Tuesday, April 22, 2008

Belajar Bederma dari Negeri Kapitalis


Oleh : Rinaldi Buchari
Mantan Direktur Bank, Pemerhati Masalah Keuangan-Sosial.


Tradisi bederma di Indonesia cukup marak terlebih lagi dengan banyak bermunculannya yayasan sosial serta keterlibatan media massa elektronik maupun non-elekteronik dalam memfasilitasi kegiatan bederma. Hal yang perlu dipertanyakan adalah seberapa besar kuantitas dan kualitas serta seberapa profesional program bederma yang kini ada di Indonesia.

Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, sangat menjunjung tinggi ibadah bederma seperti yang dinyatakan dalam Surat Ali Imran ayat 92: ''Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai''. Lebih jauh juga dapat dilihat dari Surat al-Fajr ayat 15-20: ''Ada pun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: 'Tuhanku telah memuliakanku'.

Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka ia berkata: 'Tuhanku menghinakanku'. Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya karena kamu tidak memuliakan anak yatim; dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin; dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampur adukkan yang halal dan yang batil; dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan''.


Tradisi bederma yang luar biasa juga dicontohkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah SAW, di antaranya adalah Usman bin Affan RA. Beliau pernah ditanya oleh sahabatnya dalam kaitannya dengan kesenangannya membantu orang melalui kekayaan yang senantiasa melimpah dari usahanya, beliau mengatakan:
''Aku ingin meninggalkan dunia sebelum ditinggalkan oleh dunia. Karena itu aku senantiasa berupaya untuk menjadikan yang dilimpahkan oleh Allah kepadaku ini bermanfaat untuk hidup di dunia ini dan sekaligus menjadi bekal untuk kehidupan kekalku di akhirat kelak''.


Realitas bederma di Amerika

Sebagai perbandingan dan sekaligus juga sebagai bahan pelajaran, ada baiknya kita melihat tradisi bederma di negara maju, misalnya seperti Amerika.

BusinessWeek, majalah bisnis terkemuka di Amerika, dalam edisi 1 Desember 2003 mengupas tuntas perkembangan terakhir tradisi bederma yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar di Amerika.

Majalah ini juga meranking para dermawan yg terdiri dari perorangan maupun perusahaan berdasarkan data-data publik, siaran pers, dokumen yayasan-yayasan, maupun wawancara. Dari hasil survei majalah tersebut didapatkan hasil bahwa dari 50 dermawan terbesar di Amerika, seperti Bill Gates, George Soros, dan lain-lainnya, total dana yang mereka sumbangkan ke yayasan-yayasan sosial berjumlah sekitar Rp 500 triliun!

Dihitung secara rata-rata, rasio perbandingan antara dana yang disumbangkan dengan kekayaan mereka saat ini adalah 67 persen, yang artinya mereka menyumbang rata-rata lebih dari 40 persen harta mereka! Islam menganjurkan untuk bederma secara diam-diam. Hal ini sesuai pernyataan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:
[i]''Jika tangan kananmu bederma sebaiknya tangan kirimu tidak mengetahui''.[i]

Ada hal yang menarik yaitu ternyata tradisi bederma secara diam-diam juga dilakukan di Amerika. BusinessWeek juga mengulas para dermawan yang menyumbang secara diam-diam tanpa publikasi. Mereka pada umumnya sulit dilacak karena menyembunyikan identitas mereka dengan bantuan ahli hukum, misalnya melalui pembentukan yayasan berbadan hukum di luar negeri.

Salah satu dermawan diam-diam yang berhasil dilacak oleh BusinessWeek adalah pendiri toko-toko duty-free yang terdapat di pelabuhan udara seluruh dunia, Charles Feeney. Dia menyumbangkan 39 persen saham perusahaan kepada yayasan sosial yang saat ini bernilai lebih dari Rp 31 triliun. Bila dibandingkan dengan kekayaanya saat ini yang tidak lebih Rp 12,7 miliar, Feeney menjalani hidup yang sederhana dan dia juga mengatakan bahwa ''otak seorang pun keluar dari dunia ini hidup-hidup''!

Di Indonesia, perusahaan-perusahaan yang bederma belum menjadi suatu tradisi. Berbeda dengan di Amerika, perusahaan-perusahaan di sana sudah jauh lebih maju dalam tradisi bederma. BusinessWeek baru-baru ini melakukan survei di 500 perusahaan terbesar di Amerika, dari total 218 responden, sebanyak 214 (98 persen) setuju bahwa perusahaan bederma adalah baik.

Di mana sebelumnya, pada tahun 1980-1990, banyak perusahaan atas nama efisiensi dipengaruhi oleh pendapat dari ekonom terkenal, Milton Friedman, yang berpendapat bahwa ''bisnis adalah bisnis'' (Sepenuhnya tergantung dari kesediaan pemegang saham perusahaan untuk menyisihkan sebagian/seluruh dividen untuk bederma).

Perusahaan-perusahaan donatur di Amerika memberikan sumbangan dalam bentuk uang tunai (rata-rata 0,4 persen dari total pendapatan) dan dalam bentuk produk/jasa (rata-rata 0,7 persen dari total pandapatan). Total sumbangan dalam bentuk tunai maupun produk/jasa dari sekitar 30 perusahaan Amerika di tahun 2002 bernilai kurang lebih Rp 19,5 triliun.

Salah satu perusahaan besar Amerika yang aktif bederma adalah General Mills yang berkantor pusat di Mineapolis. Pada pertengahan tahun 1990, tingkat kejahatan di Mineapolis 70 persen lebih tinggi dari New York. Namun, dengan bantuan konsultan yg dibayar General Mills bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat ditambah lagi sumbangan dalam bentuk uang dan keterlibatan para pegawai, tingkat kejahatan di Mineapolis turun lebih dari 50 persen.

General Mills sejak tahun 1800-an telah mendirikan panti yatim piatu yang saat ini menjadi pusat pembinaan anak. Di zaman Rasulullah telah dimulai proses menginstitusikan tradisi bederma dengan membentuk semacam ''yayasan''. Salah satu cikal bakal yayasan dalam masa Rasulullah SAW dimulai oleh istri beliau, Zaenab binti Jahasy. Zaenab mengumpulkan anak-anak yatim dengan memberikan bantuan keterampilan dalam sulam menyulam serta dana yang ia kumpulkan dari sahabat Rasulullah yang bederma.

Di Amerika tradisi bederma melalui pembentukan yayasan yang profesional telah lama dilakukan. Tren terakhir menunjukkan bahwa, berbeda dengan para pendahulunya, para dermawan saat ini membentuk yayasan-yayasan sosial pada saat mereka masih hidup, bukan setelah mereka meninggal.

Beberapa alasan yang dikemukakan dengan bederma melalui yayasan saat masih hidup adalah agar mereka dapat memastikan dana yang mereka sumbangkan digunakan untuk program-program sosial yang mereka inginkan di mana mayoritas untuk program mengatasi kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.

Selain itu para dermawan juga ingin memastikan yayasan sosial mereka dikelola secara profesional seperti layaknya organisasi bisnis, di mana yayasan beroperasi atas dasar ''hasil yang terukur, efisien, dan transparan''. Hal menarik untuk disimak adalah walaupun para dermawan di Amerika bekerja keras menumpuk harta yang banyak, mereka tidak ingin mewariskan harta yang sangat banyak tersebut kepada anak-anak mereka karena khawatir akan membuat mereka menjadi manja dan malas untuk bekerja.

Sekarang ini sudah banyak riset sosial yang menunjukkan betapa bahayanya kombinasi antara kekayaan dan umur muda. Ada suatu studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Universitas Columbia, salah satu universitas terkemuka di Amerika, menunjukkan bahwa anak-anak orang kaya lebih mudah gelisah dan tertekan dibandingkan anak-anak orang sederhana atau miskin.

Alasan lain para dermawan tidak mau mewarisi harta yang banyak kepada anak mereka adalah karena kebanyakan kekayaan yang didapat bukan dari harta warisan tetapi dari bekerja keras. Jadi mereka ingin anak-anak mereka menikmati kebahagiaan dan arti dari bekerja.

Selain itu para dermawan menganggap yayasan sosial yang mereka bentuk adalah juga salah satu ''warisan'' bagi anak-anak mereka, di mana mereka ikut melibatkan anak-anak mereka dalam kegiatan yayasan sosial mereka sehingga anak-anak mereka ikut menikmati kebahagiaan bederma.


Dikelola secara profesional

Satu pelajaran yang dapat diambil perkembangan tradisi berderma di Amerika adalah bahwa tradisi bederma yang baik harus ditunjang oleh pembentukan yayasan sosial yang ''profesional'' dan ''amanah''. Secara umum yayasan-yayasan sosial Islam di Indonesia belum dapat bekembang dengan baik jika dilihat dari segi besarnya dana yang dikelola, pengelolaan dana, dan program pendistribusiannya.

Masih banyak yayasan sosial yang belum dikelola secara profesional dengan menggunakan tenaga profesional yang andal. Secara umum masih dikelola secara kekeluargaan, dalam beberapa kasus bahkan anggota keluarga ikut mencari nafkah dalam kegiatan yayasan. Sedikit sekali tenaga profesional yang andal berminat secara full time bekerja di yayasan karena rendahnya kompensasi yang diterima.

Kendala utama dalam meningkatkan ''profesionalisme'' yayasan sosial di Indonesia salah satunya adalah terbatasnya dana yang dikumpulkan akibat dari sulitnya mendapatkan dermawan dengan sumbangan yang besar di dalam negeri. Hal ini mungkin akibat lemahnya kredibilitas yayasan dan masih lemahnya tradisi bederma di masyarakat terutama di kalangan yang mampu. Faktor lainnya adalah lemahnya kemampuan financial management dari yayasan untuk mengelola dan meningkatkan nilai dari dana yang ada.

Di samping itu sebagian besar yayasan-yayasan sosial yang ada juga kurang mampu mengakses dana-dana sosial di luar negeri karena ketidakmampuan secara profesional menjual program-program sosial mereka. Dalam kondisi negara yang terus dirundung krisis ini, tampaknya kita harus belajar banyak dari perkembangan tradisi bederma di Amerika di mana dalam bederma, para dermawan tersebut tidak hanya memberikan dana namun juga pemikiran mereka dalam bederma.

Para dermawan di Amerika menunjukkan pada kita bahwa harta yang terlalu banyak pada akhirnya lebih bermanfaat untuk diberikan pada yang lebih membutuhkan dan mereka merasakan kebahagiaan lebih dengan bederma bersama anak-anak mereka. Dalam situasi krisis yang berat seperti ini, kita tampaknya harus mengkampanyekan jihad harta yang lebih radikal baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Pemenuhan kewajiban zakat yang 2,5 persen jika dibandingkan dengan 40 persen dari harta yang disumbangkan dermawan di Amerika, tentunya sangat kurang dari cukup untuk membantu mengangkat derajat kaum muslimin yang membutuhkan saat ini. Seorang ulama besar dari Mesir setelah berkunjung ke Amerika menyatakan: ''Di Amerika saya melihat Islam tetapi jarang ada orang Islam, sebaliknya di Mesir saya melihat banyak orang Islam tetapi saya tidak melihat Islam''. Mudah-mudahan sinyalemen ini tidak berlaku di Indonesia. Kita memang tidak suka dengan arogansi pemerintah Amerika Serikat, tapi tak ada salahnya belajar dari masyarakat mereka. (RioL

Saturday, April 19, 2008

Tentang Ahmadiyah, PBNU: Patuhi Konstitusi!


Besar Nahdlatul Ulama mengingatkan pemerintah dan semua pihak untuk berpedoman kepada konstitusi dalam menyikapi usulan pembubaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau JAI. Usulan pembubaran Ahmadiyah itu dilakukan oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat karena ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam.

Himbauan itu diungkapkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masdar F Mas'udi di Jakarta, Jumat (18/4). UUD 1945 harus dijadikan dasar dalam menentukan status JAI. Konstitusi mewajibkan negara untuk melindungi hak dan kebebasan setiap warga negara untuk menyakini dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.

