Monday, March 24, 2008

Hikayat Islam di Negeri Tirai Bambu


Senin, 24 Maret 2008

"Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri Cina," begitu kata petuah Arab. Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina memang telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Tak bisa dipungkiri bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan `Middle Kingdom' - julukan Cina. Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina, para pelaut dan saudagar Arab dengan gagah berani mengarungi ganasnya samudera. Mereka `angkat layar' dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia.

Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Srilanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka berlego jangkar di pelabuhan Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina.

Ketika Islam sudah berkembang dan Rasulullah SAW mendirikan pemerintahan di Madinah, di seberang lautan Cina tengah memasuki periode penyatuan dan pertahanan. Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Tiongkok pun sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai Al-Madinah.

Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti 'agama yang murni'. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran 'Buddha Ma-hia-wu' (Nabi Muhammad SAW). Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran Cina. Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa para sahabat Rasul yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish jahiliyah. Mereka antara lain; Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Usman bin Affan, suami Ruqayyah; Sa'ad bin Abi Waqqas, paman Rasulullah SAW; dan sejumlah sahabat lainnya.

Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581 M - 618 M).

Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Sa'ad Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M. Setelah sampai di Cina, Sa'ad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Alquran.

Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M - kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Sa'ad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke daratan Cina. Konon, Sa'ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys' Mazars.

Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di Canton - masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.

Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara Cina dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias 'So-Fei Er'. Dia bergelar `bapak' komunitas Muslim di Cina.

Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi Cina Han. Sehingga pengaruh umat Islam di Cina semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.

Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho - seorang pelaut Muslim andal.

Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara Muslim mulai dilarang dan dibatasi. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di Cina pun mulai menggunakan dialek bahasa Cina. Arsitektur Masjid pun mulai mengikuti tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Setelah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.

Masa Surut Islam di Daratan Cina

Hubungan antara Muslim dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, relasi Muslim dengan masyarakat Cina lainnya menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan Keislaman.

Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang. Umat Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima - menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.

Taktik adu domba pun diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.

Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina. Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Muslim yakni keluarga Ma.

Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan kebijakannya kepada Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di Cina. Hal itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antaretnis di Cina.

Tokoh Muslim Terkemuka dari Tiongkok

Dominasi peran Muslim dalam lingkaran kekuasaan dinasti-dinasti Cina pada abad pertengahan telah melahirkan sejumlah tokoh Muslim terkemuka. Mereka adalah:
Pelaut dan Penjelajah
* Cheng Ho atau Zheng He: Laksamana Laut Cina yang menjelajahi dua benua dalam tujuh kali ekspedisi.
* Fei Xin: Penerjemah andalan Cheng Ho.
* Ma Huan: Seorang pengikut Ceng Ho.
Militer
* Jenderal pendiri Dinasti Ming: Chang Yuchun, Hu Dahai, Lan Yu, Mu Ying. * Pemimpin pemberontakan Panthay: Du Wenxiu, Ma Hualong.
* Kelompok tentara Ma selama era Republik Cina: Ma Bufang, Ma Chung-ying, Ma Fuxiang, Ma Hongkui, Ma Hongbin, Ma Lin, Ma Qi, Ma Hun-shan Bai Chongxi.
Sarjana dan Penulis
* Bai Shouyi, sejarawan.
* Tohti Tunyaz, sejarawan.
* Yusuf Ma Dexin, penerjemah Alquran pertama ke dalam bahasa Cina.
* Muhammad Ma Jian, penulis dan peberjemah Alquran terkemuka.
* Liu Zhi, penulis di era Dinasti Qing.
* Wang Daiyu, ahli astronomi pada era Dinasti Ming.
* Zhang Chengzhi, penulis kontemporer.
Politik
* Hui Liangyu, Wakil Perdana Menteri Urusan Pertanian RRC
* Huseyincan Celil, Imam Uyghur yang dipenjara di Cina
* Xabib Yunic, Menteri Pendidikan Second East Turkistan Republic
* Muhammad Amin Bughra, Wakil Ketua Second East Turkistan Republic
Lainnya
* Noor Deen Mi Guangjiang, ahli kaligrafi.
* Ma Xianda, ahli beladiri.
* Ma Menta, pengurus Federasi Wushu Tongbei Rusia.

(heri ruslan )

Saturday, March 22, 2008

Nasr Abu Zayd: Half-Indonesian, Half-Egyptian

Oleh Sunarwoto*

’Indonesia is the biggest Muslim population country in the entire Muslim world. My first visit in the year 2004 was a great success. During this visit I coined the expression “Smiling Islam”, to position the Indonesian Islam next to the Middle Eastern or the Arab World Islam. I would like to present my second visit last month and make a comparison with the first one. The aim is to explain and understand the situation in this country as an example of a possible change that has occurred in the world of Islam in a very complicated global context. The possibilities as well as the difficulties of developing a multicultural, pluralistic, democratic and open version of Islam, supporting human rights, will be the focus of my presentation’.

(Nasr Abu Zayd)

November 2007 lalu, Nasr Abu Zayd, pemikir Muslim Mesir, mengunjungi Indonesia untuk yang kedua kalinya. Kunjungan itu adalah dalam rangka menghadiri konferensi bertajuk Muslim Intellectual as Agents of Change yang diselenggarakan di Malang atas kerjasama Departemen Agama RI dan Universitas Leiden, Belanda. Aksiden pun terjadi. MUI Riau menolak kehadirannya di Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII, Rabu malam 21 November di hotel Syahid Pekan Baru. Abu Zayd juga dilarang menjadi pembicara pada konferensi di Malang tersebut (27/11/2007), karena Departemen Agama mendapat tekanan dari pihak yang menamakan diri masyarakat dan organisasi Islam.


Untuk merefleksikan peristiwa itu, Jumat Malam 11 Januari, Abu Zayd berbicara dalam sebuah diskusi private yang diadakan oleh Centre of Initiatives of Change, sebuah NGO yang bermarkas di Amaliastraat 10, Den Haag, Belanda. Dalam diskusi bertajuk “ The possibilities as well as the difficulties of developing a multicultural, pluralistic, democratic and open version of Islam, supporting human rights ” ini, dia berbincang secara khusus soal pencekalannya di Indonesia November lalu. Dalam orasi tanpa makalah berjudul REVISITING INDONESIA itu (hanya dengan bantuan powerpoint), Abu Zayd mengungkapkan kesannya selama beberapa kali kunjungannya ke Indonesia, sejak 2004-2007. Banyak peristiwa mengesankan yang dia paparkan, mulai dari kunjungannya di Pesantren Sukorejo Situbondo pimpinan KH Fawaid, bincang-bincangnya dengan Gus Dur (baik di WI maupun di RSCM, memberi kuliah di LKIS, Wahid Institute, UIN Jakarta, ICIP, hingga kegagalannya hadir di Malang November lalu.


Kunjungan Pertama
Seperti terbaca dari petikan di atas, kunjungan pertama Abu Zayd ke Indonesia membuahkan kesan “Smiling Islam” , Islam yang ramah, toleran dan terbuka. Hal ini bisa dilihat, di antaranya, pada kunjungannya ke Pesantren Salafiyah Safi‘iyah Sukorejo Jawa Timur. Di pesantren asuhan KH Fawaid ini, Mafhûm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya Abu Zayd masuk ke dalam kurikulum Ma‘had ‘Âlî. Buku ini mencoba mendekonstruksi studi-studi al-Qur’an konvensional dalam perspektif kritik linguistik (manhaj lughawî) dan sastra (manhaj adabî). Di antara hasilnya adalah konsep teks (mafhûm al-nass) al-Quran yang kemudian memicu kontroversi. Dikatakan di dalamnya bahwa al-Quran adalah produk budaya ( muntaj thaqâ fî), yakni sebagai wahyu yang diturunkan dalam bahasa manusia, bahasa Arab. Namun al-Quran, bagi Abu Zayd, sekaligus adalah produsen budaya ( muntij thaqâ fî). Artinya, meski diturunkan dalam bahasa manusia, tapi al-Quran mengandung pesan ilahi (wahyu) yang mampu mengubah peradaban dunia. Sebenarnya istilah produk dan produsen itu hanyalah digunakan menjelaskan bagaimana proses wahyu al-Quran yang kita baca, yakni mushaf, itu kita terima. Ada proses keterbentukan ( takawwun) wahyu menjadi bahasa manusia (yakni bahasa Arab [ lisâ nan ‘arabîyan]) yang bisa dipahami dan untuk dipahami. Namun, bagi Abu Zayd, al-Quran juga bersumber dari Allah yang memiliki kekuatan dahsyat, yakni mengubah dunia. Itulah proses takwî n (pembentukan budaya) atau muntij thaqâ fî (produsen budaya).


Di pesantren itu Abu Zayd juga melihat kontras antara tradisionalisme pesantren dan sikap liberalnya. Di satu sisi mereka, para santri, masih mengikuti tradisi cium tangan, membawakan buku sang kyai (termasuk terhadap Abu Zayd juga), demi barakah. Di sisi lain, mereka bersikap kritis para santri. Hal seperti ini dia baca dari sebuah foto demonstrasi siswa di pesantren tersebut. Abu Zayd kagum atas gagasan bahwa poligami bukan ajaran Islam yang dikemukakan KH Fawaid dan para ustad di pesantren itu.

Kunjungan Kedua
Saya yang kebetulan berangkat bareng Abu Zayd sempat berbincang soal kesannya tentang Islam di Indonesia yang dari awal dia sebut Smiling Islam. Dengan bangga, dia tetap mengatakan sebutan itu masih layak buat Islam di Indonesia. Ini pula ditegaskan dalam diskusi tersebut. Dia tidak menegasikan bahwa pengusirannya November lalu merupakan sisi kelam Islam Indonesia. Peristiwa itu membuktikan betapa kuat posisi agama mengintervensi negara. Dalam konfrensi yang digelar di Wahid Institute, Abu Zayd mengungkap kekhawatirannya

Namun toh, dibanding Timur Tengah, menurut Abu Zayd, Islam Indonesia jauh lebih baik kondisinya. Dia terkesan dengan dukungan yang segera (immediate support) yang diberikan berbagai kalangan terhadap dirinya. Di Timur Tengah, pemikir semisal dirinya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hit back terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Baginya, atmosfer dialog di Indonesia lebih sehat. Dukungan mengalir dari berbagai kalangan termasuk Wahid Institute dan kalangan muda yang kritis. Dia kagum akan Gus Dur yang berani melawan konservatisme ulama demi demokrasi dan kebebasan beragama. Sebagaimana kita tahu, batal hadir di konferensi Malang, Abu Zayd diundang diskusi oleh LKiS Yogyakarta. Acara yang tidak direncanakan sebelumnya itu menarik antusiasme besar para hadirin. Mereka kaum muda yang kritis, tegasnya.

