebuah kebodohan yang nyata.” Pada kesempatan lain, al-Ghazali mengkritik para teolog (ahli kalam) yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengerti dalil-dalil teologi. Al-Ghazali menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mengetahui Tuhan. Dan surga tidak hanya dimonopoli oleh kaum teolog. Atas dasar itulah maka, bagi Kiai Husein, sesungguhnya al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas yang mengusung ide-ide kebebasan.

Lalu siapakah yang bisa disebut kafir? Pertanyaan ini harus dijawab dengan hati-hati. Al-Ghazali dengan tegas melarang orang yang hendak mengkafirkan tetapi hatinya masih diliputi rasa dengki, iri, dan kotor. Sejumlah syarat harus diajukan sebelum orang bisa sampai kepada kesimpulan untuk mengkafirkan: hati yang bersih, terlatih, jiwa yang senantiasa berzikir kepada Tuhan, pikiran yang cerdas dan kritis, serta taat menjalankan hukum-hukum Tuhan.

Menurut al-Ghazali, Islam menetapkan kriteria kafir sebagai orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW. Sementara orang mukmin adalah mereka yang membenarkan semua yang disampaikan Nabi Muhammad. Pernyataan sederhana di atas sekilas tampak meneguhkan pendapat sebagian kalangan yang memandang al-Ghazali sebagai seorang eksklusif dengan mengkafirkan kelompok Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain yang tidak membenarkan Nabi Muhammad. Akan tetapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Kata “mendustakan” dan “membenarkan” perlu peninjauan dan penjernihan lebih jauh. Pertanyaannya, siapakah sebetulnya yang memiliki klaim paling sahih mengenai risalah atau kebenaran Nabi?

Pertanyaan ini, menurut Kiai Husein, dijawab oleh al-Ghazali dengan menawarkan teori ta’wil (hermeneutika). Sebuah berita dinyatakan benar atau salah berdasarkan lima pendekatan: wujud dzaty (wujud hakiki); wujud hissy (wujud yang dapat ditangkap oleh potensi manusia di dalam indera); wujud khayali (khayalan atau angan-angan); wujud aql (rasional); dan wujud syibby (wujud tanpa makna, tanpa bentuk, dan tak ada dalam realitas, melainkan hanya berupa wujud serupa dan metaforis). Sejauh sebuah berita bisa dita’wil dalam lima pendekatan itu, maka tidak ada alasan untuk pengkafiran di sana.

Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya. Al-Ghazali tampak begitu risau dengan fenomena pengkafiran.

Berangkat dari fakta yang sama, Novriantoni memiliki pemikiran yang agak berbeda dengan pembicara sebelumnya. Melalui makalah yang diberi judul Al-Ghazali, Toleransi Setengah Hati, Novri (panggilan akrab Novriantoni) menyoroti fakta pengkafiran dan penghalalan darah yang telah dilakukan oleh al-Ghazali.

Kendati begitu, al-Ghazali, menurut pandangan Novri, memang menawarkan sebuah sikap toleransi, namun toleransi yang dibangun adalah toleransi terbatas. Novri kemudian mengurai pokok-pokok pikiran al-Ghazali yang terdapat dalam Fayshalut Tafriqah ke dalam sepuluh point: (1) al-Ghazali menganjurkan pembacanya untuk tidak gegabah dalam menjatuhkan vonis kafir; (2) konsep kenabian sebagai mediator syariat memegang posisi yang sangat sentral, karena itu definisi iman dan kafir terkait secara langsung dengan kepercayaan terhadap risalah Nabi; (3) adanya pembedaan ateisme-mutlak dan ateisme-terbatas; (4) toleransi yang dibangun oleh al-Ghazali, kalaupun benar, hanyalah toleransi internal umat Islam, bukan untuk orang-orang di luar Islam; (5) al-Ghazali mengakui konsep rahmat Allah yang luas; (6) al-Ghazali berpendapat bahwa ahli-ahli kalam yang mengkafirkan kalangan awam hanya karena mereka tidak memahami prinsip-prinsip teologi adalah keterlaluan; (7) al-Ghazali memaknai term “yang selamat” sebagai mereka yang sama sekali tidak masuk neraka, sementara “yang celaka” adalah mereka yang benar-benar kekal di dalam neraka; (8) dalam buku ini al-Ghazali tampak sedikit toleran terhadap Syi’ah; (9) keniscayaan ta’wil dan kaedah-kaedahnya; dan (10) untuk menghindar dari vonis “kafir,” al-Ghazali memperkenalkan konsep “sesat” dan “bid’ah.”

Menurut Novri, jika dalam Fayshal Tafriqah al-Ghazali tampak sedikit toleran, tapi di dalam buku lain seperti Fadla’ihul Bathiniyyah dan Tahafut al Falasifa, al-Ghazali muncul sebagai sosok yang sama sekali tidak toleran, bahkan cenderung menyebar permusuhan. Novri menunjukkan bagaimana al-Ghazali memilih sikap yang begitu keras terhadap kelompok Batini-Ismaili yang juga merupakan musuh ideologis khalifah al-Mustdzhir Billah. Novri mengutip pernyataan al-Ghazali: “Singkat kata, perlakuan terhadap mereka haruslah seperti perlakuan terhadap orang-orang murtad menyangkut aspek nyawanya, nikahnya, sembelihannya, transaksinya, dan ibadahnya. Arwah mereka tidak layak diperlakukan, bahkan sebagaimana orang kafir tulen.” Lebih jauh al-Ghazali menegaskan: “Untuk anak-anak, tidak dibunuh karena mereka belum menjadi subjek hukum, dan hukumnya akan saya jelaskan selanjutnya. Tapi perempuan-perempuan, bila mereka terang-terangan mengaku berkeyakinan dengan apa yang sudah kita tetapkan sebagai kekafiran itu, maka bagi kita hukumnya sama dengan hukum murtad yang harus dibunuh berdasar pemahaman umum kita tentang hadis berikut: “Yang mengganti agamanya, bunuhlah ia!”

Di atas semua kontroversi dan ketidakkonsistenan yang melekat kepada gagasan-gagasan yang diusungnya, semua pembicara sepakat pada satu hal, yakni bahwa al-Ghazali tetap adalah seorang besar yang menulis karya-karya besar dalam jumlah besar. Karena kebesarannya pulalah yang menyebabkan umat Islam terlalu sulit untuk keluar dari penjara dogmatis yang telah dibangunnya. Novriantoni menawarkan gagasan untuk keluar dari penjara al-Ghazali agar kreativitas umat Islam semakin tumbuh. Kiai Husein dan Nanang Tahqiq mengusulkan pembacaan yang lebih kritis dan menyeluruh terhadap al-Ghazali agar konsep dan gagasan yang muncul adalah gagasan yang lebih mencerahkan, ketimbang sisi-sisi gelap yang selama ini menjangkiti umat Islam. []

Rezim Islamis dan Tragedi Sudan

Oleh Sumanto al Qurtuby

Konspirasi ini dibangun berdasarkan kepentingan yang saling menguntungkan: pemerintah membutuhkan legitimasi agama untuk melanggengkan kekuasaan politik yang diraihnya dengan cara-cara kotor, sementara bagi kubu Muslim radikal, koalisi dengan pemerintah merupakan kesempatan emas untuk menikmati kekuasaan yang mereka impikan.

Suatu saat, sejumlah pengungsi Sudan mengunjungi museum Holocaust di Washington, D.C. Di museum ini mereka menyaksikan gunungan sepatu yang dikumpulkan dari para korban pembantaian Nazi yang sadis itu. Mengomentari peristiwa yang memakan korban jutaan nyawa manusia di bawah komando si kecil yang kejam itu, Hitler, salah seorang pengungsi berkata: “Perbedaan antara para korban di Sudan dengan korban Holocaust adalah kami tidak punya sepatu dan tidak seorang pun tahu nama kami.”

Berbeda dari para korban Holocaust (umumnya orang Yahudi dan non-Aryan) yang bersepatu dan disensus sebelum dipaksa kerja dan dibunuh, para korban pembunuhan di Sudan, baik di Sudan Selatan maupun di Darfur, memang bertelanjang kaki dan tidak didata lebih dahulu. Kisah ini dituturkan Dr. William O. Lowrey, seorang aktivis perdamaian Sudan dalam buku yang diedit profesor Harvard Divinity School, David Little, Peacemakers in Action: Profiles of Religion in Conflict Resolution.

Menghubungkan peristiwa di Sudan dengan Holocaust di Jerman memang agak berlebihan. Tapi bencana kemanusiaan di negara terluas di Afrika ini memang sudah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Selama lebih dari dua puluh tahun, Sudan dilanda peperangan dan kekerasan yang menyebabkan setidaknya 2 juta nyawa melayang dan lebih dari empat juta jiwa kehilangan tempat tinggal. Mereka mengungsi di hutan-hutan, atau kabur ke negara tetangga, terutama Chad, Kenya, Ethiopia, dan Central African Republic.

Itulah sebabnya Human Rights Watch menyebut Sudan sebagai salah satu negara dengan tingkat kejahatan kemanusiaan terburuk di dunia saat ini (lihat www.hrw.org). Meski negara berpenduduk mayoritas Islam-Sunni ini (sekitar 70% dari total 40 juta jiwa) dilanda kekeringan, kelaparan, kekerasan dan peperangan sejak negeri ini bebas dari pemerintah Inggris tahun 1956, anehnya sejauh ini hampir semua negara berpenduduk Muslim terbesar di planet ini tidak peduli akan nasib Sudan.

Standar Ganda

Berbeda dengan kekerasan di Palestina, Irak, Libanon, Afganistan, India, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dll, yang mendapat respons luas dari dunia Muslim internasional, kasus kekerasan, peperangan, dan ketidakadilan di Sudan hampir tenggelam atau sengaja dilupakan. Itu tampak jelas dari sikap Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Kaum Muslim di negeri ini begitu heroik membela hak-hak rakyat Palestina dari okupasi Israel. Kita juga sangat keras memprotes dan mengutuk negara-negara non-Muslim yang dianggap campur tangan dan menindas penduduk Palestina, Irak, Afganistan, Thailand, Filipina, India, dan lainnya. Tapi kita menutup mata terhadap kekerasan, kekejaman, dan ketidakadilan yang dilakukan rezim Islamis Sudan—juga beberapa negara di Afrika Utara dan Timur lain, seperti Somalia, Libya, Ethiopia, Mesir, Uganda, dll., yang memperlakukan warga non-Muslim dan minoritas lain secara tidak adil. Negara-negara Sunni-Arab juga rajin mengkritik rezim Syi’ah Iran, tetapi lupa akan borok-borok di negaranya dan negara-negara yang dikuasai kekuatan Sunni lain, termasuk Sudan.

Fenomena ini adalah salah satu contoh sikap “standar ganda” yang dilakukan umat beragama seperti pernah disinggung Hugh Goddard. Kekerasan dan ketidakadilan di Palestina, Thailand, Irak, Mindanao, dan lainnya, memang harus dilawan. Tapi kekejaman dan kesewenang-wenangan di Sudan dan negara-negara berbasis Islam lain yang melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap warganya juga tidak bisa didiamkan! Sudan adalah contoh nyata dari kekerasan yang dilakukan rezim Islamis, baik terhadap non-Muslim di Sudan Selatan maupun sesama Muslim di Darfur (Sudan Barat).