Rekomendasi Bakor Pakem itu, katanya, menunjukkan semakin menguatnya sektarianisme di kalangan umat Islam. Sikap tersebut seringkali disertai dengan kekerasan teologis dan politis, bahkan dengan kekerasan fisik.

PBNU juga mengingatkan seluruh warga NU untuk tetap berpegang teguh kepada prinsip tasamuh (toleran) dalam menyikapi kasus Ahmadiyah. "Penghargaan dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain sebagaimana orang lain kita harapkan menghormati keyakinan kita merupakan khittah jam'iyah (dasar organisasi) NU yang harus dijaga," lanjut Masdar.

Masdar menambahkan, Al Quran telah mengatur bagaimana seharusnya bersikap terhadap kelompok agama yang dinilai menyimpang dari ajaran pokok. Dialog dengan cara yang elegan disertai ajakan untuk kembali ke ajaran pokok agama merupakan langkah untuk menyelesaikan kasus Ahmadiyah.

Jika warga Ahmadiyah tetap menolak ajakan tersebut, warga NU dan umat Islam Indonesia diminta untuk mengembalikan persoalan tersebut kepada Allah sebagai pemilik kebenaran. "Tidak seorang pun berhak mengklaim kebenaran penuh ada di tangannya dan memaksakannya kepada orang lain dengan segala cara," tegasnya.


MZW
Ada 10 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
dim2_se @ Sabtu, 19 April 2008 | 09:22 WIB
Hanya Alloh yang akan menghukum umat yang selalu merasa bahwa dirinya benar dan hanya kepada dirinyalah kita berlindung.Umat islam punya pegangan,kalau tidak sesuai al hadist dan al quran berarti agama mereka bukan Islam..kalau masih mengklaim dirinya islam,ya berarti mereka sesat!! gitu aja kok repot..Bersatulah Islamku,kita pasti kuat kalau tidak saling menyalahkan dan selalu merasa paling benar..
chicha @ Sabtu, 19 April 2008 | 09:01 WIB
Islam adalah Rahmat alam semesta, bukan bencana bagi golongan lain. salut dengan pernyataan PBNU, yang melihat persatuan diatas segalanya. educasi seperti ini yang diharapkan bagi kemajuan Indonesia! Negara ini ada bukan hanya utk satu golongan tapi utk semua,mengingat apa yg dilakukan Ahmadiyah masa perjuangan kemerdekaan, apa yg terjadi saat ini justru pengkhianatan terhadap konstitusi Republik Indonesia.
Arif @ Sabtu, 19 April 2008 | 08:54 WIB
Tujuan agama adalah salah satu cara mencapai keimanan kepada Alloh Sang Pencipta jagad raya dan seisinya, dengan cara kita memeluk agama yang diyakininya akan membentuk pribadi KUSU ( SABAR dan KASIH ), dengan pengetahuan seperti ini diharapkan kita bisa hidup damai dan mencapai Surga yang dijanjikan.
armanbagio @ Sabtu, 19 April 2008 | 08:47 WIB
semoga kita semua terbuka hatinya karena Allah Yang Maha Benar dan Allah yang Terpuji,mari umat islam jangan risaukan masalah Akhmadiyah,sebab kita belum tahu apa yang diinginkan ,,lebih baik kita benahi diri kita,masih banyak umat yang miskin dan bodoh,ini garapan kita Subhanallah,Maha Suci Allah
amri husni @ Sabtu, 19 April 2008 | 07:57 WIB
Ini baru ulama besar, berani berkata yg benar menurut hukum indonesia dan Allah. Harus dipahami yg paling benar itu hanya Allah SWT. bukan FPI.

Thursday, April 17, 2008

Pemikiran Hukum Islam Indonesia

Oleh : Azyumardi Azra

Bahwa hukum Islam (syariah dan fikih) di Indonesia kian mendapat perhatian banyak kalangan tidaklah diragukan lagi. Sejumlah karya penting dalam subjek ini kian banyak diterbitkan akhir-akhir ini pada tingkat internasional. Yang paling akhir adalah karya Michael R Feener, Muslim Thought in Modern Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2007).

Membaca buku ini, jelas pengarang tampaknya ingin menulis lebih daripada sekadar sejarah perkembangan syariah atau fikih di Indonesia, khususnya di masa modern. Lebih dari itu, Feener berusaha mengungkapkan dinamika pemikiran Islam modern di Indonesia dengan penekanan khusus pada pemikiran hukum. Feener memperlihatkan bahwa perkembangan pemikiran hukum Islam tidak terlepas dari pemikiran Islam secara keseluruhan, setidaknya pada dua level: pertama, Dunia Muslim dan kedua, konteks agama, sosial-budaya, dan politik Indonesia.

Pertama, pemikiran Islam Indonesia, sejak masa awal penyebaran Islam di nusantara, khususnya sejak abad ke-13 tidak bisa lepas dari dinamika pemikiran Islam di tempat lain, khususnya Arabia. Saya, dalam sejumlah karya, telah menunjukkan hubungan intens pemikiran Islam Indonesia dengan pemikiran Islam di Arabia, khususnya melalui 'jaringan ulama' yang berpusat di Makkah dan Madinah sejak abad ke-17 sampai masa-masa lebih akhir.

Melalui jaringan ulama kosmopolitan ini, para ulama Jawi (Dunia Melayu-Indonesia) yang belajar di Haramayn dan kembali ke Tanah Air memberikan kontribusi sangat penting bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan Islam; tidak hanya dalam bidang syariah atau fikih, tetapi juga tafsir, tasawuf, hadis, dan seterusnya. Sebagai misal, pada abad ke-17-18 tiga karya terpenting dalam bahasa Melayu dihasilkan tiga ulama terkemuka yang terlibat dalam jaringan ulama: al-Sirat al-Mustaqim karya Nur al-Din al-Raniri (W 1658), Mir'at al-Tullab karya `Abd al-Ra'uf al-Sinkili (W 1693), dan Sabil al-Muhtadin karya Muhammad Arshad al-Banjari (W 1812).

Karya para ulama ini bukanlah karbon copy buku-buku yang mereka pelajari di Haramayn; mereka juga melakukan kontekstualisasi dan vernakularisasi agar tulisan tetap relevan dengan konteks nusantara. Dinamika intelektual ini menjadi lebih luas dan intens di masa modern. Seperti dikemukakan Feener, "selama abad terakhir ini, para pemikir Muslim di Indonesia telah menumbuhkan kapasitas luar biasa untuk menghasilkan karya-karya inovatif dengan mengintegrasikan berbagai aliran dan corak pemikiran Muslim modern dari seluruh penjuru bumi; dan mengomunikasikannya dengan gagasan yang dikembangkan para pemikir non-Muslim di Eropa, Amerika Utara dan sebagainya" (h xvii).

Integrasi berbagai aliran pemikiran Islam merupakan salah satu distingsi utama Islam Indonesia. Khususnya dalam pemikiran hukum Islam, para ulama dan pemikir Islam Indonesia, seperti Hasbi ash-Shiddieqi, Hazairin, sejak 1960-an telah melakukan usaha-usaha serius untuk membentuk sebuah 'mazhab fikih Indonesia'.

Dalam pengembangan mazhab fikih nasional, jelas terlihat kaitannya dengan konteks keagamaan, sosial-budaya, dan politik Indonesia. Salah satu realitas terpenting adalah bahwa meski mayoritas penduduk negara ini adalah Muslim, tetapi Indonesia bukan negara Islam, tetapi juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, agama mendapatkan tempat sangat penting dalam kehidupan Indonesia.

Tentu saja sejak dulu sampai sekarang ada kalangan Muslim yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dan/atau memberlakukan syariah. Setelah tidak berhasil pada tingkat nasional, mereka mengusahakannya pada tingkat lokal, misalnya, melalui perda-perda tertentu. Tetapi, jelas pula bahwa mayoritas terbesar kaum Muslim tidak menginginkan hal tersebut; dan menerima pengaturan politik sebagaimana adanya sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Bahkan, dari waktu ke waktu, NU, misalnya, menegaskan komitmennya pada finalitas negara-bangsa Indonesia dan Pancasila.

Gejala masih adanya kalangan Muslim yang menginginkan penerapan syariah sering mencemaskan kalangan luar khususnya. Tetapi, kecemasan tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Seperti dikemukakan Feener, Islam Indonesia terus melahirkan generasi demi generasi ulama dan pemikir yang sangat aktif dalam pengembangan pemikiran Islam, termasuk pemikiran hukum. Mereka menghasilkan diskusi dan perdebatan yang intens dan hangat dalam pemikiran Islam.

Dalam bidang pemikiran hukum Islam, berbagai 'bentuk baru' fikih pun mulai muncul, seperti 'fikih sosial', dan 'fikih antar-agama'. Orang boleh tidak setuju dengan aspek-aspek tertentu pemikiran fikih seperti ini; dan ini bisa mendorong dinamika pemikiran lebih lanjut, jika disikapi secara cerdas dan bermartabat.

Kebebasan Beragama Kita (Our Record of Freedom of Religion)

Penulis:
Luthfi Assyaukanie
Bidang Kajian: Filsafat Politik dan Isu-Isu Keagamaan