Menanggapi kritikan-kritikan sebagian Muslim Indonesia selama ini, dia mengatakan adanya often-repeated questions, yakni menyangkut tuduhan dirinya sebagai agen orientalis atau Zionis, pemikir liberal, dan bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah. Bagi Abu Zayd, Islam bukan hanya urusan umat Islam tetapi juga urusan Barat karena umat Islam kini telah tersebar tidak hanya di negara-negara Muslim tetapi juga di Barat. Dalam konteks itulah menjadi tidak relevan memisahkan Islam dan Barat. Terhadap cap pemikir liberal, Abu Zayd mengatakan bahwa justru liberalisme pemikiran dari kejumudan adalah penting. Sedangkan soal bertentangan dengan Ahlussunah, dia mengatakan bahwa Ahlussunnah sedari awal masa-masa awal Islam adalah persoalan politik. Karena itulah bukan persoalan yang tak boleh dikritisi.

Salah satu pertanyaan yang mengemuka dalam diskusi di Den Haag tersebut adalah soal menguatnya fundamentalisme dan ekstremisme di berbagai dunia Islam. Menjawab pertanyaan ini, Abu Zayd menengaskan bahwa pendidikan merupakan elemen terpenting untuk mengembangkan demokrasi dan juga menampik kekuatan fundamentalisme dan ekstremisme.

Abu Zayd masih berharap masa depan cerah Islam Indonesia. Perkenalannya dengan Indonesia mengantarkan pada pernyataan: I am half-Indonesian, half-Egyptian (jiwanya separuh Indonesia separuh Mesir). Dia bahkan menyatakan bahwa seandainya dia diberi pilihan tempat buat sisa hidupnya, dia ingin tinggal dan mati di Indonesia. Tentulah pernyataan ini terkesan berlebihan mengingat persentuhan dan perkenalannya dengan Indonesia tidak terlalu lama, yakni sejak pengasingannya di Belanda 1995. Secara terpisah, kepada saya dan beberapa teman program Islamic Studies, Abu Zayd menyatakan memilih Yogjakarta, Ini semua tak lain karena keterbukaan iklim intelektual dan demokrasi yang lebih kondusif.[]

Sunarwoto. LulusanTafsir-Hadis IAIN Yogyakarta. Menulis skripsi tentang Abu Zayd dan menerjemah (bersama M Shohibuddin) karyanya, Teks, Otoritas, Kebenaran , LKiS, 2003. Kini dia menjadi peserta program The Indonesian Young Leaders (IYL) dan mahasiswa Islamic Studies, Faculty of Arts, Leiden University.

 

Surat untuk KH. Ma’ruf Amin

dari Uli Abshar Abdalla*


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Beberapa waktu lalu, KH. Ma'ruf Amin menyatakan bahwa NU harus dibersihkan dari pemikiran Islam liberal.

Memang, arus "puritanisasi" dalam NU sekarang ini sedang berkembang, seturut dengan perkembangan serupa yang juga berlangsung di luar. Gejala puritanisasi NU hanyalah gema dari gejala lebih luas yang berkembang di masyarakat Islam Indonesia saat ini.

Apakah pemikiran Islam liberal bisa "diberangus", entah dari dalam NU sendiri, atau dari "Islam Indonesia" secara keseluruhan?

Bagi KH. Ma'ruf Amin mungkin pertanyaan ini tak terlalu penting. Buat dia, yang penting adalah usaha memberangus dan membersihkan NU dari liberalisme pemikiran. Adapun berhasil atau tidak, itu tergantung kepada yang di "Atas".

Tetapi, sebagai bahan diskusi, saya sengaja melontarkan pertanyaan ini.

Tidak seperti disangka banyak orang, pemikiran Islam liberal sama sekali tak bisa disamakan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun lembaga terakhir ini membawa gagasan-gagasan Islam liberal.

Islam liberal lebih baik dedefinisikan sebagai "mazhab pemikiran", atau "manhaj al-fikr". Tetapi, kata "mazhab" pun sebetulnya kurang tepat, sebab istilah itu mengandaikan adanya suatu keseragaman serta metodologi yang jelas. Dalam pemikiran Islam liberal, terdapat perbedaan pandangan yang sangat signifikan mengenai beberapa isu. Meskipun demikian, ada sejumlah titik temu dalam beberapa hal.

Sebagai mazhab pemikiran, Islam liberal tidak secara langsung kontradiktoris dengan arus-arus pemikiran yang lain. Seseorang bisa menganut mazhab pemikiran ini, seraya tetap menjadi seorang Syafii atau Asya'riyah, atau tetap berada dalam tradisi NU atau Muhammadiyah. Seseorang juga bisa berhaluan Islam liberal, seraya tetap menjadi seorang Shi'ah yang taat (contoh yang paling baik adalah Dr. Abdulkarim Soroush).

Sudah tentu, menggabungkan antara wawasan Islam liberal dengan ke-sunni-an atau ke-syi'ah-an, bisa menimbulkan penentangan dari dalam tradisi itu sendiri. Ini terjadi baik di kalangan Sunni atau Syi'ah sendiri.

Sebagai mazhab pemikiran, Islam liberal tidak "mengendap" dalam satu organisasi, tetapi bisa masuk ke mana saja. Sebuah gagasan atau seperti udara: ia bisa masuk ke ruang manapun, dan bebas dihirup oleh siapapun yang hendak menghirupnya.

Oleh karena itu, mazhab atau, kalau istilah ini terlalu "tertutup", wawasan Islam liberal masuk ke ormas Islam manapun: NU, Muhamadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan bahkan MUI sendiri. Lebih ekstrim lagi, wawasan ini bahkan, diam-diam, tanpa disadari bisa juga masuk ke dalam "diri" KH. Ma'ruf Amin sendiri.

Mendefinisikan Islam liberal sangat tidak mudah. Saya sendiri, sebagai "pelaku" dari gagasan ini, juga sulit mendefinisikannya. Sebetulnya, ini lumrah saja. Gagasan adalah sesuatu yang sifatnya "fluid", cair.

Apa yang disebut sebagai "Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah" (Aswaja) sebetulnya tidak sedefintif seperti yang disangka banyak orang. Apakah ciri-ciri ""Aswaja", bisa diperdebatkan panjang lebar, dan masing-masing orang bisa membawa wawasan yang berbeda-beda. Aswaja versi NU tentu beda dengan versi Lasykar Jihad atau kaum salafi. Begitu juga Aswaja versi KH. Ma'ruf Amin juga beda dengan KA. Said Aqil Siradj, dan seterusnya.

M'aruf Amin dan MUI, kalau tak salah, mencoba mendefinisikan Islam liberal secara longgar sebagai cara berpikir yang mendahulukan akal ketimbang teks. Definisi sangat longgar dan masih bisa diperdebatkan. Oleh segolongan Islam tertentu, NU bisa dikategorikan mendahulukan akal atau tradisi (lokal) ketimbang teks agama. Dalam debat soal asas tunggal dulu, sikap KH. Ahmad Shiddiq dan Gus Dur yang mau menerima asas tunggal dianggap sebagai kafir, karena melawan teks ajaran agama. Di mata Hizbut Tahrir pun, sikap NU yang menolak negara khilafah juga bisa dianggap mendahulukan akal dan tradisi ketimbang teks agama.

Tambahan pula, apakah benar bahwa pemikir Islam liberal mendahulukan akal ketimbang teks? Saya sendiri tak mempercayai kleim seperti ini. Tidak mungkin seorang Muslim, atau tepatnya semua pemeluk agama, meninggalkan teks Kitab Suci. Nasr Hamid Abu Zaid dikenal dengan pernyataannya bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks (hadharat al-nass). Pernyataan Abu Zaid ini bukan semacam kritik, tetapi deskripsi. Dengan kata lain, secara empiris, memang tidak mungkin seorang Muslim atau pemeluk agama manapun meninggalkan teks fondasional (al-nass al-mu'assis) yang menjadi dasar dari tradisi agama.

Jika seseorang mengatakan bahwa poligami adalah haram, apakah orang itu bisa disebut meninggalkan teks? Menurut saya, sama sekali tidak. Yang tepat adalah bahwa orang itu meninggalkan satu teks, seraya berpegangan pada teks lain. Ketika sekte Asy'ariyah yang diikuti oleh NU mengatakan bahwa Tuhan bisa dilihat dengan mata fisik manusia, maka ini pun bisa disebut sebagai "meninggalkan" teks (la tudrikuhu al-abshar wa huwa yudriku al-abshar"; teks Mu'tazilah), tetapi sekaligus berpegangan pada teks lain (wujuhun yauma'izin nadhirah, ila rabbiha nadzirah).

Jadi, definisi MUI mengenai Islam liberal itu sama sekali tak bisa dipegang, dan bisa dipakai untuk balik menyerang MUI atau NU sendiri. Definisi ini juga hanya menimbulkan kebingungan saja.

Memang harus diakui bahwa munculnya gagasan Islam liberal menimbulkan "iritasi" dan gangguan pada doktrin yang telah mapan. Kalangan tua sudah pasti tak menyukai gagasan ini. Tetapi, gagasan ini sulit dihindari, karena dinamika internal yang berlangsung dalam tubuh umat Islam sendiri, terutama dalam tubuh NU.

Anak-anak NU yang jumlahnya jutaan saat ini berbondong-bondong melanjutkan studi di IAIN dan perguruan tinggi umum. Sudah tentu, di sana mereka akan mempelajari filsafat, ilmu dan gagasan-gagasan baru. Karakter perguruan tinggi sangat beda dengan pesantren di mana otoritas kiai memegang peran penuh sehingga bisa mengontrol pemikiran murid. Di perguruan tinggi, seorang mahasiswa mendapatkan kesempatan yang luas untuk menjelajah ide yang bermacam-macam. Konsekwensinya, anak-anak muda Islam ini, termasuk anak-anak NU, akan membangun suatu pemahaman keislaman dan kesunnian yang berbeda dengan generasi tua.

Anak-anak NU yang belajar di Timur Tengah (Timteng) pun akan mengalami hal yang sama. Setelah berada di Timteng, mereka akan mendapatkan bahan bacaan yang beragama. Belum tentu pemahaman kesunnian yang mereka dapat di pesantren atau NU dulu akan sama dengan bacaan-bacaan baru yang mereka peroleh. Setelah mereka pulang, mereka tentu akan mengemukakan pemahaman yang berbeda dengan tradisi yang sudah ada.

Belum lagi jika diperhitungkan anak-anak muda NU yang belajar di perguruan tinggi umum atau di Barat. Mereka akan bersinggungan dengan literatur yang sama sekali berbeda.

Kenyataan-kenyataan ini akan dengan sendirinya membawa perubahan-perubahan yang tak terhindarkan (al-taghayyur al-muhattam) dalam tradisi keislaman, kesunnian dan ke-NU-an itu sendiri. Jika perubahan-perubahan ini hindak dihindarkan sama sekali, maka cara terbaik adalah menghentikan secara total anak-anak NU yang ingin belajar di perguruan tinggi, dan mengurung mereka di pesantren. Tentu opsi ini adalah opsi totaliter yang mustahil ditempuh. Tak mungkin kita mencegah keragaman bidang-bidang studi yang dimasuki oleh anak-anak NU; keragaman yang akhirnya juga menimbulkan keragaman cara pandang dan penafsiran.