Kekerasan yang terjadi di negeri berpenduduk lebih dari 40 juta ini, meminjam istilah Johan Galtung, merupakan kombinasi dari physical violence seperti perang, pembakaran, pemerkosaan, penganiayaan, dll, structural violence yang melibatkan negara dengan segenap perangkat militer-politiknya, dan cultural violence dengan antara lain menjadikan agama sebagai basis legitimasi kekerasan. Sudan patut mendapat perhatian global terutama dari dunia Islam karena negeri berbasis Islam ini telah porak-poranda akibat perang, kekerasan, kekeringan, AIDS, dan kelaparan yang memilukan!

Sejarah Konflik

Dimanapun peristiwa kekerasan, peperangan, dan konflik komunal lain, memang memiliki akar sejarah yang panjang. Demikian halnya dengan Sudan. Sejarah konflik dan kekerasan di negeri yang berbatasan dengan Mesir ini bisa dibaca dalam buku The History of Sudan: From the Coming of Islam to the Present Day karya Holt & Daly. Disebutkan bahwa peristiwa kekerasan demi kekerasan (violent conflicts) di Sudan telah terjadi jauh sebelum negeri ini merdeka di tahun 1956. Violent conflicts ini berakar kuat pada identitas agama dan etnik, selain faktor sosial-ekonomi dan perebutan akses sumber daya alam yang melimpah seperti minyak, kayu (timber), hydropower dan aneka sumber bahan kerajinan. Identitas agama, kelas sosial, dan etnik, juga punya kontribusi penting dalam menyulut konflik dan kekerasan di Sudan, seperti ditulis Ann Lesch dalam Sudan: Contested National Identities dan Francis Deng dalam War of Visions: Conflict of Identities in Sudan.

Dilihat dari persebaran etnik/suku, populasi Sudan terdiri atas Arab (39%), Beja (6%), dan suku-suku lokal Afrika (52%). Sementara dari segi agama, dari 40 juta jiwa (sensus 2005), Islam-Sunni menjadi kekuatan mayoritas (70%), sisanya kepercayaan lokal (25%), dan Kristen (5%). Dari aspek kelas sosial, masyarakat Sudan diklasifikasikan ke dalam empat kasta: kelas pertama ditempati warga Arab-Muslim-Sunni yang kebanyakan tinggal di ibukota Sudan, Khartoum. Kelompok yang jumlahnya sekitar 39% inilah yang mengontrol sistem politik dan ekonomi Sudan sejak merdeka. Dengan begitu merekalah yang menikmati fasilitas, privileges, dan lezatnya kekuasaan di satu sisi, dan yang menjadi sumber utama kekerasan di dalam sejarah Sudan modern. Kelas kedua ditempati warga Muslim non-Arab terutama keturunan Afrika, dan tinggal di Khartoum (Sudan Utara). Kelas ketiga diduduki non-Muslim, tetapi tinggal di Sudan Utara. Dan kelas buntut ditempati non-Muslim (Kristen dan kepercayaan lokal) yang tinggal di Sudan Selatan.

Sementara itu, dominasi Arab-Islam-Sunni di Sudan sudah terjadi sejak lama. Jauh sebelum Islam memiliki pengaruh di kawasan Afrika Utara, negeri yang kini bernama Sudan ini dihuni oleh penduduk Nubi di Sudan Utara dan berbagai suku di Sudan Selatan. Pengaruh Islam-Arab di Sudan mulai terjadi sejak abad ke-7 ketika penguasa Muslim berhasil menaklukkan Mesir, tetangga Sudan, dan meningkat sejak abad ke-16. Sejak itu terjadi perkawinan silang antara orang Arab dan wanita lokal yang kemudian membentuk identitas budaya baru di Sudan Utara. Kaum imigran Arab maupun keluarga baru hasil perkawinan silang ini mengklaim sebagai “keluarga suci pribumi” yang kemudian hari menguasai dan mengontrol Sudan baik secara politik, ekonomi, dan agama. Itulah keserakahan yang mengantarkan pertikaian dan kekerasan panjang antar kelompok agama dan etnik.

Gagalnya Perjanjian Damai

Perjanjian damai memang sudah diteken baik di Sudan Selatan maupun di Darfur. Namun, kekerasan demi kekerasan terus berlanjut karena rezim Khartoum sering mengkhianati perjanjian. Peace Agreement yang ditandatangani pemerintah pusat dengan kubu pemberontak di Sudan Selatan, Sudan People’s Liberation Movement (SPLM) juga ternoda oleh kematian mendadak dan misterius pemimpin pemberontak, Dr. John Garang, pada sebuah kecelakaan helikopter 30 Juli 2005. Kaum pemberontak di Sudan Selatan menuduh rezim Khartoum berada di balik aksi pembunuhan itu. Kerusuhan pun kembali meledak sehingga menyebabkan ribuan orang terbunuh.

Situasi politik di Selatan juga tidak kunjung mereda karena pemerintah pusat Sudan melanggar klausul perjanjian yang antara lain berisi pembagian jatah 50% hasil minyak bumi yang dieksplorasi di Sudan Selatan untuk kemakmuran warga di sana. Minyak memang menjadi andalan sumber kekayaan Sudan. Negeri ini bisa menghasilkan USD 1,5 miliar per tahun dari minyak (diperkirakan kandungan minyak Sudan mencapai 1,2 miliar barel). Tapi celakanya, uang hasil minyak itu, selain dikorupsi untuk foya-foya para pejabat, juga dipakai untuk membeli peralatan tempur dari Cina, Belarusia, Rusia dan negara lainnya untuk menghancurkan warga sipil.

Belum reda masalah di Sudan Selatan, pemerintah Sudan kembali menghadapi masalah serius di Darfur. Kekerasan di Darfur meletus sejak Februari 2003. Pelaku penyerbuan, pembunuhan, pembakaran, perampokan dan pemerkosaan atas warga Darfur adalah gerombolan milisi dan preman Arab yang bernama Janjaweed dengan dukungan pemerintah pusat yang kebetulan juga dikuasai orang-orang dari etnik Arab. Pemerintah Sudan merekrut milisi Janjaweed yang berasal dari beberapa etnik Arab nomaden yang bermigrasi ke Darfur sejak 1980-an. Mereka mau direkrut pemerintah sebagai milisi untuk menghancurkan warga sipil Darfur—meskipun sesama Muslim—dengan harapan mendapatkan pekerjaan sebagai tentara atau polisi Sudan.

Sebagai bangsa nomaden, ajakan berperang dari pemerintah dianggap sebagai rejeki nomplok dan alasan untuk merampok dan menguasai tanah serta lahan permukiman warga. Di pihak lain, rezim Khartoum tidak mau menggunakan tentara sebab banyak tentara yang berasal dari Darfur. Selain itu, dengan menggunakan tentara sipil, pemerintah bisa berkelit dari tuduhan kejahatan perang yang disponsori oleh negara. Rezim Khartoum memang sering berkilah bahwa kekerasan Darfur adalah kekerasan antar warga sipil, bukan kekerasan negara atas rakyat sipil.

Pengusa dan Islam Garis Keras

Rezim Sudan adalah contoh nyata dari konspirasi tentara-pemerintah dan Islam garis keras. Sejak diktator kejam Jendral Ja’far Nimeiri mengkudeta Sudan tahun 1969, dia segera menggandeng kekuatan Islam garis keras seperti Ikhwanul Muslimin untuk mengontrol dan memerintah Sudan di bawah bendera Syariat. Keputusan itu ditentang keras para tokoh Muslim moderat seperti Muhammad Mahmud Taha, guru Prof. Abdullah Ahmad an-Na’im—sebuah penentangan yang mengakibatkan kematiannya. Kongkalikong penguasa dan Muslim radikal ini terus berlanjut di masa Sadiq al-Mahdi dan Omar Bashir saat ini.

Konspirasi ini dibangun berdasarkan kepentingan yang saling menguntungkan: pemerintah membutuhkan legitimasi agama untuk melanggengkan kekuasaan politik yang diraihnya dengan cara-cara kotor, sementara bagi kubu Muslim radikal, koalisi dengan pemerintah merupakan kesempatan emas untuk menikmati kekuasaan yang mereka impikan. Akibat persekongkolan ini, terjadilah kekerasan yang mengerikan sepanjang sejarah Sudan yang tidak hanya memakan korban orang-orang Kristen dan kepercayaan lokal di Sudan Selatan, tapi juga kaum muslim sendiri yang melawan mainstream Khartoum seperti di Darfur.

Apa yang terjadi di Sudan adalah warning buat pemerintah Indonesia yang sering “main mata” dengan kelompok Islam garis keras. Kasus Sudan juga menjadi bukti untuk kesekian kalinya bahwa aplikasi syariat tak jarang hanya akal-akalan kelompok “Islam kanan” demi kekuasaan, bukan demi Islam, rakyat, apalagi Tuhan!

Ibrahim Husein Sosok Kontroversial


Diskusi di Ciputat

Ibrahim Husein termasuk sosok pembaharu hukum Islam yang cenderung berani melahirkan gagasan-gagasan revolusioner pada masanya. Sikap revolusioner pemikirannya ditampilkan dalam upayanya merelatifkan syariah. Menurutnya syariah perlu dipikirkan, perlu diletakan sebagai produk manusia yang tidak bersifat absolut.

“Ibrahim Husein termasuk sosok pembaharu hukum Islam yang cenderung berani melahirkan gagasan-gagasan revolusioner pada masanya. Sikap revolusioner pemikirannya ditampilkan dalam upayanya merelatifkan syariah. Menurutnya syariah perlu dipikirkan, perlu diletakan sebagai produk manusia yang tidak bersifat absolut.”

Demikian pernyataan kritis Abd. Moqsith Ghazali dalam diskusi Jaringan Islam Liberal yang bekerjasama dengan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Siyasah Syariah (BEMJ Siyasah Syariah) pada Selasa, (27/6) di Ruang Teater Lt.2 Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diskusi dengan tema “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Pemikiran Prof. K.H. Ibrahim Husein” selain menghadirkan Moqsith juga mengundang Dr. JM. Muslimin, Peniliti INIS, dan Atho Muzhar, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum.

Terkait dengan pembaharuan yang dilakukan Ibrahim tentang relativitas syariah, Moqsith mengaku ingat akan sebuah pertanyaan: apakah sanksi-sanksi hukum dalam bidang kepidanaan itu berfungsi sebagai menambal dosa yang bersangkutan (jawâbir) atau sebagai upaya menjerakan pelaku pidana (zawâjir). Menjawab pertanyaan itu, menurutnya, Ibrahim Husein termasuk orang yang mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai jawâbir.

Pada posisi ini, Ibrahim dinilai sebagai orang yang setuju bahwa sanksi hukum dalam bentuk potong tangan dan rajam tidak relevan bila diterapkan di bumi Indonesia. Potong tangan, rajam, dan cambuk, bukanlah tujuan hukum itu sendiri, melainkan lebih sebagai instrumen agar membuat pelaku pidana jera. Karenanya, dalam konteks ini syariah menjadi relatif, bisa diubah, mungkin dengan cara dipenjarakan atau semacamnya. Dalam pandangan Ibrahim, bila penjara bisa membuat para pelaku pidana menjadi jera, maka potong tangan tidak perlu dilakukan.