Pertengahan September silam, Kementrian Negara Amerika Serikat merilis laporan terbarunya tentang kebebasan beragama di Indonesia. Secara rutin, lembaga ini menerbitkan laporan tahunan tentang kondisi kebebasan beragama di berbagai negara di dunia dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa yang terkait dengan isu agama selama setahun terakhir. Secara umum tidak ada yang mengejutkan dari isi laporan itu. Kondisi kebebasan beragama kita masih memprihatinkan dan belum ada perubahan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Pelanggaran dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih kerap terjadi dan aksi kekerasan atas nama agama belum berhenti. Laporan itu menyebutkan beberapa faktor yang mendorong munculnya diskriminasi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Di antaranya kurang tegasnya pemerintah dan tak adanya keinginan untuk mengubah situasi ini. Dalam beberapa kasus, pemerintah malah dinilai mendiamkan saja kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Kalaupun ada tindakan, para pelakunya biasanya bebas dari jerat hukum. Beberapa aturan juga ditengarai sebagai faktor pemicu diskriminasi dan pengekangan terhadap kebebasan. Otonomi daerah memungkinkan provinsi dan kabupaten memiliki peraturan sendiri (Perda). Sebagian Perda sangat positif bagi kemajuan daerah, tapi beberapa yang lainnya, sayangnya, sangat negatif bagi kebebasan dan hak-hak warga. Berdasarkan standar internasional, konstitusi kita juga sebetulnya bermasalah, atau paling tidak berpotensi memicu masalah. Deklarasi HAM tentang kebebasan beragama menjamin manusia untuk beragama dan tidak beragama, tapi konstitusi kita secara jelas menegaskan pentingnya ketuhanan. Meskipun sila pertama dari Pancasila bisa dimaknai secara fleksibel, tapi ia terlanjur dipahami sebagai dasar untuk menolak keyakinan ateisme. Orang yang tak beragama akan mengalami kesulitan hidup di republik ini. Aturan tentang jumlah agama juga merupakan faktor lain pemicu munculnya diskriminasi dan pengekangan terhadap kebebasan. Dengan hanya mengakui enam agama, negara kita secara implisit menganulir banyak agama penting lainnya, termasuk agama Yahudi yang sebetulnya masih serumpun dengan Islam dan Kristen. Yang lebih mengenaskan adalah bahwa aturan ini digunakan untuk menggerus keyakinan-keyakinan lokal yang banyak sekali jumlahnya. Tidak Tegas. Ada beberapa kasus pelanggaran yang terjadi selama tahun 2006 dan awal 2007 di mana faktor utamanya adalah akibat ketidaktegasan pemerintah. Salah satunya adalah kasus pembakaran dan pengrusakan terhadap gedung dan aset Ahmadiyah serta penganiayaan terhadap anggota kelompok ini. Penderitaan yang dialami anggota Ahmadiyah jelas disebabkan oleh ketidaktegasan pemerintah dalam melindungi mereka. Pemerintah cenderung mendiamkan sebab utama pemicu kebencian terhadap kelompok ini, yakni fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juni 1980 dan diperbaharui pada Juli 2005. Tidak pernah ada anjuran atau apalagi teguran kepada MUI karena mengeluarkan fatwa berbahaya itu. Padahal, jelas-jelas temuan Komnas HAM (September 2006) menegaskan keterkaitan yang erat antara fatwa MUI dan penciptaan rasa benci dan permusuhan terhadap Ahmadiyah. Kasus Ahmadiyah selalu menjadi langganan monitor dunia internasional. Ketidaktegasan pemerintah dalam menangani kasus ini akan terus menjadi sorotan lembaga-lembaga HAM dunia. Masalah Ahmadiyah memang menjadi isu dilematis bagi pemerintah. Pada satu sisi pemerintah berkewajiban melindungi setiap keyakinan warganya, namun pada sisi lain, pemerintah merasa harus mengakomodasi MUI, lembaga yang notabene didirikan oleh pemerintah. Hanya jika pemerintah mau memikirkan kembali fungsi MUI masalah ini bisa diatasi. MUI didirikan untuk membantu pemerintah mengatasi urusan kaum Muslim. Lembaga ini bukan didirikan untuk mengatur atau apalagi mendikte negara, tapi sebaliknya, ia didirikan untuk membantu negara menjalankan program-programnya. Artinya, jika ada pandangan atau sikap MUI yang bertentangan dengan kebijakan negara, maka dengan sendirinya ia harus ditolak. Dalam banyak perkara, isu-isu menyangkut penodaan atas kebebasan beragama terkait dengan fatwa dan pandangan yang dikeluarkan MUI. Mestinya negara bisa ikut campur atas apa yang dikeluarkan MUI, karena ia bertanggungjawab terhadap setiap pernyataan dan tindakan yang dilakukan lembaga ini. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menganggap lembaga ini istimewa atau apalagi maksum dari kesalahan, sehingga tak bisa ditegur. Perda dan Konstitusi. Masalah lain yang menjadi faktor pendorong pelanggaran terhadap kebebasan beragama adalah munculnya Perda yang secara substansial bertentangan dengan semangat konstitusi. Perda-perda yang terinspirasikan dari Syariat cenderung memicu diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan pengekangan terhadap kebebasan masyarakat secara umum. Di Aceh, misalnya, pelaksanaan Syariat menutup kemungkinan berkembangnya agama atau aliran lain yang berbeda dari keyakinan mayoritas. Di tempat-tempat lain, Perda bernuansa Syariat mengekang kebebasan sipil dan cenderung merugikan kaum perempuan. Perda tentang larangan membuka bar dan klab malam selama bulan Ramadhan, misalnya, jelas-jelas melanggar kebebasan warga untuk mencari nafkah dan kebebasan orang banyak untuk menikmati hiburan. Dari perspektif keadilan, aturan semacam ini jelas diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang dilindungi konstitusi. Sejauh ini kita belum melihat inisiatif dari pemerintah untuk mempertanyakan Perda-Perda semacam itu. Saya tidak tahu apakah karena pemerintah kita sungkan untuk mengangkatnya mengingat isu ini cukup sensitif atau karena pemerintah memang tidak merasa ada masalah dengan aturan-aturan seperti itu. Masalah ini menjadi semakin penting karena semakin banyak daerah yang menyusupi aturan-aturan diskriminatif dalam Perda yang sedang mereka rancang. Laporan kondisi kebebasan beragama yang dikeluarkan kementrian negara AS secara rutin bisa dijadikan cermin untuk kita memperbaiki kondisi kebebasan kita selama ini. Jangan pernah anggap sepele laporan-laporan semacam ini, karena ia terkait erat dengan citra dan status kita di mata internasional. Jika kita masih menganggap investasi asing itu penting dan berkerjasama dengan dunia luar itu penting maka memperbaiki citra adalah prasyarat untuk menuju ke arah itu.

ALLAHU AKBAR (Minal 'Teks')

Ulil Abshar-Abdalla


AMINAH Wadud, seorang pemikir feminis muslim, bukan nama asing di negeri ini. Sebagian bukunya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, di antaranya Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective. Bersama pemikir lain seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Nawal El Saadawi, Ziba Mir Husseini, dan Leila Ahmed, dia mengilhami para pemikir hak-hak perempuan di sini.

Sore itu, 22 Juli lalu, bersama beberapa teman dari Jakarta, saya mengikuti diskusi yang diadakan Sisters in Islam, kelompok feminis Islam, di Kuala Lumpur. Temanya Women, Faith and Text. Aminah memberikan pengantar yang memikat, dengan bertolak dari pengalaman pribadi dia sebagai seorang muslim dan, jangan lupa, perempuan. Dia seorang Afro-Amerika yang masuk Islam. Aminah menjabat sebagai associate professor di Department of Philosophy and Religious Studies, Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat. Dia kemudian menjadi salah seorang "mufasir" perempuan yang cukup hebat, dan berani melakukan pembacaan kembali Quran dalam perspektif perempuan.

Hubungan antara keimanan dan teks keagamaan, dalam pandangan Aminah, kerap ditandai oleh semacam ketegangan ketimbang hubungan yang lurus-lurus saja. "Terkadang aku merasa imanku kepada Allah membikin diriku bertanya-tanya kenapa ada satu-dua ayat terdapat dalam Quran," kata Aminah. Dan, "Kalaulah aku disuruh memilih, pastilah aku lebih senang bahwa satu-dua ayat itu sebaiknya tak tercantum dalam Quran."

Sudah tentu pilihan itu tidak ada pada dia. Tapi pengandaian ini bukan sesuatu yang superfisial. Lamunan semacam ini tak mustahil juga menghinggapi benak sejumlah orang beriman. Hanya, kegentaran kita pada kesucian teks agama membuat kita menutup rapat-rapat mulut kita untuk mengucapkannya. Saya lihat, sore itu, Aminah agak sedikit waswas juga: jangan-jangan peserta kelas itu menangkap kalimatnya dengan salah, lalu meringkusnya ke dalam golongan orang yang melakukan penghinaan atas agama Tuhan. Na'uzu billah min zalik!

Di papan tulis, Aminah menuliskan ayat yang dimaksudkannya itu, dalam huruf Arab. Sebagai seorang mualaf, batin saya, tulisannya lumayan. Ayat itu ada dalam surah An Nisa' (4:34), "Arrijaalu qawwamuuna 'alannisaa…." Di ujung ayat itu terdapat penggalan yang bunyinya, "Wallaati takhafuna nusyuzahunna…." Arti keseluruhan ayat itu: laki-laki adalah qawwam atau pemimpin bagi perempuan karena keunggulan-keunggulan yang diberikan Allah kepada satu atas yang lain; jika kalian khawatir akan adanya nusyuz atau sikap membangkang dari istri, ajarlah istri-istri kalian dengan cara yang berjenjang; pertama, nasihatilah mereka, lalu (kalau masih tetap nusyuz) janganlah tidur seranjang dengan mereka untuk beberapa hari, lalu (kalau masih tetap sama sikapnya) pukullah mereka (wadlribuhunna).

Ayat ini masuk kategori yang turun di Madinah atau ayat-ayat madaniyyah. Sudah pasti turunnya ayat ini terkait dengan konteks sosial saat itu. Idealnya: setiap konteks sosial berubah, ada ayat baru turun membawa preskripsi yang sesuai dengan keadaan yang ada. Kalau keadaan berubah, ayat yang lama "diamandemen" oleh ayat yang baru. Tapi itu tak mungkin terjadi sekarang.

Dalam Quran memang ada sejumlah ayat yang di-naskh atau dihapuskan oleh ayat yang turun belakangan (dikenal dengan konsep nasikh-mansukh) karena pertimbangan lingkungan sosial yang sudah berubah. Tapi itu dulu, ketika pewahyuan masih berlangsung. Sekarang tidak bisa karena zaman kenabian sudah telanjur lewat. Contoh lain adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan perbudakan. Hingga periode pewahyuan usai, ayat-ayat ini tidak di-naskh baik oleh Quran sendiri maupun oleh hadis (ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa Quran bisa di-naskh oleh hadis).

Dari surah An Nisa', yang kurang srek bagi Aminah adalah soal suami dibolehkan memukul istrinya. Apakah dengan demikian Quran membolehkan terjadinya "kekerasan dalam rumah tangga"? Rasanya, "Imanku kepada Allah," kata Aminah, tak membolehkan adanya kekerasan semacam itu. Sebab, Islam adalah agama keadilan dan properdamaian, sekaligus antidiskriminasi dan antikekerasan. "Kerap kali aku merasa bahwa imanku kepada Allah lebih besar dari teks-teks yang diturunkan oleh Allah itu sendiri," katanya.

Saya terperangah mendengar kata-kata Aminah. Ia menuturkannya dengan sedikit bimbang. Sebab, dia sendiri, pada tahap berikutnya, tidak bisa mengatasi dilema yang timbul. Kalau iman kita lebih besar dari teks agama, apakah teks agama bisa diabaikan? Apakah tidak ada cara lain untuk berhadapan dengan sejumlah teks agama yang kita

anggap "janggal"? Aminah tidak memberikan jawaban yang meyakinkan. Tapi ucapan dia meninggalkan kesan yang dalam pada diri saya, bahkan terbayang sampai di Jakarta. Tiba-tiba saya ingin menerjemahkan kalimat Aminah itu dalam versi Arab: Allahu Akbar minal "teks". Allah lebih besar daripada teks agama itu sendiri.

Sebagaimana Aminah, saya pun masih bimbang mencari jawabannya. Tapi kebimbangan terkadang menjadi benih bagi sesuatu yang "baru".

Wednesday, April 16, 2008

'Fitna', Melawan Jihad Demografik

Ditulis oleh : Misnati Nayla Puteri, Bergiat di Center for Islam and Women Studies

Akhir-akhir ini, umat Islam di dunia termasuk di Indonesia diresahkan oleh film Fitna besutan politikus ultrakanan Belanda, Geert Wilders. Film berdurasi 16 menit 48 detik itu menuai banyak protes, mulai dari yang menyesalkan saja hingga yang ingin membredelnya, bahkan ada yang hendak memboikot produk-produk Belanda yang beredar di dalam negeri.

Sesungguhnya, respons berlebihan tidak perlu dilakukan. Karena jika kita menonton film itu secara saksama, hampir semua isi film mengandung cacat mendasar.

Kelemahan epistemologis

Secara epistemologis, Fitna tidak punya dasar yang kuat. Bila dilihat dari pembuatannya, Wilders memang seorang yang rajin mencermati dan mengoleksi berbagai kekerasan yang terjadi di dunia Islam. Dari koleksinya itu, ia mengambil adegan-adegan yang dianggap penting dan kemudian disambung sana-sini sehingga menjadi satu alur cerita yang seakan-akan utuh. Namun, ia mendapat protes dari masyarakat Denmark karena kutipan 'kartun nabi' yang dipasang di awal film tidak mendapat izin dari si pembuat kartun. Dari protes ini, kita bisa berkesimpulan bahwa Wilders bukanlah sineas bertanggung jawab yang berkarya di atas prinsip hak dan kewajiban.

Dilihat dari isinya, hampir seluruh ayat Alquran yang dikutip hanya diambil sepotong-sepotong dengan mengabaikan ayat lain dan konteks historis (asbabun nuzul) di mana ayat tersebut diturunkan. Akibatnya, isinya menjadi bias dan ayatnya kehilangan konteks. Dari penempatan gambar, Wilders terkesan memaksakan. Misalnya ia mengutip satu adegan kekerasan yang dilakukan kaum muslim untuk berkesimpulan, Islam agama kekerasan. Padahal, tanpa agama sekalipun kekerasan terjadi di mana-mana. Tetapi, kenapa kekerasan harus dijustifikasi sebagai dari agama? Dalam konteks ini, Wilders salah kaprah.

Di akhir film, Wilders menggambarkan masa depan Belanda yang sungguh mengerikan, kaum muslim Belanda menebar kebencian dan permusuhan, bahkan anak kecilpun siap memotong leher orang-orang Belanda yang homoseksual. Pada level ini, Wilders terlalu berlebihan karena di Timur Tengah sekalipun, yang notabene menjadi sentrum Islam, kaum muslim tidak demikian. Meski masih banyak detail-detail lain yang bisa dikritik, namun secara umum film ini tidak mempunyai dasar epistemologis yang kuat.