Oleh karena itu, pernyataan KH. Ma'ruf Amin yang hendak "membersihkan" NU dari unsur-unsur liberal saya pandang sebagai pernyataan yang tak layak dikemukakan oleh petinggi NU. Pernyataan ini hanya layak dikatakan oleh orang-orang Islam radikal seperti Abu Bakar Ba'asyir. Saya yakin "mutu keilmuan" KH. Ma'ruf Amin jauh lebih baik ketimbang Ba'asyir.

Saya menghendaki bahwa NU saat ini bisa menjadi "kaldron" yang dapat menampung segala bentuk keragaman pendapat dan penafsiran Islam. Peta sosiologis anak-anak muda NU saat ini memeperlihatkan bahwa mereka menempuh pendidikan yang sangat beragam yang dengan sendirinya akan membawa perubahan-perubahan dalam cara anak-anak muda NU melihat tradisi kesunnian dan ke-NU-an. Ini adalah gerak alam yang tak mungkin dicegah.

Jika "logika" yang dipakai oleh NU adalah "membersihkan", bukan membuka dialog, maka NU akan kehilangan kesempatan besar untuk menjadi wadah pengolahan ide-ide Islam yang kreatif.

Akhir-akhir ini, saya mendengar sejumlah kiai yang resah karena pemikiran anak-anak muda NU yang dianggap "liar" dan keluar dari tradisi Aswaja. Tetapi, yang mengherankan saya adalah bahwa dari pihak NU sendiri jarang ada usaha untuk memfasilitasi keragaman pendapat ini. Yang muncul malah wacana "pembersihan". Wacana ini hanya akan membuat NU teralienasi dari basis sosialnya di kalangan anak-anak muda yang mulai bergairah untuk bereksperimen dengan gagasan-gagasan baru.

Saya masih bangga menjadi orang NU karena inilah organisasi yang melahirkan orang-orang seperti Gus Dur yang membawa angin segar dalam pemikiran keislaman. Jika warisan Gus Dur pudar sama sekali, dan kemudian yang tersisa adalah wacana "pembersihan" seperti yang diutarakan oleh KH. Ma'ruf Amin ini, maka saya khawatir pelan-pelan NU akan meniru gaya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) atau ormas-ormas "radikal" lain.

Saya khawatir...

Wassalam,

Ulil A. Abdalla
Department of Near Eastern Languages and Civilizations Harvard University.

 

Nasionalisme dan Politik Islam

Oleh Abdurrahman Wahid

Beberapa waktu lalu penulis artikel ini ditanya orang. Apakah yang akan terjadi dengan gerakan- gerakan politik Islam di negeri kita? Penulis artikel ini menyebutkan apa yang dinyatakan Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional (PAN) tentang hal ini.

Dia menyebutkan bahwa berdasarkan hasil-hasil survei belakangan, organisasi sektarian akan semakin kurang diminati orang dalam pemilu yang akan datang. Karena itu, PAN sudah menentukan akan mengambil dasar-dasar nonsektarian dalam kiprahnya. Ini adalah kenyataan lapangan yang tidak dapat dibantah. Hal tersebut memperkuat kesimpulan penulis artikel ini bahwa memang mayoritas para pemilih dalam pemilu di negeri kita tidak mau bersikap sektarian.

Penulis artikel ini sendiri sudah tidak mengakui klaim bahwa mayoritas penduduk berpikir sektarian. Nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sendiri menunjukkan hal itu. Bagaimana penulis sampai pada kesimpulan tersebut? Karena penulis setia melihat kenyataan, yaitu bahwa Nahdlatul Ulama (NU) memang tidak lagi “menawarkan diri” kepada publik sebagai organisasi sektarian. Walaupun sejak semula ia menggunakan bahasa Arab, NU senantiasa merujuk kepada hal-hal nonsektarian. Contohnya pada 1918 ia menamakan diri “Nahdlatu al-Tujjar (kebangkitan kaum pedagang)”, sama sekali tidak digunakan kata Islam.

Begitu juga pada 1922, ketika para ulama itu mendirikan sebuah kelompok diskusi di Surabaya dengan nama Tasywir al- Afkar (konseptualisasi pemikiran). Tahun 1924, didirikanlah madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Pada 1957, NU mengadakan musyawarah nasional alim ulama di Medan yang menghasilkan rumusan tentang presiden Republik Indonesia. Dalam rumusan tersebut, pemegang jabatan dipandang sebagai waliyyul amri dharuri bi al-syaukah (pemegang pemerintahan darurat dengan wewenang efektif).

Presiden dikatakan waliyyul amri karena ia memang memegang pemerintahan, yakni di zaman Presiden Soekarno (dan sampai sekarang pun masih demikian). Dikatakan dharuri (untuk sementara) karena secara teoretis kedudukannya tidak memenuhi persyaratan sebagai imam/ pemimpin umat Islam. Bi al-Syaukah karena memang pemerintahannya bersifat efektif. Dengan demikian, tiap-tiap kali akan diadakan pemilihan presiden, para ulama harus menetapkan apakah sang calon memenuhi ukuran-ukuran bagi imam sesuai hukum agama Islam.

Pada 1978, Rais Aam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) KH M Bisri Syansuri mengirimkan delegasi ke rumah mendiang Soeharto di Jalan Cendana dengan tugas menanyakan tujuh buah hal. Jika Pak Harto menjawab dengan empat buah hal saja yang benar, ia sudah layak dicalonkan PPP sebagai presiden.Tetapi KH M Masykur, HM Mintareja,dan KH Rusli Chalil (Perti) ternyata tidak menanyakan hal itu, melainkan bertanya bersedia atau tidak Pak Harto menjadi calon presiden dari PPP?

Sementara Harsono Tjokroaminoto tidak turut delegasi tersebut karena sudah “melarikan diri”dari tempat rapat, rumah KH Syaifuddin Zuhri di Jalan Dharmawangsa. Ketika penulis tanyakan kepada beliau bagaimana KH M Bisri Syansuri sebagai Rais Am PPP memandang hal ini, dijawab: beliau adalah salah seorang ulama yang sudah menetapkan policy berdasarkan aturan fikih. Dipakai atau tidak adalah tanggung jawab para politisi. Mereka yang akan ditanya Allah SWT di akhirat nanti.

Di sini tampaklah ketentuan yang dipegangi beliau bahwa ada beda antara orang yang menggunakan fikih dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan akal belaka. Hal inilah yang membuat PPP menjadi partai yang sesuai bagi NU di masa itu. Namun, sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi karena PPP sudah digantikan oleh PKB. Kalau hal ini tidak disadari orang, akan terciptalah klaim yang tidak berdasarkan fakta nyata.

Akan tetapi perjuangan menegakkan demokrasi, termasuk memberlakukan ketentuan-ketentuan fikih dan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan PKB, juga bukan tugas yang ringan. Dewasa ini Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) tengah mengadakan penertiban di segala bidang untuk menghadapi pemilihan umum dua tahun lagi. Dalam penertiban tersebut ada empat puluh kepengurusan PKB di tingkat provinsi dan kabupaten dibekukan dengan menunjuk caretaker (kepengurusan sementara).

Setelah itu akan dilakukan musyawarah-musyawarah dewan pengurus wilayah (DPW) pada tingkat provinsi dan dewan pengurus cabang (DPC) pada tingkat kabupaten/kota. Sikap ini diambil untuk menghasilkan sebuah proses yang bersih menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai dalam rangka pelaksanaan demokratisasi di negeri kita. Kalau ini tercapai, berarti PKB akan merintis jalan baru bagi bangsa dan negara. Sudah tentu kerangka yang dibuat itu tidak akan mencapai hasil apa-apa jika tidak disertai orientasi dan arah pembangunan bangsa dan negara yang benar.

Selama ini, pembangunan nasional kita hanya bersifat elitis, yaitu mementingkan golongan kaya dan pimpinan masyarakat saja. Sejak 17 Agustus 1945, pembangunan nasional kita sudah berwatak elitis. Apalagi sekarang, ketika kita dipimpin orang yang takut pada perubahan-perubahan. Tentu sudah waktunya kita sekarang mementingkan kebutuhan rakyat dalam orientasi pembangunan nasional kita. Kebutuhan dasar kita sebagai bangsa dan negara menghendaki kita mampu memanfaatkan segenap kekayaan alam sendiri beserta keterampilan berteknologi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Untuk ini kita harus sanggup membagi dua pembangunan kita; di satu pihak perdagangan bebas (termasuk globalisasi) yang berdasarkan persaingan terbuka. Di pihak lain kita memerlukan usaha publik untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang ditetapkan oleh Pasal 33 UUD 1945.Tugas yang sangat berat,bukan?(*)

Jakarta, 17 Pebruari 2008

Al-Qur’an Lebih Toleran Ketimbang Umatnya

Jakarta, wahidinstitute.org
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan, jika mengacu pada UUD 1945, negara berkewajiban melindungi seluruh warganya tanpa kecuali, baik yang beragama maupun yang tidak beragama alias ateis.

“Kita terikat UUD 1945. Kita harus bisa duduk bersama untuk mengurus bangsa ini.”


Demikian dinyatakan pendiri Maarif Institute itu ketika didaulat menjadi keynote speaker pada roundtable discussion bertajuk Kebebasan Beragama dalam Konstitusi, yang diselenggarakan the WAHID Institute bersama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di Gedung PBNU Lt. 5 Jl Kramat Raya Jakarta, Kamis (28/2/2008) siang.

Hadir juga sebagai narasumber Watimpres Adnan Butung Nasution, Ketua PBNU Masdar Farid Mas’udi, rohaniawan Katolik Frans Magnis Suseno dan advokat Frans Hendra Winata. Aktivis dari berbagai agama dan kepercayaan hadir pada diskusi yang dipandu aktivis perempuan Debra Yatim ini. AKKBB sendiri terdiri dari the WAHID Institute, ICRP, LBH Jakarta, KWI, Maarif Institute dan CC-GKI.

Dikatakan Syafii, kendati UUD 1945 menjamin perlindungan itu, namun KUHP pasal 156a justru melarang warga negara untuk tidak beragama. Semua harus menganut agama yang diakui. Padahal menurutnya, orang yang tidak beragama juga berhak hidup di muka bumi ini.

“Mereka nggak mau bertuhan, kita mau apa?” tanyanya. “Yang penting jangan mengganggu dan bikin onar,” imbuhnya.

Syafii lantas menyatakan, beragama atau tidak dan beriman atau tidak, itu pilihan masing-masing orang. Kalau sudah memilih, ujarnya, apapun resikonya ditanggung sendiri-sendiri. Karena itu, tidak boleh ada pemaksaan pada siapapun untuk menganut suatu agama. Apalagi sampai membunuh orang yang keluar dari agama itu.

“Apa hak duniawi kita untuk membunuh orang yang pindah agama? Perkara Tuhan marah, itu urusan Tuhan dengan mereka. Tapi jangan ada pengadilan dunia dengan membunuh mereka,” terang Syafii.

“Jadi, fikih klasik itu harus dikoreksi,” pintanya menambahkan.

Menurut Syafii, al-Qur’an sendiri jelas-jelas mengajarkan toleransi pada siapapun. Ini, misalnya, tercermin dari ayat la ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam beragama). Namun, ia menyayangkan, umat Islam seringkali justru menafikan toleransi itu. “Ini pemahaman saya dari al-Qur’an. Jangan seenaknya, beda sedikit lalu digempur,” tegasnya.