Pernyataan ini pernah membuat marah Satria Effendi, salah seorang ahli fikih lain pada masanya. Menurut Effendi, dalam hukum potong tangan, selain terkandung fungsi zawâjir juga terkandung jawâbir. Menanggapi kemarahan itu, Ibrahim mengatakan bahwa itu hanya lantaran hukum potong tangan dan semisalnya hanya media atau wasilah, bukan tujuan atau ghayah dari diterapkannya sebuah sanksi hukum tertentu.

Selain mengaku tersanjung dengan ketokohan Ibrahim, Moqsith juga tidak lupa mengkritiknya. Pasalnya, Ibrahim ingin menyerahkan otoritas dalam melakukan tahkim dan takhsis hukum kepada lembaga pemerintah. Sikap seperti ini menurut Moqsith sangat berisiko. Bila pemerintahnya zalim dan otoriter, itu akan membahayakan produk hukum yang dihasilkan. Menurut Moqsith, baik takhsis maupun tahkim hanya dapat dilakukan lewat mekanisme akal publik. Dalam kaidah ushul fiqh yang dibuatnya sendiri, tanqîhun nushûsh al-juz’iyyah ila `aqlil mujtama’, yaitu menyortir ketentuan yang ada dalam Alquran dan Sunnah, terutama yang bersifat partikular, dengan menggunakan akal publik. Jadi, tidak selamanya menyerahkannya kepada pemerintah.

Sementara itu, JM. Muslimin lebih menyoroti Ibrahim Husein pada sisi epistemologinya dalam mengeluarkan sebuah produk hukum. Menurutnya, Ibrahim memiliki geneologi pemikiran yang coraknya lebih ke ushul fikih yang memiliki kesamaan dengan seorang ulama fikih masa kolonial, Syaikh Utsman. Lebih jauh Muslimin menilai, Ibrahim tidak lebih dari duplikasi ulama tersebut. Kesamaan itu bisa dilihat pada pandangannya bahwa dalam pemutusan sebuah hukum sangat terkait dengan masâlikul ‘illat, prosedur argumentasinya. Dari pandangan ini ia sampai pada kesimpulan bahwa Porkas dan SDSB adalah boleh. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan mainstream pada waktu itu yang percaya bahwa Porkas maupun SDSB adalah uang haram.

Hukum tidak tergantung pada sebuah benda, tapi hukum terkait dengan perbuatan manusia. Dalam ushul fikih ada kaidah yang mengatakan bahwa jurispredensi Islam adalah khitâbulLâh al-muta’alliq bi afâalil mukallafîn. Artinya, ia adalah firman Allah yang terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, individu. Ibrahim Husein mempertegas bahwa tidak ada yang namanya uang haram. Yang bisa dihukumi haram adalah perbuatan seseorang yang melakukan suatu tindakah tertentu.

Muslimin menilai, eksplorasi pemikiran yang dilakukan para pembaharuan hukum Islam, termasuk Ibrahim Husein, tidak berhasil melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi epistemologi hukum Islam, ushul fikih. Pasalnya, apa yang dilakukan Ibrahim dalam melakukan rumusan-rumusan sebuah hukum tidak mampu sampai pada kesimpulan yang konklusif. Artinya tidak pada kesimpulan yang jami’ (komprehensif) dan mani’ (restriktif) tentang apa yang menjadi perdebatan pada sistemakita nilai, dan filosofi yang terkandung dalam hukum Islam sendiri. Ushul fikih yang lebih banyak bicara tentang sesuatu, tapi tidak memiliki batasan-batasan yang jelas, komprehensif sekaligus restriktif.

Pembicara ketiga, Atho Muzhar berusaha memotret sosok Ibrahim Husein dari sisi kontroversinya saat dia masih menjadi ketua MUI di tahun 80-an. Menurut Muzhar, selain mengeluarkan pandangannya tentang bolehnya SDSB dan Porkas, Ibrahim juga pernah mengeluarkan pernyataan soal penghalalan kodok. “Memakannya haram, tetapi membudidayakannya halal,” tegasnya dengan nada datar.

Hal lain yang juga sempat menjadi kontroversial adalah tindakannya memakan babi ketika sakit. Padahal dia sudah dilarang untuk tidak memakannya. Ketika ditanya, kata Muzhar, Ibrahim menjawab seraya berfatwa: lebih baik mati kekenyangan daripada mati kelaparan.

Diskusi pada kesempatan ini, selain banyak mendapat apresiasi, juga dinilai belum cukup berhasil menampilkan paradigma yang berbeda dari tiga pembicara yang hadir memberi penilain terhadap sosok Ibarahim Husein. Pasalnya, tidak ada pembicara yang memiliki paradigma yang secara genuine berbeda dari pembicara lainnya. Mereka umumnya dinilai, cenderung mengagungkan atau bahkan sebaliknya, mengkritik habis sosok Ibrahim Husein.

“Sebaiknya dihadirkan para pembicara yang kontroversial,” tulis pada salah satu lembar evaluasi peserta yang disebarkan oleh panitia.

Siapa Yang Rancu: Para Filosof atau al-Ghazali?

Oleh Maljaul Abror

“Kenapa Tahafut al-Falâsifah begitu berhasil? Itu tidak lain karena sebenarnya al-Ghazali memang paham apa yang dia mau kritik,” kata Mulyadi. Ia lalu menambahkan bahwa dari kitab al-Ghazali lainnya, Al-Munqidz min al-Dlalâl, sebenarnya kita tahu posisi “epistemologis” al-Ghazali, yaitu: janganlah mengkritik sesuatu kalau anda belum memahami betul apa yang mau anda kritik.

Pertanyaan di atas dijawab oleh Luthfi—yang sebenarnya tampil sebagai pembicara ketiga—dengan tegas: al-Ghazali-lah yang mengalami kerancuan, persis seperti yang diisyaratkan oleh judul kitab Ibnu Rusyd, Tahâfut at-Tahâfut (Rancunya [Kitab] Kerancuan). Luthfi memberi makna yang beragam pada kata kerancuan yang diatributkan kepada al-Ghazali. Al-Ghazali dianggap mengalami kerancuan, misalnya, karena sebenarnya ia tidak mengerti secara sungguh-sungguh persoalan-persoalan filsafat-metafisis yang ia tuliskan dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah.

Bahkan Luthfi mencurigai bahwa kitab al-Ghazali yang lain, yaitu Maqâshid al-Falâsifah, sebenarnya bukan karya otentik al-Ghazali. “Maqâshid al-Falâsifah adalah buku terjemahan, atau paling jauh hanya parafrase dari buku lain,” tukas Luthfi. Karenanya, yang sebenarnya dilakukan al-Ghazali adalah memukul sesuatu yang salah. Luthfi memberi contoh tentang isu ba’ts al-jasad (kebangkitan ragawi) dan pengetahuan Tuhan tentang juz’iyyât (hal-hal yang partikular) yang dipersoalkan al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya para filosof sebelum al-Ghazali tidak berbicara tentang dua masalah tersebut persis seperti yang dikemukakan al-Ghazali. Dua masalah tersebut hanya hasil asumsi al-Ghazali belaka.

Lebih lanjut, Luthfi menyebut al-Ghazali rancu, juga karena perspektif yang digunakannya dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah, adalah perspektif polemis (jadalî), bahkan kadang terjatuh pada level khatthâbi (retoris), dan bukan perspektif kaum filosof, yakni perspektif burhânî (demonstratif). “Kita tahu,” lanjut Luthfi, “bahwa perspektif polemis (jadalî) adalah perspektif para teolog, bukan perspektif filosof. Padahal yang ia target dengan kitabnya adalah para filosof dan persoalan-persoalan filosofis-metafisis! Ini kan rancu?!” tegas Luthfi. Luthfi juga menekankan bahwa sejak awal sampai akhir hayatnya, prototipe al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Statemen ini ia simpulkan dari sebuah film semi dokumenter tentang al-Ghazali, garapan sineas Iran, The Alchemist of Happiness (Kimiya’ al-Sa’adah).

Jadi inti-diri al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Karena itu, bila dia mencoba masuk ke zona lain, maka hasilnya adalah kerancuan. Begitulah yang hendak dimaksudkan oleh statemen Luthfi di atas. Makanya, tatkala al-Ghazali mencoba bicara tentang persoalan filosofis-metafisis, ia selalu kembali lagi kepada dalil-dalil Alqur’an guna menopang pendiriannya; seolah-olah dzihniyyah (mentalitas) kesufiannya mengekang dirinya untuk menggunakan akalnya untuk bermain pada level burhânî, sebagaimana yang dilakukan para filosof. “Makanya, dalam meng-counter al-Ghazali, Ibn Rusyd pun menggunakan cara-cara al-Ghazali. Karena al-Ghazali senantiasa kembali kepada Alqur’an untuk menopang posisi ortodoksinya, maka Ibnu Rusyd pun melakukan hal yang sama, mengais-ngais ayat Alqur’an untuk mendukung posisi filosofisnya.

Dan “celakanya”, Ibnu Rusyd juga mendapatkan ayat-ayat yang bisa mendukung posisi filosofisnya. Karena Alqur’an, sebagaimana entitas lain, adalah laksana dua sisi satu keping koin. Dan dengan cara begitulah Ibnu Rusyd merasa lebih nyaman dan berhasil dalam meng-counter al-Ghazali, daripada harus capek-capek berargumen secara burhânî. Toh pada akhirnya al-Ghazali lagi-lagi kembali kepada dalil-dalil Alqur’an,” kelakar Luthfi.

Contoh yang dikemukakan Luthfi malan itu misalnya soal keazalian alam (azaliyyat al-`alam). Soal ini, al-Ghazali meyakini ex-nihilo, karena Tuhan maha kuasa. Dan untuk itu, al-Ghazali mengutip ayat, Innama amruhu idzâ arada syai’an an yaqûla lahu kun fayakun (Q.S. Yasin, 36:82). Perspektif Ibn Rusyd adalah ex-creatio, penciptaan dari sesuatu yang ada sebelumnya. Hebatnya, Ibnu Rusyd juga menemukan ayat Alqur’an yang mendukung perspektif ex-creatio. Misalnya ayat, wa huwa al-ladzî khalaqa al-samâwâti wa al-‘ardla fi sittati ayyam wa kâna`‘arsyuhu ‘ala al-mâ’i (Q.S. Hud, 11:7). Juga ayat, awalam yara al-ladzîna kafaru ‘anna al-samâwâti wa al-ardla kânatâ ratqan fafataqnâhumâ wa ja`alna min al-mâ’i kulla syai’in hayyan (Q.S. Al-Anbiya’, 21:30). Artinya pada “waktu” itu, ada Allah dan ada air. Dan sebelum Socrates, sudah ada seorang filosof, yaitu Thales, yang meyakini bahwa substansi segala sesuatu bermula dari air.