Jihad demografik

Film ini tak lebih merupakan 'kekhawatiran' masyarakat Barat terhadap dampak dari percepatan teknologi komunikasi, transportasi, dan globalisasi yaitu gelombang migrant society (masyarakat pendatang) dari masyarakat luar yang secara serempak datang ke Barat. Ilmuwan politik terkemuka AS, Samuel Hunting, misalnya, melukiskan kekhawatirannya dalam buku berjudul Who Are We? The Challenges to America's National Identity (2004). Buku ini secara eksplisit menggambarkan masyarakat AS ketakutan dengan gelombang imigrasi besar-besaran suku Hispanik (Meksiko) dan masyarakat Latin lainnya.

Gelombang besar imigrasi ini mengancam nilai-nilai atau warisan Anglo-Protestant yang menjadi inti 'budaya dan identitas AS'. Itu dianggap mengancam karena nilai-nilai atau budaya suku Hispanik/Latin menurut Huntington tidak kompatibel dengan ide-ide yang ada dalam Anglo-Protestant. Bagi Huntington, there is no Americano dream. There is only the American dream created by an Anglo-Protestant society. Mexican-Americans will share in that dream and in that society only if they dream in English (hlm 256).

Hal yang sama juga terjadi di Eropa. Di Prancis, misalnya, imigran kulit hitam di sana selalu menyita perhatian dan tak jarang menjadi persoalan yang cukup rumit terutama menjelang pemilihan umum. Hal itu mungkin karena politisi Prancis sengaja menggunakan isu (sensitif) tersebut untuk mendongkrak suara mereka. Akibatnya, persoalan imigran di Prancis 'timbul-tenggelam' dan belum terselesaikan dengan baik.

Dalam konteks Fitna, yang menjadi ketakutan Wilders adalah gelombang imigrasi besar-besaran masyarakat muslim ke Eropa, lebih khusus lagi ke Belanda. Sebab, anggapan bahwa Islam sebagai ancaman hingga kini memang masih ada di kalangan Barat. Tetapi, di mana letak ancamannya? Ancaman itu terletak pada perkembangan masyarakat muslim yang luar biasa dahsyat. Dari data yang ada, dalam dua dekade terakhir menunjukkan Islam sebagai the world's fastest-growing faith (agama yang berkembang paling pesat di dunia). Inilah ancaman sesungguhnya.

Sebagian ahli memprediksikan pada 2025 kaum muslim akan melebihi jumlah umat kristiani mencapai 30% penduduk dunia, sedangkan Kristen hanya 25%. Hal itu bisa terjadi karena umat Islam bisa melakukan apa yang disebut jihad demografik yakni pengislaman dunia dilakukan dengan melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Para ahli terpana melihat umat Islam yang bisa mempunyai anak-cucu-cicit sampai 240 orang dari satu keturunan, sedangkan di dunia Barat dibutuhkan lima generasi untuk melahirkan keturunan sebanyak 30 orang saja (Spencer, 2003). Ledakan penduduk seperti itu kemudian akan melakukan jihad demografik ke negara-negara Barat.

Oleh karena itu, gelombang imigran itulah yang sesungguhnya menjadi persoalan bagi masyarakat Barat. Namun, perlu ditegaskan ini tidak hanya tertuju pada komunitas muslim an sich, tetapi juga komunitas lain seperti suku Hispanik/Latin di AS, kulit hitam di Prancis, dan mungkin komunitas Asia Timur di belahan dunia lain.

Kepentingan politik

Ketakutan itulah yang kemudian dikemas oleh Wilders untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Belanda yang antiimigran. Hemat saya, sesungguhnya Wilders menyadari filmnya kurang solid dan banyak yang ahistoris. Tidak hanya itu, ia juga tahu bahwa semua agama tidak mengajarkan kekerasan, termasuk Islam. Bahkan ia tahu persis hasil survei yang menunjukkan umat Islam yang melakukan tindak kekerasan berkisar 0,9%-1% dari populasi kaum muslim dunia. Wilders bukanlah politikus 'bodoh' yang tidak tahu apa-apa. Bahkan, ia menyadari betul akan kenyataan di atas.

Namun, karena ini untuk kepentingan politik, membuat Fitna bukanlah sesuatu yang tabu apalagi dilarang. Bahkan bisa jadi film ini menjadi kampanye yang paling efektif dan mungkin 'termurah' dari kampanye-kampanye Wilders lainnya. Jika dilihat dari perspektif ini, Wilders cukup jeli dan jenius menggunakan momentum tersebut untuk mengangkat dirinya dalam konstelasi politik di Belanda.

Respons

Atas dasar itulah, respons terhadap Fitna harus hati-hati, perlu tahu konteks, dan tidak usah berlebihan. Jika umat Islam merasa tersinggung dengan film tersebut, silakan protes, namun jangan terjebak pada cara kekerasan yang malah kontraproduktif, apalagi membuat film tandingan dengan menunjukkan kekerasan umat Kristen ataupun Yahudi misalnya.

Sebagai penutup, alih-alih bertujuan menghina Islam dan umat Islam dalam arti yang sesungguhnya, film ini sebenarnya lebih mengekspresikan kekhawatiran terhadap jihad demografik umat Islam. Jika ini benar, maka umat Islam patut bersimpati pada Wilders, karena ia telah mengingatkan umat Islam agar tidak menjadi ancaman bagi yang lain. Untuk itu, kaum muslim perlu memperbaiki diri menjadi lebih sejuk dan damai karena memang itulah semangat Islam yang sesungguhnya.

Agama dan Prinsip Teodisia


Ditulis oleh : Miming Ismail, Pegiat Sastra dan Filsafat Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina Jakarta

Agama pada mulanya dimulai dengan hening, sunyi, dan senyap demikian kata esais Goenawan Mohammad. Metafora itu dalam beberapa hal mungkin benar, tapi sekaligus keliru. Ia mungkin benar, sejauh metafora hening, sunyi, dan senyap secara intrinsik melekat dalam semangat teodisia (ketertujuan). Karena itu, spirit dasarnya merujuk pada situasi batin maupun pikiran yang penuh dengan nuansa ketenangan tanpa konflik dan ketegangan. Ia keliru bila seakan agama lepas dari realitas dunia aktual yang meniscayakan kontaminasi, kontradiksi, dan alienasi di dalamnya. Karena itu, spirit dasar agama juga riuh dengan semangat pembebasan demi ketertujuan itu sendiri.

Namun menurut filsuf idealis Hegel, agama atau iman pada mulanya adalah semesta roh atau spirit yang terbelah, penuh tegangan, oposisi, dan negasi. Bila bertolak dari pengandaian dialektis macam itu barangkali metafora yang identik dengan agama adalah riuh dan mungkin situasi batin yang gaduh, bukan hening, senyap, dan sunyi tadi.

Sejak awal, agama atau iman selalu sudah hadir berhadapan dengan pikiran murni (pure insight), keduanya muncul dari kesadaran murni yang terbelah, meniscayakan kontradiksi dan oposisi (konflik dan ketegangan) baik batiniah maupun di luar yang batiniah. Dalam situasi macam itulah agama yang melekat pada iman sebenarnya memiliki keriuhan sekaligus pergulatan penuh liku dalam realitas dunia aktual.

Bukan hening, melainkan riuh

Bila menengok dalam sejarah atau mitos mengenai munculnya agama-agama di dunia--sejak mitos turunnya Adam ke bumi--pada mulanya agama merupakan suatu realitas dunia aktual yang semula gelisah dengan segala riuh hasrat, perasaan, prasangka, dan habitus lainnya yang saling silang dalam konteks dialektika kebudayaan. Karena itu momen negatifitas adalah titik tolak pergulatan nilai dalam agama dan kebudayaan itu sendiri. Hingga dalam batas tertentu mengalami perkembangan dirinya ke arah yang lebih rasional.

Karena itu, kondisi-kondisi ketegangan alamiah merupakan hal yang niscaya dalam proses pembentukan sejarah kultur dan agama. Proses determinasi berlangsung dalam proses penemuan diri subjek dalam sejarah. Sebab itu, iman merupakan bentuk dari realitas yang selalu terbelah saling beroposisi dengan kesadaran atau pikiran murni yang melekat pada subjek bernama manusia.

Dari situlah titik keterasingan bermula, yang dalam definisi sosiolog Berger, dilihat sebagai momen objektifikasi manusia dari realitas subjektifnya ke dalam realitas objektif, yaitu ke dalam iman atau agama sebagai bagian dari entitas dunia aktual. Dalam tahap atau momen objektifikasi itu manusia terasing dari dunia kesadarannya.

Tahap-tahap objektifikasi dan subjektifikasi itu kemudian saling bermediasi ke dalam momen rekonsiliasi dengan agama mengalami rasionalisasi dirinya dengan unsur-unsur subjektif dalam diri manusia sehingga secara dialektis kebudayaan menghasilkan produk-produk hukum baru dalam setiap tahapnya. Meski tak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap inci dan tahapan momennya selalu ada ketegangan sekaligus kontradiksi di dalamnya.

Keriuhan atau kegaduhan agama juga tecermin ketika ia berdiri dan berelasi dengan realitas dunia aktual yaitu ketika agama atau ajaran keagamaan berhadapan langsung degan dunia material, seperti problem ketidakadilan, kesetaraan, dan problematika lainnya yang bersifat sekuler (duniawi). Sebagaimana muncul dalam 'yang politis' yang problem utamanya selalu berkutat pada persoalan injustice, seperti ketidakbebasan, ketidaksetaraan, dan hilangnya persahabatan, padahal pada mulanya yang politis itu bertolak dari semangat dasar liberty, equality, and fraternity.

Agama dan Teodisia

Tiga problematika itulah yang selalu mengisi keresahan teologis di tengah keheningan agama yang dibayangkan di atas. Karena itu, agama dalam arti tertentu juga memiliki semangat yang utopis yaitu semangat teodisia atau semangat ke-ter-tujuan akan penyelenggaraan yang ilahiah, sebagaimana pernah dimaklumatkan Ernest Bloch, dalam The Prinsiple of Hope.

Semangat ke-ter-tujuan dalam agama itu muncul ketika problem krusial dalam konteks yang politis atau tatanan sosial politik tadi tidak selalu berjalan sempurna sebagaimana dibayangkan pikiran. Karena itu agama memiliki karakter dasar semangat pengharapan akan ke-ter-tujuan manusia pada masa depan dunia kehidupan yang penuh keadilan dan kesetaraan yang bertolak dari keadilan ilahiah. Sebab watak dasar dari realitas atau konsep yang politis di atas itu selalu terbatas.

Dalam konteks ini, agama setidaknya menyelipkan janji kesempurnaan tentang ideal dunia sana yang penuh keadilan, kebebasan, dan semangat persahabatan abadi. Karena bertolak dari keyakinan dasar bahwa problem paling purba, seperti kesenjangan, ketidakbebasan dan masalah injustice lainnya itu akan selalu menjadi problem abadi di dunia ini. Karena itu, agama memberi ruang pengharapan baru dengan menawarkan segala sesuatu yang tidak akan terwujud dan tak terselesaikan di dunia ini, sebagaimana muncul dalam doktrin penebusan dan pembalasan.

Orang miskin, penderita busung lapar, dan manusia lainnya yang tak beruntung di dunia ini, entah karena problem struktural maupun kultural, boleh jadi masih bisa berharap dalam utopianisme angin surga agama yang ditiupkan sebagai pengharapan akan datangnya hari mendatang.

Anggapan itu boleh jadi naif karena menganggap seluruh tatanan kosmisnya memiliki garis atau suratan takdir yang dengan itu seakan masalah di dunia ini mungkin terselesaikan di suatu masa ketika hari penebusan itu datang. Tapi, realitas menunjukkan doktrin pengharapan akan menjadi relevan ketika justru deru kemajuan yang dicapai oleh teknologi kini memperlihatkan problem ketimpangan, manipulasi, dan semakin kontrasnya batas rasionalitas manusia. Dengan seluruh problem eksploitasi, kesenjangan, dan problem injustice lainnya yang hingga kini masih abadi menjadi persoalan dunia pada umumnya. Meski tentu saja dalam arti tertentu agama tidak mengajarkan sikap fatalis pada setiap individu dalam konteks ini.