Indonesia, oleh Syafii, diibaratkan lautan dengan ombak besar. Karenanya, dibutuhkan kapten yang berani menantang ombak guna menyelamatkan bangsa yang tengah retak ini. “Tapi, sekarang ini mencarinya susah,” tandasnya.

Advokat senior Adnan Buyung Nasution setuju dengan Syafii Maarif. Negara harus obyektif dan adil melindungi seluruh warganya, baik yang beragama maupun tidak. “Negara ini berdiri di atas kemajemukan dan itu sudah ada lebih dulu dari pada negara ini,” ujarnya.

Karena itu, dirinya merasa heran dan rancu pada UU No.1/PNPS/1965 yang menetapkan adanya agama yang diakui dan tidak diakui. Namun diakuinya, penganut Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu, gembira dengan ketentuan ini, karena mereka mendapatkan pengakuan.

“Padahal itu kan diskrimantif pada yang tidak disebut. Kenapa tidak ada perasaan ini unfair dari pihak agama itu sendiri?” tanyanya heran. “Ini kritik saya pada penganut agama-agama itu,” imbuhnya.

Dikatakan Buyung, jika umat beragama meyakini Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan manusia berbeda-beda agama, etnik, daerah, dan seterusnya, maka seharusnya tidak ada hak bagi siapapun untuk menghakimi pihak lain yang berbeda. “Hanya Tuhan-lah yang punya hak prerogatif untuk menilai dan menghakimi satu agama sesat atau tidak,” jelasnya.

Makanya, Buyung keberatan jika ada kelompok agama tertentu mengadili agama lain. Apalagi fatwanya dipakai oleh negara dan menjadi acuan bagi aparat, sehingga aparat berpihak pada kelompok agama tertentu sesuai fatwa itu. “Itu keterlaluan buat saya,” katanya berang.

Sedang Masdar F Masudi menyatakan, dari sudut UUD 1945, ketentuan kebebasan beragama absolutly klir. Hanya saja, katanya, ada problem pada aturan-aturan di bawahnya, sehingga bertentangan dengan UUD. “Ini harus diselesaikan melalui judicial review,” katanya.

Dari sudut ajaran agama, jika yang melakukan kekerasan atas nama agama adalah umat Islam, kata Masdar, al-Qur’an sesungguhnya justru sangat toleran. Bahkan, katanya, toleransi di sana lebih dari yang dibayangkan. Jika di Indonesia tidak ada kebebasan untuk tidak beragama, maka al-Qur’an menjamin itu. Misalnya, disebutkan faman sya’a falyukmin wa man sya’a falyakfur (yang mau beriman berimanlah dan yang mau kufur kufurlah).

“Kalkulasinya nanti di akhirat sana, bukan di dunia ini,” terangnya.

Tuhan sendiri, ujarnya, tidak pernah mengambil tindakan hukum apapun di dunia ini bagi hamba-Nya yang tidak beriman atau imannya keliru. Tuhan ingin memberi ruang yang luas baginya untuk bertaubat. Kalaupun tidak bertaubat, imbuhnya, nanti kalkulasinya di akhirat.

“Kalau Tuhan saja tidak mengambil tindakan terhadap orang yang keyakinannya salah, apalagi manusia? Mestinya lebih tidak berhak lagi,” tegas Masdar.

Apa yang melatarbelakangi tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan sekelompok umat Islam? Masdar menengarai, itu bukan lantaran hukum atau ayat dalam kitab suci. “Jangan-jangan ini soal psikologi sosial umat Islam, yang merasa termarjinalkan di percaturan global ini, sehingga mereka gampang curiga pada orang lain hanya karena beda kosa kata atau simbol,” ungkapnya.[nhm]

 

Islam Politik dan Regulasi Pluralisme

"Politik Dianggap Dapat Melindungi Agama"


Jakarta, wahidinstitute.org
Peneliti the WAHID Institute Rumadi menjelaskan, ramainya tuntutan formalisasi syariah Islam oleh kelompok Islam tertentu karena keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna.


Bukti kesempurnaan itu, menurut kelompok ini, Islam tidak hanya mengurusi persoalan ritual keagamaan atau kemasyarakatan, namun juga detail-detail lain semisal etika berpakaian, masuk kamar mandi, hubungan suami isteri, dan seterusnya.

“Ini menjadi keyakinan kuat di sebagian kalangan umat Islam. Jika ada yang mengatakan Islam tidak sempurna, dia akan dicap meragukan agamanya sendiri.”

Demikian dikatakan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, saat menjadi narasumber pada Workshop Islam dan Pluralisme V bertema Islam Politik dan Regulasi Pluralisme , di Kantor the WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Jum’at ( 22/2/2008 ) malam.

Jika hal-hal kecil saja diatur oleh Islam, urai Rumadi menirukan para pengusung Syariat Islam itu, sangat tidak masuk akal persoalan negara yang menyangkuat hajat hidup orang banyak justru luput dari Islam. “Makanya ada adagium al-Islam din wa daulah/ Islam adalah agama dan negara,” terangnya.

Itulah sebabnya ada keyakinan antara Islam dan politik tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Akibatnya, kata Rumadi, orang yang memasarkan ide sekularisasi akan mendapatkan resistensi sangat kuat dari kelompok ini.

Selain itu, ujar Rumadi, ada anggapan bahwa sejak awal Islam telah bersinggungan dengan politik. Buktinya, sejarah mencatat penaklukan Nabi Muhammad SAW dan umat Islam atas Romawi yang saat itu menjadi kekuatan sangat besar. Kemenangan ini bahkan telah diisyaratkan al-Qur’an jauh hari sebelumnya, melalui Surah al-Rum.

Rumadi lantas menyebutkan sebuah riwayat tentang hal ini. Suatu ketika, Nabi Muhammad Saw sedang duduk santai di sekitar Ka’bah. Di pojok lain, cerita Rumadi, ada dua orang yang tengah berbincang-bincang. Salah satu dari mereka menyatakan, Nabi Muhammad pernah mengaku bisa menaklukan Romawi. Menurut Rumadi, waktu itu belum terbayang sama sekali ada orang yang mampu melakukannya.

“Penaklukan itu dipahami sebagai doktrin untuk merengkuh kekuasaan politik,” ungkap Rumadi .

“Menguasai politik juga dianggap dapat melindungi agama,” imbuhnya.

Sepeninggal Nabi Muhamamd SAW, Islam berhasil menguasai Spanyol dalam rentang waktu yang cukup lama. Ini juga menjadi imaji para pengusung formalisasi Syariat Islam. “Menurut mereka, Islam tidak bisa tegak tanpa kekuasaan politik. Karenanya, jika ingin meraih kesempurnaan Islam, tidak ada cara lain kecuali menguasai politik,” kata Rumadi.

Jika politik dikuasai umat lain di luar Islam, jelas Rumadi, ada kekuatiran dari kelompok ini bahwa orang Islam akan dipinggirkan. Lagi-lagi, kasus di Spanyol menjadi landasannya. Ketika Islam menguasai Spanyol, orang-orang non-Islam diberi keleluasan memeluk agamanya. Namun saat kekuasaan berganti dipegang umat Kristen, hanya ada dua pilihan bagi umat Islam: masuk Kristen atau keluar dari Spanyol.

“Itu yang selalu menjadi contoh untuk menggambarkan eratnya hubungan Islam dan politik,” jelasnya.

Untuk menyukseskan tujuannya, kelompok ini lantas menuntut diberlakukannya formalisasi Syariat Islam melalui perundang-undangan negara. Bahkan mereka juga bergerilya menuntut pemerintah daerah di berbagai wilayah negeri ini untuk menerapkan perda Syariat Islam. Karena itu muncul perda bebas buta aksara Arab, kewajiban berjilbab, larangan khalwat dan seterusnya. “Ini mengancam pluralisme yang menjadi akar eksistensi negeri ini,” kuatir Rumadi.

Seorang peserta bertanya bahwa umat Islam tidak bersatu dalam sebuah partai. "Apakah ini strategi untuk menggapai tujuan itu?” tanyanya.

“Saya kira, konspirasi seperti itu tidak mungkin terjadi,” tegas Rumadi.

Alasannya, jelas Rumadi, Islam tidak bisa dijadikan sebagai platform politik bersama. Tujuan puncak politik Islam memang mendirikan negara Islam, namun platform ini tidak akan laku bagi orang Islam yang ada di Golkar, apalagi yang di PKB. Tidak mungkin semua kekuatan Islam setuju formalisasi syariat Islam, apalagi orang-orang Islam yang ada di partai-partai sekuler.


“Islam politik harus mencari isu-isu keagamaan yang bisa menggerakkan semua kekuatan. Tapi menurut saya ini nyaris tidak akan ketemu,” urainya.

Apa yang diuraikannya di atas, menurut Rumadi, adalah argumen-argumen yang muncul dari internal Islam sendiri. Namun katanya, ada argumen lain yang bersifat eksternal.

Misalnya, pertama, multi krisis Indonesia yang tidak berkesudahan hingga kini sejak 1997. Berbagai cara telah dicoba. Satu-satunya yang belum dicoba, menurut kelompok ini adalah sistem Islam. Padahal Islam juga memiliki sistem ekonomi.

“Kelompok ini yakin, jika syariah Islam diterapkan, krisis negara ini bisa pulih. Tapi saya tidak meyakini hal ini,” katanya.

Kedua, moralitas bangsa yang telah rusak. Korupsi terjadi di segala lini, pelacuran, judi, minuman keras merajalela, dan sebagainya. Lagi-lagi, Islam diyakini sebagai satu-satunya solusi. Ketiga, Islam di Indonesia mayoritas. “Maka bagi mereka wajar, jika umat Islam memiliki hak istimewa di negara ini,” ujar Rumadi.

Keempat, hukum di Indonesia warisan kolonial yang terbukti gagal. Apalagi KUHP ternyata tidak mampu mengatasi problem pidana di Indonesia. Menurut mereka, yang mampu mengatasi semua itu adalah Islam.

Untuk mengusung hal ini, kata Rumadi, mereka menggunakan pintu masuk UU Otonomi Daerah Tahun 1999 dan UU Nomor 24 Tahun 2004 yang menyebutkan tiap-tiap daerah bisa membuat perda-perda yang menjadi ciri khas daerah itu. “Kata ‘ciri khas’ itulah yang menjadi pintu masuk formalisasi Syariat Islam di sejumlah daerah,” ujarnya.

Karenanya, tiap-tiap daerah lantas mencari ciri khas masing-masing. Sebagian menemukan akar sejarah daerahnya adalah Islam, sehingga Syariat Islam harus ditegakkan. Maka darinyalah lahir perda-perda yang memiliki semangat ke-Islam-an.[nhm]
I
 

PASAR MODAL SYARIAH

Pendahuluan

Pasar Modal Syariah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang seperti: riba, perjudian, spekulasi dan lain-lain.

Pasar modal syariah secara resmi diluncurkan pada tanggal 14 Maret 2003 bersamaan dengan penandatanganan MOU antara BAPEPAM-LK dengan Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI).

Walaupun secara resmi diluncurkan pada tahun 2003, namun instrumen pasar modal syariah telah hadir di Indonesia pada tahun 1997. Hal ini ditandai dengan peluncuran Danareksa Syariah pada 3 Juli 1997 oleh PT. Danareksa Investment Management. Selanjutnya Bursa Efek Indonesia berkerjasama dengan PT. Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah. Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan sarana berivestasi dengan penerapan prinsip syariah.

Perkembangan selanjutnya, instrumen investasi syariah di pasar modal terus bertambah dengan kehadiran Obligasi Syariah PT. Indosat Tbk pada awal September 2002. Instrumen ini merupakan obligasi syariah pertama dan dilanjutkan dengan penerbitan obligasi syariah lainnya. Pada tahun 2004, terbit untuk pertama kali obligasi syariah dengan akad sewa atau dikenal dengan obligasi syariah Ijarah.

Selanjutnya, pada tahun 2006 muncul instrumen baru yaitu Reksa Dana Indeks dimana indeks yang dijadikan sebagai underlying adalah Indeks JII.

Saham Syariah

Saham merupakan surat berharga yang merepresentasikan penyertaan modal kedalam suatu perusahaan. Sementara dalam prinsip syariah, penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti bidang perjudian, riba, memproduksi barang yang diharamkan seperti bir, dan lain-lain.

Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non-syariah, melainkan berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinisp syariah. Dalam hal ini, di Bursa Efek Indonesia terdapat Jakarta Islamic Indeks (JII) yang merupakan 30 saham yang memenuhi criteria syariah yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional (DSN). Indeks JII dipersiapkan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan PT Danareksa Invesment Management (DIM).

Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui index ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuiti secara syariah.
Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari saham-saham yang sesuai dengan Syariah Islam. Penentuan kriteria pemilihan saham dalam Jakarta Islamic Index melibatkan pihak Dewan Pengawas Syariah PT Danareksa Invesment Management.

Saham-saham yang masuk dalam Indeks Syariah adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah seperti:

  • Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
  • Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
  • Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.
  • Usaha yang memproduksi, mendistribusi dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

Selain kriteria diatas, dalam proses pemilihan saham yang masuk JII Bursa Efek Indonesia melakukan tahap-tahap pemilihan yang juga mempertimbangkan aspek likuiditas dan kondisi keuangan emiten, yaitu:

  1. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar).
  2. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun berakhir yang meiliki rasio Kewajiban terhadap Aktiva maksimal sebesar 90%.
  3. Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selama satu tahun terakhir.
  4. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan reguler selama satu tahun terakhir.

Pengkajian ulang akan dilakukan 6 bulan sekali dengan penentuan komponen index pada awal bulan Januari dan Juli setiap tahunnya. Sedangkan perubahan pada jenis usaha emiten akan dimonitoring secara terus menerus berdasarkan data-data publik yang tersedia.

Obligasi Syariah

Sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, "Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo".

Tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, beberapa persyaratan berikut harus dipenuhi:

  1. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tsb menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yg bertentangan dengan syariah Islam diantaranya: (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yg memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yg memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang2 ataupun jasa yg merusak moral dan bersifat mudarat.
  2. Peringkat investment grade: (i) memiliki fundamental usaha yg kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yg kuat; (iii) memiliki citra yg baik bagi publik.
  3. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen JII.

Di Indonesia terdapat 2 skema obligasi syariah yaitu obligasi syariah mudharabah dan obligasi

Obligasi Syariah Mudharabah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad bagi hasil sedemikian sehingga pendapatan yang diperoleh investor atas obligasi tersebut diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten.

Obligasi Syariah Ijarah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad sewa sedemikian sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diketahui/diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan.

Reksa Dana Syariah

Reksa Dana Syariah merupakan Reksa Dana yang mengalokasikan seluruh dana/portofolio kedalam instrument syariah seperti saham-saham yang tergabung dalam Jakarta Islamic Indeks (JII), obligasi syariah, dan berbagai instrument keuangan syariah lainnya.

Fatwa dan Peraturan Pasar Modal Syariah

Ketentuan operasional pasar modal syariah diatur melalui fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) dan peraturan yang diterbitkan BAPEPAM-LK, yaitu adalah:

  1. No.20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah.
  2. No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah.
  3. No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah.

Mengenal Obligasi Syariah

Iggi H Achsien

PASAR modal syariah telah diluncurkan pada 14 Maret 2003. Muncul harapan bahwa pasar modal yang didasari prinsip-prinsip syariah dapat berkembang lebih besar lagi. Pasar modal syariah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan institusi-institusi (lembaga keuangan) syariah dan instrumen-instrumen syariah. Salah satu instrumen syariah yang diperkirakan akan berkembang pesat adalah obligasi syariah.

MEMANG terdapat keterkaitan yang erat dalam upaya pengembangan pasar modal syariah ini. Pasar, instrumen, dan institusi menjadi komponen yang saling mendukung dalam sistem keuangan. Satu institusi akan membutuhkan pasar, instrumen, dan institusi lainnya. Ketika bank syariah dikembangkan, muncullah kebutuhan untuk membuat pasar uang syariah. Pada saat reksa dana syariah dimunculkan, perlu instrumen halal untuk penyaluran penempatan portfolio-nya. Demikian juga dengan asuransi dan dana pensiun syariah. Lembaga keuangan syariah ini memerlukan bank syariah, membutuhkan pasar modal syariah dengan saham halal dan obligasi syariahnya. Ketika suatu emiten yang tercatat di bursa ingin dikatakan tergolong syariah, boleh jadi emiten tadi memerlukan obligasi syariah sebagai pendanaan alternatifnya.

Pengertian obligasi syariah

Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.

Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, "Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo".

Pada awalnya, penggunaan istilah "obligasi syariah" sendiri dianggap kontradiktif. Obligasi sudah menjadi kata yang tak lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk di- syariah-kan.

Namun sebagaimana pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan prinsip syariah, tetap menghimpun dan menyalurkan dana, tetapi tidak dengan dasar bunga, demikian juga adanya pergeseran pengertian pada obligasi. Mulanya dikenal sebagai instrumen fixed income karena memberikan kupon dengan bunga tetap (fixed) sepanjang tenornya. Kemudian dikembangkan juga obligasi dengan kupon bunga mengambang (floating) sehingga bunga yang diterima pemegang obligasi tidak lagi tetap. Dalam hal obligasi syariah, kupon yang diberikan tidak lagi berdasarkan bunga, tetapi bagi hasil atau margin/fee.

Menarik untuk memperhatikan bahwa Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN- MUI/IX/2002 tersebut memberikan pertimbangan awal bahwa obligasi yang selama ini (konvensional) didefinisikan masih belum sesuai dengan syariah. Karenanya, obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip syariah.

Mengapa obligasi syariah?

Dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksa dana syariah yang membutuhkan alternatif penempatan investasi.

Menariknya, investor obligasi syariah tidak hanya berasal dari institusi-institusi syariah saja, tetapi juga investor konvensional. Produk syariah dapat dinikmati dan digunakan siapa pun, sesuai falsafah syariah yang sudah seharusnya memberi manfaat (maslahat) kepada seluruh semesta alam. Investor konvensional akan tetap bisa berpartisipasi dalam obligasi syariah, jika dipertimbangkan bisa memberi keuntungan kompetitif, sesuai profil risikonya, dan juga likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya justru terbatas karena investor syariah tidak bisa ikut ambil bagian di situ!

Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti juga memanfaatkan peluang-peluang tertentu. Emiten dapat memperoleh sumber pendanaan yang lebih luas, baik investor konvensional maupun syariah. Selain itu, struktur obligasi syariah yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh biaya modal yang kompetitif dan menguntungkan.

Tetapi, sebagai catatan, tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, beberapa persyaratan berikut yang harus dipenuhi:

(1) Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya adalah:

(i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

(2) Peringkat Investment Grade: (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik

(3) Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII)

Struktur obligasi syariah

Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada riba. Berdasarkan pengertian tersebut, obligasi syariah dapat memberikan:

(1) Bagi Hasil berdasarkan akad Mudharabah/Muqaradhah/Qiradh atau Musyarakah. Karena akad Mudharabah/Musyarakah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.

(2) Margin/Fee berdasarkan akad Murabahah atau Salam atau Istishna atau Ijarah. Dengan akad Murabahah/Salam/ Isthisna sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.

Di Indonesia, yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah adalah struktur Mudharabah (bagi hasil pendapatan) baik yang telah diterbitkan maupun yang akan diterbitkan dalam waktu dekat (lihat tabel). Sehingga, yang dikenal adalah obligasi syariah mudharabah.

Obligasi syariah mudharabah memang telah memiliki pedoman khusus dengan disahkannya Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Disebutkan dalam fatwa tersebut, bahwa Obligasi Syariah Mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah. Selain telah mempunyai pedoman khusus, terdapat beberapa alasan lain yang mendasari pemilihan struktur mudharabah ini, di antaranya adalah:

(i) Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang relatif panjang; (ii) Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan modal kerja ataupun pendanaan capital expenditure; (iii) Mudharabah merupakan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga membuatnya strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai; (iv) Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur Murabahah dan Bai bi-thaman Ajil menjadi Mudharabah dan Ijarah

Mekanisme atau beberapa hal pokok mengenai obligasi syariah mudharabah ini dapat diringkaskan dalam butir-butir berikut:

(i) Kontrak atau akad Mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan; (ii) Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA). Tetapi, Fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000 memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian usaha sebaiknya menggunakan prinsip Revenue Sharing; (iii) Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan Emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.

(iv) Pendapatan Bagi Hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.

(v) Pembagian hasil pendapatan ini atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan); (vi) Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.

Beberapa tantangan

Obligasi syariah dinilai prospektif, tetapi menghadapi tantangan yang tak sedikit. Sosialisasi yang belum cukup. Harus diakui bahwa masyarakat kita belum begitu terbiasa dengan sistem bagi hasil maupun sistem syariah lainnya. Padahal, potensi investor obligasi syariah dari ritel tergolong besar. Hal ini dimungkinkan karena denominasi obligasi syariah yang diterbitkan bisa senilai Rp 10 juta. Sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat untuk mulai berinvestasi dalam jangka yang lebih panjang, alih-alih hanya di deposito yang berjangka pendek.

Tantangan berikut menyangkut opportunity cost yang secara sederhana diterjemahkan sebagai "second best choice". Langsung atau tak langsung ada pembandingan atas pilihan yang ada. Karena investor base obligasi syariah secara potensial sangat luas, mau tidak mau, obligasi syariah berdasarkan bagi hasil akan menghadapi ini.

Ilustrasinya, ketika obligasi syariah mudharabah ditawarkan, emiten membandingkannya dengan suku bunga pinjaman sementara investor (terutama investor konvensional) membandingkan dengan yield obligasi konvensional. Karena sistem bagi hasil ini tidak menawarkan "fixed-predetermined return", hasilnya bisa berfluktuasi.

Misalnya suatu saat, obligasi syariah ini memberi tingkat kupon 20 persen, investor akan senang, tetapi sepertinya emiten akan merasa "kemahalan" karena membandingkan dengan pinjaman bank atau obligasi konvensional dengan bunga kupon lebih murah.

Di saat lain, obligasi syariah memberi kupon "hanya" 12 persen, emiten senang, tetapi investor akan membandingkannya dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi pemerintah, atau obligasi konvensional lainnya. Memang opportunity cost, dan penurunan kinerja pendapatan ini menjadi salah satu risiko bagi investor obligasi syariah.

Padahal, risiko investor di obligasi syariah sebetulnya mirip saja dengan investor obligasi dengan bunga mengambang. Berbedanya adalah, struktur syariah ini sesungguhnya lebih menawarkan "keadilan".

Tantangan lain adalah menyangkut perdagangan obligasi syariah di pasar sekunder yang mengemuka kepentingannya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo. Lebih banyaknya investor yang buy and hold memang akan membuat pasar sekundernya kurang likuid. Hal ini terjadi pada Obligasi Syariah Mudharabah Indosat.

Suksesnya sebuah pasar dan instrumen keuangan, baik syariah maupun lainnya, akan tergantung pada faktor kepercayaan atas sistem dan proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk menggunakan produk keuangan tersebut.

Dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, masa depan obligasi syariah masih tetap dipandang prospektif sejalan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya.

Iggi H Achsien Head Unit Syariah AAA Sekuritas

Dialog agama

Berdayakan Kemandirian Ekonomi Bangsa

AGS / Kompas Images
Sayuti Asyathri
Sabtu, 22 Maret 2008 | 00:11 WIB

Jakarta, Kompas - Kemandirian secara ekonomi harus diupayakan bangsa Indonesia umumnya maupun umat Islam khususnya. Nabi Muhammad SAW semasa hidup telah memberi teladan tentang pentingnya kemandirian tersebut.

Nabi Muhammad, menurut pakar ekonomi syariah Syafii Antonio, sudah belajar kemandirian sejak usia 12 tahun, dengan berniaga bersama pamannya. Bahkan, perniagaan yang dilakukan Nabi tidak hanya berada dalam satu negara, tetapi sudah antarnegara. ”Kearifan yang dicontohkan Nabi dalam berniaga sering kali tidak dijadikan teladan oleh umat Islam saat ini,” ujarnya dalam pengajian Orbit di Jakarta, Kamis (20/3) malam.

”Lihat saja dalam pelaksanaan haji, sebagian besar dana haji jatuh ke perusahaan Boeing, ke produsen tenda tahan api dari Eropa, ke pembuat pakaian ihrom di China. Padahal, Nabi sudah mengingatkan, tidak akan merdeka suatu kaum jika tidak mandiri,” kata Syafii.

Secara terpisah, Ketua Litbang DPP Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri mengatakan, kemandirian sudah menjadi prinsip sejak awal yang ingin dilakukan PAN. Itu sebabnya, kemandirian terus diusahakan warga PAN.

Misalnya saja, PAN sudah mengembangkan jaringan wirausaha sehingga mampu saling mendukung dalam menghadapi persaingan global. ”Selain jaringan wirausaha, PAN juga mengembangkan jaringan petani dan nelayan yang diharapkan mampu meningkatkan harkat kehidupan masyarakat,” ujarnya.

Menurut Sayuti, bangsa ini memang sudah lama meninggalkan kemandirian. Padahal, kemandirian bangsa inilah yang harus didorong jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang besar.

”Bayangkan saja, banyak sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dikelola oleh pihak asing. Tidak heran jika keuntungan atas hasil pengelolaan sumber daya alam itu lebih banyak diambil pihak asing ketimbang dimanfaatkan untuk masyarakat Indonesia,” ujarnya. (MAM)

Wednesday, March 19, 2008

Islam dan Kekuasaan (III)

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif


Ibarat bom nuklir, ayat-ayat ini telah meluluhlantakkan kepongahan si kaya yang zalim dan kikir dengan jarak jangkauan yang menembus zaman sampai di era kita sekarang. Sekiranya sekadar mengumpulkan harta, tetapi punya kepedulian terhadap sektor masyarakat yang lemah dan tertindas, boleh jadi Tuhan tidak akan sedemikian marah. Kelompok miskin dan telantar ini adalah korban dari struktur ekonomi elite Quraisy yang kapitalistik-eksploitatif, jika istilah itu bisa kita pakai. Sebab, substansinya sama dengan watak kapitalisme modern.

Struktur inilah yang diincar Alquran via perjuangan Muhammad untuk diganti dengan sistem ekonomi yang berkeadilan. Semuanya ini hanyalah mungkin jika kekuasaan ada di tangan. Jadi, kekuasaan harus diabdikan untuk membela yang lemah, bukan untuk memperkuat yang kuat. Hijrah ke Madinah adalah dalam upaya pengambilalihan kekuasaan oleh Nabi terhadap penguasa Quraisy yang ternyata harus dilakukan melalui peperangan yang membawa korban.

Pertanyaan yang muncul adalah: apakah pengambilalihan kekuasaan itu merupakan bagian dari kerasulan atau semata-mata karena keharusan sejarah? Yang jelas bahwa Makkah harus dikuasai pada suatu ketika memang telah menjadi target perjuangan Nabi. Tanpa Makkah, yang kemudian menjadi pusat spiritual dunia Islam, gerakan pembaruan moral-sosial-politik tidak akan pernah mencapai titik ujung. Oleh sebab itu, penaklukkan Kota Makkah di samping keharusan sejarah, juga sekaligus sudah menjadi sesuatu yang inheren dalam kerasulan Nabi.

Akan menjadi absurd (mustahil) belaka bila Ka'bah tetap berada dalam kekuasaan non-Muslim. Lebih dari itu, bukankah pembebasan Makkah juga berarti pembebasan kaum dhuafa dari penindasan eksploitasi roda komersialisme elite Quraisy? Islam sejak awal merupakan gerakan pembaruan prorakyat kecil, tetapi pada periode-periode tertentu visi tentang ini dikaburkan.

Mungkin dari perbincangan di atas, kita sudah sedikit dapat menyimpulkan bahwa dalam Islam kekuasaan itu bersifat fungsional, yaitu berfungsi sebagai alat yang penting bagi pembumian cita-cita moral Alquran yang melingkupi seluruh dimensi kehidupan kolektif manusia. Sampai periode al-khulafa al-rasyidun, relatif warna moral dalam sistem kekuasaan Islam masih cukup dirasakan sebagai kelanjutan dari era Nabi, sekalipun pembunuhan dan peperangan sesama Muslim sudah mulai berlaku.

Pembunuhan Khalifah 'Ustman dan perang antara 'Ali dan Mu'awiyah kemudian telah mengganggu realisasi perintah moral Alquran, tetapi bangunan keadilan belumlah runtuh sama sekali dan wawasan politik Islam belum dicemari oleh sifat imperial Islam, sebagaimana yang berkembang pada periode berikutnya: Umaiyah (661-750), 'Abbasiyah (750-1258), Turki Usmani (1299-1924). Di samping tiga imperium besar ini, telah menjamur pula kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersengketa dengan fanatisme masing-masing. Islam di tangan penguasa imperial telah kehilangan sifat egalitariannya.

Kita mengakui bahwa di era imperial Islam, peradaban Islam memang pernah mencapai puncak-puncak tertinggi. Tetapi, prinsip syura-egalitarian (semacam demokrasi) telah dibenam di bawah abu sejarah. Struktur politik di bawah payung imperial Islam ditandai oleh sistem patron-client, di mana penguasa secara berketurunan berada di puncak piramida kekuasaan, sedangkan rakyat hanya punya satu tugas: taat.

Perkara penguasa itu adil atau zalim tidak boleh dipersoalkan secara terbuka. Setidak-tidaknya begitulah menurut teori yang dikembangkan para yuris Muslim abad klasik. Ungkapan "sultan sebagai bayangan Tuhan di muka bumi" adalah bagian yang menyatu dengan watak patron-client itu. (Lih misalnya Ibn Taimiyah, al- Siayasah al-Syar'iyah. Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabiyah, 1966, hlm 139; juga lih al-Mawardi, Ahkam al- Sulthaniyah. Kairo: Muhammad Mahmud al-Halabi, 1973/1393, hlm 5).

Di lingkungan imperial Islam, tidaklah mungkin muncul pemikiran-pemikiran kreatif yang populis dalam menyusun teori-teori politik, sebagaimana yang kita rasakan desakannya sekarang ini. Kesimpulannya adalah: dunia Islam sekarang sebenarnya tidak perlu ragu lagi dalam menyusun teori politiknya, yaitu harus berangkat dari prinsip syura-egalitarian (lih. Alquran surat al-Syura: 38 dan surat Ali 'Imran: 159) dan praktik masa al-khulafa al-rasyidun.

Sisa-sisa imperial Islam harus dimasukkan ke dalam museum sejarah secara berangsur tetapi pasti. Agar anggota umat, tidak peduli jenis darahnya, biru atau merah, punya kesempatan yang sama untuk menduduki posisi puncak dalam sistem kekuasaan, tentu dengan kualifikasi yang memenuhi standar yang diperlukan. Khususnya yang menyangkut moral, kemampaun, dan visi keadilan yang jelas.

Dalam perspektif ini, bentuk republik, seperti di Iran masa sekarang, rasanya lebih dekat pada sistem politik Islam yang dikehendaki Alquran, sekalipun saya menyimpan kritik terhadap sistem politik Iran ini. Allahu a'lam!

Islam dan Kekuasaan (II)

Oleh:Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif


Sebenarnya jauh sebelum dilantik menjadi nabi dalam usia 40 tahun, Muhammad telah menyadari sepenuhnya masalah kesenjangan sosio-ekonomi yang parah yang melilit mayoritas penduduk Makkah yang miskin. Monopoli pihak Quraisy atas politik dan ekonomi yang ditopang budaya syirik adalah penyebab utama dari segala bentuk ekspolitasi atas sektor masyarakat yang lemah. Mereka inilah yang menjadi bulan-bulanan kezaliman penguasa.

Kondisi sosial itulah yang mendorong Muhammad berkali-kali menyendiri di Gua Hira, demi mencari solusi bagi ketimpangan sosial ini. Di gua inilah menurut sejarah wahyu pertama itu diturunkan, tetapi sepintas lalu tidak berbicara langsung tentang realitas sosial yang timpang itu.

Kita kutip makna wahyu pertama itu: "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang teramat mulia. Yang mengajar dengan [perantaraan] pena. Mengajar manusia tentang apa yang tidak diketahuinya." (Surat al-'Alaq: 1-5). Bukankah ayat-ayat ini selayang pandang tidak langsung membidik jantung oligarki Quraisy yang anti keadilan itu? Pandangan selintas memang terkesan demikian.

Tetapi bila dicermati lebih dalam, apalagi jika dikaitkan dengan ayat-ayat yang turun sesudah itu (seluruhnya di luar Gua Hira), tesis kita tentang kaitan tauhid dengan masalah keadilan begitu jelas dan terang. Kita lihat dulu lima ayat di atas, dan apa kaitannya dengan sebuah masyarakat egalitarian.

Setidak-tidaknya terdapat empat paradigma pokok dalam wahyu pertama itu. Pertama, prinsip pembebasan manusia dari buta baca dan buta tulis; kedua, doktrin tentang kedudukan Tuhan sebagai Pencipta yang teramat mulia; ketiga, pemberitahuan tentang asal-usul kejadian manusia dari segumpal darah; keempat, penegasan tentang fungsi Tuhan sebagai Maha Pengajar.

Untuk diskusi kita, paradigma pertama dan ketiga yang perlu disorot lebih jauh. Muhammad adalah seorang anak manusia yang teramat cerdas, otak dan ruhani. Dia paham betul apa makna keempat paradigma itu bagi gerakan pembaruan sosial yang akan dilancarkan. Prinsip pertama tentang tulis-baca untuk mencerdaskan manusia, sebab pembaruan masyarakat hanyalah mungkin dapat diwujudkan bila masyarakat itu cerdas.

Kecerdasanlah yang mampu membaca dengan tajam realitas politik eksploitatif elite Quraisy yang harus ditumbangkan pada suatu hari melalui kekuasaan. Imbauan moral semata tidak pernah efektif. Kemudian, penegasan tentang asal-usul manusia dari segumpal darah yang bertujuan menggiring bola kehidupan menuju terbentuknya sebuah masyarakat egalitarian. Dengan asal-usul yang sama, maka kelas-kelas sosial yang dibuat berdasarkan mitos-mitos sejarah yang tidak punya dasar harus dihapuskan.

Elit Quraisy rupanya telah merasakan arah angin dari gerakan Muhammad ini. Jika tidak dibabat di kuncupnya, maka sudah dapat dipastikan bahwa seluruh bangunan dan tatanan sosial politik mereka akan berantakan, seperti rubuhnya rumah dari kartu. Alquran bahkan dengan manis tetapi sangat terang menggambarkan bahwa struktur masyarakat Quraisy itu sungguh sangat rapuh. Kita kutip: "Bandingan orang-orang yang memilih pelindung selain Allah adalah ibarat laba-laba yang membuat rumah. Padahal, serapuh-rapuh rumah adalah rumah laba-laba, jika saja mereka mengetahui." (Al-'Ankabut: 41).

Kerapuhan yang dibungkus dengan kekejaman ini akan dengan mudah terbaca mereka yang cerdas. Alangkah jauhnya sasaran yang hendak ditembak wahyu pertama itu dalam upaya menegakkan keadilan dan masyarakat egalitarian. Muhammad dan pengikutnya dalam jumlah kecil sebenarnya sejak sekitar tahun ketiga kenabian sudah mulai berterus terang tentang tujuan yang hendak diraih. Akibatnya memang fatal: konflik terbuka tidak dapat dihindari. Ikuti bentak Alquran ayat Makkiyah tentang watak hedonistik kelompok elite Quraisy: "Kamu telah dilengahkan oleh sifat berlebih-lebihan [dalam menumpuk harta, kekuasaan, dan kesenangan], hingga kamu masuk kuburan." (Al- Takatsur: 1-2).

Lagi, berikut dalam surat al-Humazah, ayat 1-9, diperkirakan turun menjelang akhir tahun ketiga kenabian, bentakan itu lebih keras lagi: "Celakalah bagi setiap penyebar fitnah dan pengumpat. Yang mengumpulkan kekayaan dan menghitung-hitungnya. Mengira bahwa kekayaannya akan membuatnya kekal. Sama sekali tidak! Ia akan dijerumuskan ke dalam Huthamah. Tahukah engkau apakah Huthamah itu? [Itulah] api Allah yang dinyalakan. Yang naik masuk ke hati. Sungguh, [neraka] itu akan ditutup rapat atas mereka. [Sedangkan mereka itu] diikat pada tiang-tiang yang panjang."

Islam dan Kekuasaan (I)

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif


Sebenarnya jauh sebelum dilantik menjadi nabi dalam usia 40 tahun, Muhammad telah menyadari sepenuhnya masalah kesenjangan sosio-ekonomi yang parah yang melilit mayoritas penduduk Makkah yang miskin. Monopoli pihak Quraisy atas politik dan ekonomi yang ditopang budaya syirik adalah penyebab utama dari segala bentuk ekspolitasi atas sektor masyarakat yang lemah. Mereka inilah yang menjadi bulan-bulanan kezaliman penguasa.

Kondisi sosial itulah yang mendorong Muhammad berkali-kali menyendiri di Gua Hira, demi mencari solusi bagi ketimpangan sosial ini. Di gua inilah menurut sejarah wahyu pertama itu diturunkan, tetapi sepintas lalu tidak berbicara langsung tentang realitas sosial yang timpang itu.

Kita kutip makna wahyu pertama itu: "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang teramat mulia. Yang mengajar dengan [perantaraan] pena. Mengajar manusia tentang apa yang tidak diketahuinya." (Surat al-'Alaq: 1-5). Bukankah ayat-ayat ini selayang pandang tidak langsung membidik jantung oligarki Quraisy yang anti keadilan itu? Pandangan selintas memang terkesan demikian.

Tetapi bila dicermati lebih dalam, apalagi jika dikaitkan dengan ayat-ayat yang turun sesudah itu (seluruhnya di luar Gua Hira), tesis kita tentang kaitan tauhid dengan masalah keadilan begitu jelas dan terang. Kita lihat dulu lima ayat di atas, dan apa kaitannya dengan sebuah masyarakat egalitarian.

Setidak-tidaknya terdapat empat paradigma pokok dalam wahyu pertama itu. Pertama, prinsip pembebasan manusia dari buta baca dan buta tulis; kedua, doktrin tentang kedudukan Tuhan sebagai Pencipta yang teramat mulia; ketiga, pemberitahuan tentang asal-usul kejadian manusia dari segumpal darah; keempat, penegasan tentang fungsi Tuhan sebagai Maha Pengajar.

Untuk diskusi kita, paradigma pertama dan ketiga yang perlu disorot lebih jauh. Muhammad adalah seorang anak manusia yang teramat cerdas, otak dan ruhani. Dia paham betul apa makna keempat paradigma itu bagi gerakan pembaruan sosial yang akan dilancarkan. Prinsip pertama tentang tulis-baca untuk mencerdaskan manusia, sebab pembaruan masyarakat hanyalah mungkin dapat diwujudkan bila masyarakat itu cerdas.

Kecerdasanlah yang mampu membaca dengan tajam realitas politik eksploitatif elite Quraisy yang harus ditumbangkan pada suatu hari melalui kekuasaan. Imbauan moral semata tidak pernah efektif. Kemudian, penegasan tentang asal-usul manusia dari segumpal darah yang bertujuan menggiring bola kehidupan menuju terbentuknya sebuah masyarakat egalitarian. Dengan asal-usul yang sama, maka kelas-kelas sosial yang dibuat berdasarkan mitos-mitos sejarah yang tidak punya dasar harus dihapuskan.

Elit Quraisy rupanya telah merasakan arah angin dari gerakan Muhammad ini. Jika tidak dibabat di kuncupnya, maka sudah dapat dipastikan bahwa seluruh bangunan dan tatanan sosial politik mereka akan berantakan, seperti rubuhnya rumah dari kartu. Alquran bahkan dengan manis tetapi sangat terang menggambarkan bahwa struktur masyarakat Quraisy itu sungguh sangat rapuh. Kita kutip: "Bandingan orang-orang yang memilih pelindung selain Allah adalah ibarat laba-laba yang membuat rumah. Padahal, serapuh-rapuh rumah adalah rumah laba-laba, jika saja mereka mengetahui." (Al-'Ankabut: 41).

Kerapuhan yang dibungkus dengan kekejaman ini akan dengan mudah terbaca mereka yang cerdas. Alangkah jauhnya sasaran yang hendak ditembak wahyu pertama itu dalam upaya menegakkan keadilan dan masyarakat egalitarian. Muhammad dan pengikutnya dalam jumlah kecil sebenarnya sejak sekitar tahun ketiga kenabian sudah mulai berterus terang tentang tujuan yang hendak diraih. Akibatnya memang fatal: konflik terbuka tidak dapat dihindari. Ikuti bentak Alquran ayat Makkiyah tentang watak hedonistik kelompok elite Quraisy: "Kamu telah dilengahkan oleh sifat berlebih-lebihan [dalam menumpuk harta, kekuasaan, dan kesenangan], hingga kamu masuk kuburan." (Al- Takatsur: 1-2).

Lagi, berikut dalam surat al-Humazah, ayat 1-9, diperkirakan turun menjelang akhir tahun ketiga kenabian, bentakan itu lebih keras lagi: "Celakalah bagi setiap penyebar fitnah dan pengumpat. Yang mengumpulkan kekayaan dan menghitung-hitungnya. Mengira bahwa kekayaannya akan membuatnya kekal. Sama sekali tidak! Ia akan dijerumuskan ke dalam Huthamah. Tahukah engkau apakah Huthamah itu? [Itulah] api Allah yang dinyalakan. Yang naik masuk ke hati. Sungguh, [neraka] itu akan ditutup rapat atas mereka. [Sedangkan mereka itu] diikat pada tiang-tiang yang panjang."

Kemajemukan

Mencari Model Kerukunan Antarumat Beragama
Rabu, 19 Maret 2008 | 01:07 WIB

Ayang Utriza NWAY

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam agama. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing- masing dan berpotensi konflik.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama yang sejati, harus tercipta satu konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang berbeda agama guna menghindari ”ledakan konflik antarumat beragama yang terjadi tiba-tiba”.

Pancasila: model Indonesia

Pancasila sebagai dasar falsafah negara merupakan model ideal pluralisme ala Indonesia. Pancasila adalah hasil perpaduan dari keberhasilan para Bapak Pendiri yang berpandangan toleran dan terbuka dalam beragama dan perwujudan nilai-nilai kearifan lokal, adat, dan budaya warisan nenek moyang.

Sebagai ideologi negara, Pancasila seakan menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Ia merupakan konsep ideal untuk menciptakan kerukunan aktif di mana anggota masyarakat bisa hidup rukun di atas aras kesepahaman pemikiran.

Harus diakui bahwa keberadaan Pancasila benar-benar menjadi kalimatun sawâ’ (as a model of living togetherness) bagi masyarakat Indonesia.

Laicité: model Perancis

Laicité atau sekularisme ala Perancis pun menjadi salah satu konsep ideal untuk menciptakan kerukunan beragama. Undang-Undang Laicité 1905 mengatur pemisahan negara dan agama di Perancis. Laicité lahir dari suatu konflik berkepanjangan antara kalangan gerejawi yang ingin mempertahankan kuasa dan pengaruhnya dan kalangan nasionalis yang menolak keberadaan agama dalam ranah politik.

Laicité secara filosofis berarti negara sama sekali tidak mengakui apa pun bentuk agama dan kepercayaan. Tetapi, negara menjaga kebebasan beragama dan berpikir, karenanya negara menjaga para pemeluknya, kitab suci, dan simbol. Negara melindungi setiap pemeluk agama bukan karena nilai metafisik agama tersebut, tapi karena negara harus melindungi kebebasan beragama masing-masing orang agar hak-hak mereka tidak dilukai.

Sama tetapi berbeda

Pancasila dan Laicité pada prinsipnya sama sebagai ideologi dan falsafah negara untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama. Tetapi, di dalam kesamaan itu ternyata ada beberapa perbedaan yang cukup tajam.

Pertama, di Perancis kehidupan agama merupakan wilayah pribadi. Ia tidak boleh masuk ke dalam wilayah publik. Sedangkan di Indonesia, agama menjadi wilayah publik. Agama dibicarakan di mana saja dan kapan saja. Tidak jarang ibadah yang bersifat sangat pribadi menjadi urusan pemerintah.

Kedua, di Perancis orang tidak beragama, bahkan ateis sekalipun diakui haknya untuk hidup di dalam negara. Sementara di Indonesia, ateis tidak mempunyai hak hidup. Jangankan ateis, orang kepercayaan atau penganut agama leluhur pun tidak diakui.

Ketiga, di Perancis negara netral terhadap agama dalam masalah keuangan. Negara tidak membiayai kepentingan agama dan mengatur urusan peribadatan. Di Indonesia, negara membiayai acara keagamaan dan pembangunan tempat ibadah, bahkan mengatur urusan peribadatan.

Indonesia dan negara Muslim

Jika dibandingkan dengan Perancis, Indonesia memang bukan murni negara sekuler. Namun demikian, untuk konteks negara Muslim, Indonesia menjadi negara yang sangat ideal dalam kerukunan antarumat beragama karena memiliki satu falsafah hidup bernegara, yaitu Pancasila. Negara-negara Muslim lainnya tidak mempunyai model seperti Indonesia.

Negara-negara Islam, seperti Arab Saudi, Iran, Yaman, Sudan, Pakistan, dan Banglades menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi negara; tidak mengakui keberadaan agama lain; non-Muslim menjadi warga negara kelas dua; syariat Islam sebagai hukum nasional, dan murtad dihukum mati.

Negara-negara muslim, seperti Jordania, Mesir, Suriah, Tunisia, Maroko, Palestina, Aljazair, Malaysia, dan Brunei Darussalam menjadikan Islam sebagai ideologi negara dan terkadang ideologi lainnya; Islam sebagai agama negara, tetapi agama lain diakui; non-Muslim diakui hak-haknya; hukum nasional dan hukum Islam diterapkan; dan murtad dihukum sebagai tindak pidana.

Di Indonesia, Pancasila sebagai ideologi negara; 6 agama resmi negara; kedudukan warga negara tidak ditentukan oleh agama; hukum nasional yang berlaku; dan murtad bukan tindak pidana. Dari perbandingan sepintas ini tampak bahwa Indonesia merupakan model negara Muslim par execellence dalam kerukunan hidup antarumat beragama.

Pancasila: pemersatu

Potensi dan modal yang dimiliki Indonesia dalam menciptakan kerukunan hidup antarumat beragama harus dikelola dan dijaga dengan baik sehingga keragaman agama menjadi nilai yang hidup di tengah masyarakat. Hasil yang dapat dipetik: umat minoritas dapat menikmati kenyamanan ekonomi, sosial, intelektual, dan spiritual dari umat mayoritas (Islam) tanpa lenyap sebagai minoritas.

Sayangnya, dalam satu dasawarsa belakangan ini, Pancasila sering disalahartikan, dipandang sebelah mata, dan terancam oleh ideologi-ideologi transnasional, baik yang berjubah agama maupun ekonomi. Lalu, siapa yang peduli terhadap Pancasila?

Ayang Utriza NWAY Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta; Mahasiswa PhD Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris

Tuesday, March 18, 2008

Negara Muslim tak pantas menderita

oleh : Ahmad Djauhar

Negara-negara berpopulasi Muslim dominan-yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI)-dengan potensi sedemikian besar, memiliki penguasaan atas 70% sumber energi dunia dan 40% bahan ekspor, sungguh tidak pantas menderita.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan OKI merupakan organisasi unik. Gabungan populasi ke-57 anggota organisasi itu mencapai 1 miliar penduduk Bumi, yang meliputi tiga benua. Dengan demikian, umat Islam memiliki posisi terbaik untuk menyumbang perdamaian dan keamanan dunia dan tidak pantas menderita, termasuk kemiskinan.

Oleh karena itu, Kepala Negara mengajak seluruh anggota OKI untuk mengutamakan peningkatan kualitas hidup umat Islam dan memberdayakan mereka. Hal itu berarti perlu penggalangan kerja sama ekonomi yang intensif dan ekstensif di antara sesama negara Muslim.

"Kita perlu mengembangkan berbagai skema investasi atau kerja sama di bidang sains dan teknologi. Kita dapat mengoptimalkan perdagangan antar negara Islam melalui negosiasi dan pengembangan area perdagangan bebas yang Islami," ujar Yudhoyono saat memberikan sambutan pada sesi Debat Umum KTT ke-11 OKI di Dakar, Senegal, akhir pekan lalu.

Sebelumnya, sejumlah pemimpin negara anggota OKI sempat menyampaikan keprihatinan mendalam atas perkembangan harga minyak dunia yang meroket hingga mencapai US$110 per barel.

Sejumlah anggota OKI merupakan produsen minyak skala besar, namun sebagian besar dari mereka adalah konsumen minyak. Terasa sekali, termasuk tuan rumah Senegal, yang mengeluhkan harga minyak dunia, karena luar biasa membebani dan hal itu dapat menimbulkan permasalahan ekonomi-sosial. Bagaimana OKI merespons kondisi ini.?

Saat pembukaan, Presiden Senegal mengeluarkan ide yang menarik, yaitu bagaimana apabila nanti harga minyak terus naik, 10% dari hasil penjualan digunakan khusus untuk membantu mengentaskan kemiskinan di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Namun, hal itu belum memperoleh tanggapan.

Presiden Yudhoyono juga mendorong kelanjutan kerja sama ekonomi seperti D-8 yang beranggotakan negara-negara yang tergabung dalam OKI. Oleh karena itu, pembentukan lembaga baru Dana Solidaritas Islam dalam kerangka OKI dinilainya sangat penting dan Indonesia memberikan dukungan penuh termasuk berkontribusi bagi pendanaannya.

Dengan potensi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber-sumber keuangan yang sangat besar itu, kata Presiden, anggota OKI mampu menciptakan mobilisasi dan membangun kekuatan untuk kebaikan umat. Hal itu akan mengembalikan prinsip Islam sesungguhnya, yakni memerangi kemiskinan serta mendorong perdamaian global dan keselarasan.

"Keselarasan bukan hanya untuk sesama bangsa, juga an-tara manusia dan ciptaan Allah lainnya. Ini berarti mengupayakan keseimbangan antara penciptaan kesejahteraan eko-nomi bagi kita ataupun generasi mendatang serta menjaga kelestarian alam," kata Yudhoyono.

Presiden juga menyinggung tentang bagaimana peran yang harus diemban anggota OKI sehingga mampu menangkal prasangka terhadap Islam (Islamophobia) di kancah pergaulan internasional, termasuk membangun dialog antarkepercaya-an, antarbudaya, dan antar peradaban.

Oleh karena itu, lanjutnya, kerja sama dengan media dinilainya sangat penting. Dia memberikan contoh kerja sama Indonesia dengan Norwegia dalam hal dialog antarbangsa yang dikemas dalam Global Inter-Media Dialog.

Presiden juga menyinggung soal pelaksanaan demokrasi yang dinilainya penting dalam penegakan good governance. "Untuk menjadi [negara] demokrasi, tentu saja, lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan. Sulit untuk menjaga kesinambungannya. Saya berbicara berdasarkan pengalaman di Indonesia."

Kasus Palestina

Persoalan Palestina menjadi salah satu pokok bahasan penting dalam pembicaraan sejumlah pemimpin dunia, baik pada saat pidato pada pembukaan KTT maupun pada berbagai pertemuan bilateral.

Beberapa tokoh dunia, termasuk Sekjen PBB Ban Ki-moon, yang secara khusus hadir dalam KTT OKI, Sekjen Liga Arab, dan Sekjen OKI sepakat bahwa agresi Israel terhadap Palestina harus segera diakhiri.

"Hampir semua pembicara menyatakan perhatian yang sangat mendalam terhadap situasi di Palestina, khususnya di Gaza mengenai serangan Israel terhadap penduduk sipil di Gaza. Mereka semua mengutuk serangan ini dan mereka ingin agar proses perdamaian dapat segera dilakukan kembali serta kekerasan dapat dihentikan," kata Dino Pati Jalal, juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seusai Presiden menerima Sekjen PBB Ban Ki-Moon di Hotel Le Meridien Dakar, Senegal.

Umumnya, mereka menekankan keprihatinan mendalam karena banyak sekali konflik yang terjadi di komunitas Muslim dunia a.l. di Irak, Af-ghanistan, Somalia, dan Sudan, sehingga mereka mempertanyakan bagaimana respons dari negara-negara anggota OKI terhadap banyaknya konflik dalam tubuh Islam.

Ada juga perhatian khusus terhadap masalah kesejahteraan, terutama mengenai banyaknya orang-orang miskin di kalangan umat Islam. Untuk hal ini, OKI dituntut merespons secara lebih agresif. Memang sudah ada inisiatif baru untuk mendirikan dana solidaritas Islam (Islamic Solidarity Fund) yang akan dikelola oleh Bank Pembangunan Islam (IDB).

"Indonesia mendukung sepenuhnya keberadaan dana tersebut, karena memang kita selalu berbicara bahwa umat Islam harus saling membantu, tapi konkretnya bagaimana. Ini akan dilaksanakan segera setelah KTT OKI," ujar Dino.

Pada pertemuan tersebut Ban Ki-moon didampingi Ibrahim Gambari, utusan khusus PBB untuk masalah Myanmar. Sedangkan Presiden didampingi Menlu Hassan Wirajuda.

Kedua pemimpin a.l. membahas masalah Myanmar dan Timor Leste beserta prospek penyelesaian masing-masing serta membicarakan mengenai persoalan perubahan iklim global sebagai tindak lanjut Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali, Desember 2007.

Ban Ki-Moon dan Yudhoyono memberikan perhatian khusus terhadap time table yang sudah disepakati pada konferensi di Bali itu, untuk mengingatkan masyarakat dunia agar dapat dengan tepat memenuhi kerangka waktu dua tahun untuk mencapai suatu rezim global perubahan iklim pasca-2012.

"Agar nanti, sewaktu bertemu di Copenhagen 2009, sudah ada kesepakatan yang dicapai rezim global tersebut. Kedua pemimpin akan membuat fasilitas video conference di kantor PM Denmark, Presiden Polandia, Presiden SBY, Sekjen PBB, dan Ketua UNFCCC," ungkap Dino.

Fasilitas konferensi video yang akan digunakan nantinya merupakan peralatan paling mutakhir, sehingga kelima pe-mimpin tersebut dapat secara berkala berkomunikasi mengenai time table itu. Sistem ini akan di-instal dalam waktu dekat untuk menjaga momentum perubahan iklim." (ahmad.djauhar@bisnis.co.id)