Juga ayat, tsumma istawa ila al-samâ’i wa hiya dukhân (Q.S. Fushshilat, 41:11). Jadi pada “saat” itu, situasinya tidak nihil sama sekali, tapi ada dukhan (asap/uap). Dan kebetulan ada juga filosof pra-Socrates, yakni Anaximenes yang sudah meyakini bahwa dunia ini bermula dari uap, sesuatu yang humid (lembab). Juga secara semantis, menurut Ibnu Rusyd, kata khalaqa itu selalu dipakai dalam konteks penciptaan sesuatu dari sesuatu lainnya yang sudah ada, dan itu berarti ex-creatio. Untuk itu, Ibnu Rusyd mengutip ayat, wa laqad khalaqna al-insana min sulâlatin min thîn (Q.S. Al-Mukminun, 23:12).

Luthfi juga mengkritik struktur atau sistematika penulisan kitab Tahafut Al-Falasifah yang menurutnya tidak proporsional, sebab pembahasan tentang azaliyyatul ‘alam (keazalian alam) mengambil porsi sampai seperempat kitab. Sembilan belas masalah lainnya hanya mendapat porsi sisanya, bahkan ada salah satu item masalah yang hanya dibahas dalam satu-dua halaman saja. Selain itu, Luthfi juga meragukan riwayat tentang periode skeptisisme Al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya al-Ghazali tidak pernah mengalami skeptisisme serius seperti para filosof Ibn Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. “Skeptisisme itu hanya proyeksi al-Ghazali atas dirinya sendiri, seolah-olah ia pernah mengalami masa dlalal (ketersesatan),” ujar Luthfi. Proyeksi itu ia lakukan, ujung-ujungnya untuk mendukung posisi ortodoksinya; seolah-olah ia seorang warrior of God (tentara Tuhan).

Malam itu memang penuh kritik dari Luthfi atas al-Ghazali. Menjelang akhir diskusi, Luthfi baru membuka “kartu”, kenapa ia begitu “gerah” terhadap al-Ghazali. Dia mengatakan, ada semacam mekanisme dalam dirinya yang secara otomatis melakukan respon resisten terhadap figur yang dielu-elukan—baik oleh dia sendiri maupun orang lain—secara berlebihan. Dan dia sendiri mengaku pernah menjadi simpatisan al-Ghazali ketika dua tahun belajar di Malasyia, di bawah bimbingan Dr. Naguib Al-Attas. Bahkan Luthfi memperingatkan sikap dasar al-Ghazali yang amat berbahaya, yaitu takfir (pengkufuran terhadap orang lain) yang bisa diikuti preskripsi al-qatl (perintah bunuh). Sebab, mayoritas umat Islam memposisikan al-Ghazali sebagai hujjatul Islâm (jubir agama Islam). Itulah kenapa praktek apostasi, menganggap orang lain murtad, terus saja berkembang di dunia Islam sampai sekarang ini.

Luthfi kemudian beranjak membahas item-item masalah yang diulas al-Ghazali dalam Tahâfut al-Falâsifah, yang berjumlah dua puluh masalah. Enam belas masalah metafisik dan empat masalah non-metafisik (fisik). Dalam tujuh belas masalah dari dua puluh tadi, al-Ghazali menuduh para filosof telah melakukan bid’ah. Dan dalam tiga masalah, al-Ghazali menganggap para filosof telah keluar dari Islam, alias kafir. Tiga masalah krusial tersebut adalah ke-kadiman alam, Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular, dan penolakan filosofis akan adanya kebangkitan jasmani. Untuk penjelasan item- item ini, Luthfi tidak berkomentar banyak. Hanya sedikit item yang ia ulas, di antaranya tentang azaliyyat al-‘alam (pre-eternity alam). Selain itu, Luthfi juga menyinggung sedikit tentang masalah abadiyyat al-‘alam (post-eternity alam). Dalam perspektif al-Ghazali, post-eternity alam itu tidak mungkin. Tetapi dalam pandangan Ibnu Rusyd, post-eternity itu ada dalilnya di dalam Alqur’an sendiri. Makanya ia mengutipkan ayat, yauma tubaddalu al-ardlu ghaira al-ardli wa al-samâwâtu wa barazu lilLâhi al-wâhid al-qahhâr (Q.S. Ibrahim, 14:48).

Zainun Kamal–yang malam itu tampil sebagai pembicara pertama—juga tak luput mengkritik al-Ghazali dengan perspektif yang berbeda dari Luthfi. Zainun mengatakan bahwa al-ghazali-lah yang telah ikut berperan dalam membendung pemikiran rasional di dalam Islam. Universitas Nizhamiyah yang berdiri pada masanya juga ikut menjadi institusi yang menghambat pemikiran rasional Islam. Sebab yang boleh dipelajari di kampus itu, dalam bidang fikih hanya fikih Al-Syafi’i, dalam bidang teologi adalah teologinya al-Asy’ari, dan dalam bidang pemikiran adalah pemikiran al-Ghazali. “Dan inilah cermin dunia Islam sampai saat ini,” jelas Zainun. “Padahal, pada abad ke-8 M sampai abad ke-12 M, dunia Islam mengalami masa keemasannya,” sesal Zainun.

Zainun pun lalu menyarankan, “Mestinya yang lebih banyak kita pelajari adalah Ibnu Rusyd. Al-Ghazali itu kita pelajari secara sambil lalu saja. Karena al-Ghazali ini sudah jadi darah daging kita semenjak dari pesantren. Tidak belajar al-Ghazali pun, sejak kita lahir, wajah kita sudah al-Ghazali,” kelakar Zainun. Ia juga menambahkan bahwa lahirnya kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, telah memungkasi riwayat pemikiran rasional di dunia Islam dan hanya menghidupkan ilmu-ilmu agama; sesuai nama kitab tersebut. Dan al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu agama wajib dipelajari secara individual, orang per orang (fardlu ‘ain). Berbeda dengan ilmu dunia, yang bagi al-Ghazali hanya fardlu kifayah; kalau sudah ada pihak yang meng-handle, gugur sudah kewajiban kita untuk mempelajarinya. “Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din ini kan simbol pemikiran tasawuf; dan itu melemahkan dunia Islam. Lebih parah lagi, setelah al-Ghazali, pemikiran tasawuf diperkuat oleh Ibnu ‘Arabi. Tamatlah riwayat pemikiran rasional di dunia Islam,” pungkas Zainun.

Di akhir presentasinya, Pak Zainun mengutip pendapat almarhum Nurcholish Madjid dan Hassan Hanafi. Dari Hassan Hanafi, ia mengutip bahwa semestinya kita umat Islam beralih dari “persoalan langit” ke “persoalan bumi” (min al-sama’ ila al-ardl), dan juga beralih dari menghidupkan ilmu-ilmu agama ke arah menghidupkan ilmu-ilmu dunia yang sekuler (min ihya’ ‘ulum al-din ila ihya’ ‘ulum al-dunya). Dari Cak Nur, Zainun mengutip ungkapan berikut: di dunia timur, pemikiran al-Ghazali begitu mendominasi, sedang di dunia barat, yang lebih banyak berpengaruh adalah pemikiran Ibnu Rusyd. Karena itu, kalau dunia barat menjajah timur”, kata Cak Nur, “itu tidak lebih dari simbol penjajahan Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali.”

Berbeda dari dua pembicara lainnya, Mulyadhi Kartanegara yang malam itu tampil sebagai pembicara kedua, mengambil posisi yang fair terhadap al-Ghazali. Bahkan terkadang membantah kritikan atas Al-Ghazali oleh dua pembicara lainnya, sembari membela al-Ghazali. Ketika dua pembicara lainnya mengatakan al-Ghazali sebenarnya tidak memahami apa yang ia mau kritik, Mulyadhi justru membantah. “Kenapa Tahafut al-Falâsifah begitu berhasil? Itu tidak lain karena sebenarnya al-Ghazali memang paham apa yang dia mau kritik,” kata Mulyadi. Ia lalu menambahkan bahwa dari kitab al-Ghazali lainnya, Al-Munqidz min al-Dlalâl, sebenarnya kita tahu posisi “epistemologis” al-Ghazali, yaitu: janganlah mengkritik sesuatu kalau anda belum memahami betul apa yang mau anda kritik.

Mulyadhi juga menjelaskan kenapa kritik al-Ghazali terhadap para fisosof lewat Tahâfut al-Falâsifah tidak tepat sasaran–seperti dikatakan Luthfi—tapi tetap berhasil dan menang. “Itu tak lain karena kebanyakan dari kita cara berpikirnya masih teologis, bukan filosofis,” jelas Mulyadhi. Posisi fair Mulyadhi terhadap al-Ghazali nampak juga tatkala ia menyatakan sekaligus menyarankan, “jangan ikuti ­qaul-nya dong, tapi ikuti manhaj-nya.” Mulyadhi menambahkan, “kalau ada qaul (pendapat) al-Ghazali yang kurang tepat, ya kritik saja, sebab itulah manhaj (metode) yang al-Ghazali sarankan sendiri.”

Di akhir presentasinya, Mulyahdi menjelaskan bahwa memang sosok al-Ghazali ibarat dua sisi dari satu keping koin. Ia bisa punya pengaruh destruktif dan konstruktif sekaligus. Destruktif, terutama untuk perkembangan filsafat peripatetik. Dan konstruktif, sebab dia-lah yang memicu munculnya aliran filsafat isyrâqi (illuminasionisme) di dalam Islam, yang kemudian dikembangkan oleh Syuhrawardi yang sangat kagum terhadap kitab al-Ghazali, Misykât al-Anwâr. []

Islam Santun ala Indonesia

Oleh Saidiman

Fakta bahwa kaum agamawan begitu alpa terhadap fenomena sosial seperti kemiskinan dan lumpur Lapindo (Sidoarjo, Jawa Timur) adalah bukti bahwa agama tidak lagi memiliki daya pikat untuk berbicara tentang persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam pada itu, agama menjadi terasing di tengah-tengah arus modal yang luar biasa besar. Agama begitu mudah diseret ke dalam konflik kepentingan.

Bangsa Indonesia menghadapi persoalan besar ihwal kebebasan beragama. Demikian kesimpulan yang mengemuka pada Diskusi Akhir Tahun bertajuk “Membangun Toleransi Kebangsaan: Menuju Indonesia Masa Depan (Perspektif Islam Indonesia)” di Aula Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), 27 Desember 2007. Diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) PTIQ bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan sejumlah lembaga lain ini menghadirkan Beni Susetyo (Konferensi Wali Gereja Indonesia), Abu Zayd (Hizbut Tahrir Indonesia), dan Abdul Moqsith Ghazali (Jaringan Islam Liberal) sebagai pembicara.

Beny Susetyo memulai paparannya dengan menyatakan bahwa bangsa Indonesia sedang disandera oleh dua kekuatan fundamentalis: fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Agama, menurut Beny, tidak lagi muncul dalam kesejatiannya. Agama telah dibajak oleh kepentingan para pemodal. Fakta bahwa kaum agamawan begitu alpa terhadap fenomena sosial seperti kemiskinan dan lumpur Lapindo (Sidoarjo, Jawa Timur) adalah bukti bahwa agama tidak lagi memiliki daya pikat untuk berbicara tentang persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam pada itu, agama menjadi terasing di tengah-tengah arus modal yang luar biasa besar. Agama begitu mudah diseret ke dalam konflik kepentingan.