Doktrin pengharapan itu menjadi satu-satunya tempat berlindung ketika manusia mengalami dan mengenal batas, multiplisitas yang hadir dalam realitas, dan dari ketiadaan harapan akan terpenuhinya janji keadilan di dunia itulah, prinsip pengharapan menjadi semacam keyakinan akan teodisia.

Bayangkan saja bila di dunia ini sekitar 80 juta jiwa dengan seluruh kerja keras dan usahanya masih saja jatuh dalam kemiskinan akut, bahkan sebagian lainnya jatuh dalam kemiskinan yang ekstrem, sebagaimana ditegaskan Jeffrey Sach. Sementara itu, di tempat lainnya, ada sebagian orang yang tidak perlu bekerja keras, namun masih dapat memenuhi kebutuhan bahkan menghamburkannya dalam gelimang kemewahan.

Di mana letak keadilan di sini? Bukankah tatanan sosial politik yang demokratis semula diniatkan untuk merealisasikan cita-cita keadilan, kesetaraan, dan persahabatan. Tapi mengapa keadilan tak kunjung datang bagi mereka yang lemah?

Lalu, mengapa problem ketidakbebasan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan muncul dalam semangat kawan dan lawan, bukan sebaliknya mendasarkan pada semangat fraternity?

Dalam konteks inilah yang politis sebagai tatanan dunia memiliki batas realisasi dirinya. Barang kali dalam konteks inilah agama hadir mengisi kekosongan itu. Meski kadang batas antara yang telos dan yang politis tak pernah tegas karena keduanya tak pernah berdiri di ruang senyap.

Tapi dalam situasi keterbatasan itulah, agama sesungguhnya hadir menjadi semacam katalog dari problematika dunia yang tak terselesaikan sepenuhnya. Karena itu, dalam arti tertentu, semangat pengharapan dalam agama juga menyiratkan semangat pembebasan dalam tradisi agama-agama yang mulanya memang riuh dengan segala gaduh yang diciptakan dunia.

Tuesday, April 15, 2008

Stiglitz Tentang Biaya Perang Irak

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Adalah Joseph E Stiglitz (kelahiran Gary, Indiana, 1943) bersama Linda J Bilmes dalam buku terbarunya, The Three Trillion Dollar War (London: Allen Lane, Maret 2008) yang telah menghitung secara rinci-statistik, biaya yang harus dikeluarkan Amerika untuk Perang Irak. Buku ini saya peroleh melalui kebaikan Dr Rizal Sukma yang menghadiahi saya buku-buku terbitan mutakhir.

Saya sudah sejak dini menamakan petualangan Amerika ini sebagai perang neoimperialisme terhadap bangsa lain, kali ini Afghanistan dan Irak, dua negeri yang tak berdaya. Dengan begitu, pelakunya jelas adalah penjahat perang yang telah melanggar Piagam PBB dan hukum internasional. Semua tuduhan terhadap Saddam Hussein yang menyimpan senjata pemusnah massal dan mempunyai kaitan dengan Alqaidah adalah palsu belaka. Kini Irak sudah babak belur, sementara tentara Amerika telah ribuan pula yang mati, invalid, gila, dan senewen. Mereka yang mengikuti perkembangan terakhir di Irak sangat paham dengan apa yang saya tulis ini. Tetapi, berapa biaya yang telah dan akan menguras pundi-pundi Amerika, maka buku Stiglitz di atas membeberkannya dalam analisis berdasarkan angka-angka. Stiglitz, di samping penulis-penulis lain, seperti Noam Chomsky, telah sejak awal menentang keras invasi terhadap Irak. Tetapi, Bush dan lingkaran neokons Amerika menutup mata dan menulikan telinga terhadap segala kritik rakyatnya sendiri. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, penderitaan dan eksodus rakyat Irak jangan ditanya lagi. Di bawah Saddam mereka menderita, sekarang mereka menderita berlipat ganda. Sebuah negeri yang dulunya punya peradaban tinggi telah dua kali sepanjang sejarahnya harus mengalami pukulan sejarah yang teramat kejam dan berat: pertama, pada 1258 kota Baghdad diluluhlantakkan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan; kedua, perang neoimperialisme yang sudah memasuki tahun keenam sampai detik ini.

Stiglitz mencatat bahwa biaya perang dan rentetan akibatnya yang harus dipikul Amerika, belum Inggris, Itali, dan lain-lain, tidak kurang dari tiga triliun dolar, sebuah angka yang teramat dahsyat dan tidak diperkirakan semula akan setinggi itu. Dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi dunia, menurut Stiglitz, akan menelan biaya dua kali lipat: enam triliun dolar. Bahkan, sampai tahun 2017, pengeluaran pemerintah federal Amerika akan bergerak antara 3,5 triliun dolar AS dan 4,5 triliun dolar AS. Coba konversikan ke rupiah, alangkah ngerinya! Satu triliun sama dengan 1.000 miliar; satu dolar Amerika sama dengan Rp 9.200. Dengan uang sebesar ini, jika dipakai untuk menghalau kemiskinan, tentu seluruh benua Afrika akan tertolong, sekalipun sebagiannya pasti dikorup pula oleh penguasa lokalnya.

Dalam Los Angeles Times (16 Maret), Bilmes dan Stiglitz menulis: "Akhir 2008, pemerintah federal sudah akan mengeluarkan lebih dari 800 miliar dolar AS untuk biaya operasi tempur di Irak dan Afghanistan. Sampai detik ini, sudah lebih dari 1,6 juta tentara [Amerika] yang dikerahkan, juga telah mengganti perangkat keras militer yang sedang digunakan dan yang telah lusuh di Irak, dan sejumlah besar uang untuk pembayaran bunga atas pinjaman luar negeri, untuk membiayai perang."

Kini sudah ada sekitar satu triliun dolar utang luar negeri Amerika pada Arab, Cina, dan negara lainnya. Kata Stiglitz, sebagai negara kaya, bagi Amerika tidak ada masalah dengan utang luar negeri, sebab pasti bisa dibayar. Yang menjadi pertanyaan Stiglitz adalah: "Apa yang telah dapat kita perbuat dengan satu, dua, atau tiga triliun dolar itu? Apa yang harus kita korbankan? Apakah, untuk menggunakan jargon para ekonom, biaya oportunitasnya?" Pemerintah Bush, menurut buku ini, telah memberikan jawaban yang tidak dikemas dengan baik dan tidak realistis. Perkiraan Gedung Putih semula biaya invasi itu hanyalah sekitar 50 miliar sampai 60 miliar dolar AS dan tidak akan menahun begini. Berbeda dengan ekonom yang lain, Stiglitz, pemenang Hadial Nobel ekonomi tahun 2002, kata orang, telah lama meninggalkan menara gadingnya karena langsung terjun ke lapangan untuk memberi pencerahan kepada penguasa dan pendukungnya agar tidak terus bertualang dalam kebiadaban.

Akhirnya, saya berharap agar kelompok-kelompok garis keras mau juga membaca buku ini, karena memang sangat kaya untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam bersikap. Janganlah orang memusuhi semua rakyat Amerika, apalagi membunuhnya. Jika saja yang terbunuh itu seorang Stiglitz yang senang juga tinggal di Bali, misalnya, dunia kemanusiaan tidak saja rugi, tetapi pasti akan meratapinya. Stiglitz telah melawan dengan argumen statistik hegemoni Pemerintah Amerika yang dikuasai kaum neokons selama hampir satu dasawarsa.

Benazir Bhutto tentang Dunia Islam

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Nama lengkapnya, Mohtarma Benazir Bhutto (21 Juni 1953-27 Desember 2007). Dia mati secara tragis pada 27 Desember 2007 saat berkampanye untuk Pakistan People's Party (PPP), partai warisan ayahnya Zulfikar Ali Bhutto, yang digantung Jenderal Zia Ul Haq pada 1979 dengan bermacam tuduhan. Sekiranya ayahnya tidak dibunuh, besar kemungkinan Benazir tidak akan pernah memasuki dunia politik yang sarat dengan ketegangan dan kekejaman itu. Kematian sang ayahlah yang memaksa Benazir untuk tampil, semula dikenal di lingkungan negaranya sendiri, kemudian merangkak menjadi politikus kelas dunia.

Dalam the New Guinness Book Record 1996, Benazir dinobatkan sebagai ''The world most popular politician'' (politikus paling populer dunia). Kepopulerannya melebihi ayahnya. Benazir adalah seorang pembicara yang memukau. Bandingannya untuk Asia Tenggara adalah Anwar Ibrahim, kader dan kemudian menjadi musuh Mahathir.

Kelemahan PPP terletak pada kenyataan bahwa partai ini seperti milik keluarga. Dari Zulfikar Ali Bhutto ke Benazir Bhutto, dan sekarang kepada Bilawal yang masih berusia 19 tahun dan lebih banyak menetap di luar negeri. Yang agak di luar perkiraan saya adalah bahwa Benazir ternyata turut memikirkan masa depan dunia Islam secara serius.

Beberapa penghargaan dari berbagai lembaga dunia bergengsi telah dipasangkan di pundaknya, termasuk beberapa doctor HC. Sebagai figur yang berasal dari keluarga elite Karachi, tidak sulit bagi Benazir untuk belajar di Universitas Harvard dan Oxford, sekalipun tidak sampai ke tingkat PhD.

Benazir adalah perdana menteri perempuan pertama di dunia Islam era modern, sekalipun mayoritas ulama Pakistan masih mengharamkan kepemimpinan perempuan. Siapa pembunuh perempuan yang sebenarnya berbakat ini, belum ada kesimpulan final. Tetapi, sebagai bagian dari filosofi politik kaum fundamentalis yang memandang enteng kematian orang lain dan kematian diri sendiri, tidak mustahil bahwa yang menyudahi nyawa Benazir adalah dari kelompok ini, sebutlah neo-Khawarij, di era kita.

Sebenarnya, kepulangan Benazir ke Pakistan Oktober 2007 adalah atas dorongan Gedung Putih agar mau berunding dengan Presiden Pervez Musharraf, tangan kanan Amerika dalam upaya memerangi terorisme. Saya tidak tahu mengapa Amerika berinisiatif untuk itu, tetapi jelas untuk kepentingan politik global negara adikuasa ini. Belum ada kesepakatan apa-apa dengan Musharraf, Benazir telah bersimbah darah, sebuah fakta yang sebenarnya tidak asing dalam perpolitikan Pakistan. Selama Benazir menjabat perdana menteri dalam dua periode, tantangan yang dihadapinya sungguh dahsyat. Pakistan, sekalipun punya bom nuklir, dikenal sebagai sebuah bangsa yang terpecah secara politik dan rentan secara etnik. Itulah sebabnya dalam Resonansi beberapa bulan yang lalu, saya katakan bahwa Islam di sana belum dijadikan acuan utama dalam cara berbangsa dan bernegara, sebagaimana juga terlihat di seluruh negeri Muslim.

Terlepas dari itu semua, Benazir adalah seorang penulis prolifik. Karya barunya, Islam, Democracy, and the West, New York: HarperCollins, 2008, terbit setelah penulisnya wafat. Saya belum baca buku ini, tetapi baru mengikutinya dari resensi Fareed Zakaria dalam harian The New York Times, 6 April 2008. Inilah catatan Fareed:

Ditulis saat ia sedang bersiap-siap untuk kembali ke kehidupan politik. Ini adalah sebuah buku tentang kecerdasan yang hebat, keberanian, dan kejernihan. Ia mengandung tulisan terbaik dan interpretasi modern yang sangat persuasif tentang Islam yang telah saya baca. Tentu saja, bagian yang membuat buku ini dihormati adalah identitas pengarangnya.

Tentang situasi kontemporer dunia Islam yang ringkih ini, Benazir menulis: ''Lebih mudah menyalahkan pihak lain daripada kita sendiri yang menerima tanggung jawab. Satu miliar umat Islam di seluruh dunia tampak bersatu dalam kemarahan mereka terhadap perang di Irak, tetapi ada suasana diam yang mematikan manakala dihadapkan kepada kekerasan Muslim terhadap Muslim. Bahkan mengenai Darfur, di mana berlaku pemusnahan terhadap sebuah populasi Muslim, justru tidak ada protes yang menarik perhatian.''

Kritiknya terhadap Amerika terutama karena negara inilah yang bertanggung jawab bagi munculnya kediktatoran di Pakistan sambil menghancurkan demokrasi di sana. Padahal menurut Benazir, sistem demokrasilah yang bisa menyelamatkan Pakistan dari keadaan yang penuh bahaya. Sebagai anak Timur dan Barat, Fareed menyimpulkan tentang Benazir: ''She is imbued with rationalism, tolerance, and progressivism'' (Ia diilhami oleh rasionalisme, toleransi, dan progresivisme).

Akhirnya, di mata seorang fundamentalis, Benazir adalah sekuler dan pro-Barat. Oleh sebab itu, darahnya menjadi halal. Bagi saya, dengan segala kelemahan dan kekurangannya, kemunculan Benazir dan PPP di panggung politik Pakistan adalah bukti bahwa fatwa ulama mengenai haramnya kepemimpinan perempuan telah semakin kehilangan otoritas. Oleh sebab itu, perlu diadakan kajian mendalam tentang masalah gender ini, agar perempuan tidak lagi diperlakukan sebagai konco wingking. Dunia telah berubah!

Lorong Gelap Dunia Wilders

Oleh : Haedar Nashir

Geert Wilders bukan hanya pongah dan naif. Politikus ultrakanan Belanda itu sungguh telah menyemburkan atmosfir kebencian terhadap 1,3 miliar umat Islam sedunia. Ini terkait film Fitna yang diproduksinya telah memfitnah Alquran sebagai kitab fasis sebanding Mein Kampt-nya Hitler, seraya menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai barbar.

Banyak pihak yang juga dibuat tidak nyaman dengan karya provokatif Wilders yang bombastis itu. Siapa yang sebenarnya fasis dan barbar? Boleh jadi, Wilders-lah sang fasis dan barbar itu. Karena, sedemikian vulgar mengekspresikan kebencian terhadap Islam, nyaris tanpa keadaban.

Bagaimana mungkin di sebuah zaman modern ketika nilai-nilai penghormatan terhadap keyakinan siapa pun sangat dijunjung tinggi, malah lahir pikiran naif penuh kebencian sebagaimana diperagakan Wilders? Dengan jaminan kebebasan yang liar, tidak mengherankan jika pemerintah di negeri-negeri yang mengaku berperadaban modern itu selalu berkelit ketika dituntut untuk bertindak tegas. Sikap Pemerintah Belanda adalah salah satu contohnya.

Negeri Kincir Angin itu mengkritik dan tidak setuju dengan perbuatan Wilders, tetapi tidak dapat menindak karena dijamin oleh undang-undang. Demi dan atas nama kebebasan setiap pernyataan dan ekspresi warga negara diperbolehkan dan dijamin konstitusi.

Itulah hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh direnggut siapa pun, termasuk oleh negara. Itulah alam pikiran liberalisme Barat yang naif, yang telah mendarah daging menjadi world view atau pandangan hidup yang kokoh. Suatu paham yang mendewakan kebebasan absolut tanpa batas.

Namun, liberalisme absolut itu dalam praktiknya memiliki banyak ironi. Menjamin orang untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, tetapi tidak pernah mau menjamin, apalagi menindak kesewenang-wenangan atas nama kebebasan yang sesungguhnya merugikan pihak lain. Jika penghinaan, pelecehan, dan penistaan terhadap agama apa pun dan umat beragama mana pun dibiarkan atas nama kebebasan, lantas di mana perlindungan terhadap kebebasan orang lain. Jika umat Islam, misalnya, ingin agama dan kegiatan keagamaannya dijamin hak-haknya oleh prinsip kebebasan tanpa cercaan, hinaan, dan penistaan, di mana letak perlindungan oleh prinsip liberalisme?

Jadi dogma
Liberalisme naif lantas menjadi dogma, bahkan doktrin yang membiarkan anarkisme. John Stuart Mill lewat karya monumentalnya On Liberty memang mengakui kebebasan yang bertanggung jawab. Tapi, filsuf positivisme ini pun tak menghendaki negara membatasi kebebasan warganya, lebih-lebih merenggut kebahagiaan individu.

Orang lantas berhak sewenang-wenang atas nama kebebasan, sedangkan negara tak mampu menghukumnya karena akan bertentangan dengan asas kebebasan itu sendiri. Di sinilah blundernya liberalisme naif, hingga terseret ke lorong gelap dan buntu.

Hingga di sini, liberalisme juga menjelma menjadi dogma baru yang tak kalah doktrinalnya ketimbang agama zaman pertengahan di negeri Barat. Paham ini sangat sensitif terhadap pembelengguan, tetapi membiarkan orang menista.

Paham ini sangat alergi terhadap setiap pikiran dan keyakinan yang absolut, tetapi menjadikan dirinya memiliki hukum besi absolutisme. Paham yang naif ini sangat menjunjung tinggi kenisbian, tetapi memfosilkan dirinya menjadi sebuah sistem yang serba pasti dan tidak mau menjadi nisbi.

Anehnya, kaum liberalis naif sering kali sensitif terhadap dogma dan doktrin agama, seraya melupakan dirinya telah memfosil menjadi super-dogma. Liberalisme naif takut terhadap dogma dan doktrin agama yang bersifat absolut, tetapi dirinya menjelma menjadi dogma dan doktrin baru yang tidak kalah absolutnya.

Anti dan takut terhadap agama, tetapi menjadikan dirinya melampaui dogma agama. Takut dan anti terhadap Tuhan yang dibawa oleh misi setiap agama, tetapi menjadikan liberalisme sebagai paham absolut yang menjelma menjadi tuhan buatan mereka sendiri. Berontak terhadap setiap bentuk kebenaran absolut, tetapi menjadikan dirinya sangkar besi kebenaran absolut yang sangat pongah.

Standar ganda
Kenyinyiran liberalisme naif juga terjadi dalam menyikapi kebebasan. Gemar tebang pilih. Ketika kaum muslimah di negeri-negeri Eropa, seperti di Inggris dan Prancis, ingin mengekspresikan kebebasan beragama dengan memakai jilbab, justru dilarang dan tidak memperoleh ruang publik.

Padahal, kaum muslim itu tidak memaksakan agamanya untuk orang lain, sebatas untuk dirinya sesuai ajaran agama yang semestinya diberi hak hidup, sebagaimana layaknya di negeri-negeri liberal dan berperadaban mulia. Kebebasan tidak berlaku untuk semua orang. Para tokoh Islam menunjuk sebagai standar ganda liberalisme Barat. Kebebasan hanya berlaku bagi kaumnya, tidak berlaku bagi yang lain.

Kita tidak tahu persis kapan lorong gelap liberalisme naif itu akan berakhir. Ketika liberalisme seharusnya memberi kebebasan pada setiap individu, dalam praktiknya banyak individu yang dimatikan haknya. Mana kala liberalisme seharusnya menjunjung tinggi kebenaran yang terentang panjang dan serba melampaui, dikerangkengnya hanya berlaku untuk alam pikiran produk peradabannya sendiri, seolah memelihara benteng chauvinisme sejarah dan budaya lapuk. Di saat penghormatan akan pluralisme beragama dan menganut ajaran agama seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia yang menganut paham kebebasan, justru yang terjadi membiarkan pelecehan, penistaan, dan fitnah terhadap mereka yang ingin beragama sesuai pilihannya.

Liberalisme naif (radikal) bahkan melahirkan nihilisme. Ludwig Feuerbach menihilkan tuhan sekadar konstruksi manusia yang bingung dan ilusionis. Sedangkan, Friedrich Nietzsche dengan pongahnya meneriakkan, "tuhan telah mati."

Jangan-jangan, para pengusung liberalisme naif itu juga memproduksi nihilisme baru atas nama kebebasan yang dilindungi negara. Seraya menuhankan kebebasan yang diyakininya, mereka juga menistakan kebebasan umat beragama. Persis ketika kaum Jahiliyah mereaksi dan menolak risalah Nabi Muhammad yang membawa agama monoteisme (Islam) sebagaimana Ibrahim. Karena, mereka harus melindungi 'arbab' atau tuhan-tuhan bikinan mereka sendiri, yakni Latta dan Uzza.

Alternatif
Karena itu, liberalisme naif ala Wilders harus dijawab dengan tegas, tetapi cerdas. Sikap fasis dan barbar tak perlu direspon dengan tindakan serupa. Jangan mengikuti arus trauma Barat ke hulu dan hilir yang sebaliknya. Bahwa liberalisme naif yang membawa gelombang absolutisme yang mendewakan humanisme antroposentrisme sekuler dijawab dengan antitesis teosentrisme Islam yang serba absolut dan monolitik, baik di dunia pemikiran keagamaan hingga ke tawaran-tawaran ideologi politik Islam yang sama bercorak teosentris dan monolitik. Kebencian dilawan amarah. Liberalisme naif dijawab dengan agama monolitik. Nanti, Islam menjadi sama kerdil dan ekstremnya.

Islam di abad modern dan sarat pertaruhan yang keras sekarang ini tidak boleh kehilangan jangkar keseimbangannya, yang terbukti mampu menghadirkan peradaban alternatif sejak Nabi Muhammad hingga era kejayaan Islam di abad yang lampau. Berikan jawaban alternatif dengan format Islam dan peradaban umat Islam yang puncak menaranya lurus menjulang ke langit dalam ikatan hablu min Allah (teosentrisme tauhid) kokoh, sementara akarnya menancap ke bumi yang nyata dalam rajutan hablu min al-nas (humanisme antroposentrisme profetik) yang mencerahkan dan menyebarkan rahmatan lil-'alamin.

Ghirah keberagamaan boleh membara, tetapi orang Islam jangan sampai mengikuti lorong gelap dunia Wilders dan kaum liberalis naif di negeri Barat, dengan lari ke jurusan lain yang sama gelapnya dan kemudian memfosil.

Saturday, April 12, 2008

Stiglitz Tentang Biaya Perang Irak

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Adalah Joseph E Stiglitz (kelahiran Gary, Indiana, 1943) bersama Linda J Bilmes dalam buku terbarunya, The Three Trillion Dollar War (London: Allen Lane, Maret 2008) yang telah menghitung secara rinci-statistik, biaya yang harus dikeluarkan Amerika untuk Perang Irak. Buku ini saya peroleh melalui kebaikan Dr Rizal Sukma yang menghadiahi saya buku-buku terbitan mutakhir.

Saya sudah sejak dini menamakan petualangan Amerika ini sebagai perang neoimperialisme terhadap bangsa lain, kali ini Afghanistan dan Irak, dua negeri yang tak berdaya. Dengan begitu, pelakunya jelas adalah penjahat perang yang telah melanggar Piagam PBB dan hukum internasional. Semua tuduhan terhadap Saddam Hussein yang menyimpan senjata pemusnah massal dan mempunyai kaitan dengan Alqaidah adalah palsu belaka. Kini Irak sudah babak belur, sementara tentara Amerika telah ribuan pula yang mati, invalid, gila, dan senewen. Mereka yang mengikuti perkembangan terakhir di Irak sangat paham dengan apa yang saya tulis ini. Tetapi, berapa biaya yang telah dan akan menguras pundi-pundi Amerika, maka buku Stiglitz di atas membeberkannya dalam analisis berdasarkan angka-angka. Stiglitz, di samping penulis-penulis lain, seperti Noam Chomsky, telah sejak awal menentang keras invasi terhadap Irak. Tetapi, Bush dan lingkaran neokons Amerika menutup mata dan menulikan telinga terhadap segala kritik rakyatnya sendiri. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, penderitaan dan eksodus rakyat Irak jangan ditanya lagi. Di bawah Saddam mereka menderita, sekarang mereka menderita berlipat ganda. Sebuah negeri yang dulunya punya peradaban tinggi telah dua kali sepanjang sejarahnya harus mengalami pukulan sejarah yang teramat kejam dan berat: pertama, pada 1258 kota Baghdad diluluhlantakkan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan; kedua, perang neoimperialisme yang sudah memasuki tahun keenam sampai detik ini.