Apa yang terjadi pada agama-agama di Indonesia adalah fenomena tentang agama dan cara beragama yang sakit. Betapa tidak, negara dengan sebegitu ceroboh mencoba masuk ke wilayah agama. “Masak urusan salaman saja harus diatur?!” kata Beny. Masyarakat Indonesia dianggap sedemikian bodohnya sehingga harus terus dibimbing.

Bagi Beny, yang dibutuhkan masyarakat beragama Indonesia bukan sekedar toleransi, melainkan kemauan untuk saling memahami. Itulah yang ia sebut sebagai persaudaraan sejati. Natal tahun ini dirayakan dengan penuh nuansa. Salah satu yang paling menarik adalah ketika Presiden Palestina, Mahmod Abbas, menghadiri Misa Natal di Yerussalem. “Ini adalah peristiwa yang luar biasa yang menggambarkan betapa indahnya persaudaraan sejati,” tegas Beny.

Abu Zayd menekankan tentang pentingnya meluruskan pemahaman mengenai keislaman. Zayd melihat bahwa ada semacam pembelokan pemahaman mengenai Islam. Islam dianggap pro terhadap radikalisme dan kekerasan. Padahal, Islam justru datang dengan semangat perdamaian. “Mereka yang menghalalkan kekerasan,” kata Zayd, “adalah tidak melakukan perbuatan yang islami.”

Zayd menambahkan bahwa tidak ada preseden di dalam sejarah dimana Islam datang untuk melenyapkan kelompok lain. Agama-agama lokal di Indonesia, misalnya, tidak pernah punya masalah dengan Islam yang mayoritas. Toleransi dan hubungan antar-manusia tidak seharusnya dipertentangkan dengan keyakinan. “Saya boleh berbeda keyakinan dengan Romo Beny, tapi dengan senang hati saya akan memberikan pertolongan jika ia membutuhkan,” imbuhnya.

Moqsith Ghazali menggarisbawahi bahwa mayoritas kelompok Islam Indonesia adalah Islam yang santun. Ghazali menyatakan: “Yang saya suka dari kelompok Islam semacam Hizbut Tahrir adalah karena kelompok ini menyebarkan gagasan yang mereka yakini dengan santun, tidak mentolerir kekerasan.” Islam yang santun itu pulalah yang dicontohkan oleh kelompok-kelompok lain seperti NU, Muhammadiyah, dan JIL. Dalam hal itu, JIL dan Hizbut Tahrir, serta kelompok-kelompok Islam lain, memiliki kesamaan fundamental, yakni cara penyebaran gagasan dengan santun.

Ghazali yang baru merampungkan studi doktoralnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini kembali menegaskan tentang pentingnya kesadaran tentang pluralitas bangsa Indonesia. Di Indonesia, kata Ghazali, gagasan apa saja boleh tumbuh: mulai dari yang paling ekstrim kanan sampai yang paling liberal. Ini semua terjadi karena berkah demokrasi. Tidak terbayangkan bahwa NU akan ditolerir tumbuh di Arab Saudi yang negaranya secara resmi menganut ideologi Wahhabi. Hal yang sama juga terjadi kepada Hizbut Tahrir. Demokrasilah yang memungkinkan semua gagasan ini bisa tumbuh, hal yang tidak mungkin ditemukan di negara-negara Islam totaliter.

Ghazali mendapat sambutan meriah dari peserta yang mencapai seratusan orang itu ketika ia mengurai latar belakang pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ghazali menyatakan bahwa MUI pada awalnya adalah Ormas yang didirikan oleh pemerintah Orde Baru pada 26 Juli 1975 . Pada waktu itu, Orde Baru merasa membutuhkan legitimasi religius dalam setiap kebijakan pembangunannya. Sementara mayoritas ulama yang memiliki pengaruh pada tingkat akar rumput kerapkali memberikan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. MUI diharapkan bisa memberi legitimasi religius terhadap pemerintah. Tidak heran jika Ormas yang satu ini adalah Ormas yang paling istimewa. Setiap tahun Ormas ini memperoleh kucuran dana tidak kurang dari 16 trilyun rupiah. Sebagai ganjarannya, kebijakan pemerintah yang dirasa kontroversial di tengah masyarakat Islam selalu mendapat bantuan fatwa dari MUI.

Sebagai Ormas yang sejajar dengan Ormas lain, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, JIL, dan lain-lain seharusnya pemerintah tidak mengistimewakan lembaga ini. Parahnya, menurut Ghazali, pemerintah justru tunduk bahkan meminta fatwa kepada MUI. Padahal, MUI tidak memiliki fungsi apa-apa dalam struktur negara.

Mengenai Ahmadiyah, menurut Moqsith, MUI tidak punya hak apa-apa untuk melenyapkannya (melalui sejumlah fatwa sesat). Ahmadiyah telah ada di Indonesia sejak tahun 1800-an dan menjadi Ormas dengan landasan hukum yang jelas sejak tahun 1953, jauh sebelum MUI berdiri. “Kalau Ahmadiyah mau dibubarkan,” kata Ghazali, “legalitas hukum pendiriannya harus dicabut dulu. Lebih jauh, konstitusi negara ini harus diubah dulu menjadi negara Islam dan mengangkat MUI sebagai lembaga tinggi negara selevel dengan Mahkamah Konstitusi.” Jika tidak, upaya untuk melenyapkan Ahmadiyah dengan landasan fatwa MUI adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. “Presiden bisa di-impeach karena melanggar konstitusi,” tegas Ghazali.

NU, MUI, dan Ma`ruf Amin


Oleh Abd Moqsith Ghazali

Tidak sebagaimana MUI yang mengharamkan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme, maka NU tak pernah mengharamkan pemikiran. Bagi kiai NU jelas, hukum tak terkait dengan pemikiran, melainkan dengan tindakan (fi`l al-mukallaf). Dengan demikian, menurut para kiai NU, sebuah pemikiran tak bisa diberi status hukum.

Seorang petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma`ruf Amin, membuat pernyataan mengejutkan. Melalui situs NU Online (Ahad, 9/12/2007), ia berkata bahwa Nahdatul Ulama (NU) telah dirasuki pikiran-pikiran Islam liberal. Menurutnya, NU harus bersih dari orang-orang liberal. Ia tak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan ajektif liberal itu.

Apakah orang yang menolak formalisasi syari`at Islam bisa dimasukkan ke dalam kategori pemikir liberal sehingga harus dikeluarkan dari NU? Apakah orang yang berpendapat bahwa firman Allah itu tak bersuara dan tak beraksara (bi la shawt wa la harf), seperti dikemukakan Imam Abul Hasan al-Asy`ari (teolog anutan warga nahdliyyin), dapat disebut pemikir Muslim liberal?

Kalau itu salah satu unsur pemikiran Islam liberal yang dimaksudkannya, maka banyak kiai yang harus keluar dari NU. Salah satunya adalah Ra'is `Am PBNU sendiri, KH MA Sahal Mahfud, yang menolak fikih Islam sebagai hukum positif negara. Begitu juga, kalau para kiai NU yang mengikuti Imam Asy`ari dalam memandang al-Qur'an itu dianggap liberal, maka mereka bisa dinon-aktifkan.

Atas pernyataannya itu, Kiai Ma'ruf perlu memberikan klarifikasi. Saya khawatir ungkapan Kiai Ma`ruf tersebut akan memunculkan ketegangan baru di lingkungan warga nahdliyyin jika tak cepat ditabayyunkan.

Ia juga berkata bahwa yang paling Aswaja (Ahl al-sunnah wa al-jama'ah) di antara ormas-ormas Islam di Indonesia adalah MUI. Ia mempertanyakan ke-Aswaja-an NU. Penting dikemukakan, NU memang berbeda dengan MUI. NU misalnya tak segarang MUI dalam menyikapi sejumlah peristiwa dan perbedaan penafsiran dalam Islam.

Tidak sebagaimana MUI yang mengharamkan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme, maka NU tak pernah mengharamkan pemikiran. Bagi kiai NU jelas, hukum tak terkait dengan pemikiran, melainkan dengan tindakan (fi`l al-mukallaf). Dengan demikian, menurut para kiai NU, sebuah pemikiran tak bisa diberi status hukum.

Begitu juga, jika MUI mudah menjatuhkan vonis sesat kepada kelompok-kelompok atau sekte-sekte tertentu, maka NU mengambil langkah lebih elegan dengan mengajak mereka berdialog (wa jadilhum billatin hiya ahsan). MUI berpendapat bahwa orang-orang al-Qiyadah al-Islamiyah, Ahmadiyah, Lia Eden, dan lain-lain adalah sesat-menyesatkan. Ia lalu meminta pemerintah untuk menghukum mereka. Berbeda dengan MUI, NU cenderung lebih rileks dan bijak-bestari. Sa`id Aqiel Siradj, ketua PBNU, mengajak pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah, Ahmad Mushaddeq, berdiskusi. Dan hasilnya pun cukup mencengangkan, sang pemimpin yang mendaku sebagai nabi itu bertobat.

NU sesungguhnya telah merumuskan karakter-karakter pemikiran Aswaja, yaitu tawassuth (moderat), tawazun (berimbang), dan i`tidal (konsisten). Dengan pakem ini, agak sulit sekiranya meminta NU bertindak sekasar MUI dalam menyikapi aneka perbedaan termasuk perbedaan tafsir di dalam tubuh NU sendiri. NU selalu mengambil cara moderat dan toleran. Tak mungkin NU seradikal MUI, karena ia sudah merasakan kegetiran distigmatisasi, distereotype, dan dimarginalisasikan. Cukup lama orang-orang NU misalnya dianggap musyrik dan mengidap penyakit TBC (takhayul, bid'ah, dan churafat). Sebuah pernyataan yang melukai kaum nahdliyyin. Dari pengalaman itu, para kiai NU berjuang untuk tegaknya Islam yang ramah, santun, dan toleran; bukan Islam yang angker, anti dialog, dan gampang memvonis orang lain.

Sejauh yang bisa dipantau, NU masih ajeg berada pada jalur Aswaja. Tanpa publisitas media, para kiai di kampung-kampung terus menjaga bahtera NU agar tetap berada di tengah; tak oleng ke kiri dan ke kanan. NU tak ekstrem dan tak radikal seperti MUI. Pendeknya, NU tak berubah.

Seorang teman menilai, perubahan itu justru terjadi pada Kiai Ma`ruf; ia tak lagi berada di tengah seperti umumnya para kiai NU, melainkan mulai 'bergeser' ke kanan mengikuti arus utama dalam MUI. Di berbagai forum dan kesempatan, menurut teman tadi, Kiai Ma`ruf lebih tampak sebagai prototipe kiai MUI yang ekstrem ketimbang sebagai brand kiai NU yang santun dan moderat.

Banyak warga NU berharap agar Kiai Ma`ruf kembali kepada cara-cara NU dalam mengatasi masalah dan pulang kepada Aswaja sebagaimana dirumuskan NU. Jika ini terjadi, kita akan menyaksikan Kiai Ma`ruf seperti lima belasan tahun silam sebagai kiai yang moderat, fleksibel, berpikiran segar dan mencerahkan. Saya merindukan itu. []

Jalaluddin Rakhmat:

Serahkan Soal Sempalan

ke Mekanisme Free Market of Ideas!


Orang yang mencari kebenaran dan tidak menemukannya, kata Imam Ali, lebih baik daripada yang mencari kebatilan dan menemukannya. Artinya, usaha serius mereka itu harus kita hargai. Jadi bukan harus kita kriminalisasikan. Nanti sejarahlah yang akan menentukan. Marilah itu semua kita serahkan kepada mekanisme free market of ideas atau pasar bebas ide.

Kelompok-kelompok sempalan tidak harus dikriminalisasi. Biarkan sejarah yang membuktikan apakah mereka benar dan akan tetap eksis atau menjadi buih lalu pergi. Mekanisme pasar bebas ide juga perlu diberlakukan dalam menyikapi kelompok ini. Demikian pendapat Jalaluddin Rakhmat dalam perbincangannya dengan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (8/11) lalu, di Kantor Berita Radio 68H Jakarta.

Kang Jalal, tahun 1992, Martin van Bruinessen menulis tentang kelompok-kelompok sempalan di Indonesia. Waktu itu, Syiah termasuk salah satu kelompok sempalan yang dibahas. Mengapa kelompok-kelompok sempalan selalu muncul dan aspek apa yang membuat mereka selalu dapat pengikut?

Saya pikir, saya pertama-tama kita harus mendefinisikan kembali apa itu kelompok sempalan. Sangat aneh kalau kita memasukkan gerakan Al-Qiyadah Al-Islamiyah sama dengan Syiah dalam kategori kelompok sempalan. Saya kira, hatta katak pun akan tertawa mendengar itu. Karena itu, harus ada klasifikasi dan kategorisasi. Jadi sebelum kodok tertawa, kita definisikan dulu apa yang dimaksud dengan aliran sempalan.

Dalam istilah sosiologi, juga psikologi sosial, ada aliran-aliran yang menyimpang dari mainstream masyarakat. Mereka biasanya tumbuh dengan karakteristik psikologis tertentu. Para sosiolog menyebutnya cult atau kultus. Nah, kultus atau aliran sempalan ini bisa berada pada bidang agama dan bisa juga pada bidang komersial seperti multi level marketing. Juga pada bidang politik, seperti Naziisme. Naziisme awalnya gerakan sempalan sebelum berkembang menjadi partai politik berkuasa.

Tapi biasanya, yang sering diperbincangkan adalah kultus di bidang agama. Dan sesuatu dikatakan cult dengan definisi-definisi lebih ketat. Jadi, tidak hanya dengan patokan menyimpang dari mainstream. Karena kalau begitu, nantinya Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah cult dari sudut pandang Syiah di Iran. Lebih lanjut, baik Sunni maupun Syiah juga sempalan di Amerika. Sebab, keduanya hanya sekelompok kecil dari masyarakat Amerika.

Karena itu, salahlah mendefinisikan kelompok sempalan hanya dengan patokan menyimpang dari mainstream atau agama yang dianut arus utama. Itu salah, karena nantinya semua aliran akan menjadi sempalan dalam struktur sosiologis tertentu. Karena itu, ada beberapa tambahan kenapa suatu aliran disebut sempalan. Biasanya, mereka juga ditandai dengan hadirnya seorang pemimpin kharismatis yang menuntut kepatuhan mutlak para anggotanya. Kelompok sempalan itu selalu punya pemimpin kharismatis yang punya aura sakral.

Kadang dianggap punya ilmu kanuragan juga, ya….

Ya punya ilmu kanuragan. Dia biasanya dianggap punya ilmu tersembunyi yang tidak diketahui orang-orang umum. Karena dianggap kharismatik, dia juga biasanya otoriter. Itulah ciri utama dari sebuah aliran sempalan.

Bagaimana dengan kedudukan bai’at ?

Bai’at berfungsi secara psikologis agar orang atau para pengikut mematuhi titah sang pemimpin. Caranya, dia (sang pemimpin) menjatuhkan dulu harga diri para pengikut. Kalau bisa malah dihilangkan sama sekali identitasnya. Karena itu, pada kelompok-kelompok ini, kita sering menemukan semacam upacara penghilangan identitas. Dulu, kelompok DI/TII—maaf untuk menyebut ini—masuk dalam kelompok sempalan juga. Dan biasanya, orang yang masuk ke situ segera berganti nama. Kapan ganti nama? Setelah membuat komitmen. Jadi, ada komitmen kepatuhan total terhadap pemimpin. Itulah yang disebut bai’at. Secara psikologis, bai’at adalah kesediaan untuk memberikan total commitment. Malah total surrender (pengorbanan yang total) kepada otoritas sang pemimpin yang punya ilmu tersendiri itu tadi.

Selain adanya pemimpin kharismatik, apa ciri lainnya, Kang?

Saya jadi ingat Martin Cambell, penulis When Religion Become Evil, tatkala agama berubah menjadi jahat. Agama menjadi jahat, satu, kalau ada pemimpin yang secara mutlak harus dipatuhi. Kedua, tentu ada cara untuk mengikat kepatuhan mutlak itu, yakni dengan berbagai ritus-ritus, misalkan bai’at atau janji suci. Kalau perlu dengan mengorbankan darah. Jadi ada ritus pengorbanannya.

Untuk mengetes kesetiaan dan kepatuhan mutlak para pengikut, mereka biasanya dituntut untuk berkorban. Bentuk pengorbanannya bisa macam-macam. Pokoknya asal itu kata pemimpin, mereka harus menunjukkan kepatuhan. Bisa berkorban dengan dirinya, bisa juga mengorbankan harta. Pada umumnya, dalam gerakan-gerakan sempalan, yang kedua itulah yang lebih sering terjadi, yaitu pengorbanan materi.

Kesan saya: para pengikut kelompok sempalan tampaknya ingin melarikan diri dari suatu otoritas keagamaan yang mapan, tapi justru terjebak ke dalam otoritas lain. Bagaimana menjelaskan itu, Kang?

Dulu pernah ada hipotesis bahwa orang-orang yang masuk gerakan sempalan itu karena mengalami gangguan kejiwaan. Di Amerika, ada ribuan bentuk cult. Tapi ternyata 96% orang-orang yang ikut adalah orang-orang yang secara kepribadian quite-healthy. Jadi mereka sehat-sehat saja. Malah mereka pintar-pintar dan punya posisi sosial yang bagus.

Jadi apa yang salah?

Buat mereka, itu adalah satu keajaiban. Masak orang pintar-terdidik percaya pada yang begituan?! Pasti itu rada gila. Ternyata tidak. Bahkan, banyak yang pintar-pintar, lho! Tapi, memang ada ciri umum dari orang-orang yang itu. Yaitu: mereka adalah orang-orang yang religiously-inclined. Artinya mereka memang sudah cenderung religius, tapi mengalami kebingungan dalam menentukan agama yang akan dianut.

Kalau begitu, orang yang cenderung sekular rada susah terjebak kelompok sempalan, ya?

Ya. Dalam berbagai penelitian tentang kelompok sekte-sekte yang sekuler, apalagi yang liberal kayak anda, mereka terbukti rada sulit untuk ikut aliran sempalan. Apalagi harus patuh pada seorang pemimpin kharismatik. Itu sudah pasti susah. Jadi, biasanya yang ikut adalah orang-orang yang sudah cenderung sangat beragama. Jadi, sasarannya adalah orang-orang saleh, orang-orang taat, tapi tak memperoleh jawaban yang memuaskan terhadap persoalan kehidupan yang dia hadapi dari agama yang dianutnya.

Dan memang, walau mereka tidak mengalami gangguan kejiwaan, tapi selalu ada beberapa jenis situasi kepribadian atau kondisi psikologis yang menyebabkan mereka rentan terhadap pengaruh aliran-aliran sempalan itu. Misalnya perasaan loneliness, atau merasa kesepian. Ada sebuah penelitian menarik dari seorang mahasiswa tentang sasaran kelompok sempalan. Mereka kebanyakan merekrut kalangan mahasiswi.

Khususnya yang sedang jablai atau kesepian, ya?

Ya, para jablai itu yang kemudian bergabung. Jadi, kalau kita kesepian, kita akan mudah dibujuk, quite-persuadable. Yang kedua, orang yang mengalami depresi. Jadi, mereka yang mengalami perasaan sedih berkepanjangan, misalnya karena kehilangan orang yang dicintai. Ketiga, orang-orang yang cenderung melihat masa depan yang tidak pasti. Mereka misalnya melihat negara semakin lama semakin buruk.

Karena itu, mereka ingin mencari pemecahan sangat instan; harus ada tangan-tangan gaib. Dan, kelompok-kelompok ini biasanya mendatangkan tangan-tangan gaib itu. Dan yang terakhir, seperti yang sudah saya sebutkan di awal, orang-orang yang mengalami kebingungan dalam menentukan keagamaan yang akan dia anut. Tiba-tiba saja datang kelompok sempalan memberi jawaban untuk kebingungan itu. Jawaban ini biasanya instan.

Ada juga yang mengaitkan munculnya kelompok-kelompok sempalan sebagai akibat liberalisasi pemikiran. Tanggapan Anda?

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada, orang-orang liberal, orang sekuler, atau orang-orang yang benar-benar tidak beriman, biasanya rada sulit masuk aliran-aliran atau sekte-sekte sempalan. Tapi, mungkin ada orang-orang yang misalnya ikut aliran liberal, lalu coba berpikir bebas, akhirnya kebingungan. Dan setelah kebingungan, akhirnya lari ke spiritualitas juga. Dan dia mulai menuding akalnya sebagai sebab kebingungan. Dia tinggalkan akal sama sekali. Para filosof menyebut itu annui. Jadi, ada kejenuhan dalam berpikir.

Martin van Bruinessen menyebut bahwa kelompok-kelompok sempalan itu biasanya mampu menggantikan fungsi keluarga bagi anggotanya. Hubungannya antar mereka sangat intim dan solidaritas kelompok sangat kuat. Akhirnya, orang lupa keluarga asal. Bahkan memvonis keluarga asal bid’ah, kafir, atau musyrik. Bagaimana menjelaskan ini?

Konon, ada kiat-kiat untuk mengenal apakah seseorang sudah ikut aliran sempalan atau tidak. Salah satunya adalah tatkala seseorang tidak mau lagi ikut serta dalam kegiatan-kegiatan keluarga. Jadi, ada sikap yang ekstrem membenci keluarga dan mau lari dari keluarga. Mereka menganggap keluarganya sebagai antitesis dari keyakinannya. Jadi, kalau sudah masuk sekte-sekte Islam, keluarganya dianggap masih jahiliyah dan Islamnya belum sempurna. Sementara mereka sudah bai’at. Jadi menganggap diri sudah masuk Islam yang paripurna. Karena itu, mereka tidak mau lagi ikut kegiatan-kegiatan keluarga.

Pemimpin al-Qiyadah, Ahmad Mushaddeq, menyatakan diri sebagai mesiah yang ditunggu-tunggu. Dia al-Masih al-Mau`ûd. Kita tahu, doktrin mesianisme itu juga bercokol kuat dalam khazanah keagamaan Islam, baik Sunni apalagi Syiah. Seakan-akan ada peluang doktrinal bagi seseorang untuk mengaku dialah sang mesiah itu. Kita mungkin tidak sepakat; mengapa harus dia?! Bagaimana menjelaskan ini?

Konsep mesianisme itu ada dalam semua agama—please note itu ya!—bukan hanya di Islam. Di dalam Hindu, ada kepercayaan bahwa suatu saat nanti Krisna yang menitis pada Kalkhi akan menyelamatkan dunia dari kehancuran. Orang-orang Kristen percaya bahwa suatu saat nanti Yesus akan datang lagi. Karena itu ada aliran Advent. The Second-Advent, sebetulnya. Namanya saja Advent, artinya kedatangan kembali Yesus pada akhir zaman. Bahkan di dalam agama-agama yang kita sebut lokal pun, atau agama suku, ada kepercayaan akan datangnya Ratu Adil.

Walhasil, apakah namanya Imam Mahdi, Mesiah, al-Masih, atau Ratu Adil, itu adalah ajaran dari semua agama. Kalau kata Wilhelm C. Smith, doktrin itu berasal dari agama-agama purba. Sebagai orang beragama, saya percaya itulah salah satu ajaran universal dari seluruh agama. Nah, kelompok-kelompok ini memanfaatkan kepercayaan akan datangnya juru selamat itu dengan menisbahkannya pada para pemimpin mereka. Mengapa itu perlu?

Secara psikologis itu perlu untuk memberikan jawaban terhadap masalah sosial yang mereka hadapi. Misalnya Indonesia ini makin lama makin terpuruk; kehidupan rakyat makin menderita, dan orang-orang mengalami frustasi demi frustasi. Ganti presiden kok malah tidak makin makmur, tapi malah terpuruk. Dalam situasi seperti itu, orang cenderung mencari jawaban. Jawaban yang paling hebat ialah: sebentar lagi akan datang juru selamat. Dalam kepercayaan orang Jawa, akan muncul Satria Piningit. Artinya, sosok yang selama ini tersembunyi akan muncul untuk menyelamatkan kita.

Mula-mula, mngkin aliran-aliran sempalan itu mengaku bahwa Satria Piningit atau Imam Mahdi-nya masih ditunggu, dan mereka hanyalah para tentaranya yang menunggu. Lama-kelamaan, pemimpinnya sendirilah yang mengaku bahwa dialah Satria Piningit itu.

Solusi yang ditawarkan para pengaku mesiah itu kan banyak semunya juga. Padahal, para pengikutnya membutuhkan solusi-solusi kongkret terhadap himpitan hidup yang mereka alami. Apa biasanya substitusi dari solusi kongkret yang dijanjikan para pemimpinnya, Kang?

Ya... harapan. Dalam psikologi mutakhir malah ada disiplin khusus tentang psychology of hope. Di situ dikatakan, harapan membuat kita tetap tegar, betapapun besar derita yang kita hadapi. Hanya karena ada harapan nun jauh di sana, kita akan bangkit kembali. Harapan adalah sumber energi yang luar biasa. Dan setiap aliran sempalan biasanya menjanjikan apa yang oleh psikolog Jerman disebut paradisterhcucum, sebuah surga di masa depan. Bukan di hari akhirat, tapi di dunia ini. Dan itu terjadi pada seluruh kelompok kultus. Menariknya, seluruh aliran sempalan selalu meramalkan kiamat, katastrofi atau bencana alam.

Nabi Muhammad pun menyebutkan bahwa kiamat sudah sedekat dua jari kita...

Ya, peringatan tentang iqtarâbatus sa`ah. Artinya, seluruh ajaran agama pada mulanya juga mengancam orang dengan kiamat yang paling dekat. Yang membedakan agama-agama besar dibandingkan aliran-aliran sempalan adalah: pada aliran sempalan, tokohnyalah yang mengklaim akan segera menyelamatkan kita dari kiamat itu. Jadi, kalau nabi menyebutkan kiamat sudah dekat, dia sendiri tidak merasa bahwa dialah yang akan menghindarkan terjadinya kiamat itu.

Dulu di Bandung pernah berkumpul kelompok umat Kristiani dari aliran tertentu di sebuah gereja. Mereka berkata bahwa sebentar lagi akan terjadi bencana yang akan menghancurkan negeri ini. Tapi si pemimpinnya merasa bahwa dia datang untuk menyelamatkan kita dari bencana. Jadi kiamatnya itu kiamat yang sangat dekat sekali, tidak seperti disebutkan al-Quran: iqtarabatus sa’ah. Ini kiamatnya just in moment. Misal lain saya ambilkan dari—dengan penuh permohonan maaf kepada saudara saya—Ibu Lia Aminuddin.

Dulu, dia pernah memberitahu kepada saya bahwa akan terjadi banjir besar di Jakarta pada hari Sabtu. Jadi sudah ditentukan waktunya: hari Sabtu. Semua kita diminta untuk bersama beliau naik ke puncak. Karena kesibukan, saya lupa akan terjadi bencana itu. Ternyata, pada hari itu banjir tak kunjung datang. Tapi apa kata Ibu Lia dan para pengikutnya? Tuhan menghindarkan Jakarta dari banjir berkat doa-doa kami.

Tampaknya, selalu ada mekanisme seperti itu: meralat prediksi yang nyata-nyata salah...

Betul, meralat suatu prediksi yang salah. Dan ajaibnya, justru dengan itu mereka malah semakin setia. Misalnya David Coresh meramalkan sebentar lagi akan datang alien yang akan menyelamatkan kita dari bencana. Eh ternyata aliennya tidak datang juga. Tapi mereka meyakini bahwa ini bla-bla-bla.... Pokoknya, dalam istilah gaulnya, ada ngelesnya lah.

Mungkin revisi, ya, hehe…

Ya, ada revisi. Jadi kabar itu diberikan makna baru lagi. Sehingga, betapapun salahnya prediksi-prediksi itu, mereka tetap menganggapnya sebagai kebenaran dan wibawa pemimpinnya tidak berkurang karena prediksi yang keliru.

Kalau berkaca pada sejarah, kita tahu bahwa tak jarang suatu aliran yang mulanya dianggap sempalan, dalam waktu tertentu justru jadi mainstream. Bagaimana menurut Kang Jalal?

Ya, kelompok sempalan bisa berubah menjadi social movement, sebuah gerakan sosial. Nantinya, kalau gerakan itu diterima masyarakat, dia akan menjadi agama mainstream. Secara sosiologis, kita memang bisa berkata begitu. Tapi di balik persamaan-persamaan antara munculnya gerakan sempalan dengan gerakan para nabi, misalnya, ada banyak perbedaan mendasar. Di awal saya sudah sebutkan beberapa karakteristik psikologis orang-orang yang masuk gerakan sempalan. Itu sama sekali tidak bisa diterapkan pada gerakan Islam pada masa-masa awal, misalnya, atau gerakan-gerakan agama besar lainnya.

Kenapa tidak?! Bukankah fungsi Nabi juga untuk membawa umatnya dari gelap menuju terang?!

Tidak ada itu di waktu zaman Rasulullah. Tidak ada anggapan bahwa Rasulullah akan membawa terang atau menjadi juru selamat bagi umatnya. Karena itu, kesamaannya cuma satu: mereka adalah gerakan yang diikuti oleh sekelompok kecil orang dengan pemimpin yang sangat berwibawa, yaitu Rasulullah SAW. Tapi itu juga masih pertanyaan besar. Di luar itu ada banyak perbedaan-perbedaan utama. Kita tidak boleh—karena ada satu kesamaan khusus—terus menggeneralisasi.

Lalu apa sikap terbaik dalam menyikapi suatu kelompok sempalan, Kang?

Saya selalu ditanya tentang ini. Pertama-tama, keyakinan saya tentu tidak sama dengan mereka dan saya tidak mengikuti keyakinan mereka. Tapi saya akan tetap menghormati keyakinan mereka. Saya tidak akan mengkriminalisasi mereka. Saya juga tak akan menganggap mereka melakukan penistaan terhadap agama. Saya akan melihat mereka sebagai orang-orang yang haus secara spiritual. Kalau tiba-tiba mereka dibelokkan di tengah jalan, itu not our business. Tapi mereka sudah ada kesungguhan untuk mencari (kebenaran).

Saya teringat Imam Ali yang menyebut orang-orang Khawarij sebagai orang-orang yang sebetulnya sedang mencari kebenaran. Orang yang mencari kebenaran dan tidak menemukannya, kata Imam Ali, lebih baik daripada yang mencari kebatilan dan menemukannya. Artinya, usaha serius mereka itu harus kita hargai. Jadi bukan harus kita kriminalisasikan. Nanti sejarahlah yang akan menentukan. Marilah itu semua kita serahkan kepada mekanisme free market of ideas atau pasar bebas ide.

Tapi iklim persaingan usahanya sebetulnya sudah tidak fair. Mereka sudah dipotong di tengah jalan, bahkan dikriminalisasi...

Itulah bentuk campur tangan di dalam mekanisme pasar bebas. Tapi kalau kita yakin bahwa keyakinan kita benar, kita tak usah takut pada kelompok-kelompok seperti itu. Menurut saya, budaya Orde Baru yang dulu mensaktikan Pancasila sudah merasuki kita. Karena Pancasila sakti, maka semua yang bertentangan dengan Pancasila dilarang. Mestinya, kalau Pancasilanya betul-betul sakti, biarkan musuh-musuhnya menentang dan barulah kita tahu kalau Pancasila itu benar-benar sakti saat penantangnya terkalahkan. Bukan dengan paksaan. [Novriantoni]

Hijrah, Perubahan


Oleh : Asro Kamal Rokan

Jarak Makkah-Madinah melalui jalan raya lebar dan mulus, sekitar 470 km. Dengan kendaraan, jarak kedua Kota Suci ini ditempuh sekitar lima sampai tujuh jam. Di sepanjang jalan, kiri dan kanan, yang ada hanya gunung-gunung batu dan padang pasir tandus. Tidak ada pepohonan apalagi sungai yang mengalir.

Bayangkan kondisi 1428 tahun lalu. Belum ada jalan sebaik itu, belum ada kendaraan dengan alat pendingin dan pengatur kecepatan. Masa itu, Rasulullah Muhamamad SAW dan Abu Bakr yang sengaja menghindar dari jalan utama bahkan melewati Jeddah karena dikejar-kejar musuh yang akan membunuhnya mengarungi samudera padang pasir, melintasi gunung-gunung batu yang terjal dan curam. Tidak ada tempat berteduh, kecuali di celah-celah gunung batu.

Situasi politik dan keamanan di Makkah ketika itu sangat mengancam jiwa Rasulullah dan pengikutnya. Pilihannya adalah hijrah ke Yastrib (Madinah). Sampai di Madinah, selama tujuh hari perjalanan dengan menunggang onta, Rasulullah disambut kaum Anshar. Di Madinah, langkah pertama Rasulullah adalah mendirikan masjid. Dari masjid inilah, strategi dakwah, perjuangan, ekonomi, sosial, dan persaudaraan dibangun. Rasulullah tidak saja membina pengikutnya, melainkan juga membuat berbagai perjanjian dengan Yahudi dan Nasrani.

Hijrah Rasulullah ke Madinah inilah awal terbentuknya masyarakat Islam, yang kemudian menyebar ke seluruh Jazirah Arab dan kemudian menembus seluruh benua. Inilah awal tahun Islam tahun Hijriyah. Besok, 1 Muharam, lembaran baru penanggalan Islam memasuki tahun 1429 Hijriyah. Bagi sebagian orang, tahun baru dimaknai sebagai garis pergantian masa lalu ke masa depan. Mereka berupaya bergerak menuju perubahan ke arah lebih baik. Dan, dengan niat dan upaya, mereka selalu menemukan perubahan itu. Bagi sebagian lain, pergantian itu tak lebih dari perpindahan satu mata rantai ke mata rantai lainnya, saling bersambungan, sampai kemudian mata rantai itu putus.

Hijriyah adalah kata kunci bagi perubahan menuju perbaikan. Setiap orang harus berubah dengan upaya yang dilakukannya, tidak bisa menjadikan dirinya seperti mata rantai yang menunggu putus. Dari mana perubahan itu dilakukan? Ketika Rasulullah melakukan hijrah, yang pertama dilakukannya adalah mendirikan masjid, bukan rumah kediamannya. Masjid selain tempat sujud kepada Allah SWT, juga adalah tempat membangun kekuatan moril dan spiritual, potensi, strategi yang berlandaskan semangat tauhid. Maka, perubahan harus dimulai dari sini.

Malam ini, saat pergantian tahun Hijriyah, tidak diperlukan terompet, kembang api, dan pesta musik semalam suntuk. Tidak. Merenunglah untuk perubahan ke jalan Allah SWT, di saat kerusakan moral seperti akan menenggelamkan bangsa ini. Korupsi, kemiskinan, ketidakadilan, perzinahan, prasangka buruk, fitnah, kedengkian, kecintaan berlebihan pada dunia dan harta, serta penyakit-penyakit hati lainnya, seakan mengalir dalam darah.

Kini, cuci darah itu dengan tauhid, iman, dan tunduklah kepada Allah SWT, setunduk-tunduknya. Dekatkan diri sedekat-dekatnya. Rebahkan jiwa, serendah-rendahnya. Rasakan nikmatnya, keindahannya, kedamaiannya, melebihi segala nikmat, keindahan, dan kedamaian yang pernah ada. Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kamu dustakan?

Hijrahlah Agar Terhindar dari Bencana!


Oleh : KH A Hasyim Muzadi

Masih adakah yang tersisa dari praduga kita bahwa bencana yang datang beruntun adalah bentuk dari sebuah cobaan dan ujian? Rasanya sulit menghindar dari kenyataan bahwa serangkaian bencana ini datang akibat kecerobohan kita sendiri sebagai hamba Allah SWT. Bukankah bukti-bukti sudah terang benderang? Bukankah bencana yang menyergap semua sisi kehidupan kita adalah buah dari keanehan mental kita yang terbiasa melakukan perusakan?

Jangan lagi menyalahkan alam. Jangan lagi menuding alam bertingkah dan tak lagi bersahabat dengan kita. Kini waktunya menyalahkan diri sendiri atas segala persoalan yang datang tiada henti, bergelombang tanpa diketahui ujung pangkalnya. Kita pantas takut karena bencana tidak saja menghantam mereka yang bertindak lalim tetapi juga menghempaskan mereka yang biasa berlelaku saleh. Wattaquu fitnatan laa tushibannalladzina dhalamuu minkum khoossoh. Demikian Allah SWT mengingatkan kita semua. Apa yang sejatinya terjadi dengan alam tempat kita tinggal? Adakah yang salah dengan alam kita ataukah kita penyebab semuanya?

Di tengah kian tak kuasanya kita memprediksi di bagian manakah lagi bentangan daratan kita yang akan diterjang musibah, beberapa hari ke depan akan segera datang tahun baru Islam yang biasa kita kenal dengan Tahun Hijriyah. Inilah tahun yang ke-1429 sejak Baginda Muhammad melakukan hijrah, dari tanah air tercintanya, Kota Makkah Almukarramah, menuju Yatsrib, Madinah Almunawwarah, Kota Yang Tercerahkan.

Hijrah merupakan pilihan terakhir yang dianjurkan Baginda Rasul kepada pengikutnya, karena situasi dan kondisi di Makkah dan sekitarnya tengah mengancam entitas ummat Islam. Kalau tidak karena kekhawatiran yang begitu kuat menekan jiwa baginda dan kian tampaknya tingkat kecemasan pada umat Islam saat itu, Rasulullah tak akan melakukan hijrah. Adakah relevansi hijrah dengan kondisi bangsa kita belakangan? Rasanya, hijrah akan selalu relevan dilakukan mengingat kondisi bangsa yang kian carut-marut.

Bagaimana kita melakukan hijrah sekarang ini? Hijrah, demikian para ulama biasa mengelaborasi langkah politik Baginda Rasul ini, bisa dilakukan dengan banyak alasan dan motivasi. Untuk memudahkan implementasinya, hijrah bisa pula dibagi menjadi dua: hijrah badani dan hijrah rohani. Hijrah badani dapat dilakukan, misalnya, bila tanah tempat kita tinggal tak mampu memberikan rasa aman terhadap jiwa, properti serta kehormatan.

Bila sebuah kota menjadi garang, sebuah komunitas menjelma kanibal, sebuah pemerintahan ibarat lintah yang tiada henti mengisap darah rakyatnya, para pemimpin ibarat benalu yang setiap saat merampas hak-hak rakyat dan para pemangku keamanan tiada jemu menebar rasa takut kepada kita; maka waktunya kita berhijrah ke tempat lain yang jauh lebih aman!

Hijrah badani bisa juga dilakukan jika sebuah bangsa sudah tak lagi merahmati kodrat kemajemukan, gemar membuang jauh-jauh sikap toleran, hidup penuh curiga, sukuisme jadi semangat hidup tertutup dan membabat habis suku lainnya, agama menjelma alat menumpahkan darah atas nama Tuhan, serta kekerabatan antargolongan yang mengakibatkan maraknya tindakan saling tuding, saling injak, saling serang, saling bunuh, saling bakar dan saling memusnahkan antarmereka; maka segeralah berhijrah!

Bagaimana mungkin tuan-tuan bisa duduk nyaman, sementara kekerasan terjadi di depan mata dan baru akan bertindak setelah terbitnya sebuah fatwa atas nama sebuah firman. Tindak kekerasan, dalam agama apa pun, tak disukai dan sungguh dikutuk. Bagaimana mungkin sebuah keyakinan membunuh keyakinan lainnya. Apalagi, kita belum pernah membaca sejarah soal adanya pertikaian antarnabi dan antarrasul.

Hijrah dalam spektrum rohani sifatnya lebih mendalam, karena akan sangat memengaruhi kesehatan tingkah laku, kekuatan mental dan ketahanan jiwa serta keagungan spiritual. Dalam diri kita, telanjur banyak anasir negatif, gerombolan tentara hawa nafsu, jiwa serigala, semangat ingin selalu menang, tak mau mengalah, angkuh, bernafsu menguasai dan kecenderungan-kecenderungan buruk lainnya.

Inilah saatnya kita melakukan hijrah rohani. Sepanjang hari kita cuma disajikan fragmen bagaimana kaum terhormat menjelma serigala yang buas, menempatkan rakyat di ujung tombak untuk sebuah perburuan kursi dan kekuasaan, menebar janji yang selalu diingkari, berkata-kata manis-retoris padahal isinya cuma dusta. Duhai dia yang mengaku terhormat! Segeralah berhijrah secara rohani. Berhijrahlah dari kursi empuk yang anda duduki karena hati rakyat sudah lama menangis.

Berhijrahlah dari menara gading, karena mata hati rakyat tak pernah lelap. Berhijrahlah dari segala keinginan jahat karena hati rakyat tak pernah lupa mendoakan tuan-tuan agar dapat berhati sejuk. Hijrah dan turunlah! Sebab hati rakyat cuma dapat diselami di dasar samudera jiwa yang amat luas. Berhijrahlah, karena sudah lama nama tuan-tuan menempati ruang hati kami, tergurat kuat dalam bola mata kami. Sadarlah segera bahwa setiap kami memohon perlindungan Allah SWT untuk tuan-tuan, hati kami menjerit karena setiap kali itu juga tuan-tuan merusak hati kami sebagai tempat tuan-tuan bersemayam.

Berhijrahlah! Karena setiap kali nama tuan-tuan muncul di lidah kami, bukan kedamaian yang datang menjelang tetapi justru kelebatan sosok tuan-tuan yang menakutkan. Sadarkah tuan-tuan bahwa kami tak pernah lelap tidur sebelum memohonkan keselamatan tuan-tuan. Wahai bangsaku! Renungkanlah sebuah firman Allah SWT, Qul hual qaadiru 'alaa an yab'atsa 'alaikum adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiyaa-'an wayudziiqa ba'dhakum ba'sa ba'dhin; unzhur kaifa nusharriful ayaati la'allahum yafqahuun Katakan, Dialah Yang Mahakuasa mengantarkan kepada kalian azab dari atas kalian, atau dari bawah kaki-kaki kalian, atau mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik dan mencicipkan keganasan sebagian dari kalian kepada sebagian yang lain. Lihatlah bagaimana Kami mendatangkan silih berganti tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka mengerti.

Tidakkah kita menyadari bahwa ayat ini sungguh tegas untuk menjelaskan segalanya? Karbondioksida sudah nyata menjadi ancaman terbesar bangsa kita dan anak semua bangsa di dunia ini, tetapi tetap saja kita membiarkan segelintir orang membakar udara. Karbondiaksoda dengan leluasa membakar udara anaka-anak manusia. Akibatnya, para petani kita tak tahu lagi kapan harus menanam dan kapan harus panen. Iklim yang dengan mudah bisa diramalkan oleh BMG, seperti membuat semua ukuran jadi absurd. Bahkan, hujan pun seperti leluasa turun kapan saja ia mau.

Lalu, terjadilah banjir bandang dan berguguranlah tebing-tebing gundul yang menimpa puluhan anak bangsa. Bukankah ini sebuah azab yang Allah turunkan dari atas kepala kita. Mau bukti lagi? Mari kita mengarahkan kembali perhatian ke sebuah sudut di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Bagaimana mungkin hamparan maha luas lumpur panas bisa dengan bebasnya menerjang kehidupan sebagian saudara kita, menghempaskan apa saja dari bawah kaki-kaki mereka? Ya Allah! Kalau menggunakan ayat ini sebagai ukuran, maka benarlah sudah, semua yang terjadi benar-benar azab dari-Mu Ya Allah!

Tetapi apa yang bisa kita lakukan? Padahal Allah jelas-jelas mengingatkan bahwa bencana dan azab selalu datang berulang-ulang tetapi kita tetap saja tidak menyadari kesalahan kita sendiri. Duhai bangsaku! Berhijrah secara rohani sebelum terpaksa hijrah secara fisik. Marilah kembali menghadirkan Allah SWT ke dalam nurani kita, mengalirkan Asma-Nya Yang Agung dalam darah kita, menjadikan sifat-Nya menyelimuti tingkah laku kita, menghadirkan keagungan Allah di ujung lidah-lidah kita. Mari kita jadikan Tahun 1429 Hijriyah sebagai titik berangkat menuju kehidupan badani dan ruhani yang jauh lebih sublim, tulus, ikhlas dan tetap bersamaan dengan taufik Allah SWT. Wallaahu a'lamu bisshawaab.