Stiglitz mencatat bahwa biaya perang dan rentetan akibatnya yang harus dipikul Amerika, belum Inggris, Itali, dan lain-lain, tidak kurang dari tiga triliun dolar, sebuah angka yang teramat dahsyat dan tidak diperkirakan semula akan setinggi itu. Dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi dunia, menurut Stiglitz, akan menelan biaya dua kali lipat: enam triliun dolar. Bahkan, sampai tahun 2017, pengeluaran pemerintah federal Amerika akan bergerak antara 3,5 triliun dolar AS dan 4,5 triliun dolar AS. Coba konversikan ke rupiah, alangkah ngerinya! Satu triliun sama dengan 1.000 miliar; satu dolar Amerika sama dengan Rp 9.200. Dengan uang sebesar ini, jika dipakai untuk menghalau kemiskinan, tentu seluruh benua Afrika akan tertolong, sekalipun sebagiannya pasti dikorup pula oleh penguasa lokalnya.

Dalam Los Angeles Times (16 Maret), Bilmes dan Stiglitz menulis: "Akhir 2008, pemerintah federal sudah akan mengeluarkan lebih dari 800 miliar dolar AS untuk biaya operasi tempur di Irak dan Afghanistan. Sampai detik ini, sudah lebih dari 1,6 juta tentara [Amerika] yang dikerahkan, juga telah mengganti perangkat keras militer yang sedang digunakan dan yang telah lusuh di Irak, dan sejumlah besar uang untuk pembayaran bunga atas pinjaman luar negeri, untuk membiayai perang."

Kini sudah ada sekitar satu triliun dolar utang luar negeri Amerika pada Arab, Cina, dan negara lainnya. Kata Stiglitz, sebagai negara kaya, bagi Amerika tidak ada masalah dengan utang luar negeri, sebab pasti bisa dibayar. Yang menjadi pertanyaan Stiglitz adalah: "Apa yang telah dapat kita perbuat dengan satu, dua, atau tiga triliun dolar itu? Apa yang harus kita korbankan? Apakah, untuk menggunakan jargon para ekonom, biaya oportunitasnya?" Pemerintah Bush, menurut buku ini, telah memberikan jawaban yang tidak dikemas dengan baik dan tidak realistis. Perkiraan Gedung Putih semula biaya invasi itu hanyalah sekitar 50 miliar sampai 60 miliar dolar AS dan tidak akan menahun begini. Berbeda dengan ekonom yang lain, Stiglitz, pemenang Hadial Nobel ekonomi tahun 2002, kata orang, telah lama meninggalkan menara gadingnya karena langsung terjun ke lapangan untuk memberi pencerahan kepada penguasa dan pendukungnya agar tidak terus bertualang dalam kebiadaban.

Akhirnya, saya berharap agar kelompok-kelompok garis keras mau juga membaca buku ini, karena memang sangat kaya untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam bersikap. Janganlah orang memusuhi semua rakyat Amerika, apalagi membunuhnya. Jika saja yang terbunuh itu seorang Stiglitz yang senang juga tinggal di Bali, misalnya, dunia kemanusiaan tidak saja rugi, tetapi pasti akan meratapinya. Stiglitz telah melawan dengan argumen statistik hegemoni Pemerintah Amerika yang dikuasai kaum neokons selama hampir satu dasawarsa.

Talibanisasi Asia Tenggara

Oleh : Azyumardi Azra

Ini adalah judul buku paling baru Bilveer Singh, guru besar madya ilmu politik di Universitas Nasional, yang pernah menulis karya tentang Presiden BJ Habibie. Judul lengkapnya, The Talibanization of Southeast Asia: Losing the War on Terror to Islamist Extremists (Westport, Conn & London: Praeger, 2007).

Judul buku ini dan substansinya bisa menyesatkan; karena pengarangnya menggunakan kacamata kuda dan bahkan kaca pembesar, yang membuat hal kecil menjadi sangat besar. Dengan kacamata kuda, Singh melihat gejala ekstremisme secara satu arah, tanpa mengkaji dan memperhitungkan berbagai faktor, yang memengaruhi meningkatnya gejala ekstremisme keagamaan dan yang mencegahnya.

Ketika ada orang lain mengingatkan bahaya simplifikasi, Singh menolak. Dia menulis: While leading Indonesian scholars such as Professor Azyumardi Azra remained in denial, arguing that 'there is very limited room for radical discourses and movements in Southeast Asia in general. It is therefore simply wrong to assert that Muslim radicalism in the Middle East will find a fertile ground in Southeast Asia', unfortunately, the reality is just reverse.

Lebih jauh Singh menulis: Pockets of radicalism are already deeply entrenched in the region, especially in Indonesia. Even Professor Azyumardi Azra has observed that 'there can be little doubt that the September 11, 2001 tragedy did radicalise certain individuals and groups in among Muslims in Southeast Asia, particularly in Indonesia (halaman 147).

Tidak ada penolakan (denial), bahwa radikalisme di kalangan individual dan kelompok Muslim meningkat berikutan Peristiwa 11 September 2001. Kaum Muslimin di Indonesia mengutuk peristiwa itu. Tetapi, ketika Presiden George W Bush menggempur Afghanistan, maka kemarahan dan radikalisasi meletup di segelintir Muslim, yang memang memendam kemarahan terhadap kebijakan AS yang tidak adil di Palestina, misalnya. Apalagi kemudian Bush menyatakan war on terror, yang pada dasarnya tertuju kepada individu dan kelompok Muslim yang dicurigai terlibat 'jaringan teror'.

Tanpa harus melakukan riset serius, dapat terlihat radikalisasi bukanlah gejala umum dalam masyarakat Muslim Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Bahkan, mengatakan kantong radikalisme 'tertanam begitu dalam' (deeply entrenched) di kawasan [Asia Tenggara], khususnya di Indonesia, jelas merupakan simplifikasi yang menghasilkan distorsi dan mispersepsi menyesatkan.

Simak kembali kutipan Singh; As the Muslims have historically been weakened in the last few centuries, many have sought to regain strength by reinvigorating Islam from within, a process referred to as tajdid and islah, meaning renewal and reform, respectively. This can be undertaken both peacefully and by force. One of the most important renewal movements in Islam is the Salafi movement, closely identified with Wahhabi Islam. Professor Azyumardi distinguishes two types of salafi movements. "Classical Salafiyyah" is seen as peaceful, while "neo-Salafiyyah" is viewed as being radical in nature. Increasingly, in Indonesia, the neo-salafiyyah have gained ground, and this largely explains the trend toward Talibanization in the country (halaman 147-148).

Meski kategorisasi tersebut berasal dari saya, tetapi jelas pernyataan bahwa Salafiyyah klasik umumnya damai dan sebaliknya neo-Salafiyyah adalah radikal. merupakan interpretasi Singh sendiri. Karena, gerakan Wahabiyah di Arab Saudi pada akhir abad ke-18 atau Gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke-19 yang termasuk ke dalam Salafiyyah klasik, jelas radikal. Sebaliknya, juga terdapat gerakan neo-Salafiyyah yang bersifat damai, atau tepatnya pemurnian keagamaan. Sekali lagi, pemikiran dan gerakan Salafiyyah sangat kompleks dan karena itu orang tidak dapat secara gegabah menyederhanakannya.

Singh jelas bukan seorang ahli tentang Islam, baik Islam di Indonesia maupun dalam konteks perbandingan dengan Islam di Timur Tengah atau tempat lain di muka bumi. Karena itu, tidak mengherankan, dia tidak memahami sejarah, dinamika dan kompleksitas Islam dan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.

Walhasil, buku ini, merupakan karya tipikal dalam security studies, yang cenderung menyodorkan apa yang saya sebut sebagai exaggerated fear, ketakutan yang berlebihan dan dibesar-besarkan. Menyebut adanya 'Talibanisasi' di Asia Tenggara, jelas termasuk ke dalam bentuk exaggerated fear tersebut. Islam di Asia Tenggara, dengan karakter keagamaan, akar historis, lingkungan sosio-kultural dan politiknya yang khas, bukanlah lahan subur bagi Talibanisasi. Karena itu, apa yang disebut 'Talibanisasi' tak lebih dari distorsi dan mispersepsi belaka.

ASAl USUL::Asal Mula Kemunculan Aliran-Aliran dalam Islam (3)

Bagian 3

Halaman sebelumnya Nah sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash untuk mengadakan arbitrase inilah yang memunculkan polemik pro kontra berkepanjangan di barisan pendukung Ali sendiri. Sebagian mereka berpendapat bahwa hal seperti itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Mereka berargumen La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah). Bahkan mereka memandang bahwa Ali telah melakukan kesalahan fatal, oleh karenanya mereka meninggalkan barisannya. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders dari Ali.

Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ia pun menghadapi dua musuh: Muawiyah dan Khawarij. Mulanya Ali berkonsentrasi untuk menghancurkan Khawarij, tetapi setelah mereka kalah, tentara Ali kelabakan meneruskan pertempuran dengan Muawiyah. Muawiyah tetap berkuasa di Damaskus. Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat Muawiyah dengan mudah memperoleh pengakuan sebagai Khalifah pada tahun 661M dan mendirikan Dinasti Umayah.

Dari persoalan-persoalan politik di atas akhirnya beranjak membawa kepada muculnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang tetap dalam Islam dan siapa yang sudah keluar dari Islam.

Pada aras selanjutnya Khawarij pun pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.

Persoalan berbuat dosa inilah yang kemudian turut andil besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya. Paling tidak ada tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau murtad, oleh karenanya wajib dibunuh.

Kedua, aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin, bukan kafir. Soal dosa yang dilakukannya, diserahkan pada Allah untuk mengampuni atau tidak.

Ketiga, aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.

Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.

Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.

Dalam perkembangannya aliran Asy’ariah dan Maturidiah inilah yang kemudian menjelma menjadi paham Ahl Sunnah wa al-Jama’ah sebagaimana banyak dianut muslim Nusantara.

ASAl USUL::Asal Mula Kemunculan Aliran-Aliran dalam Islam (2)

Bagian 2

Halaman sebelumnya Berbeda dengan Muhammad, Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Keluarganya banyak dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman bisnis mereka, mempunyai pengetahuan administrasi kepemimpinan. Pengalaman mereka inilah yang dimanfaatkan dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia masuk ke dalam kekuasaan Islam.

Pakar sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Usman pun mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Bahkan gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar Ibn al-Khattab, dilengserkan oleh Usman.

Sepak terjang politik yang syarat nepotisme inilah memicu reaksi yang tak menguntungkan bagi Usman sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang semula mendukungnya, mulai meninggalkan Khalifah ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi Khalifah mulai memanfaatkan momentum. Perasaan tak senang pun muncul di daerah-daerah, termasuk dari Mesir yang meletup pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini.

Usman pun wafat. Ali, sebagai calon terkuat, menjadi Khalifah keempat. Sebagai pengganti baru, jalan Ali sebagai Khalifah tak selempang yang diduga. Segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah, terutama Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari Aisyah. Tantangan dari ketiga orang ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran di Irak tahun 656 M. Thalhah dan Zubair mati terbunuh, Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.

Tantangan ke dua datang dari Muawiyah, Gubernur Damaskus, keluarga dekat Usman. Muawiyah pun tak mau mengakui Ali sebagai Khalifah. Ia menuntut Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu.

Pada rentang berikutnya kedua kelompok ini terlibat pertempuran di Siffin, tentara Ali dapat mendesak Muawiyah. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, Amr Ibn Ash yang terkenal licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas kepala. Qurra’ (para sahabat penghapal al-Qur’an yang ada di pihak Ali mendesak Ali agar menerima tawaran itu.Selanjutnya dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase yaitu dengan hakim.

Sebagai penengah diangkat dua orang: Amr Ibn Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-‘Asy’ari untuk Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan keimanan Abu Musa. Keduanya bermufakat untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Muawiyah.

Peristiwa ini merugikan Ali sekaligus menguntungkan Mu’awiyah. Dengan adanya arbitrase itu Muawiyah, yang tadinya Gubernur Daerah, naik menjadi Khalifah tak resmi. Jelas keputusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, hingga akhirnta ia mati terbunuh pada tahun 661 M.

Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah

ASAl USUL::Asal Mula Kemunculan Aliran-Aliran dalam Islam (1)

Bagian 1

Oleh Ahmad Nurcholish

Sebagian besar umat Islam mafhum bahwa munculnya aliran-aliran dalam Islam bermula dari perselisihan masalah politik kepemimpinan pasca sepeninggal Nabi Muhammad. Tetapi tidak sedikit yang belum mengetahui secara terperinci kronologis timbulnya berbagai aliran tersebut hingga dewasa ini. Dari persoalan politik itulah kemudian bermuara menjadi persoalan teologi yang kemudian berkembang menjadi banyak aliran dalam Islam.

Ketika Nabi Muhammad mulai menyiarkan ajaran Islam di Mekkah, kota ini memiliki sistim kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Kota ini juga menjadi kawasan perdagangan sekaligus daerah transit bisnis dari seluruh semenanjung Arabia.

Mekkah pun menjadi kaya. Perdagangan di kota ini dipegang oleh suku Quraisy yang terkenal kaya sekaligus berpengaruh dalam lingkaran pemerintahan Mekkah. Pemerintahan dijalankan melalui Majelis suku-bangsa yang anggotanya terdiri dari kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.

Nabi Muhammad, karena bukan termasuk golongan orang-orang berada, mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Muhammad pun bersama pengikut-pengikutnya terpaksa meninggalkan Mekkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib pada tahun 622 M. kota Yatsrib inilah kemudian oleh Muhammad diganti nama menjadi Madinah al-Nabi, atau lebih dikenal dengan sebutan Madinah yang mempunyai makna “kota yang berperadaban.”

Berbeda ketika masih di Mekkah, Nabi Muhammad hanya menjadi kepala agama. Setelah di Madinah beliau memegang fungsi ganda: sebagai kepala agama, pemimpin spiritual, sekaligus kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini. Sebelumnya Madinah tak ada kekuasaan politik.

Sepuluh tahun setelah Nabi Muhammad tinggal di Madinah beliau pun wafat. Tepatnya pada tahun 632 M. ketika itu daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh W.M. Watt (1961:222/3), sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah, juga Mekkah sebagai intinya.

Kekhalifahan Sepeninggal Nabi Muhammad

Sepeninggal Nabi Muhammad inilah timbul persoalan di Madinah. Siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah kemudian timbul soal khalifah, soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul, tentu beliau tak dapat digantikan. Sebab keyakinan umum umat Islam Nabi Muhammad adalah khatam al-anbiya’, nabi penutup/ terakhir.

Sejarah sebagaimana dicatat oleh Harun Nasution (1986:3) meriwayatkan bahwa Abu Bakr-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu menjadi pengganti (khalifah) Nabi dalam mengepalai negara Madinah. Selanjutnya Abu Bakr digantikan oleh Umar Ibn al-Khattab dan Umat digantikan oleh Usman Ibn Affan.

Tuesday, April 8, 2008

PENGHINAAN AGAMA


Tunggu Langkah Konkret Pemerintah Belanda

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam (kiri) didampingi Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (tengah) dan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid berdialog soal film Fitna dengan ormas-ormas Islam dan duta besar dari negara-negara Islam untuk Indonesia di Kantor PP Muhammadiyah, Senin (7/4).

Selasa, 8 April 2008 | 00:48 WIB

Jakarta, Kompas - Ormas Islam di Indonesia masih menanti langkah konkret Pemerintah Belanda terhadap pembuat film anti-Islam, Fitna, Geert Wilders. Apalagi, langkah yang dilakukan Wilders sudah merugikan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat Belanda serta membahayakan bagi perdamaian dunia Islam dan Barat.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin kepada Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam yang hadir dalam dialog dengan pimpinan ormas Islam dan duta besar negara-negara Islam di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah di Jakarta, Senin (7/4). Dubes yang hadir antara lain Sayed Taha Assyayed (Mesir), Aydin Evirgan (Turki), dan Mohammad Abdurrahman Alkhayath (Arab Saudi).

”Pemerintah Belanda tidak cukup mengeluarkan rasa penyesalan dan ketidaksetujuan. Harus ada langkah konkret,” ujar Din.

Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, Belanda sudah menanggung kerugian akibat langkah Wilders yang tidak bertanggung jawab. ”Demi kemaslahatan pemerintah dan masyarakat Belanda sendiri, sebaiknya Pemerintah Belanda bisa membuktikan secara hukum bahwa Wilders sudah bersalah karena menghina Islam dan merugikan negara Belanda,” ujarnya.

Sebelumnya, Nikolaos mengatakan, pandangan Wilders tentang Islam melalui film Fitna itu tidak mencerminkan pandangan dan kebijakan Pemerintah Belanda. Bahkan, Pemerintah Belanda dengan tegas menolak film itu karena sifatnya yang menggeneralisasikan dengan cara yang menyakitkan serta menimbulkan dampak memecah belah.

”Kita sebenarnya berada pada pihak yang sama dalam menyikapi film itu. Islam tidak boleh diidentikkan dengan tindakan kekejaman dan kekerasan. Kami menyesal bahwa Wilders telah meluncurkan film ini,” ujarnya.

Menurut Nikolaos, film Fitna itu tidak ada manfaatnya kecuali untuk menyinggung perasaan.

”Pemerintah Belanda merasa terdukung dengan reaksi awal yang begitu terkendali, baik dari organisasi Islam di Belanda maupun mayoritas organisasi Islam di Indonesia,” ujarnya. (MAM)

Politik Pangan NABI Yusuf

Politik Pangan Yusuf

Yonky Karman

Alkisah, firaun bermimpi. Ia sedang berdiri di tepi Sungai Nil, sungai terpanjang kedua di dunia. Tiba-tiba muncul tujuh sapi gemuk dari dalam sungai dan memakan rumput di tepinya. Lalu, muncul tujuh sapi kurus dan memakan sapi-sapi gemuk itu.

Kemudian, ia bermimpi lagi. Tujuh bulir gandum yang kering menelan tujuh bulir gandum yang berisi. Ketika terjaga, raja Mesir itu gelisah. Bukan mimpi biasa. Semua orang pintar dipanggil untuk memberi tafsir mimpi. Namun, tak satu pun mampu.

Jika pengetahuan adalah kekuasaan, kegagalan orang pintar di istana pertanda melemahnya pamor penguasa. Ketika statistik dan institusi resmi tidak mampu mengantisipasi datangnya krisis pangan, mimpi menerobos birokrasi istana. Ketika bawahan selalu datang membawa laporan asal raja senang, mimpi adalah peringatan dari atas. Penguasa segala penguasa mengingatkan datangnya bencana.

Politik antisipasi

Ketika istana tak berdaya, seorang pegawai teringat pengalamannya saat di penjara. Seorang pemuda, sesama tahanan, mampu menafsir mimpinya. Namanya direkomendasikan. firaun setuju. Dan, Yusuf dikeluarkan dari penjara. Ia menjelaskan, Allah sedang memberi isyarat untuk sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat.

Tujuh sapi gemuk dan tujuh bulir gandum yang berisi melambangkan tujuh tahun kemakmuran di seluruh Mesir. Tujuh sapi kurus dan tujuh bulir gandum yang kurus melambangkan tujuh tahun paceklik setelah masa kemakmuran. Tafsir mimpi itu melawan alam Mesir. Sungai Nil tiap tahun membanjiri tepinya sehingga tanah di sekitarnya berlumpur dan subur untuk ditanami. Nil adalah simbol kesuburan Mesir.

Tidak hanya tafsir, Yusuf juga memberi solusi. Untuk mengantisipasi krisis pangan, harus segera dipilih seorang yang cerdas dan bijaksana. Ia diberi wewenang luas untuk menjamin ketersediaan pangan. Juga harus ada pegawai-pegawai untuk mengumpulkan seperlima dari kelebihan panen gandum selama tujuh tahun kemakmuran untuk memperkuat stok pangan nasional.

Ternyata firaun berkenan dengan tafsir mimpi itu. Ia langsung menunjuk Yusuf sebagai orang kedua di negeri adidaya itu dengan tugas khusus mengamankan stok pangan nasional. Usianya baru 30 tahun, tetapi sosoknya dipandang cerdas dan bijaksana. Segera Yusuf mengelilingi negeri. Ladang-ladang didorong meningkatkan produksinya selama tujuh tahun kemakmuran.

Negara membeli surplus gandum untuk meningkatkan stok nasional guna mengantisipasi tujuh tahun paceklik. Surplus produksi di daerah sekitar kota dikumpulkan dan disimpan di kota itu. Maka, banyak (kota) sentra stok pangan tersebar di seluruh negeri guna memperpendek jalur distribusi. Orang lapar akan segera mati jika tidak segera mendapat bantuan makanan. Sentra-sentra stok pangan dijaga ketat agar tidak dicuri atau dijarah. Akhirnya, Mesir selamat dari kelaparan, bahkan mampu menolong negeri lain.

Batu uji politik

Politik pangan adalah batu uji keberhasilan penguasa. Jaminan ketersediaan murah erat hubungannya dengan stabilitas politik. Penguasa bijak menjadikan masalah pangan sebagai prioritas. Maka, negara maju memberi subsidi kepada petani dan menjamin pembelian hasil tani dengan harga pantas.

Dunia tengah memasuki krisis pangan global. Tidak perlu isyarat mimpi lagi. Masa-masa kemakmuran hampir berakhir. Ketika negara-negara berkembang dan miskin berkonsentrasi menangani kemiskinan dalam kerangka Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) untuk tahun 2015, kelaparan dan malnutrisi yang terlupakan dari MDGs kini menyergap.

Secara keseluruhan harga-harga komoditas pangan naik 75 persen, kian tak terjangkau rakyat miskin. Menurut laporan yang dipublikasikan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Februari lalu, Indonesia merupakan salah satu dari 36 negara yang mengalami krisis pangan. Korban krisis pangan berjatuhan di Indonesia. Kualitas makanan untuk rakyat kecil menurun.

Negara-negara produsen utama beras mulai menghentikan ekspor. Surplus untuk meningkatkan stok nasional masing-masing dan menekan laju inflasi di dalam negeri.

Daripada untuk mengimpor beras, cadangan devisa yang ada sebaiknya digunakan untuk mengoptimalkan potensi pertanian rakyat, memberantas penyelundupan pupuk bersubsidi, mencegah lahan pertanian beralih fungsi, meningkatkan harga gabah di tingkat petani, menyejahterakan petani, dan meningkatkan kualitas beras untuk orang miskin.

India yang jumlah penduduknya melebih Indonesia selama 10 tahun terakhir bisa untuk tidak mengimpor beras. Negara yang produk domestik brutonya di bawah Indonesia dan penduduknya empat kali lebih banyak ini tidak termasuk sembilan negara di Asia yang mengalami krisis pangan. India sempat mengenakan bea masuk beras hingga 70 persen dan baru kini menurunkan bea masuk beras menjadi nol persen.

Sebagai salah satu negara yang populasinya besar dengan beras sebagai bahan makanan pokok, daulat pangan tidak boleh ditawar-tawar. Krisis pangan global bisa menjadi momentum pemerintah untuk mengubah posisi Indonesia dari salah satu importir beras terbesar menjadi swasembada. Stop kebijakan pangan yang lebih memakmurkan petani di negeri orang.

Untuk itu, politik pangan harus all out. Singkirkan pejabat yang mengurusi pangan dengan mental pedagang. Percuma peningkatan cadangan devisa nasional jika sebagian besar rakyat tidak mampu membeli beras dan terpaksa makan nasi aking. Indonesia membutuhkan Yusuf-yusuf di tingkat pusat hingga daerah.

Menghadapi perubahan iklim global dan potensi gagal panen, pemerintah tidak boleh santai. Lebih mendesak kehadiran seorang menteri pangan dengan wewenang dan kapasitas seperti Yusuf daripada wakil menlu. Atau, fungsi Bulog dievaluasi, difokuskan, dan diperluas sebagai yang juga bertanggung jawab atas kedaulatan pangan di dalam negeri.

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta