tag:blogger.com,1999:blog-59212604139516774412024-03-14T00:05:02.969+07:00Kliping AgamaUnknownnoreply@blogger.comBlogger597125tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-32898563213361573192008-06-01T06:10:00.000+07:002008-06-01T06:11:19.315+07:00Solusi Masalah Ahmadiyah<b>Dr Syamsuddin Arif</b><br /><p><span class="deskripsi"> Staf Pengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> "Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu]," tulis Ir Sukarno dalam bukunya, <i>Di Bawah Bendera Revolusi</i>, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung, Jakarta, 1963, halaman 345. Mantan Presiden RI pertama itu tidak keliru dan bukan pula sendirian. Jauh sebelum itu, tokoh pemikir masyhur Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, perdana menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad SAW adalah pengkhianat kepada Islam: <i>"No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam"</i> (Lihat: Islam and Ahmadism, cetakan Islamabad: Da'wah Academy, 1990, halaman 8).</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakan Ahmadiyah di India dengan Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi. Menurut Iqbal, tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik 'belah bambu' kolonialis Inggris --yang waktu itu masih bercokol di India-- dan imperialis Rusia, yang sempat menjajah Asia Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah 'kepasrahan pada penguasa' (<i>political servility</i>), jelas Iqbal (halaman 13). Jika pemerintah Rusia mengizinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, maka pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka di Woking, wilayah tenggara England. Bagi Iqbal, doktrin-doktrin Ahmadiyah hanya akan mengembalikan orang kepada kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau Qadianisme --demikian Iqbal lebih suka menyebutnya-- adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia): <i>"to carve out, from the Ummat of the Arabian Prophet, a new ummat for the Indian prophet."</i> (halaman 2).</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi, sesudah mempelajari secara intensif dan objektif perjalanan hidup dan 'evolusi' Mirza Ghulam Ahmad dari seorang santri sederhana hingga menjadi pembela agama (1880) dan mengaku imam mahdi alias masih maw'ud (1891) serta menganggap dirinya nabi (1910), menyimpulkan bahwa gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban pekerjaan rumah umat Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah umat kian rumit (Lihat: <i>Qadianism: A Critical Study</i>, cetakan Lucknow 1980, halaman 155). Bahwa esensi ajaran Ahmadiyah adalah klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad juga disimpulkan oleh Yohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem, dalam bukunya, <i>Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background</i>, Berkeley: University of California Press, 1989, halaman 119, 181 dan 191.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Ajaran sesat Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 oleh beberapa pemuda asal Sumatra yang pernah dididik di Qadian, India, selama beberapa tahun. Demi menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah Sinar Islam, Studi Islam, dan Fathi Islam. Keresahan yang ditimbulkan oleh gerakan penyesatan umat ini sempat menyeret mereka beberapa kali ke dalam debat terbuka pada 1933 di Bandung (Lihat: Fawzy S. Thaha, <i>Ahmadiyah dalam Persoalan</i>, cetakan Singapura, 1982). Meski telah dinyatakan sesat dan kafir (murtad) oleh tokoh-tokoh Islam pada Muktamar ke-5 Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930 di Pekalongan dan musyawarah Ulama Sumatra Timur tahun 1935, kasus Ahmadiyah kembali mencuat pada 1974 setelah parlemen Pakistan dengan tegas menyatakan penganut Ahmadiyah bukan orang Islam (not Muslim) di mata hukum dan undang-undang negara.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka telah pula menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi menyesatkan, dan orang yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam (No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980). Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli 2005 dalam fatwa resmi MUI yang ditandatangani oleh Prof Dr Umar Shihab dan Prof Dr M Din Syamsuddin. Kemudian Dirjen Bimas Islam Departemen Agama melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh umat Islam agar mewaspadai gerakan Ahmadiyah.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Terakhir, 16 April 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) menyatakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai kelompok sesat dan oleh karenanya merekomendasikan perlunya diberi peringatan keras lewat suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965) agar Ahmadiyah menghentikan segala aktivitasnya.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Para penganut dan penyokong Ahmadiyah kerap berkelit dengan tiga dalih. Pertama, kaum Ahmadi sama dengan kaum Muslimin karena syahadatnya sama. Padahal orang Ahmadiyah itu berbeda dengan orang Islam bukan karena syahadat atau cara ibadahnya, tetapi karena akidahnya yang mengimani kenabian Mirza Ghulam Ahmad. </span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Kedua, dalih bahwa sebagai warga negara penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh konstitusi. Melarang Ahmadiyah sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Di sini terselip kealpaan dan ketidakmengertian. Alpa dan tidak paham bahwa dalam 'menikmati' kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada batasan undang-undang ditetapkan demi terjaminnya penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Artinya, penyalahgunaan kebebasan (<i>abuse of freedom</i>) ataupun tindakan merusak tata susila, agama, dan lain sebagainya atas nama HAM sekalipun tak mungkin dibenarkan. Apa yang diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di dalam rumah orang lain. Yang dipersoalkan bukan hak dan kebebasannya mendirikan rumah, akan tetapi lokasi (di dalam rumah orang lain) dan konsekuensinya (merusak rumah yang sedia ada).</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, warga Ahmadiyah telah melakukan penodaan dan penghinaan terhadap agama Islam, di mana tidak ada nabi dan rasul lagi pasca wafatnya Muhammad Rasulullah SAW. Lebih dari itu, propaganda Ahmadiyah terbukti menimbulkan keresahan dan perpecahan tidak hanya di dunia Islam, seperti temuan Dr Tony P Chi dalam disertasinya tentang misi mereka di Amerika (1973), halaman 134-5: <i>"Ahmadiyya preaching and propagation have instigated unrest and dissension in the Muslim World."</i> Oleh karena itu solusinya ialah melarang Ahmadiyah atau mengeluarkannya dari 'rumah Islam'. Hanya dengan jalan itu Ahmadisme dengan nabinya (MGA) bisa bebas dan menjadi agama baru seperti halnya Mormonisme di Amerika.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Ketiga, dalih bahwa kaum Muslim harus mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. "Abu Bakr as-Shiddiq ra adalah orang yang paling penyayang di kalangan umatku (<i>arhamu ummati</i>)," sabda Rasulullah SAW. Namun manakala muncul sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan Rasulullah, beliau tidak segan-segan mengambil tindakan tegas atas mereka. Perkara Ahmadiyah bukan persoalan kebebasan beragama. Islam memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk memeluk -- bukan merusak -- agama apapun, sesuai dengan firman Allah: "Tidak ada paksaan dalam urusan agama" (Al-Baqarah: 256) serta "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" (Al-Kafirun: 6). Ayat-ayat ini ditujukan kepada agama lain di luar Islam, bukan terhadap agama dalam agama.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Oleh karena itu, Rasulullah SAW sebagai kepala negara bersikap tegas kepada para nabi palsu semacam Musaylamah dan Thulayhah: bertobat atau diperangi (Lihat: Imam al-Mawardi, <i>al-Hawi al-Kabir</i>, 13:109). Nah, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan RasulNya. Jika statusnya Muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku. Namun jika statusnya non-Muslim, maka terpulang kepada negara apakah akan mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai sebuah agama baru --selain Hindu, Buddha, Islam, Katholik dan Protestan -- ataukah sebaliknya.</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-37998879078371839922008-05-30T20:50:00.000+07:002008-05-30T20:56:50.727+07:00<div id="judulartikelcetak">Pahami Islam secara Utuh</div> <span class="tglct">Jumat, 30 Mei 2008 | 01:03 WIB</span> <p>Jakarta, Kompas - Islam yang dipahami seperti terjemahannya sendiri hanya akan melahirkan keislaman yang sempit. Sebagian umat Islam di Indonesia yang baru memahami Islam secara sebagian sudah berani mengklaim menguasai keseluruhan kebenaran Islam.</p><p>”Tidak heran kalau Islam yang harusnya tampil dengan wajah santun menjadi tidak ramah,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin Rembang KH Mustofa Bisri dalam haul 1.000 hari wafatnya Nurcholish Madjid atau Cak Nur di Jakarta, Rabu (28/5) malam.</p><p>Acara ini juga ditandai dengan peluncuran Nurcholish Madjid Society. Acara ini juga dihadiri sejumlah tokoh nasional, seper- ti Taufik Kiemas, Akbar Tandjung, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh.</p><p>”Semoga Allah memberikan pencerahan karena mereka belum memahami dan belajar tentang Islam secara utuh,” ujar Mustofa yang akrab dipanggil Gus Mus.</p><p>Sebelumnya, tokoh muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi, mengatakan, keindonesiaan saat ini memang membutuhkan toleransi. Tanpa penerapan toleransi, kedamaian di Indonesia sulit diwujudkan. ”Inilah salah satu ajaran yang diwariskan Cak Nur untuk bangsa ini,” ujarnya.</p><p>Sementara Romo Beni Susetyo mengatakan, Cak Nur selalu mengajarkan tentang koreksi yang perlu dilakukan bangsa ini. Namun, dalam melakukan koreksi itu, agama harus memberi kepada warga dan menjadi inspirasi bagi bangsa dalam membangun negeri yang berdaulat. (MAM)</p><p> </p>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-48155022317690762922008-05-17T16:11:00.000+07:002008-05-17T16:12:19.181+07:00Mengenang Pemikiran Cak Nur<div class="penulis">AHLUWALIA</div><br /> <div style="padding-bottom: 5px;"> <table align="left" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" width="1"> <tbody><tr> <td><img src="http://www.inilah.com/data/berita/foto/18223.jpg" border="0" width="173" /></td> <td> </td> </tr> <tr> <td class="bgfoto">Prof Nurcholish Madjid<br />(<i>iPhA/Abdul Rauf</i>)</td> <td> </td> </tr> </tbody></table></div> <b>INILAH.COM – Kenangan dan keharuan tentang Prof Nurcholish Madjid kembali digelar oleh masyarakat dan komunitas Paramadina. Kali ini dalam acara seribu hari wafatnya sang guru bangsa itu di Jakarta, Senin (17/3) malam.</b> <p>Para inteligensia Muslim dari kalangan senior maupun yang muda, hadir untuk mendoakan almarhum Cak Nur dan meneguhkan komitmen mereka untuk meneruskan perjuangan cendekiawan Muslim itu dalam mewujudkan Islam dan keindonesiaan yang sejati. </p> <p>Duduk lesehan di antara yang hadir tampak pendiri Yayasan Paramadina Utomo Dananjaya dan istri Cak Nur, Omi Komaria Madjid. Juga tampak gurubesar UIN Jakarta Prof Kautsar Azhari, Dr Zainun Kamal, Dr Agus Abubakar, M Syafii Anwar PhD. Tampak juga intelektual muda Yudi Latif PhD, Dr Asep Ilyas Ismail, M Wahjuni Nafis, Anis Baswedan PhD, kalangan Tionghoa dan kaum muda. </p> <p>Nurchlish Madjid sangat dikenal dengan gagasan dan pergulatannya dalam ranah HAM, demokrasi, kebhinekaan (pluralisme), dan Islam yang modern, maju, dan toleran. Kecemasan dan keprihatinannya akan kekerasan atas nama agama, juga mengemuka.</p> <p>Meskipun di Indonesia sering terjadi kekerasan berjubah agama yang dilakukan sejumlah kelompok, tetapi umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas cukup gencar mengembangkan demokrasi, perdamaian, toleransi, kebebasan beragama, dan penegakan hak asasi manusia (HAM). </p> <p>Cak Nur juga sering mengingatkan tentang kebangkitan agama-agama di dunia pada era pasca-agama <i>(post-religion)</i> yang menimbulkan ironi menguatnya fundamentalisme. Kebangkitan semangat ideologis itu melahirkan eksklusivitas dalam beragama yang tercermin dalam tindakan militan, keras, dan cenderung tidak toleran dengan kelompok lain. </p> <p>Dalam kasus radikalisme agama (Islam) di Indonesia, Sydney Jones dari International Crisis Group, pernah menyebutnya sebagai <i>recycling militans</i>di Indonesia, yang merupakan daur ulang militansi gerakan Darul Islam di Indonesia, yang dalam banyak hal menginspirasikan radikalisme dan fundamentalisme Islam ideologis itu sendiri. </p> <p>Dalam perkembangan akhir-akhir ini, masyarakat dan kaum muda sering menyesalkan bahwa ada dua kekuatan fundamentalisme itu telah menciptakan situasi dilematis bagi bangsa ini. </p> <p>Kedua hal itu adalah fundamentalisme kelompok sektarian yang cenderung merampas hak-hak privat dari kehidupan sosial; dan fundamentalisme pasar yang cenderung mengabaikan hak-hak publik di bidang ekonomi dengan melemparkan perkara publik menyangkut hidup mati rakyat menjadi urusan privat individual. </p> <p>Yang satu menekankan komunalisasi dan menepikan subyek, yang lain menekankan individualisasi dan mengabaikan kesosialan. Kedua fundamentalisme ini tidaklah cocok <i>(compatible)</i> bagi kita di Indonesia, dan merupakan tantangan yang harus dipecahkan bersama oleh segenap elemen bangsa. </p> <p>Para aktivis dan komunitas Paramadina umumnya mengenang Nurcholish Madjid sebagai salah seorang tokoh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia serta mencari relevansinya dengan situasi kekinian. Dalam hal ini, seperti kata Cak Nur, perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia merupakan respons atas kondisi global. </p> <p>Pengembangan wacana Islam kontemporer yang inklusif tidak hanya dilakukan kalangan intelektual, akademisi, atau ulama, tetapi juga oleh lembaga keagamaan dan pendidikan seperti pesantren. </p> <p>Secara historis, umat Islam Indonesia memang terbuka dengan nilai luar. Islam datang memperkaya budaya lokal Nusantara dan tradisi Nusantara memperkaya peradaban Islam. Kondisi seperti ini juga melahirkan wajah Islam Indonesia yang sangat beragam sesuai dengan konfigurasi masyarakat Indonesia yang plural. [P1]</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-61105526520950852952008-05-15T11:35:00.000+07:002008-05-15T11:36:01.780+07:00Wawancara Tokoh: Islam, Demokrasi, dan Liberalisme<p>Source: <span class="source">http://www.psik-demokrasi.org/home.php?page=fullnews&action=view&id=76</span></p> <p><em>Dalam sejarah pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, Nurcholish Madjid dianggap sebagai seorang yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan wacana Islam politik, termasuk wacana soal keksuaian Islam dan demokrasi. Dalam perjalanannya, isu ini tidak pernah menunjukkan kesurutannya, terus mengalami progress atau modernisasi pemikiran karena terus dikembangkan oleh para perawisnya di kalangan anak-anak muda. Kemajuan ini pun tidak lepas dari isu-isu militansi yang mengawalnya, seperti wacana khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Dalam rangka 1000 hari wafat Cak Nur, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina melakukan wawancara dengan Luthfi Assyaukanie, Koordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta seputar masalah ini. Wawancara dilakukan oleh Lukman Hakim dan Deni Agusta di kantor Freedom Institute, di Jakarta pada Jumat, 25 Januari 2008. Berikut petikan wawancaranya.</em></p> <p><strong>Perdebatan soal partai politik Islam hingga kini tidak pernah selesai. Dan Cak Nur menganggap bahwa isu itu akan terus berkembang hingga kini. Pertama, Islam merupakan agama konsepsi soal moral. Oleh umatnya dengan demikian seluruh nilai-nilainya itu relevan dijadikan pedoman hidup. Makanya ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa Islam juga masih tetap relevan dengan apapun, termasuk politik. Dan Mas Luthfi sendiri melihatnya bagaimana?</strong></p> <p>Isu Islam dan politik tampaknya memang tidak akan pernah selesai dalam waktu dekat. Wacananya terus bekembang, yang pro-kontra hingga kini, menurut saya, sama kuatanya. Di Indonesia sendiri isu-isu politik dibarengi dengan isu-isu militansi.</p> <p>Saya kira Cak Nur sendiri memiliki kontribusi yang cukup dalam pengembangan wacana politik Islam. Kalau boleh saya singkat, perkembangan itu sebenarnya menuju kepada kemajuan, menuju pada progres pemikiran atau apa yang saya sebut sebagai moderasi pemikiran, meskipun di sana-sini terdapat kelompok radikal yang bermunculan. Akan tetapi kalau kita berbicara tentang wacana pemikiran politik Islam secara umum boleh saya katakan terjadi moderasi dan terjadi pencairan yang luar biasa dalam melihat konsep pemikiran politik Islam.</p> <p><strong>Akhir-akhir ini sering muncul tema khilafah. Dan menurut mas Luthfi sendiri apa sesungguhnya yang melatarbelakangi ini?</strong></p> <p><em>Ignorance. Ignorance</em> itu bagian dari aktivisme—apa yang disebut sebagai harakah Islamiyah yang muncul sejak tahun 70-an. Tapi ini diakomodir oleh situasi politik kita yang lebih demokratis dan lebih bebas sejak satu dasawarsa terakhir ini. Munculnya gerakan HTI yang mendukung gagasan utopianisme Islam itu disebabkan karena ada ruang bagi mereka untuk menuangkan gagasan tersebut. Tapi menurut saya itu adalah kemunduran. Pertama, tidak memiliki akar sejarah di dalam konteks pemikiran politik Indonesia.</p> <p>Sekalipun Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar, namun cukup rasional dalam merespon isu gerakan khilafah yang muncul sejak tahun 1925-1926. Beberapa perangkat formal dan informal dibangun untuk mendukung gerakan penghidupan kembali khilafah. Di Mesir dan India gerakan khilafah ini ada. Di Yordania itu belakangan. Di tahun 1925-26 itu ketika terjadi khalifah movement, sesungguhnya pada dirinya sendiri sebenarnya tidak ada. Ada undangan konferensi khilafah misalnya yang dihadiri oleh Tjokroaminoto dan juga Hamka Karim Amrullah. Pada waktu itu konferensi tidak berhasil memutuskan siapa yang menjadi khalifah.</p> <p>Yang harus dicatat di sini adalah bahwa delegasi Indonesia datang ke Mekkah dan Jeddah itu bukan untuk mendukung (gagasan) khilafah. Akan tetapi sedang mencari dukungan untuk kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, hal ini sangat bertentangan dengan misi konferensi itu sendiri. Poin saya adalah khilafah tidak pernah menjadi isu (khususnya di Indonesia). Bahkan para pendiri negeri ini sadar betul bahwa khilafah sesuatu yang tidak bisa lagi dipertahankan. Oleh karena itu orang-orang yang mendukung gerakan khilafah itu sebetulnya <em>ignorant</em> (tidak mengerti apa-apa), terbelakang sekali dalam mengikuti sejarah pemikiran Islam.</p> <p><strong>Atau mungkin kelompok-kelompok itu ingin mencari jalan pintas dari situasi yang tidak menguntungkan umat Islam. Bagi mereka, khilafah adalah jalan keluar?</strong></p> <p>Ya. Penjelasan yang masuk akal mungkin itu. Kelompok-kelompok Islam yang selalu meneriakkan Islam adalah solusi, pada dasarnya mereka melihat ketimpangan, ketidakadilan dalam kehidupan sosial-politik kita. Mereka kemudian mencoba mencari alternatif. Dan salah satu dari alternatif itu adalah kembali pada khilafah. Akan tetapi mereka tidak mengerti apa itu khilafah? Dinamika khilafah? Dan lainnya.</p> <p>Di Turki kelompok yang mendukung semangat khilafah itu adalah kaum liberal yang mengerti penuh bahwa khilafatisme itu sepenuhnya adalah sekuler. Akan tetapi kelompok-kelompok seperti Fathulah Ghulan, kelompok-kelompok yang didukung oleh AKP dan lainnya, kelompok yang bukan nasionalisme Turki dan juga bukan Islamisme, mereka membayangkan kebangkitan peradaban Turki. Dan pengertian kebangkitan peradaban Turki Utsmani yang sepenuhnya bersifat sekular.</p> <p>Saya yakin betul orang-orang HTI itu tidak mengerti sejarah khilafah. Khilafah itu melewati masa-masa keemasanya itu justru ketika mereka menjaga jarak dengan agama. Begitu mereka mencampuradukannya dengan agama, mereka runtuh. Dan itulah yang terjadi pada masa Abdul Hamid (Turki). Saya kira problem yang cukup pelik di dalam khilafah ini tidak diketahui oleh para aktivis Islam.</p> <p><strong>Cak Nur melihat bahwa Islam memiliki semangat untuk berdemokrasi yang cukup baik. Akan tetapi beberapa kalangan menilai, orientalis khususnya, melihat bahwa Islam itu tidak akan sangup berdemokrasi. Salah satu contoh adalah negara-negara yang terdapat di Timur Tengah, kulturnya memang tidak cocok untuk demokrasi. Menurut Mas Luthfi sendiri adakah nilai-nilai keIslaman yang bisa diadopsi ke dalam nilai-nilai demokrasi khususnya di Indonesia?</strong></p> <p>Islam itu bukan sesuatu yang baku. Islam tidak memiliki esensi yang bisa didefinisikan dalam arti tertentu. Islam selalu berkembang dan dinamis. Kalau ada orang yang mengatakan Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, maka dia sesungguhnya sudah men-singel out pemahaman Islam tertentu. Misalnya Islam yang puritan, literal, Islam yang tidak mau berubah dan lainnya. Tetapi kalau Islam itu sudah didefinisikan sedemikian rupa maka dengan mudah dia akan kompatible dengan demokrasi.</p> <p>Ketika Cak Nur berbicara tentang kompatibalitas Islam dan Demokrasi, yang dia maksudkan sesunguhnya adalah Islam yang sudah ditafsirkan sedemikian rupa agar sesuai dengan demokrasi.</p> <p>Sekularisasi mungkin menjadi prasarat untuk menuju demokrasi. Dalam pengalaman Islam sendiri apakah memang perlu melakukan sekularisasi? Karena dalam beberapa hal juga istilah sekularisasi itu sendiri tidak sesuai dengan Islam, bahkan pengalaman Barat dan Islam dalam konteks realitas hubungan politik vis a vis agama, jelas berbeda.</p> <p>Saya kira solusinya jangan menggunakan istilah. Nilai-nilai sekularisme itu sendiri sebetulnya sudah ada sebelum dunia modern itu muncul. Artinya dia pernah ada di Yunani, India dan lainnya. Istilah sekularisme atau sekularisasi itu bukan penemuan baru, dan sebetulnya praktek-praktek semacam itu sesungguhnya sudah ada.</p> <p>Kalau kita mau mencoba mengaitkan sekularisasi dengan Islam saya kira yang harus ditekankan itu adalah semangatnya bukan pada persoalan apakah Islam harus menerapkan sekularisme atau meninggalkannya. Intinya adalah bahwa kita harus memisahkan ortoritas politik dengan otoritas negara. Selanjutnya anda mau menamakan sekularisasi, demokratisasi dan apapun itu sesunguhnya tidak masalah. Menurut saya, itu maunya Cak Nur. Akan tetapi sebuah konsep harus diberi nama. Dan yang kita bicarakan barusan namanya dalam wacana politik modern adalah sekularisasi.</p> <p><strong>Menurut Mas Luthfi kira-kira bagaimana prospek demokrasi di Indonesia ke depan?</strong></p> <p>Saya kira akan berkembang terus, tidak ada alasan untuk mundur, dan tidak ada poin untuk kembali lagi ke masa-masa otoriter atau ke masa-masa ideologi politik Islam pada tahun 50-an. Karena hal itu terbukti gagal dan tidak bisa lagi untuk diterima oleh umat Muslim. Jadi Demokrasi ke depan adalah satu-satunya alernatif yang lebih baik.</p> <p><strong>Tapi begini mas, kalau kita melihat pernyataan Jusuf Kalla pasca Rapimnas Golkar tempo hari cukup mengejutkan sekali. Dia mengatakan bahwa demokrasi itu belum sanggup mengantarkan masyarakat menjadi yang lebih makmur. Selain itu, dalam beberapa Pilkada terjadi kerusuhan dan konflik, itu semuanya disebabkan oleh demokrasi. Dan ini membuat tokoh-tokoh bangsa mengatakan bahwa demokrasi itu direvisi saja. Kira-kira dari rasa pesimisme itu adakah upaya-upaya ingin kembali kepada sistem otoriter?</strong></p> <p>Ada yang salah dengan praktek demokrasi. Mungkin masyarakat kita ini belum siap dengan praktek demokrasi itu sendiri. Tapi itu bukan berarti bahwa kita menolak konsep demokrasi. Akan tetapi pada dasarnya cara kita menerapkan demokrasi itu harus diperbaiki, dan ketika kita menjalan perangkat demokrasi juga harus benar. Dan saya kira kritik Jusuf Kalla lebih pada aspek itu. Bukan pada aspek apakah demokrasi itu baik atau buruk.</p> <p><strong>Bisa diceritakan kembali soal tesis Mas Lutfi yang mengatakan bahwa Islam politik di Indonesia itu telah mengalami pergeseran dari negara demokrasi Islam ke negara demokrasi agama hingga pada akhirnya negara demokrasi liberal seperti sekarang ini.</strong></p> <p>Secara umum para akademisi di Indonesia melihat Islam di Indonesia itu ada tiga kategori; pertama, abangan. Kedua, santri. Dan ketiga, priyai. Kalau kita melihat pergolakan dan perkembangan yang luar biasa pada pemikiran politik komunitas santri. Ini terjadi dalam beberapa aspek baik pengembangan argumen, cara merespon isu-isu politik dan lain sebagainya. Nah itulah yang saya lihat pada 5 dekade belakangan ini terjadi perkembangan yang sangat luar biasa dalam komunitas santri. Oleh Hefner dikatakan bahwa telah terjadi perkembangan dari abangan menjadi santri, atau dari santri menjadi abangan.</p> <p>Akan tetapi saya melihat persoalannya bukan abangan menjadi santri dan santri menjadi abangan, tetapi dalam komunitas santri itu telah terjadi perkembangan yang luar biasa, baik karena interaksi, pendidikan, maupun medium-medium promosi lainnya. Dan karena itu ada perubahan sikap dalam melihat model kata pemerintahan di dalam ilmu politik di dalam masyarakat Islam. (Pergeseran itu terjadi) misalnya kalau kita lihat pada awal-awal pemerintahan hampir tidak ada tokoh santri muslim yang menolak gagasan negara Islam. Mungkin ada satu, dua. Akan tetapi dia tidak ingin mengasosiasikan dirinya dengan masyarakat santri.</p> <p>Artinya apa? Paradigma politik santri pada awal-awal kemerdekaan sepenuhnya mendukung gagasan negara Islam. Ini dibuktikan dengan besarnya jumlah dukungan pada partai politik Islam yang mendukung konsep negara Islam. Masyumi, NU, PSII dan semua kaum muslim yang berafiliasi pada santri saat itu mendukung gagasan negara Islam. Mereka sebetulnya menerima demokrasi tetapi demokrasi yang harus diberikan atribut demokrasi Islam. Istilah itu sendiri diperkenalkan oleh Natsir, dan didukung oleh tokoh-tokoh Masyumi. Dan hingga tahun 60-an boleh dibilang paradigma politik umat Islam adalah paradigma negara demokrasi Islam.</p> <p>Ini mengalami pergeseran setelah transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, khususnya pada generasi muda Muslim seperti Cak Nur, Mas Dawam, dan lain-lain. Mereka mengkritik paradigma politik Islam lama. (Kritik itu) sebetulnya sudah dimulai oleh pak Munawir Sadjali. Pada tahun 50-an dia menulis risalah kecil yang menolak negara Islam.</p> <p>Baru setelah masuk tahun 70-an, waktu terjadi transisi politik, generasi santri secara terbuka mengkritik konsep-konsep pemikiran politik Islam. Sebagian besar mencoba mencari alternatif dan mengajukan model negara demokrasi yang agamis, demokrasi yang plural. Plural dalam pengertian bahwa agama harus berperan dalam negara. Itu menjadi paradigma umum pada waktu itu. Dan kebetulan Soeharto yang berkuasa itu juga mempergunakan dan merasa bahwa agama dapat dipergunakan untuk politik.</p> <p>Sejak awal saya kira sikap Soeharto seperti itu. Hal itu terlihat ketika ia menerbitkan kebijakan fusi partai-partai politik. Sejak zaman Pak Harto, agama diatur oleh negara. Akan tetapi bukan dalam pengertian agama dikeluarkan dari negara, tetapi agama memainkan peran penting di dalam kebijakan negara. Departemen Agama diperkuat, MUI didirikan di tahun 1975, diciptakan peradilan agama, dan lainnya. Itu merupakan bagian dari gagasan yang saya sebut dengan model negara demokrasi agama. Mereka masih tetap menerima demokrasi; demokrasi yang basisnya agama. Tentu saja dari perspektif teori demokrasi ini bukan sebuah demokrasi yang sejati.</p> <p>Demokrasi tidak akan pernah berjalan kecuali di atas platform negara sekuler: negara yang betul-betul memisahkan urusan agama dengan negara. Dan itu muncul setelah tahun 80-an, Cak Nur, Gus Dur mulai mengkritisi negara yang terlalu ikut campur dalam urusan agama. Secara umum mereka mulai bisa menerima model negara demokrasi Islam liberal. Mereka bahkan tidak menyebutnya itu sebagai demokrasi Islam, tapi Liberal Democrasi. (Buat mereka) itu sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Nilai-nilai keIslaman justru bisa diterapkan dan bisa diakomodir dalam negara seperti ini. Mungkin itu saya kira latar belakangnya seperti itu. Dan (selanjutnya) generasi di bawah Cak Nur, saya kira tidak ada (lagi) keraguan sama sekali untuk menerima demokrasi liberal.</p> <p>Kalau anda baca tulisan-tulisan orang Islam baik Natsir, Syafruddin, Roem, dan beberapa tokoh Masyumi pada awal kemerdekaan itu hampir tidak ada yang menulis demokrasi liberal. Mereka selalu ragu menerima demokrasi liberal. Bagi mereka kalau mau menerima demokrasi harus ada label Islamnya. Pada masa Orde Baru mereka mulai bisa memisahkan Islam. Akan tetapi tidak bisa memisahkan agama. Orang seperti Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo, dan beberapa tokoh muslim di pemerintahan masih menganggap agama itu penting. Baru pada masa Cak Nur, dan juga Gus Dur menganggap bahwa agama tidak perlu lagi ikut campur dalam urusan negara. Meskipun dalam pemikiran Cak Nur awal-awal masih tidak jelas. Buku Indonesia Kita itu (menunjukkan) sangat jelas sekali sikap Cak Nur bahwa urusan negara harus dipisahkan dengan agama.</p> <p><strong>Demokrasi berangkat dari pemikiran yang liberal, benarkah seperti itu? Kita melihat makna liberalisme Islam itu menjadi bermakna pejoratif di kalangan sebagian umat. Apalagi menyangkut isu-isu soal liberalisme Islam. Dan mas Luthfi sendiri melihatnya seperti apa?</strong></p> <p>Sesuatu yang pejoratif belum tentu salah, dan sesuatu yang kontroversial belum tentu keliru. Masalahnya adalah masyarakat kita itu yang belum bisa menerima. Sama seperti orang-orang Masyumi dan kaum santri pada tahun 50-an belum bisa menerima demokrasi, dan tidak bisa menolak konsep negara Islam. Sekarang ini hampir tidak ada orang yang mau menerima negara Islam. Artinya berbalik 180 derajat. Kalau sekarang mereka menolak demokrasi liberal, demokrasi yang sejati, liberal (yang saya maksud) bukan dalam arti ideologis. Demokrasi liberal adalah demokrasi yang konstitusional. Lebih tepat istilahnya adalah constitutional democracy. Dalam arti seperti itu saya kira lambat laun akan diterima oleh masyarakat. Karena itu merupakan tawaran yang paling ideal, dan bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat.</p> <p>Kalau saya berbicara soal <em>liberal democracy</em> itu maksudnya demokrasi yang konstitusional, demokrasi yang bisa mengakodomir semua masyarakat. Demokrasi yang menghargai kebebasan, pluralisme, kebebasan agama dan lainnya.</p> <p>Akan tetapi kampanye soal itu di kalangan beberapa orang mungkin tidak bisa diterima. Lalu strategi apa yang bisa dilakukan? Karena bagaimanapun ketika dia sudah melihat maknanya yang pejoratif mereka buru-buru langsung menutup diri.</p> <p>Kadang-kadang kita juga harus menghindari istilah. Masalahnya juga terkadang kita juga tidak mungkin menghindari dari penggunaan istilah. Istilah itu diciptakan untuk digunakan dalam konteks tertentu. Dalam kasus demokrasi misalnya kita tidak perlu menyebut bahwa kita mesti dan harus mengadopsi demokrasi liberal. Kita bilang saja demokrasi tidak usah menggunakan kata sifat.</p> <p><strong>Kalau dulu orang Islam menginginkan terbentuknya negara Islam dan kini mengalami pergeseran. Pasang surut seperti ini memiliki relasi kuasa; apakah relasi pengetahuan, rezim tertentu, dan lainnya. Mungkin dulu itu cita-cita terbentuknya negara Islam lebih pada semangat ketika aspirasi umat Islam berhadapan langsung dengan negara. Dan Islam politik juga selalu mengalami proses marjinalisasi oleh kekuasaan yang dibangun oleh orde baru. Lalu bagaimana mas Luthfi melihat hal itu?</strong></p> <p>Saya kira tidak ada yang keliru antara relasi kuasa dengan pengetahuan atau dengan sebuah konsep selama yang kita tuju adalah sesuatu yang positif. Misalnya kalau kita merasa bahwa kalau demokrasi itu benar atau lebih baik diterapkan dalam negara Islam atau negara teokrasi. Kita bisa menggunakan kekuasaan untuk itu. Kita bisa menggunakan network atau jaringan pengetahuan.</p> <p>Apa yang dilakukan oleh Cak Nur dan para intelektual muslim, yang mana waktu dulu mereka menganggapnya sebagai berkolaborasi dengan rezim. Saya kira yang membedakan generasi Cak Nur dengan kita adalah kalau dulu Cak Nur membicarakan apa saja enak, tidak ada beban, karena Soeharto dengan tangan besinya akan melindungi mereka. Sementara kita berhadapan dengan elemen masyarkat yang sangat sulit (menerima), sangat bebas sekali, dan negara tidak ikut campur. Maksud saya adalah bahwa saat itu Cak Nur diuntungkan oleh keadaan sehingga dengan mulus dia bisa mengkampanyekan ide-idenya. Dan kita sekarang ini harus berkontestasi, harus mengasah terus argumen bahwa argumen yang kita kemukakan itu valid.</p> <p>(Tapi) tidak serta merta bahwa Cak Nur, Gus Dur dan para intelektual muslim pada waktu berkolaborasi dengan kekuasaan, bukan untuk kekuasaan. Karena kebetulaan agenda mereka sama: Agenda Cak Nur ingin merubah mindset kaum muslim, dan agenda negara juga kurang lebih untuk hal yang sama seperti itu.</p> <p>Dan ini Perancis sekali dengan gerakan pembaharuan sekarang: yang mana teman-teman JIL dan lainya sering dituduh berkolaborasi dengan Barat. Saya bilang ya kita memiliki kesamaan dan kemiripan dengan Barat. Karena agenda yang kita jalankan adalah sama dengan agenda yang dijalankan oleh negara-negara Barat. Seperti demokrasi, plurlisme, hak asasi manusia, gender. Kebebasan beragama dan lain sebagainya. Kita menganggap hal itu baik. Dan kita mencoba menerapkan hal demikian di sini. Dan ini percis sekali dengan apa yang pernah dilakukan Cak Nur dalam konteks hubunganya dengan orde baru saat itu.</p> <p>Nah itulah yang saya bilang relasi kuasa dengan sebuah konsep tidak serta merta dipahami dengn sesuatu yang negatif. Kalau itu diperlukan sebanarnya tidak apa-apa.</p> <p>Saya pernah membaca pendapatnya Amartya Sen ketika ingin menerapkan demokrasi, paling tidak ada tiga prasyarat yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Pertama, masyarakat itu terdidik. Secara kultural mereka yang terdidik dapat mengapresiasi pengetahuan. Yang kedua, sistem ekonoimi negara bisa berjalan. Dan ketiga, bahwa secara kultural masyarakat bisa menerima perbedaan yang ada.</p> <p><strong>Mungkin salah satu gagasan yang dibangun oleh JIL mungkin strateginya kurang tepat. Bagaimana pun juga at-thariqah ahammu min al-maddah. Bagaimana mas Luthfi melihat pembacaaan-pembacaan seperti itu?</strong></p> <p>Kadang-kadang demokrasi itu berjalan di luar teori yang dibuat manusia. Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di India. India itu adalah negara demokrasi terbesar di dunia, lebih besar dari Amerika. Proses demokratisasinya berjalan dengan baik dan dari tahun ke tahun demokrasinya selalu stabil. Tapi rakyatnya masih bodoh, terbelakang, dan kemiskinan di mana-mana.</p> <p>Tetapi kalau ada yang mengatakan bahwa demokrasi harus sejahtera terlebih dahulu hal itu tidak terjadi pada India. Jadi kalau kita mau mengampanyekan demokrasi tidak usah menunggu harus pintar dulu dan lain sebagainya. Dan salah satu cara mengajak masyarakat pintar itu adalah dengan melatih pikiran mereka. Saya melihat gerakan pembaharuan secara umum, tidak hanya JIL, tujuannya adalah itu. Itulah yang sejak awal oleh Cak Nur disebut dengan shock terapi. Dan <em>shock therapy</em> itu penting untuk dilakukan terus menerus agar masyarakat berpikir.</p> <p>Ada satu istilah yang cukup bagus <em>“complacency”,</em> yaitu sebuah keadaan masyarakat yang sudah lama dininabobokan, sudah lama berada dalam satu paradigma yang merasa benar sendiri. Complasesi itu adalah sebuah kondisi yang tidak sehat, artinya berabad-abad umat Islam itu berada dalam komplasensi. Sehingga harus ada shock terapi yang dapat mengejutkan mereka. Dan itu sesungguhnya inti dari pemikiran Cak Nur, melakukan <em>shock therapy</em> pada umat Islam. Dan kita tahu makalah awal-awal Cak Nur yang dibagikan secara terbatas ‘Antara Memajukan Mencerahkan Umat Islam dan Disintegrasi’. Disintegrasi dalam artian bahwa umat Islam sekarang ini tidak bersatu. Apakah anda mau umat Islam terus-menerus terbelakang akan tetapi bersatu, atau ingin mengubah cara mereka tetapi berpecah sedikit? Cak Nur dalam hal ini memilih disintegrasi, jelas sekali sikap Cak Nur sejak awal. Saya tidak mau umat Islam bersatu terus tapi juga bodoh terus. Maka harus kita lakukan terobosan-terobosan. Jadi Cak Nur lebih memilih jalan yang pahit. Dan saya kira seluruh gerakan pembaharuan Islam itu arahnya ke sana. Kita tidak usah menunggu situasi baik dulu, dan menunggu orang pintar dulu, dan lain sebagainya. Lakukan saja apa yang bisa kita lakukan.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-13916570592326580042008-05-15T11:33:00.000+07:002008-05-15T11:34:00.803+07:00Sikap Negara terhadap Aliran Sesat<em>(Attitude of State toward Deviant Sects)</em> <h3>By Luthfi Assyaukanie</h3> <p>Source: <span class="source">Koran Tempo, 22 December 2007</span></p> <img src="http://www.assyaukanie.com/images/218.jpg" alt="" class="right" height="137" width="233" /> <p>Perilaku negara dan tokoh agama dalam menyikapi aliran dan kelompok agama yang dianggap sesat akhir-akhir ini memunculkan persoalan serius menyangkut kebebasan dan hak-hak individu di negeri kita. Setiap kali ada kelompok agama atau keyakinan baru yang muncul, reaksi yang diperlihatkan para tokoh Islam dan kaum Muslim secara umum tampak sangat berlebihan. Jika bukan dihakimi langsung, kaum Muslim ramai-ramai menuntut polisi dan aparat pemerintah untuk memberangusnya; seringkali dengan cara yang merendahkan dan mempermalukan martabat seseorang.</p> <p>Setelah kasus al-Qiyadah al-Islamiyah yang masih segar dalam ingatan kita, kini muncul lagi kasus penyerangan terhadap anggota Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat. Ini adalah peristiwa yang kesekian lusin kalinya Ahmadiyah mengalami kekerasan dan permusuhan dari umat Islam. Dengan pemberitaan yang tak adil, media massa kita juga cenderung memihak agama status-quo, sambil ikut-ikutan mencap “sesat” kelompok minoritas itu.</p> <p>Kelompok agama atau keyakinan bukanlah sekumpulan preman atau gerakan makar yang harus ditumpas. Mereka memiliki kebebasan dan hak beragama dan berkeyakinan yang dilindungi undang-undang. Secara jelas konstitusi kita menegaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29). Aturan atau fatwa apa saja yang menegasikan semangat konstitusi yang begitu agung ini sudah semestinya ditinjau ulang.</p> <p>Salah satu alasan yang kerap dikemukakan para pemeluk agama mayoritas (dalam Islam misalnya), kelompok-kelompok agama/keyakinan baru dianggap “meresahkan masyarakat” dan karenanya harus ditindak secara hukum. Kepolisian biasanya dipanggil untuk menangkap kelompok-kelompok itu atas alasan yang sangat problematis ini.</p> <p>Mengapa problematis? Istilah “meresahkan masyarakat” tentu bukan milik kelompok agama saja, dan bukan hanya milik agama/keyakinan minoritas saja. Siapa saja bisa meresahkan masyarakat, dengan cara yang berbeda-beda. Para tokoh agama mayoritas paling sering melakukan tindakan “meresahkan masyarakat.” MUI berkali-kali meresahkan masyarakat dengan fatwa-fatwa mereka (fatwa menghadiri perayaan natal, misalnya).</p> <p>Para polisi dan aparat keamanan sudah semestinya memikirkan ulang cara mereka menghadapi isu-isu keagamaan. Semestinya mereka bukan memberikan perlindungan kepada kelompok mayoritas, tapi sebaliknya, kepada kelompok minoritas. Kelompok-kelompok minoritaslah yang paling berpotensi ditekan dan diabaikan hak-hak dasarnya.</p> <p>Agama dan keyakinan adalah hak asasi yang dilindungi oleh undang-undang. Tugas polisi melindungi kelompok-kelompok minoritas dari tekanan orang atau lembaga yang mencoba mengancam atau menghancurkannya. Polisi dan aparat negara tidak semestinya terpengaruh, dan apalagi tunduk, kepada kelompok mayoritas untuk memberangus kelompok minoritas. Penegak hukum bekerja bukan atas dasar jumlah manusia, tapi atas dasar kebenaran.</p> <p>“Sesat” adalah istilah dan katagori teologi yang diwariskan dari abad pertengahan. Polisi tidak memiliki wewenang untuk menangkap seseorang atas dasar pilihan keimanan atau keyakinan. Jika seseorang dianggap “sesat” oleh kelompok mayoritas, polisi wajib turun tangan, bukan untuk membela mayoritas, tapi untuk melindungi keyakinan minoritas yang hak-hak beragamanya ditindas.</p> <p>Polisi hanya bisa ikut-campur jika sebuah kelompok terbukti melakukan perbuatan kriminal. Polisi boleh menahan pemimpin atau pengikut kelompok itu semata-mata karena alasan kejahatan—dan bukan karena alasan “sesat.” Polisi memiliki wewenang untuk memeriksa para petinggi al-Qiyadah al-Islamiyah, jika mereka dicurigai terlibat penipuan atau kekerasan, tapi bukan karena mereka memiliki keyakinan dan pemahaman agama tertentu.</p> <p>Dari sudut pandang negara, tidak ada aliran yang sesat. Berdasarkan UUD 45, semua agama dan kepercayaan mendapat perlindungan. Sesat adalah katagori teologi dan bukan katagori hukum. Sanksi teologi adalah di akhirat dan bukan di dunia. Negara kita bukanlah negara agama, dan bukan pula negara yang mengadopsi praktik-praktik biadab di zaman kegelapan yang membunuh atau memenjarakan manusia semata-mata karena dianggap kafir, zindik, atau sesat.</p> <p>Indonesia adalah negara netral agama, dan bukan negara yang memihak kepada satu agama tertentu. Otoritas tertinggi di negeri ini adalah UUD 45 yang menjadi konstitusi kita, bukannya fatwa MUI atau pendapat para tokoh agama.</p> <p>Sudah teramat sering peringatan dari ahli-ahli sejarah bahwa konflik-konflik komunal dimulai dari ikut-campurnya agama ke wilayah politik dan pemerintahan. Setiap ada berita tentang penangkapan seseorang atau kelompok agama karena alasan “aliran sesat,” negeri ini sebenarnya sedang menyemai bibit-bibit permusuhan. Semakin sering kita mendengar berita semacam ini, semakin banyak bibit-bibit itu ditebarkan.</p> <p>Satu-satunya cara untuk mengatasi potensi konflik itu adalah mengubah sikap kita yang keliru selama ini dalam melihat isu-isu kebebasan beragama. Para petinggi agama dan aparat negara harus kembali lagi kepada konstitusi negeri ini, bahwa agama dan keyakinan adalah hak manusia yang paling asasi. Melarang atau menghalangi seseorang untuk menjalankan agama atau keyakinannya adalah pelanggaran HAM yang dikutuk oleh semua bangsa.</p> <p><strong>Luthfi Assyaukanie.</strong> Kordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-3265502185214666852008-05-15T11:29:00.000+07:002008-05-15T11:31:55.363+07:00Demokrasi dan Puritanisme<em>(Democracy and Puritanism)</em> <h3>By Luthfi Assyaukanie</h3> <p>Source: <span class="source">Jawa Pos, 26 April 2004</span></p> <img src="http://www.assyaukanie.com/images/119.jpg" alt="" class="right" height="103" width="137" /> <p>Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Democracy in America, Alexis de Tocqueville melontarkan pernyataan yang menggelitik: “Puritanisme bukanlah semata-mata doktrin keagamaan, tapi dalam banyak hal ia terkait erat dengan teori-teori demokrasi dan republik.” </p> <p>Yang dimaksud puritanisme adalah sikap dan keinginan untuk selalu menghadirkan dan mempraktikkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama ke dalam kehidupan sehari-hari. Tocqueville berpendapat bahwa demokrasi Amerika yang tumbuh pada awal abad ke-17 disemai oleh gerakan-gerakan puritanisme Protestan yang datang dari Eropa, khususnya Inggris.</p> <p>Kaum Puritan Amerika abad ke-17 menyebut diri mereka sebagai kaum muhajirin (pilgrims) yang datang dari negeri tertindas Inggris. Di Inggris, mereka adalah sekte-sekte kecil yang tidak diakui oleh Gereja Anglikan, agama penguasa. Mereka disebut Puritan karena menjalankan ajaran-ajaran Kristen yang ketat dan berusaha mempraktikkannya ke dalam lingkup sosial-politik yang lebih luas. Tak tahan dengan tekanan Gereja penguasa, mereka hijrah ke Dunia Baru Amerika. Di Dunia Baru ini, mereka mencari sebuah suasana “di mana mereka dapat hidup sesuai dengan keyakinan mereka dan dapat menyembah Tuhan dalam kebebasan.” </p> <p>Sejarah demokrasi di Amerika adalah sejarah perjuangan kaum agama untuk dapat layak hidup dengan iman dan keyakinan. Kebebasan agama tak bisa hidup di sebuah negara agama seperti Inggris abad ke-17, di mana hanya agama kerajaan (Gereja Anglikan) yang diakui sebagai agama yang sah. Di Amerika, para kaum Puritan itu bebas mengekspresikan ajaran-ajaran agama mereka. </p> <p>Pada awalnya, kaum “muhajirin” asal Inggris itu membangun tatanan sosial-politik berbasiskan keimanan yang mereka bawa. Jangan heran kalau banyak pasal-pasal dari undang-undang, aturan hukum dan sosial, pada saat itu diambil langsung dari Alkitab. Bahkan, menurut Tocqueville, banyak aturan-aturan hukum itu dikopi secara apa adanya (verbatim) dari Kitab Exodus, Leviticus, dan Deuteronomy: pembunuh dihukum mati, pemerkosa dirajam, dan pencuri dicambuk.</p> <p>Membaca sejarah demokrasi di Amerika lewat Tocqueville, saya langsung teringat dengan sejarah awal-awal kaum muhajirin Islam di Madinah 15 abad silam. Mereka juga berusaha menjalankan hukum-hukum Tuhan yang diambil langsung dari Alquran: pembunuh dibunuh, pemerkosa dirajam, dan pencuri dipotong tangannya.</p> <p>Tapi, demokrasi di Amerika tidak berhenti sampai di situ. Hukum adalah refleksi dari masyarakat dan harus mencerminkan dinamika masyarakat. Tanpa itu, hukum tak akan berjalan efektif. Maka, sepanjang sejarahnya, generasi penerus kaum Puritan itu berusaha merevisi dan menyesuaikan aturan-aturan sosial, ekonomi, dan politik, berdasarkan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Demokrasi di Amerika kemudian menjadi sesuatu yang sangat menarik dan menjadi model yang diimpikan oleh banyak orang. </p> <p>Saya kira, kaum Muslim sebaiknya belajar dari sejarah demokrasi di Amerika. Jika mereka benar-benar menginginkan demokrasi, mereka harus mampu melampaui fase “hijrah” yang pernah dijalani oleh Nabi Muhammad abad ke-6 dan kaum Puritan Amerika abad ke-17. Mengharapkan demokrasi sambil membayangkan kembali ke masa “hijrah” atau menjadi “muhajirin” adalah sebuah kemunduran. Sejarah melaju cepat ke depan, bukan ke belakang.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-56480050609183743062008-05-15T11:26:00.000+07:002008-05-15T11:27:28.200+07:00Islam Liberal untuk Demokrasi Liberal<em>(Liberal Islam for Liberal Democracy)</em> <h3><span style="font-size:100%;">By Luthfi Assyaukanie</span></h3> <p>Source: <span class="source">Media Indonesia, 20 June 2006</span></p> <img src="http://www.assyaukanie.com/images/53.jpg" alt="" class="right" height="137" width="92" /> <p>Demokrasi telah menjadi konsep karet yang bisa ditarik ke sana ke mari. Setiap orang bisa berbicara tentang demokrasi menurut perspektifnya masing-masing. Inilah yang tergambar dari dua tulisan, Saiful Mujani dan Ismail Yusanto dalam koran ini beberapa hari lalu (Media Indonesia, 12-14/06/06). Kedua penulis ini berbicara tentang demokrasi dari dua perspektif yang sama sekali berbeda.</p> <p>Siapa saja memang bisa berbicara tentang demokrasi, dari mereka yang mendukung hingga yang anti. Para pengkritik demokrasi pun kerap memberi pemahaman dan formulasi baru terhadap konsep ini, sehingga memunculkan apa yang oleh David Held, seorang ilmuwan politik ternama, disebut “model-model demokrasi” (Held, Models of Democracy. Stanford: Stanford University Press, 1996).</p> <p>Demokrasi sebagai sebuah konsep positif sebenarnya relatif baru. Di masa Yunani kuno, demokrasi merupakan konsep bet noire yang dibenci oleh kalangan ilmuwan dan elit terdidik. Bahkan pada era Pencerahan Eropa (abad ke-18), demokrasi masih merupakan istilah yang menjijikkan.</p> <p>Namun, memasuki abad ke-20, setelah konsep negara-bangsa semakin matang, dan banyak negara-negara baru bermunculan, demokrasi perlahan-lahan mulai diterima. Setiap negara berlomba-lomba mengadopsi demokrasi sebagai sistem yang ideal. Bahkan negara yang jelas-jelas bersendikan otoritarianisme seperti Korea Utara, menyebut dirinya “Republik Rakyat Demokratik,” untuk menunjukkan bahwa negeri ini menganut paham demokrasi, meski kita tahu semua bahwa Korea Utara bukanlah negara yang demokratis.</p> <p>Di Indonesia, Soekarno pernah mendeklarasikan “Demokrasi Terpimpin.” Sementara Muhammad Natsir dalam tulisan-tulisannya berbicara tentang “Demokrasi Islam.” Konsep-konsep demokrasi seperti ini, oleh David Collier dan Steven Levitsky disebut sebagai “demokrasi dengan kata sifat,” yang ujung-ujungnya hanya menekankan kata sifatnya, ketimbang demokrasinya (Collier and Levitsky, “Democracy with Adjectives: Conceptual Innovation in Comparative Research,” World Politics 49.3, 1997).</p> <p>Kaum ideologis, baik Marxist, Leninist, Talibanist, Ikhwanist, maupun Tahririst, cenderung menggunakan “demokrasi” untuk kepentingan ideologi mereka. Pada dasarnya, mereka tidak menyukai atau bahkan anti terhadap demokrasi, karena demokrasi yang berarti “kedaulatan rakyat” tidak sejalan dengan landasan ideologi mereka. Kedaulatan berada di tangan Proletar (Marxist) atau di tangan Allah (Talibanist, Ikhwanist, dan Tahririst).</p> <p>Demokrasi Liberal. Lalu, dengan begitu banyaknya versi demokrasi, yang manakah demokrasi yang benar? Apakah Demokrasi Marxist? Demokrasi Ikhwanis? atau Demokrasi Tahriris? </p> <p>Jawabnya, tergantung bagaimana Anda mendefinisikan kata demokrasi itu. Tapi, kalau kita berbicara tentang demokrasi dalam pengertiannya yang modern, demokrasi yang berjalan sekarang ini, demokrasi yang diterapkan oleh negara-negara maju, demokrasi yang menjadi ukuran lembaga-lembaga internasional dan PBB, maka demokrasi yang dimaksud adalah “Demokrasi Liberal.”</p> <p>Karena itulah, C.B. Marcpherson, seorang ilmuwan politik ternama, berbicara tentang model-model demokrasi dalam kerangka “Demokrasi Liberal” (Macpherson. The Life and Times of Liberal Democracy. Oxford: Oxford University Press, 1977). Di luar demokrasi liberal, menurut Macpherson, adalah bukan demokrasi, tapi model-model lain yang pada dasarnya justru ingin membunuh demokrasi.</p> <p>Secara sederhana, demokrasi liberal bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan perwakilan, aturan hukum, dan konstitusi, serta perlindungan terhadap kebebasan individu, dan hak-hak minoritas. Demokrasi liberal tidak hanya menekankan pada pemilu dan jumlah mayoritas, tapi juga pada kebebasan individu dan hak-hak minoritas.</p> <p>Kaum ideologis (yang banyak datang dari kalangan Komunis dan Agama), kerap menyangka bahwa demokrasi hanyalah pemilu dan mayoritas. Demokrasi semacam ini lebih layak disebut sebagai “demorasi elektoral” atau “demokrasi prosedural.” Demokrasi semacam ini hanya menekankan mekanisme pertarungan politik saja, dan kurang peduli pada inti yang menjadi target demokrasi, yakni kebebasan individu dan hak-hak sipil.</p> <p>Islam Liberal. Kelompok-kelompok dan partai-partai Islam, sejak Masyumi hingga PKS, menolak konsep demokrasi liberal. Bagi mereka, demokrasi liberal bertentangan dengan ajaran Islam tentang “kedaulatan Allah” dan “keunikan Islam.” Muhammad Natsir mengatakan bahwa Islam tidak bisa menyerahkan segala urusan manusia kepada demokrasi, karena ada banyak hal yang secara qat’i (pasti) sudah diatur oleh syari’ah (Natsir. Persatuan Agama dengan Negara, Padang: Jajasan Pendidikan Islam, 1968).</p> <p>Pandangan-pandangan semacam itu belakangan selalu diulang-ulang oleh para tokoh Islam, baik dari PKS, FPI, maupun Hizbut Tahrir. Intinya, menurut mereka, demokrasi liberal tidak sesuai dengan Islam. Para pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahkan tak pernah sungkan-sungkan mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.</p> <p>Benarkah demikian? Benar, jika yang dimaksud dengan Islam adalah Islam yang sempit, yang tak mau berubah; Islam yang selalu memposisikan dirinya berlawanan dengan Barat; Islam yang dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk tentang dunia modern; Islam yang kelelahan karena selalu sibuk mencari-cari kesalahan orang lain.</p> <p>Tapi, demokrasi liberal sangat sesuai dan cocok dengan Islam yang juga mengusung nilai-nilai liberal. Inilah yang oleh para sarjana kontemporer disebut “Islam liberal.” Dalam sebuah tulisannya, Bernard Lewis, mengatakan, satu-satunya jenis Islam yang bisa menerima dan menjalankan “demokrasi liberal” adalah “Islam liberal,” yakni Islam yang meyakini bahwa kedaulatan adalah milik rakyat, dan bukan milik Tuhan, kebebasan individu harus dijamin, dan hak-hak minoritas harus ditegakkan (Lewis, “Islam and Liberal Democracy: A Historical Overview,” Journal of Democracy 7.2, 1996).</p> <p>Sejak tahun 1990-an, dan khususnya sejak peristiwa pengeboman WTC di Amerika Serikat, semakin tumbuh nilai-nilai liberal dalam diri kaum Muslim. Dari Maroko hingga Indonesia, perlahan-lahan bermunculan semangat liberalisme Islam. Sebagian besar mereka memilih menjadi pendukung dan penganut pasif, karena mereka sadar bahwa mengaku liberal berbahaya, karena kaum Muslim cenderung memusuhi liberalisme (seperti tercermin dalam fatwa MUI baru-baru ini). </p> <p>Tapi, sebagian lainnya, mencoba bersuara, mengambil sikap, sambil terus memperkuat jaringan dengan membangun organisasi-organisasi yang menyuarakan kebebasan, persamaan, dan hak-hak minoritas. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, saya merasakan denyut “Islam liberal” yang diam-diam terus tumbuh. </p> <p>Organisasi-organisasi seperti JIL, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, P3M, LKAJ (Jakarta), LKiS (Yogyakarta), LKPMP (Makassar), Syarikat (Yogyakarta), MiSPI (Aceh), LK3 (Banjarmasin), dan eLSAD (Surabaya), adalah kapal-kapal yang menampung gagasan dan semangat “Islam liberal.”</p> <p>Tentu saja, “Islam liberal” bukan hanya para anggota organisasi itu. Kaum Muslim siapa saja yang meyakini nilia-nilai kebebasan, menghormati hak-hak individu dan minoritas, serta berjuang untuk menegakkan demokrasi berlandaskan cita-cita kaum liberal—dan bukan cita-cita para ideolog dan demagog—adalah Muslim liberal.</p> <p>Kaum Muslim yang meyakini bahwa demokrasi, dan bukan teokrasi atau apalagi khilafah, sebagai sistem terbaik adalah Muslim liberal. Kaum Muslim yang menerima dasar negara yang plural, dan bukan dasar agama atau apalagi syariat Islam, adalah Muslim liberal. </p> <p>Akhirnya, demokrasi liberal hanya bisa diterapkan oleh orang-orang yang meyakini nilai-nilai liberal. Ia tidak bisa dijalankan oleh para demagog dan ideolog yang sesungguhnya hanya berpura-pura mengusung demokrasi, tapi sebenarnya ingin membunuh demokrasi itu sendiri.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-76374663505234965572008-05-15T11:24:00.001+07:002008-05-15T11:24:52.155+07:00Renesans dan Reformasi Agama<em>(Renaissance and Religious Reformism)</em> <h3 style="font-weight: normal;">By Luthfi Assyaukanie</h3> <p>Source: <span class="source">Jawa Pos, 20 December 2004</span></p> <br /> <p>Pemikiran Barat modern punya rujukan jelas ke mana sejarah liberalisme dan kebebasan harus dialamatkan. Tak lain dan tak bukan, ke periode renesans dan reformasi pada abad ke-16 Masehi. Renesans adalah masa kelahiran atau kebangkitan kembali manusia Barat setelah tertidur lama pada masa yang disebut “abad kegelapan” (dark ages). Kata ini berasal dari bahasa Itali, rinascimento, yang berarti “terlahir kembali.”</p> <p>Sementara itu, “reformasi” adalah gerakan pembaharuan keagamaan Kristen. Inti dari gerakan ini adalah sikap protes terhadap Gereja Katolik yang dinilai otoriter, kaku, dan tak bersahabat terhadap perubahan zaman. Karenanya, gerakan ini kemudian disebut sebagai gerakan Protestan.</p> <p>Baik renesans maupun reformasi menjadi landasan utama bagi sejarah peradaban Barat modern selanjutnya. Dua kata ini kemudian dipakai untuk menjelaskan akar sejarah berbagai konsep pemikiran yang muncul di dunia modern, seperti modernisme, humanisme, rasionalisme, pragmatisme, dan liberalisme.</p> <p>Lalu, ke manakah renesans dan reformasi dalam Islam harus dialamatkan? Kita sering berbicara tentang kebangikitan dan refromasi Islam, tapi rujukan kita terhadap dua istilah ini tak pernah jelas. Sebagian merujuk kepada gerakan puritanisme agama yang muncul pada pertengahan abad ke-20, sebagian yang lain merujuk kepada gerakan kebangkitan pada awal abad ke-19.</p> <p>Menurut hemat saya, kalau kita ingin menyamakan gerakan renesans dan reformasi Islam dengan gerakan serupa di Eropa, maka kita harus menyamakan sifat dan karakternya. Di Eropa, renesans adalah keinginan untuk mengulangi masa kegemilangan peradaban Greko-Romawi, yang terjadi pada lima abad terakhir dan tiga abad pertama sebelum dan sesudah masehi. Pada masa ini, kebudayaan Eropa mencapai puncaknya.</p> <p>Periode kegelapan (dark ages) adalah masa yang terbentang selama “abad pertengahan” (medieval), yakni masa-masa di mana masyarakat Eropa didominiasi oleh pemerintahan dan kekuasaan agama. Para sejarawan biasanya merujuk antara abad ke-4 hingga abad ke-15 sebagai masa-masa peradaban skolastik atau peradaban yang dikuasai oleh para penguasa Gereja. Masa-masa ini adalah periode yang ingin dikubur oleh tokoh renesans.</p> <p>Islam juga memiliki masa-masa kejayaan dan masa-masa kegelapan. Meski tidak setepat pengalaman Eropa, kita bisa membagi sejarah kegemilangan Islam pada masa-masa antara abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-13, atau hampir berbarengan dengan masa-masa kegelapan di Eropa. Setelah masa itu, peradaban Islam menjalani masa-masa kegelapan (dark ages). Dengan demikian, abad pertengahan dalam Islam terjadi antara abad ke-14 hingga abad ke-19.</p> <p>Perbedaan paling nyata antara dua periode itu (kegemilangan dan kegelapan) adalah bahwa pada masa kegemilangan, semangat dan pencapaian budaya, seni, pemikiran, dan filsafat Islam begitu besar. Ratusan ilmuwan dilahirkan dan ribuan buku ditulis pada periode ini. Sementara itu, pada masa kegelapan, produksi intelektualisme menurun drastis dan ilmuwan besar tak lagi dilahirkan.</p> <p>Dengan demikian, renesans dalam Islam, jika kita ingin menggunakan konsep ini, adalah semangat untuk kembali kepada nilai-nilai peradaban yang pernah dicapai pada masa kegemilangan Islam. Dengan demikian juga, reformasi adalah pembaruan keagamaan dan protes terhadap model dan cara beragama pada era kegelapan, era di mana ijtihad, rasionalitas, filsafat, dan pemikiran, dikecam dan dicampakkan. </p> <p>Renesans dan reformasi dalam Islam, jika demikian, bukanlah merujuk kepada gerakan kebangkitan agama dalam maknanya yang puritan, bukan pula gerakan yang kembali kepada semangat ortodoksisme dan konservatisme. Tapi, gerakan renesans dan reformasi dalam Islam adalah gerakan mengembalikan nilai-nilai dan semangat rasionalisme dan liberalisme seperti pada masa-masa kegemilangan peradaban Islam.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-21656675526411405242008-05-15T11:23:00.001+07:002008-05-15T11:23:31.828+07:00Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim<em>(The Need to Change Muslim Political Attitude)</em> <h3>By Luthfi Assyaukanie</h3> <p>Source: <span class="source">Media Indonesia, 19 March 2004</span></p> <p>Khilafah adalah salah satu produk pemikiran politik Islam klasik yang semakin tidak populer. Sebab utama ketidakpopuleran konsep ini adalah bahwa ia tidak lagi visibel untuk diterapkan dalam kehidupan modern di mana konsep negara-bangsa (nation-state) telah menjadi satu konsensus semua orang modern. Khilafah yang mengandaikan adanya satu payung kekuasaan politik di mana seorang khalifah (pemimpin negara) berkuasa penuh terhadap negara-negara Muslim di dunia, adalah gagasan utopis yang absurd. Bahkan di masa silam ketika peradaban Islam mencapai kejayaannya, gagasan khilafah, sesungguhnya tak pernah berjalan secara sempurna.</p> <p>Karakter khilafah yang totaliter hanya mungkin terlaksana pada wilayah geografis yang tidak terlalu luas dan masyarakat politik yang relatif homogen. Karena itu, dalam sejarah Islam, konsep khilafah dalam pengertian yang sesungguhnya, hanya pernah terjadi selama empat dasawarsa pertama, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan pada masa Ali, institusi khilafah mulai mengalami ancaman serius yang berpuncak pada terbunuhnya sang khalifah dan naiknya Muawiyah dari klan Bani Umayyah menggantikan Ali.</p> <p>Di tangan Bani Umayyah, lembaga khilafah menjadi sistem kerajaan yang otoriter. Para khalifah Bani Umayyah berusaha mengatasai gejolak-gejolak politik secara dingin. Dan pada tingkat tertentu mereka berhasil. Tapi, dengan semakin meluasnya wilayah Islam, dinasti Umayyah tak lagi mampu mengontrol kekuasaannya. Maka, pada pertengahan abad ketiga hijriah, dimulai dari konflik-konflik berdarah yang panjang, institusi khilafah, untuk pertama kali dalam sejarah Islam, terbelah menjadi dua: satu di bawah kekuasaan Abbasiyyah yang berkuasa di Baghdad dan lainnya berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah yang berkuasa di Andalusia. Sejak saat itu, konsep khilafah yang mengandaikan adanya satu kepemimpinan politik Islam hanyalah sebatas konsep teoretis yang tak punya rujukan di dunia nyata.</p> <p>Khilafah dan Totalitarianisme. Adalah mengherankan kalau pada masa modern, sebagian kaum Muslim berusaha menghidupkan konsep khilafah yang sudah mati ratusan tahun silam. Mengherankan karena sistem ini telah terbukti gagal dan tak berjalan dengan sempurna. Bahkan pada masa-masa awal Islam, yakni masa khalifah yang empat (khulafa al-rasyidun), yang kerap dianggap sebagai contoh ideal, sistem khilafah tidak berjalan secara mulus. Berbagai konflik, ketegangan politik, dan peperangan, mewarnai masa-masa ini. Cukuplah bagi kita menyebutkan bahwa tiga khalifah terakhir dari khulafa al-rasyidun, semuanya mati terbunuh secara mengenaskan. Jika sistem itu memang benar-benar berjalan dengan baik dan ideal, mestinya ada sebuah mekanisme politik yang dapat menjamin keamanan pengelola negara dan ketenteraman masyarakatnya.<br />Para pendukung gagasan khilafah kerap memiliki gambaran yang ideal tentang sistem politik Islam ini. Mereka membayangkan bahwa di bawah satu komando Islam, kaum Muslim bakal mudah diarahkan menjalankan aktifitas kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Secara politik, lembaga khilafah juga bisa dimanfaatkan untuk memobilisasi kaum Muslim sesuai dengan keinginan sang penguasa atau khalifah. Akibatnya, sistem khilafah model ini sangat mirip dengan komunisme atau fasisme, di mana semua masyarakat harus tunduk kepada satu rezim totaliter.</p> <p>Hampir semua sistem totaliter dibangun lewat cara-cara pemaksaan dan kekerasan. Komunisme adalah contoh paling jelas dalam sejarah totalitarianisme. Namun, karena pemaksaan dan kekerasan bertentangan dengan fitrah manusia, sistem ini gagal dan berakhir dengan kebangkrutan. </p> <p>Para pendukung gagasan khilafah tentu saja akan menolak jika gagasan mereka dibandingkan dengan komunisme atau sistem totaliter lainnya. Tapi, penolakan itu sesungguhnya merefleksikan ketidakmantapan dan ketidakpercayaan diri dalam menyikapi konsep khilafah. Dalam filsafat politik Islam klasik, khilafah didefinisikan sebagai sebuah sistem politik totaliter (nidham al-siyasi al-syamil) di mana Islam menjadi pilar utamanya, sama seperti sosialisme dalam sistem komunisme. Khilafah yang tidak totaliter adalah bukan khilafah, tapi sistem politik lain yang diklaim sebagai khilafah.</p> <p>Dari Khilafah ke Negara Islam. Para intelektual Muslim modern seperti Rasyid Ridha dan Abul A’la al-Maududi mencoba bersikap jujur dan mengakui bahwa khilafah adalah sebuah gagasan utopis yang sulit untuk diterapkan. Berpijak dari kegagalan Jamaluddin al-Afghani dengan gagasan pan-Islamismenya, para intelektual Muslim itu mencoba bersikap realistis dengan mengesampingkan ide khilafah dan menggantinya dengan konsep “negara Islam.” Di dunia modern di mana paradigma komunitas politik didominasi oleh gagasan negara-bangsa, hanya gagasan “negara Islam” yang mungkin untuk diterapkan.</p> <p>Maka, sejak paruh pertama abad ke-20, banyak dari pemimpin Muslim berlomba-lomba menyuguhkan konsep negara Islam sebagai alternatif dari sistem khilafah yang tak bisa lagi diterima oleh sebagian besar kaum Muslim. Pada tahun 1902, Arab Saudi memulainya dengan mendeklarasikan diri sebagai “kerajaan Islam.” Langkah ini kemudian disusul oleh Pakistan, Sudan, dan Iran yang mengumumkan diri sebagai “republik Islam.”</p> <p>Di Indonesia, gagasan “negara Islam” pernah sangat kuat didukung oleh partai-partai Islam dan hampir terrealisasi pada pertengahan tahun 1950-an, kalau saja partai-partai itu berhasil memenangkan Pemilu. Tapi, lambat-laun, orang pun semakin sadar bahwa konsep “negara Islam” pun tidak realistis dan tak bisa bekerja dengan baik. Tidak mengherankan kalau sejak tahun 1970-an, para tokoh Muslim sendiri mulai mengkritisi dan bahkan menolaknya.</p> <p>Ada banyak alasan untuk menolak ide negara Islam. Di antaranya, negara-negara yang menerapkan sistem ini, seperti Arab Saudi, Pakistan, Sudan, dan Iran, baik secara sosial, politik, dan ekonomi, gagal memberikan contoh yang baik. Bahkan negara-negara itu cenderung memberikan contoh buruk dengan banyaknya pelanggaran HAM, hilangnya kebebasan, dan kondisi hidup masyarakatnya yang terbelakang. Singkat kata, negara Islam bukanlah solusi yang baik bagi kehidupan bernegara orang-orang modern.</p> <p>Berbagai Pilihan Model Politik. Salah satu sebab mengapa gagasan khilafah atau negara Islam tidak lagi relevan dan karenanya ditolak oleh sebagian besar kaum Muslim adalah karena ia menyalahi logika politik yang berlaku pada masa kini. Seperti saya katakan di atas, gagasan khilafah hanya mungkin diterapkan pada wilayah geografis yang terbatas dan komunitas politik yang relatif homogen. Sekarang ini, adalah mustahil menyatukan kaum Muslim yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik. Langkah maksimal yang bisa dilakukan adalah mewujudkan organisasi internasional seperti OKI (Organisasi Konferensi Islam) dengan tetap memberikan kebebasan pada masing-masing negara anggota untuk menentukan dan mengatur urusan politiknya.<br />Keterbatasan lain dari konsep khilafah (dan juga negara Islam) adalah pada karakternya yang eksklusif. Di tengah komunitas politik yang beragam di mana manusia tidak lagi dilihat berdasarkan afiliasi agamanya, tapi karena statusnya sebagai warga negara, konsep politik yang mengedepankan afiliasi keagamaan tak lagi bisa bekerja. Baik konsep khilafah maupun negara Islam memiliki persoalan serius menyangkut isu-isu agama-politik. </p> <p>Dengan keterbatasan seperti itu, para pembaru Muslim sejak awal abad ke-20 telah berusaha melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi pemikiran klasik. Mereka berpendepat bahwa konsep-konsep politik masa silam harus dilihat dan diletakkan pada semangat zamannya. Dari sini, para ulama modernis menganggap bahwa konsep khilafah sudah tak lagi relevan. Soal platform dan model politik sepenuhnya dikembalikan kepada ijtihad kaum Muslim apakah mereka akan mengambil bentuk republik, parlementer, atau kerajaan. Yang ditekankan adalah bagaimana sebuah model politik dapat berjalan dan memberikan maslahat kepada orang banyak dan bukan hanya kepada sekelompok penganut agama tertentu saja.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-51491297990758823252008-05-15T10:43:00.000+07:002008-05-15T10:44:26.602+07:00SKB TENTANG AHMADIYAH<div class="item" id="post-248"> <div class="item-text"> <p><em>Bismillah ar-Rahman ar-Rahim </em></p> <p>Kemarin, usai acara diskusi “Konstruksi Kepemimpinan Menuju Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Jakarta Media Center, saya ditanya oleh sejumlah wartawan mengenai Ahmadiyah, sehubungan dengan <img src="http://yusril.ihzamahendra.com/wp-content/uploads/2008/05/mirza-ghulam-ahmad.jpg" alt="Mirza_ghulam_ahmad" align="left" border="0" height="335" hspace="0" width="288" />rencana diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, yang kini tengah menjadi berita hangat media massa di tanah air. Waktu itu saya menjawab, yang harus diterbitkan bukanlah sebuah SKB karena istilah itu sudah tidak dikenal lagi dengan diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004. Istilah yang benar ialah Peraturan Menteri. Apakah Peraturan itu dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah Keputusan, dengan berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan untuk sebuah penetapan, seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur.</p> <p>Beberapa jam setelah saya menjawab pertanyaan wartawan di atas, beredar berita melalui SMS bahwa saya sama saja dengan Adnan Buyung Nasution yang menentang SKB tentang Ahmadiyah. Hal inilah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini, melengkapi apa yang sudah diberitakan oleh beberapa media, antara lain Detik.Com kemarin, Republika, Indopos dan The Jakarta Post hari ini. Saya menegaskan bahwa saya bukannya tidak setuju dengan SKB itu, tetapi bentuk peraturan hukum yang diterbitkan ialah Peraturan Bersama, bukan Surat Keputusan Bersama. Memang istilah Keputusan Bersama dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, tetapi setelah berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, maka istilah Peraturan Bersama lebih sesuai untuk digunakan. Dengan penjelasan ini, mudah-mudahan segala kesalahpahaman akibat pemberitaan sepotong-sepotong, dapat dijernihkan.<span id="more-248"></span></p> <p>Pendapat saya tentang Ahmadiyah sebenarnya tegas saja. Bagi saya, seseorang masih dapat dikatakan seorang Muslim, apabila dia berpegang teguh dan berkeyakinan sejalan dengan prinsip akidah Islam, yakni La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Tentang Muhammadur Rasulullah itu tegas pula dianut prinsip, bahwa sesudah beliau tidak ada lagi rasul dan nabi yang lain. Kalau mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad (lihat gambar) adalah nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w, saya berpendirian bahwa keyakinan tersebut sudah menyimpang dari pokok akidah Islam. Karena itu, lebih baik jika penganut Ahmadiyah itu menyatakan diri atau dinyatakan sebagai non-Muslim saja. Dengan demikian, hak-hak konstitusional mereka di negara Republik Indonesia ini tetap sah dan diakui. Saya memberikan contoh di Pakistan, para penganut Ahmadiyah –lebih khusus disebutkan kelompok Ahmadiyah Qadian atau Qadiani — yang tegas-tegas digolongkan sebagai minoritas bukan Muslim atau “Non Muslim minority”. Sebab itu Konstitusi Pakistan menetapkan bahwa mereka mempunyai wakil di Majelis Nasional Pakistan yang diangkat untuk mewakili golongan minoritas.</p> <p>Dalam agama Islam memang diakui keberadaan mazhab-mazhab, yakni berbagai aliran penafsiran baik di bidang Ilmu Kalam, Fiqih dan Tasawwuf. Namun perbedaan penafsiran itu tidaklah sampai mempertentangkan pokok-pokok ajaran Islam, melainkan detil-detilnya. Dalam Kalam misalnya, tafsiran kaum Muktazilah dengan kaum Asy’ariyyah tentang al-Qada wal-Qadar, walau berbeda namun tetap dalam batas-batas yang sejalan dengan pokok-pokok akidah. Demikian pula halnya mazhab-mazhab fiqih, adalah perbedaan dalam menafsirkan kaidah-kaidah hukum sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang tidak menyimpang dari asas-asas syariah. Dalam Tasawwuf, para aliran sufi saling berbeda persepsi mengenai cara-cara berdzikir dalam mendekatkan diri kepada Allah. Namun dalam hal akidah yang pokok, tak ada perbedaan yang prinsipil di antara aliran-aliran tasawwuf. Adapun meyakini bahwa masih ada seorang nabi setelah Nabi Muhammad s.a.w, jelaslah menyalahi prinsip akidah Islam. Sebab itulah, Rabithah al-Alam al-Islami dan Organisasi Konfrensi Islam (OKI) telah lama mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmadiyah (Qadian) adalah golongan yang telah keluar dari Islam. Pemerintah Arab Saudi juga melarang penganut Ahmadiyah (Qadian) menunaikan ibadah haji. Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1984 juga telah menerbitkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang telah keluar dari Islam.</p> <p>Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Sebagai sebuah perkumpulan, Ahmadiyah Indonesia telah pula mendapat status badan hukum yang disahkan Kementerian Kehakiman pada tahun 1950-an. Namun aktivitas gerakan ini sampai sekarang meresahkan bagian terbesar Umat Islam di Indonesia. Tempat ibadah mereka disebut “mesjid” juga. Sementara di samping al-Qur’an, mereka juga menggunakan Kitab Tadzkirah sebagai pegangan dalam keyakinan mereka, khususnya tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad serta ajaran-ajarannya. Sebab itu tidak mengherankan jika berbagai ormas Islam mendesak Pemerintah untuk melarang gerakan Ahmadiyah ini sejak lama. Dalam beberapa bulan terakhir ini isyu Ahmadiyah kembali mencuat dan tindak kekerasan terjadi di berbagai tempat. Dalam konteks inilah, wacana keluarnya “SKB” muncul ke permukaan.</p> <p>Apakah dasar hukum yang diinginkan agar Pemerintah melarang keberadaan Gerakan Ahmadiyah itu? SKB yang menjadi bahan pembicaraan itu bersumber pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam undang-undang ini disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1). Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan kegiatan seperti itu, diberi “perintah dan peringatan keras” untuk menghentikan kegiatannya. Perintah itu dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam bentuk “Keputusan Bersama”. Apabila kegiatan itu dilakukan oleh sebuah organisasi maka “Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Apabila orang/organisasi tersebut telah diberi peringatan atau dibubarkan dan dilarang oleh Presiden, namun tetap membandel, maka kepada mereka dapat dituntut pidana dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 ini pula, ketentuan Pasal 156 KUHP ditambah dengan Pasal 156a yang antara lain berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia”.</p> <p>Nah, kalau membaca dengan cermat isi UU Nomor 1/PNPS/1965 di atas, maka keliru kalau ada yang meminta Pemerintah — dalam hal ini Menteri Agama, mendagri dan Jaksa Agung — untuk menerbitkan “SKB “untuk melarang Ahmadiyah. “SKB” hanya dapat memberikan perintah dan peringatan keras kepada orang perorangan yang melanggar ketentuan Pasal 1 UU tersebut. Kalau Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan/perkumpulan/organisasi, maka yang dapat membubarkan dan melarangnya bukan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, tetapi Presiden Republik Indonesia. Jadi permintaan harus disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukan kepada Muhammad Maftuch Basyuni, Mardiyanto dan Hendarman Supanji.</p> <p>Ada kalangan yang berpendapat bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 itu sudah ketinggalan zaman, tidak sejalan dengan hak asasi manusia, demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen. Sebagai tafsiran dan pendapat boleh-boleh saja. Pendapat yang sebaliknya juga ada, namanya saja tafsir dan pemahaman. Namun hingga kini keberadaan undang-undang tersebut sebagai kaidah hukum postif secara formal masih berlaku, sebab belum pernah diubah atau dicabut oleh Presiden dan DPR. Mahkamah Konstitusi sampai kini juga belum pernah membatalkan undang-undang itu dan menganggapnya bertentangan dengan UUD 1945 dalam permohonan uji materil. Jadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 itu sah sebagai undang-undang yang berlaku. Bahwa sampai sekarang dua menteri dan Jaksa Agung belum juga menerbitkan “SKB” dan Presiden belum juga mengeluarkan Peraturan Presiden membubarkan dan sekaligus melarang organisasi/perkumpulan Ahmadiyah, semuanya itu tergantung kepada kemauan dan keberanian politik mereka itu. Walaupun konon, anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution menentang, namun nasehat anggota Wantimpres, bahkan Wantimpres sebagai sebuah lembaga, tidaklah mengikat Presiden. Jangankan hanya Adnan Buyung Nasution, nasehat seluruh anggota Wantimpres dapat diabaikan Presiden, kalau Presiden berpendapat lain. Saya dengar rapat mengenai Ahmadiyah ini telah beberapa kali dilakukan oleh beberapa menteri yang dipimpin Presiden dan juga dihadiri anggota Wantimpres. Namun hingga kini, kita belum tahu keputusan apa yang akan diambil, baik oleh Manteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung, maupun oleh Presiden sendiri. Reaksi atau komentar Presiden atas soal Ahmadiyah ini belum terdengar. Ini beda dengan reaksi beliau yang cukup cepat terhadap isyu poligami yang dilakukan Aa Gim, walau hal itu lebih bersifat personal Aa Gim. Perbedaan tafsir mengenai poligami masuk ke dalam bidang fikih Islam. Masalahnya tidak menyangkut akidah, dibanding dengan isyu Ahmadiyah yang kini menyita banyak perhatian umat Islam, politisi dan aktivis hak asasi manusia di tanah air, bahkan gemanya jauh ke mancanegara.</p> <p><em>Wallahu’alam bissawwab</em></p> </div> <p class="item-foot"> <span class="print-link"><a href="http://yusril.ihzamahendra.com/2008/05/09/skb-tentang-ahmadiyah/print/" title="Cetak artikel" rel="nofollow">Cetak artikel</a> </span> Oleh Yusril Ihza Mahendra — May 9th, 2008</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-69816346896335565882008-05-15T10:42:00.000+07:002008-05-15T10:43:37.494+07:00Agama dan Pencerahan<em>(Religion and Enlightenment)</em> <h3>By Luthfi Assyaukanie</h3>Sekitar 220 tahun lalu, Immanuel Kant menulis sebuah risalah kecil berjudul “Apa Itu Pencerahan?” Risalah ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan banyak intelektual pada masa itu. Dalam bahasa Jerman, pencerahan disebut “aufklarung.” <p>Menurut Kant, pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Sedangkan ketidakmatangan sendiri adalah “ketidakmampuan menggunakan penalaran pribadi” dan keinginan untuk selalu merujuk dan menggunakan pendapat orang lain. Manusia menjadi tidak matang bukan karena dia tidak mau berpikir, tapi karena dia takut menggunakan pemahamannya sendiri. </p> <p>Inti dari zaman pencerahan di Eropa, di mana Kant sebagai salah satu pionirnya, adalah anjuran menggunakan pemahaman sendiri, dan membuang jauh-jauh pemahaman orang lain yang tidak relevan. Selama kita masih bergantung kepada pemahaman orang lain, selama itu pula kita tak akan pernah matang. Dan karenya, tak akan bisa tercerahkan.</p> <p>Semboyan pencerahan yang sangat terkenal adalah “Sapere Aude!” yang berarti “beranilah menggunakan pemahaman Anda sendiri!” Dengan kata lain, orang yang tidak berani menggunakan pemahamannya sendiri bukanlah orang yang tercerahkan.</p> <p>Yang ditekankan dalam pencerahan bukanlah “menggunakan pemahaman sendiri,” tapi “berani.” Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan orang lain.</p> <p>Orang lain itu bisa Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.</p> <p>Pencerahan memerlukan kedewasaan dan kematangan. Orang yang selalu menganggap orang lain lebih besar dan lebih otoritatif dari dirinya, tak akan pernah bisa dewasa dan tak akan pernah bisa matang.</p> <p>Hal-hal baru ditemukan bukan dengan mengulang-ngulang pendapat lama, tapi mencari sendiri pendapat baru secara kreatif. Pengulang-ulangan pendapat orang lain tak akan membawa seseorang ke mana-mana, kecuali ke masa silam itu sendiri, yang menjadi rujukannya.</p> <p>Gerakan pembaruan keagamaan adalah gerakan pencerahan. Ia seperti gerakan aufklarung di Jerman yang dimotori oleh Kant. Para pembaru agama adalah orang-orang yang tercerahkan dan orang-orang yang telah mendapatkan kematangan dirinya.</p> <p>“Keberanian” seperti juga “kebebasan” adalah suatu konsep yang paling sulit diterima manusia. Karena manusia cenderung menerima apa yang sudah ada, yang sudah jadi. Sesuatu yang “liar” dan “tanpa batas” adalah sesuatu yang menakutkan. Karenanya, buat mereka, lebih baik menerima kondisi yang ada, meskipun itu buruk dan tidak menarik.</p> <p>Orang-orang yang tercerahkan selalu berpikir ke depan, dan selalu memikirkan kemungkinan yang lebih baik dari kondisi yang ada. Karena itulah mereka berani menggunakan pemahamannya sendiri dan membuang jauh-jauh pandangan-pandangan dari masa silam yang tak lagi relevan.</p> <p>Banyak sekali pandangan yang datang dari masa silam diambil begitu saja oleh kaum Muslim, tanpa ada sikap kritis sedikitpun. Ide-ide seperti khilafah, syariah, dan negara Islam, adalah produk pemikiran masa silam yang sama sekali tak lagi relevan dengan konteks zaman kita.</p> <p>Selama kita masih terus saja mengulang-ulang pendapat orang-orang di masa silam dan takut mengemukakan pendapat kita sendiri, selama itu pula kita tak pernah tercerahkan.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-65293296020385979172008-05-07T19:25:00.001+07:002008-05-07T19:25:46.730+07:00Kekerasan Atas Nama Agama<span class="penulis">Oleh : Ahmad Syafii Maarif </span><br /> <br /> <p><span class="deskripsi"> Tindakan kekerasan, brutalitas, bahkan peperangan atas nama agama bukan barang baru dalam sejarah peradaban (kebiadaban) manusia. Pelaku tindakan ini merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. </span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Karena itu, mereka berhak memonopoli kebenaran. Seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Perkara pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Seorang Presiden, George W. Bush, penganut Kristen puritan fundamentalis telah memakai agama untuk menghancurkan bangsa lain yang tak berdaya dengan seribu dalih. Perkembangan terakhir menunjukkan semakin banyak tentara Amerika yang bunuh diri karena diimpit suasana putus asa: perang di Afghanistan dan Irak tidak kunjung usai. Mereka memilih mati berkalang tanah daripada hidup becermin mayat. Itu belum lagi yang menjadi gila, rusak ingatan akibat perang yang dipaksakan. Bush dan para pendukungnya yang haus darah tidak hirau dengan semuanya ini.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Sementara itu, di kalangan segelintir Muslim, termasuk di Indonesia yang berkoar anti-Barat, atas nama agama telah membencanai tempat-tempat ibadah, perkantoran, bahkan rumah-rumah mereka yang berbeda agama atau mereka yang dianggap sesat dengan menggunakan fatwa MUI. Para pengrusak ini dari sudut pandang sistem nilai tidak banyak berbeda dengan Bush yang secara lahiriah ditentang oleh mereka. Di sinilah ironi itu berlaku. Dalam retorika politik, mereka seperti bermusuhan. Tetapi, dalam kelakuan, mereka bersahabat. Bedanya, Bush merusak dalam skala besar dengan persenjataan modern, sedangkan mereka dalam skala kecil, seperti dengan memakai pentungan, golok, linggis, dan lain-lain. Sementara itu, aparat seperti tidak mampu menghalangi mereka.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Dengan mengatakan demikian, anda jangan salah paham bila dikaitkan dengan paham Ahmadiyah yang jadi berita besar sekarang ini. Secara teologis, saya menolak 200 persen pendapat yang mengatakan bahwa ada nabi pasca-Muhammad, sekalipun katanya tidak membawa syariat. Jika memang begitu, mengapa harus dihadirkan nabi baru? Di sinilah saya gagal memahami kehadiran aliran Ahmadiyah. Mengapa tidak kembali saja kepada ajaran Islam semula. Adapun jika Ghulam Ahmad dipercayai sebagai pembaru, mungkin masalahnya tidak menjadi ruwet, sekalipun sebagian besar umat Islam tidak mengakuinya.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Sepanjang sejarah Islam selama sekian abad, umat yang percaya kepada kemunculan pembaru bukan barang baru, tetapi hanya sebagian tokoh yang memercayainya. Dengan pernyataan ini, posisi saya tentang Ahmadiyah sudah sangat gamblang. Memang dalam beberapa hadis dikatakan tentang akan turunnya nabi Isa sebelum kiamat. Dan katanya, Ghulam Ahmadlah orangnya.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Saya sungguh berharap agar hadis-hadis serupa ini diteliti kembali, sebab implikasinya sangat dahsyat. Maksud saya, jika Isa masih harus turun kembali, berarti misi Muhammad gagal. Saya tidak percaya bahwa nabi Isa masih hidup, karena dia adalah manusia biasa yang atas dirinya berlaku sepenuhnya hukum alam: lahir, dewasa, tua, dan mati. Tetapi, Alquran membantah bahwa kematian nabi Isa karena disalib. Masalah ini biarlah tidak diperdebatkan panjang-panjang, sebab saudara-saudara Kristen kita memercayai bahwa Isa mati di kayu salib. Kita tidak perlu memasuki teologi mereka.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Kembali kepada masalah kekerasan atas nama agama. Saya akan membela sepenuhnya posisi Ahmadiyah jika mereka dizalimi, hak milik mereka dirampok, dan keluarga mereka diusir. Ini perbuatan biadab karena pengikut Ahmadiyah itu punya hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain menurut konstitusi Indonesia. Jika mereka dizalimi, aparat dan kita semua wajib melindungi mereka. Bahkan, seorang warga negara Indonesia penganut ateisme, tetapi patuh kepada UUD, tidak ada hak kita untuk membinasakan mereka. Kita bisa bergaul dengan mereka dalam masalah-masalah keduniaan. Mereka juga punya hak hidup dengan ateismenya.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"> Di sinilah pentingnya kita memahami secara jujur diktum Alquran dalam Albaqarah ayat 256, "Tidak ada paksaan dalam agama." Jika Tuhan tidak mau memaksa hambanya untuk memeluk atau tidak memeluk agama, mengapa kita manusia mau main paksa atas nama Tuhan? Sikap semacam inilah yang bikin kacau masyarakat. Oleh karena itu, Alquran jangan dibawa-bawa untuk menindas orang lain. Kekerasan atas nama agama adalah pengkhianatan yang nyata terhadap hakikat agama itu sendiri. </span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-11950076837100488492008-05-06T16:22:00.000+07:002008-05-06T16:23:36.620+07:00Islam dan Modernitas Berjalan Seiring<div id="judulartikelcetak"><br /></div> <div class="txtartikelcetak"> <span class="tglct">Rabu, 30 April 2008 | 01:39 WIB</span> <p style="text-align: left;"><strong>Musthafa Abdul Rahman</strong></p><p>Selasa siang, 18 Maret 2008, di Casablanca, Maroko. Duduk di sebuah kafe sambil minum teh panas di jantung kota Casablanca, untuk sekadar melepaskan lelah dari berziarah di Masjid Hassan II. Masjid Hassan II dibangun selama tujuh tahun dengan melibatkan ribuan pekerja.</p><p>Masjid tersebut kini menjadi salah satu ikon kota Casablanca. Di seberang jalan dari kafe itu berdiri gagah Hotel Hyatt Regency yang megah dan modern. Tak jauh dari hotel itu tampak pula hotel-hotel lain berbintang lima. Hiruk-pikuk kendaraan dari berbagai merek melintasi jalan raya besar yang membelah antara Hotel Hyatt Regency dan pusat pertokoan di jantung kota Casablanca itu.</p><p>Dari kafe tersebut bisa disaksikan geliat modernitas kehidupan di Maroko dengan kota Casablanca sebagai representasinya. Casablanca merupakan kota terbesar di Maroko serta dikenal sebagai kota perdagangan dan keuangan di negara tersebut.</p><p>Kehadiran Masjid Hassan II sebagai salah satu ikon kota dan geliat kehidupan modern di kota Casablanca sesungguhnya merupakan potret dari karakteristik negara Maroko yang menganut sistem monarki itu.</p><p>Potret itu adalah keberhasilan sistem monarki di Maroko menjadikan Islam dan modernitas berjalan seiring. Maroko pun tampak tampil dengan dua wajah, yakni Islam dan kemodernan (Barat) yang berpadu harmonis dalam sosial, budaya, ekonomi, dan politik.</p><p>Dalam konteks sosial budaya, nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan yang menjadi salah satu sendi peradaban modern terpatri cukup kokoh. Salah satu kasus adalah masalah kaum Yahudi Maroko yang kini hidup sangat aman dan nyaman di Maroko.</p><p>Raja Maroko berkomitmen melindungi komunitas Yahudi di negara itu. Kini ada sekitar 7.000 warga Yahudi di Maroko. Salah seorang penasihat raja bahkan berasal dari Yahudi. Sebagian besar warga Yahudi kini berdomisili di Casablanca.</p><p>Menurut penuturan salah seorang anggota staf KBRI Rabat, warga Yahudi dari mancanegara, khususnya dari Israel, rajin berziarah ke kuburan mendiang Raja Muhammad V di Rabat. Raja Muhammad V dikenal sebagai pelindung yang gigih kaum Yahudi di Maroko.</p><p>Tidak perlu terkejut jika saat berjalan-jalan di tengah kota Casablanca, kita sering berpapasan dengan warga Yahudi dengan pakaian khasnya, yakni pakaian warna serba hitam dan topi hitam pula. Bagi warga Casablanca, tampak sudah terbiasa bertemu, berpapasan, dan berjalan dengan warga Yahudi dalam kehidupan keseharian.</p><p>Sebaliknya, warga Yahudi itu tampak tidak canggung sama sekali berjalan bersama warga Arab, seakan mereka seperti berada di Israel saja. Maroko menjadi tempat beradanya komunitas Yahudi terbesar di dunia Islam. Cikal bakal keberadaan kaum Yahudi di Maroko bermula sejak 2000 tahun silam.</p><p>Memang pernah terjadi pembantaian kaum Yahudi di Fez tahun 1033 dan di Marrakech tahun 1232, tetapi kaum Yahudi mendapatkan perlakuan yang sama sejak masa protektorat Perancis pada tahun 1912.</p><p>Dalam waktu yang sama, Maroko, kini sebagai Ketua Komite Al Quds (Jerusalem), bertugas memelihara dan melindungi kota Al Quds dari aksi Yahudinisasi. Komite Al Quds merupakan salah satu badan otonom dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).</p><p>Maroko sendiri adalah salah satu pendiri OKI pada tahun 1969, menyusul dibakarnya Masjid Al Aqsa oleh ekstremis Yahudi saat itu. Kapasitas Maroko dalam OKI itu tidak mengganggu sama sekali terhadap keberadaan kaum Yahudi di negara tersebut.</p><p><strong>7,45 juta wisatawan</strong></p><p>Di sektor ekonomi, Maroko membuka diri secara besar-besaran. Menurut laporan Bank Pembangunan Afrika, pertumbuhan ekonomi Maroko mencapai 7 persen. Pendapatan per kapita 4.600 dollar AS (sekitar Rp 42,3 juta) per tahun. Maroko dengan penduduk 33.757.175 merupakan kekuatan ekonomi kelima di Benua Afrika setelah Afrika Selatan, Mesir, Aljazair, dan Nigeria.</p><p>Maroko kini merupakan salah satu tujuan wisata terbesar di dunia. Tahun 2007, sebanyak 7,45 juta turis mengunjungi Maroko. Dalam upaya mendongkrak jumlah wisatawan, banyak negara termasuk Indonesia bebas visa masuk ke Maroko.</p><p>Pemerintah Maroko juga membangun pusat-pusat wisata secara besar-besaran selama 20 tahun terakhir ini, seperti kota pantai Algadir, kota sejarah Marrakech, dan kota spiritual Fez, selain Casablanca sebagai kota perdagangan.</p><p>Maroko telah menandatangani pula perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan Uni Eropa. Perdagangan bebas Maroko-Uni Eropa akan dilaksanakan mulai tahun 2010. Pilihan politik, ekonomi, dan budaya di Maroko bukan berarti tanpa dampak.</p><p>Maroko juga diguncang aksi-aksi teroris terakhir ini. Aksi teroris yang paling populer adalah serangan bunuh diri di Casablanca pada tahun 2003 yang menyebabkan 40 orang tewas. Namun, aparat keamanan Maroko secara umum masih mampu mengendalikan situasi keamanan negara.</p><p>Menurut pengamat politik Maroko, Mohamed Noruddin Afayeh, legitimasi sistem monarki di Maroko berpijak pada tiga fondasi. Pertama, agama (Islam). Kedua, adat istiadat. Ketiga, modernitas.</p><p>Afayeh menjelaskan, kemampuan monarki menyinergikan tiga fondasi tersebut dalam aplikasinya di lapangan adalah membuat negeri Maroko mengalami stabilitas cukup lama dan sistem monarki pun tetap mendapat dukungan kuat dari rakyat hingga hari ini, sekaligus fleksibel dalam menyerap nilai-nilai kemodernan.</p><p>Raja Maroko pun dipandang sebagai perwujudan dari tiga fondasi tersebut. Dalam konteks legitimasi agama, Raja Maroko dipercaya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan dijuluki ”Amirul Mukminin”. Karena itu, Raja Maroko menyandang simbol keagamaan yang sangat sakral.</p><p><strong>Bertumpu pada raja</strong></p><p>Dalam hal pelindung adat istiadat, Raja Maroko dinobatkan sebagai ”Bapak Teladan” yang mengayomi segenap rakyat Maroko dan mendengarkan pengaduan masalah keseharian dari setiap warga Maroko.</p><p>Sebagai raja negara modern yang struktur negaranya mengadopsi sistem negara bangsa di Eropa, Raja Maroko harus berkomitmen dan menghormati konstitusi negara, di mana setiap warga Maroko punya hak dan kewajiban.</p><p>Otoritas dan kekuatan dalam sistem monarki di Maroko tertumpu pada raja. Institusi kerajaan merupakan institusi sentral dan menentukan dalam sistem politik di Maroko. Sedangkan raja sebagai ”Bapak Teladan” dan ”Simbol Persatuan” serta penjamin kebebasan individu dan kolektif, berada di puncak institusi monarki tersebut.</p><p>Maka, semua lembaga politik, sosial, budaya, dan ekonomi baik pemerintah maupun swasta tunduk pada otoritas raja. Posisi hegemonik Raja di Maroko diperkuat oleh posisi istimewa agama sebagai sumber hukum dan adat istiadat. Masyarakat dipandang sebagai sebuah kesatuan spiritual.</p><p>Sementara itu, sistem politik dianggap sebagai perwujudan dari simbol suci agama, dengan sang raja sebagai amirul mukminin berhubungan langsung dengan rakyat tanpa mediator dalam menyelesaikan urusan keseharian.</p><p>Tradisi monarki yang sangat kuat di Maroko itu sama sekali tidak tergoyahkan oleh interaksi negara itu dengan kolonialis Barat (Perancis dan Spanyol). Raja tidak melihat kolonialis Barat dengan budaya politiknya sebagai ancaman, dan bahkan raja dengan cerdik mengizinkan sistem politik Barat diterapkan, berjalan seiring dengan agama dan adat istiadat dalam kehidupan modern Maroko.</p><p>Karena itu, raja menerima idiom-idiom politik Barat seperti demokrasi, konstitusi, kesepakatan, partisipasi, dan pengawasan. Maka, Maroko pascameraih kemerdekaan dari Perancis tahun 1956 langsung menerapkan sistem multipartai. Hal ini berbeda dengan negara-negara Arab lain yang menerapkan sistem satu partai setelah meraih kemerdekaan dari kolonialis Barat.</p><p>Kekhasan sistem politik di Maroko adalah kekuasaan luas di tangan raja, tetapi dalam waktu yang sama terdapat banyak partai politik yang dijamin konstitusi.</p><p>Di Maroko, kini ada dua kategori partai politik. Pertama, partai politik yang didirikan pada prakemerdekaan. Partai-partai tersebut adalah Partai Kemerdekaan, Persatuan Sosialis untuk Kekuatan Rakyat, Organisasi Pekerja Rakyat Demokratik, dan Partai Sosialis Progresif.</p><p>Kedua, partai-partai yang didirikan pascakemerdekaan. Partai-partai itu adalah Partai Gerakan Rakyat, Perkumpulan Nasional bagi Kemerdekaan dan Persatuan Konstitusi.</p><p>Ada tiga fase besar menyangkut hubungan institusi monarki dan partai-partai politik di Maroko. Fase pertama dimulai dari saat kemerdekaan tahun 1956 hingga tahun 1960. Dalam fase tersebut, raja dan institusi kerajaan mengontrol penuh bahkan mendikte partai-partai politik.</p><p>Fase kedua dimulai dari tahun 1960 hingga pertengahan tahun 1970-an. Pada fase ini, hubungan raja dan partai-partai politik sering kali mengalami ketegangan, khususnya setelah dibentuk parlemen sesuai dengan konstitusi tahun 1962 dan pengumuman keadaan darurat pada tahun 1965 serta beberapa upaya kudeta terhadap raja pada awal tahun 1970, di antaranya upaya kudeta oleh Jenderal Ofkir.</p><p>Fase ketiga dimulai tahun 1974. Dalam fase ini, Maroko menyaksikan keterbukaan politik dan sikap raja yang semakin fleksibel, dengan diselenggarakannya pemilu lokal dan parlemen dengan melibatkan partai-partai oposisi. Pada fase itu pula raja dan rakyat Maroko serta semua kekuatan politik bersatu sikap menghadapi isu wilayah Sahara Barat yang diperebutkan dengan kelompok Polisario (Front Pembebasan Sahara Barat). Maroko kini mengklaim memiliki wilayah Sahara Barat.</p><p>Itulah potret kekuatan Islam bersanding harmonis dengan modernitas di Maroko.</p></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-65556996526508491232008-04-22T16:26:00.000+07:002008-04-22T16:27:30.263+07:00Belajar Bederma dari Negeri Kapitalis<div class="itemInfo"> <span class="itemPoster"> <div class="smartsection_item_head_who"><br /> </div> </span> </div> <i>Oleh : Rinaldi Buchari<br /> Mantan Direktur Bank, Pemerhati Masalah Keuangan-Sosial.</i><br /><br />Tradisi bederma di Indonesia cukup marak terlebih lagi dengan banyak bermunculannya yayasan sosial serta keterlibatan media massa elektronik maupun non-elekteronik dalam memfasilitasi kegiatan bederma. Hal yang perlu dipertanyakan adalah seberapa besar kuantitas dan kualitas serta seberapa profesional program bederma yang kini ada di Indonesia.<br /><br />Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, sangat menjunjung tinggi ibadah bederma seperti yang dinyatakan dalam Surat Ali Imran ayat 92: <i>''Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai''.</i> Lebih jauh juga dapat dilihat dari Surat al-Fajr ayat 15-20: <i>''Ada pun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: 'Tuhanku telah memuliakanku'.<br /><br />Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka ia berkata: 'Tuhanku menghinakanku'. Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya karena kamu tidak memuliakan anak yatim; dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin; dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampur adukkan yang halal dan yang batil; dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan''. </i><br /><br />Tradisi bederma yang luar biasa juga dicontohkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah SAW, di antaranya adalah Usman bin Affan RA. Beliau pernah ditanya oleh sahabatnya dalam kaitannya dengan kesenangannya membantu orang melalui kekayaan yang senantiasa melimpah dari usahanya, beliau mengatakan:<br /><i>''Aku ingin meninggalkan dunia sebelum ditinggalkan oleh dunia. Karena itu aku senantiasa berupaya untuk menjadikan yang dilimpahkan oleh Allah kepadaku ini bermanfaat untuk hidup di dunia ini dan sekaligus menjadi bekal untuk kehidupan kekalku di akhirat kelak''. </i><br /><br /><br /><b>Realitas bederma di Amerika </b><br /><br />Sebagai perbandingan dan sekaligus juga sebagai bahan pelajaran, ada baiknya kita melihat tradisi bederma di negara maju, misalnya seperti Amerika.<br /><br />BusinessWeek, majalah bisnis terkemuka di Amerika, dalam edisi 1 Desember 2003 mengupas tuntas perkembangan terakhir tradisi bederma yang dilakukan oleh orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar di Amerika.<br /><br />Majalah ini juga meranking para dermawan yg terdiri dari perorangan maupun perusahaan berdasarkan data-data publik, siaran pers, dokumen yayasan-yayasan, maupun wawancara. Dari hasil survei majalah tersebut didapatkan hasil bahwa dari 50 dermawan terbesar di Amerika, seperti Bill Gates, George Soros, dan lain-lainnya, total dana yang mereka sumbangkan ke yayasan-yayasan sosial berjumlah sekitar Rp 500 triliun!<br /><br />Dihitung secara rata-rata, rasio perbandingan antara dana yang disumbangkan dengan kekayaan mereka saat ini adalah 67 persen, yang artinya mereka menyumbang rata-rata lebih dari 40 persen harta mereka! Islam menganjurkan untuk bederma secara diam-diam. Hal ini sesuai pernyataan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:<br />[i]''Jika tangan kananmu bederma sebaiknya tangan kirimu tidak mengetahui''.[i]<br /><br />Ada hal yang menarik yaitu ternyata tradisi bederma secara diam-diam juga dilakukan di Amerika. BusinessWeek juga mengulas para dermawan yang menyumbang secara diam-diam tanpa publikasi. Mereka pada umumnya sulit dilacak karena menyembunyikan identitas mereka dengan bantuan ahli hukum, misalnya melalui pembentukan yayasan berbadan hukum di luar negeri.<br /><br />Salah satu dermawan diam-diam yang berhasil dilacak oleh BusinessWeek adalah pendiri toko-toko duty-free yang terdapat di pelabuhan udara seluruh dunia, Charles Feeney. Dia menyumbangkan 39 persen saham perusahaan kepada yayasan sosial yang saat ini bernilai lebih dari Rp 31 triliun. Bila dibandingkan dengan kekayaanya saat ini yang tidak lebih Rp 12,7 miliar, Feeney menjalani hidup yang sederhana dan dia juga mengatakan bahwa ''otak seorang pun keluar dari dunia ini hidup-hidup''!<br /><br />Di Indonesia, perusahaan-perusahaan yang bederma belum menjadi suatu tradisi. Berbeda dengan di Amerika, perusahaan-perusahaan di sana sudah jauh lebih maju dalam tradisi bederma. BusinessWeek baru-baru ini melakukan survei di 500 perusahaan terbesar di Amerika, dari total 218 responden, sebanyak 214 (98 persen) setuju bahwa perusahaan bederma adalah baik.<br /><br />Di mana sebelumnya, pada tahun 1980-1990, banyak perusahaan atas nama efisiensi dipengaruhi oleh pendapat dari ekonom terkenal, Milton Friedman, yang berpendapat bahwa ''bisnis adalah bisnis'' (Sepenuhnya tergantung dari kesediaan pemegang saham perusahaan untuk menyisihkan sebagian/seluruh dividen untuk bederma).<br /><br />Perusahaan-perusahaan donatur di Amerika memberikan sumbangan dalam bentuk uang tunai (rata-rata 0,4 persen dari total pendapatan) dan dalam bentuk produk/jasa (rata-rata 0,7 persen dari total pandapatan). Total sumbangan dalam bentuk tunai maupun produk/jasa dari sekitar 30 perusahaan Amerika di tahun 2002 bernilai kurang lebih Rp 19,5 triliun.<br /><br />Salah satu perusahaan besar Amerika yang aktif bederma adalah General Mills yang berkantor pusat di Mineapolis. Pada pertengahan tahun 1990, tingkat kejahatan di Mineapolis 70 persen lebih tinggi dari New York. Namun, dengan bantuan konsultan yg dibayar General Mills bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat ditambah lagi sumbangan dalam bentuk uang dan keterlibatan para pegawai, tingkat kejahatan di Mineapolis turun lebih dari 50 persen.<br /><br />General Mills sejak tahun 1800-an telah mendirikan panti yatim piatu yang saat ini menjadi pusat pembinaan anak. Di zaman Rasulullah telah dimulai proses menginstitusikan tradisi bederma dengan membentuk semacam ''yayasan''. Salah satu cikal bakal yayasan dalam masa Rasulullah SAW dimulai oleh istri beliau, Zaenab binti Jahasy. Zaenab mengumpulkan anak-anak yatim dengan memberikan bantuan keterampilan dalam sulam menyulam serta dana yang ia kumpulkan dari sahabat Rasulullah yang bederma.<br /><br />Di Amerika tradisi bederma melalui pembentukan yayasan yang profesional telah lama dilakukan. Tren terakhir menunjukkan bahwa, berbeda dengan para pendahulunya, para dermawan saat ini membentuk yayasan-yayasan sosial pada saat mereka masih hidup, bukan setelah mereka meninggal.<br /><br />Beberapa alasan yang dikemukakan dengan bederma melalui yayasan saat masih hidup adalah agar mereka dapat memastikan dana yang mereka sumbangkan digunakan untuk program-program sosial yang mereka inginkan di mana mayoritas untuk program mengatasi kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.<br /><br />Selain itu para dermawan juga ingin memastikan yayasan sosial mereka dikelola secara profesional seperti layaknya organisasi bisnis, di mana yayasan beroperasi atas dasar ''hasil yang terukur, efisien, dan transparan''. Hal menarik untuk disimak adalah walaupun para dermawan di Amerika bekerja keras menumpuk harta yang banyak, mereka tidak ingin mewariskan harta yang sangat banyak tersebut kepada anak-anak mereka karena khawatir akan membuat mereka menjadi manja dan malas untuk bekerja.<br /><br />Sekarang ini sudah banyak riset sosial yang menunjukkan betapa bahayanya kombinasi antara kekayaan dan umur muda. Ada suatu studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Universitas Columbia, salah satu universitas terkemuka di Amerika, menunjukkan bahwa anak-anak orang kaya lebih mudah gelisah dan tertekan dibandingkan anak-anak orang sederhana atau miskin.<br /><br />Alasan lain para dermawan tidak mau mewarisi harta yang banyak kepada anak mereka adalah karena kebanyakan kekayaan yang didapat bukan dari harta warisan tetapi dari bekerja keras. Jadi mereka ingin anak-anak mereka menikmati kebahagiaan dan arti dari bekerja.<br /><br />Selain itu para dermawan menganggap yayasan sosial yang mereka bentuk adalah juga salah satu ''warisan'' bagi anak-anak mereka, di mana mereka ikut melibatkan anak-anak mereka dalam kegiatan yayasan sosial mereka sehingga anak-anak mereka ikut menikmati kebahagiaan bederma.<br /><br /><br /><b>Dikelola secara profesional</b><br /><br />Satu pelajaran yang dapat diambil perkembangan tradisi berderma di Amerika adalah bahwa tradisi bederma yang baik harus ditunjang oleh pembentukan yayasan sosial yang ''profesional'' dan ''amanah''. Secara umum yayasan-yayasan sosial Islam di Indonesia belum dapat bekembang dengan baik jika dilihat dari segi besarnya dana yang dikelola, pengelolaan dana, dan program pendistribusiannya.<br /><br />Masih banyak yayasan sosial yang belum dikelola secara profesional dengan menggunakan tenaga profesional yang andal. Secara umum masih dikelola secara kekeluargaan, dalam beberapa kasus bahkan anggota keluarga ikut mencari nafkah dalam kegiatan yayasan. Sedikit sekali tenaga profesional yang andal berminat secara full time bekerja di yayasan karena rendahnya kompensasi yang diterima.<br /><br />Kendala utama dalam meningkatkan ''profesionalisme'' yayasan sosial di Indonesia salah satunya adalah terbatasnya dana yang dikumpulkan akibat dari sulitnya mendapatkan dermawan dengan sumbangan yang besar di dalam negeri. Hal ini mungkin akibat lemahnya kredibilitas yayasan dan masih lemahnya tradisi bederma di masyarakat terutama di kalangan yang mampu. Faktor lainnya adalah lemahnya kemampuan financial management dari yayasan untuk mengelola dan meningkatkan nilai dari dana yang ada.<br /><br />Di samping itu sebagian besar yayasan-yayasan sosial yang ada juga kurang mampu mengakses dana-dana sosial di luar negeri karena ketidakmampuan secara profesional menjual program-program sosial mereka. Dalam kondisi negara yang terus dirundung krisis ini, tampaknya kita harus belajar banyak dari perkembangan tradisi bederma di Amerika di mana dalam bederma, para dermawan tersebut tidak hanya memberikan dana namun juga pemikiran mereka dalam bederma.<br /><br />Para dermawan di Amerika menunjukkan pada kita bahwa harta yang terlalu banyak pada akhirnya lebih bermanfaat untuk diberikan pada yang lebih membutuhkan dan mereka merasakan kebahagiaan lebih dengan bederma bersama anak-anak mereka. Dalam situasi krisis yang berat seperti ini, kita tampaknya harus mengkampanyekan jihad harta yang lebih radikal baik dari segi kuantitas maupun kualitas.<br /><br />Pemenuhan kewajiban zakat yang 2,5 persen jika dibandingkan dengan 40 persen dari harta yang disumbangkan dermawan di Amerika, tentunya sangat kurang dari cukup untuk membantu mengangkat derajat kaum muslimin yang membutuhkan saat ini. Seorang ulama besar dari Mesir setelah berkunjung ke Amerika menyatakan: ''Di Amerika saya melihat Islam tetapi jarang ada orang Islam, sebaliknya di Mesir saya melihat banyak orang Islam tetapi saya tidak melihat Islam''. Mudah-mudahan sinyalemen ini tidak berlaku di Indonesia. Kita memang tidak suka dengan arogansi pemerintah Amerika Serikat, tapi tak ada salahnya belajar dari masyarakat mereka. (RioLUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-12703798535293778122008-04-19T10:46:00.001+07:002008-04-19T10:50:30.458+07:00Tentang Ahmadiyah, PBNU: Patuhi Konstitusi!<div style="width: 300px; float: left; margin-right: 10px;"> <!--- video --> <div id="boxterkait" style="width: 300px; background-color: rgb(255, 255, 255); margin-bottom: 20px;"> <br /></div> <div style="padding: 0pt;"> </div> </div><p style="text-align: left;"> Besar Nahdlatul Ulama mengingatkan pemerintah dan semua pihak untuk berpedoman kepada konstitusi dalam menyikapi usulan pembubaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau JAI. Usulan pembubaran Ahmadiyah itu dilakukan oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat karena ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam.</p><p>Himbauan itu diungkapkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masdar F Mas'udi di Jakarta, Jumat (18/4). UUD 1945 harus dijadikan dasar dalam menentukan status JAI. Konstitusi mewajibkan negara untuk melindungi hak dan kebebasan setiap warga negara untuk menyakini dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.</p><p>Rekomendasi Bakor Pakem itu, katanya, menunjukkan semakin menguatnya sektarianisme di kalangan umat Islam. Sikap tersebut seringkali disertai dengan kekerasan teologis dan politis, bahkan dengan kekerasan fisik.</p><p>PBNU juga mengingatkan seluruh warga NU untuk tetap berpegang teguh kepada prinsip <em>tasamuh</em> (toleran) dalam menyikapi kasus Ahmadiyah. "Penghargaan dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain sebagaimana orang lain kita harapkan menghormati keyakinan kita merupakan <em>khittah jam'iyah</em> (dasar organisasi) NU yang harus dijaga," lanjut Masdar.</p><p>Masdar menambahkan, Al Quran telah mengatur bagaimana seharusnya bersikap terhadap kelompok agama yang dinilai menyimpang dari ajaran pokok. Dialog dengan cara yang elegan disertai ajakan untuk kembali ke ajaran pokok agama merupakan langkah untuk menyelesaikan kasus Ahmadiyah.</p><p>Jika warga Ahmadiyah tetap menolak ajakan tersebut, warga NU dan umat Islam Indonesia diminta untuk mengembalikan persoalan tersebut kepada Allah sebagai pemilik kebenaran. "Tidak seorang pun berhak mengklaim kebenaran penuh ada di tangannya dan memaksakannya kepada orang lain dengan segala cara," tegasnya.</p><p> </p><br /><b>MZW</b> <br /> <!--end artikel --> <!--<div style="border-bottom:1px solid #EEE; border-top:1px solid #EEE; padding:10px 0; margin-bottom:20px;"> <div class="artikeltools"> <a href="#"><img src="images/icon_print.gif" />Print</a> <a href="#"><img src="images/icon_email.gif" />Email</a> </div> <div style="clear:both"></div> </div> --> <div class="textbesar" style="border-top: 1px solid rgb(238, 238, 238); padding: 15px 0pt;">Ada 10 Komentar Untuk Artikel Ini. <a href="http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/18/22250181/tentang.ahmadiyah.pbnu.patuhi.konstitusi#posting">Posting komentar Anda</a></div><div style="padding: 10px 10px 10px 60px; background: rgb(246, 246, 234) url(/data/images/quote_grey.gif) no-repeat scroll 0% 50%; margin-top: 2px; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; font-family: arial; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 11px; font-size-adjust: none; font-stretch: normal; line-height: 16px;"><b>dim2_se @ Sabtu, 19 April 2008 | 09:22 WIB</b><br />Hanya Alloh yang akan menghukum umat yang selalu merasa bahwa dirinya benar dan hanya kepada dirinyalah kita berlindung.Umat islam punya pegangan,kalau tidak sesuai al hadist dan al quran berarti agama mereka bukan Islam..kalau masih mengklaim dirinya islam,ya berarti mereka sesat!! gitu aja kok repot..Bersatulah Islamku,kita pasti kuat kalau tidak saling menyalahkan dan selalu merasa paling benar..</div><div style="padding: 10px 10px 10px 60px; background: rgb(246, 246, 234) url(/data/images/quote_grey.gif) no-repeat scroll 0% 50%; margin-top: 2px; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; font-family: arial; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 11px; font-size-adjust: none; font-stretch: normal; line-height: 16px;"><b>chicha @ Sabtu, 19 April 2008 | 09:01 WIB</b><br />Islam adalah Rahmat alam semesta, bukan bencana bagi golongan lain. salut dengan pernyataan PBNU, yang melihat persatuan diatas segalanya. educasi seperti ini yang diharapkan bagi kemajuan Indonesia! Negara ini ada bukan hanya utk satu golongan tapi utk semua,mengingat apa yg dilakukan Ahmadiyah masa perjuangan kemerdekaan, apa yg terjadi saat ini justru pengkhianatan terhadap konstitusi Republik Indonesia.</div><div style="padding: 10px 10px 10px 60px; background: rgb(246, 246, 234) url(/data/images/quote_grey.gif) no-repeat scroll 0% 50%; margin-top: 2px; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; font-family: arial; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 11px; font-size-adjust: none; font-stretch: normal; line-height: 16px;"><b>Arif @ Sabtu, 19 April 2008 | 08:54 WIB</b><br />Tujuan agama adalah salah satu cara mencapai keimanan kepada Alloh Sang Pencipta jagad raya dan seisinya, dengan cara kita memeluk agama yang diyakininya akan membentuk pribadi KUSU ( SABAR dan KASIH ), dengan pengetahuan seperti ini diharapkan kita bisa hidup damai dan mencapai Surga yang dijanjikan.</div><div style="padding: 10px 10px 10px 60px; background: rgb(246, 246, 234) url(/data/images/quote_grey.gif) no-repeat scroll 0% 50%; margin-top: 2px; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; font-family: arial; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 11px; font-size-adjust: none; font-stretch: normal; line-height: 16px;"><b>armanbagio @ Sabtu, 19 April 2008 | 08:47 WIB</b><br />semoga kita semua terbuka hatinya karena Allah Yang Maha Benar dan Allah yang Terpuji,mari umat islam jangan risaukan masalah Akhmadiyah,sebab kita belum tahu apa yang diinginkan ,,lebih baik kita benahi diri kita,masih banyak umat yang miskin dan bodoh,ini garapan kita Subhanallah,Maha Suci Allah </div><div style="padding: 10px 10px 10px 60px; background: rgb(246, 246, 234) url(/data/images/quote_grey.gif) no-repeat scroll 0% 50%; margin-top: 2px; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; font-family: arial; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 11px; font-size-adjust: none; font-stretch: normal; line-height: 16px;"><b>amri husni @ Sabtu, 19 April 2008 | 07:57 WIB</b><br />Ini baru ulama besar, berani berkata yg benar menurut hukum indonesia dan Allah. Harus dipahami yg paling benar itu hanya Allah SWT. bukan FPI.</div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-47547152076861777442008-04-17T17:12:00.001+07:002008-04-17T17:12:42.437+07:00Pemikiran Hukum Islam Indonesia<span class="penulis">Oleh : Azyumardi Azra </span> <br /><br /> <span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> Bahwa hukum Islam (syariah dan fikih) di Indonesia kian mendapat perhatian banyak kalangan tidaklah diragukan lagi. Sejumlah karya penting dalam subjek ini kian banyak diterbitkan akhir-akhir ini pada tingkat internasional. Yang paling akhir adalah karya Michael R Feener, <i>Muslim Thought in Modern Indonesia</i> (Cambridge: Cambridge University Press, 2007). </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Membaca buku ini, jelas pengarang tampaknya ingin menulis lebih daripada sekadar sejarah perkembangan syariah atau fikih di Indonesia, khususnya di masa modern. Lebih dari itu, Feener berusaha mengungkapkan dinamika pemikiran Islam modern di Indonesia dengan penekanan khusus pada pemikiran hukum. Feener memperlihatkan bahwa perkembangan pemikiran hukum Islam tidak terlepas dari pemikiran Islam secara keseluruhan, setidaknya pada dua level: pertama, Dunia Muslim dan kedua, konteks agama, sosial-budaya, dan politik Indonesia.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Pertama, pemikiran Islam Indonesia, sejak masa awal penyebaran Islam di nusantara, khususnya sejak abad ke-13 tidak bisa lepas dari dinamika pemikiran Islam di tempat lain, khususnya Arabia. Saya, dalam sejumlah karya, telah menunjukkan hubungan intens pemikiran Islam Indonesia dengan pemikiran Islam di Arabia, khususnya melalui 'jaringan ulama' yang berpusat di Makkah dan Madinah sejak abad ke-17 sampai masa-masa lebih akhir.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Melalui jaringan ulama kosmopolitan ini, para ulama Jawi (Dunia Melayu-Indonesia) yang belajar di Haramayn dan kembali ke Tanah Air memberikan kontribusi sangat penting bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan Islam; tidak hanya dalam bidang syariah atau fikih, tetapi juga tafsir, tasawuf, hadis, dan seterusnya. Sebagai misal, pada abad ke-17-18 tiga karya terpenting dalam bahasa Melayu dihasilkan tiga ulama terkemuka yang terlibat dalam jaringan ulama: <i>al-Sirat al-Mustaqim</i> karya Nur al-Din al-Raniri (W 1658), <i>Mir'at al-Tullab</i> karya `Abd al-Ra'uf al-Sinkili (W 1693), dan <i>Sabil al-Muhtadin</i> karya Muhammad Arshad al-Banjari (W 1812). </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Karya para ulama ini bukanlah karbon <i>copy</i> buku-buku yang mereka pelajari di Haramayn; mereka juga melakukan kontekstualisasi dan vernakularisasi agar tulisan tetap relevan dengan konteks nusantara. Dinamika intelektual ini menjadi lebih luas dan intens di masa modern. Seperti dikemukakan Feener, "selama abad terakhir ini, para pemikir Muslim di Indonesia telah menumbuhkan kapasitas luar biasa untuk menghasilkan karya-karya inovatif dengan mengintegrasikan berbagai aliran dan corak pemikiran Muslim modern dari seluruh penjuru bumi; dan mengomunikasikannya dengan gagasan yang dikembangkan para pemikir non-Muslim di Eropa, Amerika Utara dan sebagainya" (h xvii).</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Integrasi berbagai aliran pemikiran Islam merupakan salah satu distingsi utama Islam Indonesia. Khususnya dalam pemikiran hukum Islam, para ulama dan pemikir Islam Indonesia, seperti Hasbi ash-Shiddieqi, Hazairin, sejak 1960-an telah melakukan usaha-usaha serius untuk membentuk sebuah 'mazhab fikih Indonesia'.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Dalam pengembangan mazhab fikih nasional, jelas terlihat kaitannya dengan konteks keagamaan, sosial-budaya, dan politik Indonesia. Salah satu realitas terpenting adalah bahwa meski mayoritas penduduk negara ini adalah Muslim, tetapi Indonesia bukan negara Islam, tetapi juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, agama mendapatkan tempat sangat penting dalam kehidupan Indonesia.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Tentu saja sejak dulu sampai sekarang ada kalangan Muslim yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dan/atau memberlakukan syariah. Setelah tidak berhasil pada tingkat nasional, mereka mengusahakannya pada tingkat lokal, misalnya, melalui perda-perda tertentu. Tetapi, jelas pula bahwa mayoritas terbesar kaum Muslim tidak menginginkan hal tersebut; dan menerima pengaturan politik sebagaimana adanya sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Bahkan, dari waktu ke waktu, NU, misalnya, menegaskan komitmennya pada finalitas negara-bangsa Indonesia dan Pancasila.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Gejala masih adanya kalangan Muslim yang menginginkan penerapan syariah sering mencemaskan kalangan luar khususnya. Tetapi, kecemasan tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Seperti dikemukakan Feener, Islam Indonesia terus melahirkan generasi demi generasi ulama dan pemikir yang sangat aktif dalam pengembangan pemikiran Islam, termasuk pemikiran hukum. Mereka menghasilkan diskusi dan perdebatan yang intens dan hangat dalam pemikiran Islam. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Dalam bidang pemikiran hukum Islam, berbagai 'bentuk baru' fikih pun mulai muncul, seperti 'fikih sosial', dan 'fikih antar-agama'. Orang boleh tidak setuju dengan aspek-aspek tertentu pemikiran fikih seperti ini; dan ini bisa mendorong dinamika pemikiran lebih lanjut, jika disikapi secara cerdas dan bermartabat. </span></span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-74326626484832859692008-04-17T13:00:00.001+07:002008-04-17T13:00:35.170+07:00Kebebasan Beragama Kita (Our Record of Freedom of Religion)Penulis:<br />Luthfi Assyaukanie<br />Bidang Kajian: Filsafat Politik dan Isu-Isu Keagamaan<br /><br />Pertengahan September silam, Kementrian Negara Amerika Serikat merilis laporan terbarunya tentang kebebasan beragama di Indonesia. Secara rutin, lembaga ini menerbitkan laporan tahunan tentang kondisi kebebasan beragama di berbagai negara di dunia dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa yang terkait dengan isu agama selama setahun terakhir. Secara umum tidak ada yang mengejutkan dari isi laporan itu. Kondisi kebebasan beragama kita masih memprihatinkan dan belum ada perubahan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Pelanggaran dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih kerap terjadi dan aksi kekerasan atas nama agama belum berhenti. Laporan itu menyebutkan beberapa faktor yang mendorong munculnya diskriminasi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Di antaranya kurang tegasnya pemerintah dan tak adanya keinginan untuk mengubah situasi ini. Dalam beberapa kasus, pemerintah malah dinilai mendiamkan saja kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Kalaupun ada tindakan, para pelakunya biasanya bebas dari jerat hukum. Beberapa aturan juga ditengarai sebagai faktor pemicu diskriminasi dan pengekangan terhadap kebebasan. Otonomi daerah memungkinkan provinsi dan kabupaten memiliki peraturan sendiri (Perda). Sebagian Perda sangat positif bagi kemajuan daerah, tapi beberapa yang lainnya, sayangnya, sangat negatif bagi kebebasan dan hak-hak warga. Berdasarkan standar internasional, konstitusi kita juga sebetulnya bermasalah, atau paling tidak berpotensi memicu masalah. Deklarasi HAM tentang kebebasan beragama menjamin manusia untuk beragama dan tidak beragama, tapi konstitusi kita secara jelas menegaskan pentingnya ketuhanan. Meskipun sila pertama dari Pancasila bisa dimaknai secara fleksibel, tapi ia terlanjur dipahami sebagai dasar untuk menolak keyakinan ateisme. Orang yang tak beragama akan mengalami kesulitan hidup di republik ini. Aturan tentang jumlah agama juga merupakan faktor lain pemicu munculnya diskriminasi dan pengekangan terhadap kebebasan. Dengan hanya mengakui enam agama, negara kita secara implisit menganulir banyak agama penting lainnya, termasuk agama Yahudi yang sebetulnya masih serumpun dengan Islam dan Kristen. Yang lebih mengenaskan adalah bahwa aturan ini digunakan untuk menggerus keyakinan-keyakinan lokal yang banyak sekali jumlahnya. Tidak Tegas. Ada beberapa kasus pelanggaran yang terjadi selama tahun 2006 dan awal 2007 di mana faktor utamanya adalah akibat ketidaktegasan pemerintah. Salah satunya adalah kasus pembakaran dan pengrusakan terhadap gedung dan aset Ahmadiyah serta penganiayaan terhadap anggota kelompok ini. Penderitaan yang dialami anggota Ahmadiyah jelas disebabkan oleh ketidaktegasan pemerintah dalam melindungi mereka. Pemerintah cenderung mendiamkan sebab utama pemicu kebencian terhadap kelompok ini, yakni fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juni 1980 dan diperbaharui pada Juli 2005. Tidak pernah ada anjuran atau apalagi teguran kepada MUI karena mengeluarkan fatwa berbahaya itu. Padahal, jelas-jelas temuan Komnas HAM (September 2006) menegaskan keterkaitan yang erat antara fatwa MUI dan penciptaan rasa benci dan permusuhan terhadap Ahmadiyah. Kasus Ahmadiyah selalu menjadi langganan monitor dunia internasional. Ketidaktegasan pemerintah dalam menangani kasus ini akan terus menjadi sorotan lembaga-lembaga HAM dunia. Masalah Ahmadiyah memang menjadi isu dilematis bagi pemerintah. Pada satu sisi pemerintah berkewajiban melindungi setiap keyakinan warganya, namun pada sisi lain, pemerintah merasa harus mengakomodasi MUI, lembaga yang notabene didirikan oleh pemerintah. Hanya jika pemerintah mau memikirkan kembali fungsi MUI masalah ini bisa diatasi. MUI didirikan untuk membantu pemerintah mengatasi urusan kaum Muslim. Lembaga ini bukan didirikan untuk mengatur atau apalagi mendikte negara, tapi sebaliknya, ia didirikan untuk membantu negara menjalankan program-programnya. Artinya, jika ada pandangan atau sikap MUI yang bertentangan dengan kebijakan negara, maka dengan sendirinya ia harus ditolak. Dalam banyak perkara, isu-isu menyangkut penodaan atas kebebasan beragama terkait dengan fatwa dan pandangan yang dikeluarkan MUI. Mestinya negara bisa ikut campur atas apa yang dikeluarkan MUI, karena ia bertanggungjawab terhadap setiap pernyataan dan tindakan yang dilakukan lembaga ini. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menganggap lembaga ini istimewa atau apalagi maksum dari kesalahan, sehingga tak bisa ditegur. Perda dan Konstitusi. Masalah lain yang menjadi faktor pendorong pelanggaran terhadap kebebasan beragama adalah munculnya Perda yang secara substansial bertentangan dengan semangat konstitusi. Perda-perda yang terinspirasikan dari Syariat cenderung memicu diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan pengekangan terhadap kebebasan masyarakat secara umum. Di Aceh, misalnya, pelaksanaan Syariat menutup kemungkinan berkembangnya agama atau aliran lain yang berbeda dari keyakinan mayoritas. Di tempat-tempat lain, Perda bernuansa Syariat mengekang kebebasan sipil dan cenderung merugikan kaum perempuan. Perda tentang larangan membuka bar dan klab malam selama bulan Ramadhan, misalnya, jelas-jelas melanggar kebebasan warga untuk mencari nafkah dan kebebasan orang banyak untuk menikmati hiburan. Dari perspektif keadilan, aturan semacam ini jelas diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang dilindungi konstitusi. Sejauh ini kita belum melihat inisiatif dari pemerintah untuk mempertanyakan Perda-Perda semacam itu. Saya tidak tahu apakah karena pemerintah kita sungkan untuk mengangkatnya mengingat isu ini cukup sensitif atau karena pemerintah memang tidak merasa ada masalah dengan aturan-aturan seperti itu. Masalah ini menjadi semakin penting karena semakin banyak daerah yang menyusupi aturan-aturan diskriminatif dalam Perda yang sedang mereka rancang. Laporan kondisi kebebasan beragama yang dikeluarkan kementrian negara AS secara rutin bisa dijadikan cermin untuk kita memperbaiki kondisi kebebasan kita selama ini. Jangan pernah anggap sepele laporan-laporan semacam ini, karena ia terkait erat dengan citra dan status kita di mata internasional. Jika kita masih menganggap investasi asing itu penting dan berkerjasama dengan dunia luar itu penting maka memperbaiki citra adalah prasyarat untuk menuju ke arah itu.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-64025255340936526012008-04-17T12:55:00.000+07:002008-04-17T12:56:29.448+07:00ALLAHU AKBAR (Minal 'Teks')Ulil Abshar-Abdalla<br /><br /><br />AMINAH Wadud, seorang pemikir feminis muslim, bukan nama asing di negeri ini. Sebagian bukunya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, di antaranya Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective. Bersama pemikir lain seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Nawal El Saadawi, Ziba Mir Husseini, dan Leila Ahmed, dia mengilhami para pemikir hak-hak perempuan di sini.<br /><br />Sore itu, 22 Juli lalu, bersama beberapa teman dari Jakarta, saya mengikuti diskusi yang diadakan Sisters in Islam, kelompok feminis Islam, di Kuala Lumpur. Temanya Women, Faith and Text. Aminah memberikan pengantar yang memikat, dengan bertolak dari pengalaman pribadi dia sebagai seorang muslim dan, jangan lupa, perempuan. Dia seorang Afro-Amerika yang masuk Islam. Aminah menjabat sebagai associate professor di Department of Philosophy and Religious Studies, Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat. Dia kemudian menjadi salah seorang "mufasir" perempuan yang cukup hebat, dan berani melakukan pembacaan kembali Quran dalam perspektif perempuan.<br /><br />Hubungan antara keimanan dan teks keagamaan, dalam pandangan Aminah, kerap ditandai oleh semacam ketegangan ketimbang hubungan yang lurus-lurus saja. "Terkadang aku merasa imanku kepada Allah membikin diriku bertanya-tanya kenapa ada satu-dua ayat terdapat dalam Quran," kata Aminah. Dan, "Kalaulah aku disuruh memilih, pastilah aku lebih senang bahwa satu-dua ayat itu sebaiknya tak tercantum dalam Quran."<br /><br />Sudah tentu pilihan itu tidak ada pada dia. Tapi pengandaian ini bukan sesuatu yang superfisial. Lamunan semacam ini tak mustahil juga menghinggapi benak sejumlah orang beriman. Hanya, kegentaran kita pada kesucian teks agama membuat kita menutup rapat-rapat mulut kita untuk mengucapkannya. Saya lihat, sore itu, Aminah agak sedikit waswas juga: jangan-jangan peserta kelas itu menangkap kalimatnya dengan salah, lalu meringkusnya ke dalam golongan orang yang melakukan penghinaan atas agama Tuhan. Na'uzu billah min zalik!<br /><br />Di papan tulis, Aminah menuliskan ayat yang dimaksudkannya itu, dalam huruf Arab. Sebagai seorang mualaf, batin saya, tulisannya lumayan. Ayat itu ada dalam surah An Nisa' (4:34), "Arrijaalu qawwamuuna 'alannisaa…." Di ujung ayat itu terdapat penggalan yang bunyinya, "Wallaati takhafuna nusyuzahunna…." Arti keseluruhan ayat itu: laki-laki adalah qawwam atau pemimpin bagi perempuan karena keunggulan-keunggulan yang diberikan Allah kepada satu atas yang lain; jika kalian khawatir akan adanya nusyuz atau sikap membangkang dari istri, ajarlah istri-istri kalian dengan cara yang berjenjang; pertama, nasihatilah mereka, lalu (kalau masih tetap nusyuz) janganlah tidur seranjang dengan mereka untuk beberapa hari, lalu (kalau masih tetap sama sikapnya) pukullah mereka (wadlribuhunna).<br /><br />Ayat ini masuk kategori yang turun di Madinah atau ayat-ayat madaniyyah. Sudah pasti turunnya ayat ini terkait dengan konteks sosial saat itu. Idealnya: setiap konteks sosial berubah, ada ayat baru turun membawa preskripsi yang sesuai dengan keadaan yang ada. Kalau keadaan berubah, ayat yang lama "diamandemen" oleh ayat yang baru. Tapi itu tak mungkin terjadi sekarang.<br /><br />Dalam Quran memang ada sejumlah ayat yang di-naskh atau dihapuskan oleh ayat yang turun belakangan (dikenal dengan konsep nasikh-mansukh) karena pertimbangan lingkungan sosial yang sudah berubah. Tapi itu dulu, ketika pewahyuan masih berlangsung. Sekarang tidak bisa karena zaman kenabian sudah telanjur lewat. Contoh lain adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan perbudakan. Hingga periode pewahyuan usai, ayat-ayat ini tidak di-naskh baik oleh Quran sendiri maupun oleh hadis (ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa Quran bisa di-naskh oleh hadis).<br /><br />Dari surah An Nisa', yang kurang srek bagi Aminah adalah soal suami dibolehkan memukul istrinya. Apakah dengan demikian Quran membolehkan terjadinya "kekerasan dalam rumah tangga"? Rasanya, "Imanku kepada Allah," kata Aminah, tak membolehkan adanya kekerasan semacam itu. Sebab, Islam adalah agama keadilan dan properdamaian, sekaligus antidiskriminasi dan antikekerasan. "Kerap kali aku merasa bahwa imanku kepada Allah lebih besar dari teks-teks yang diturunkan oleh Allah itu sendiri," katanya.<br /><br />Saya terperangah mendengar kata-kata Aminah. Ia menuturkannya dengan sedikit bimbang. Sebab, dia sendiri, pada tahap berikutnya, tidak bisa mengatasi dilema yang timbul. Kalau iman kita lebih besar dari teks agama, apakah teks agama bisa diabaikan? Apakah tidak ada cara lain untuk berhadapan dengan sejumlah teks agama yang kita<br /><br />anggap "janggal"? Aminah tidak memberikan jawaban yang meyakinkan. Tapi ucapan dia meninggalkan kesan yang dalam pada diri saya, bahkan terbayang sampai di Jakarta. Tiba-tiba saya ingin menerjemahkan kalimat Aminah itu dalam versi Arab: Allahu Akbar minal "teks". Allah lebih besar daripada teks agama itu sendiri.<br /><br />Sebagaimana Aminah, saya pun masih bimbang mencari jawabannya. Tapi kebimbangan terkadang menjadi benih bagi sesuatu yang "baru".Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-5420980144599592942008-04-16T11:29:00.000+07:002008-04-16T11:30:17.230+07:00'Fitna', Melawan Jihad Demografik<div id="reporter">Ditulis oleh : Misnati Nayla Puteri, Bergiat di Center for Islam and Women Studies</div> <div id="content1"> <!-- <span style="color:#FF0000;"> <span class="caption"><img src="images/img1.jpg" width="317" height="248" border="0" align="left" class="pict" /> <br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /> (ivan / MI)</span> JAKARTA - MI </span> : --> <p>Akhir-akhir ini, umat Islam di dunia termasuk di Indonesia diresahkan oleh film <i>Fitna</i> besutan politikus ultrakanan Belanda, Geert Wilders. Film berdurasi 16 menit 48 detik itu menuai banyak protes, mulai dari yang menyesalkan saja hingga yang ingin membredelnya, bahkan ada yang hendak memboikot produk-produk Belanda yang beredar di dalam negeri.</p> <p>Sesungguhnya, respons berlebihan tidak perlu dilakukan. Karena jika kita menonton film itu secara saksama, hampir semua isi film mengandung cacat mendasar.</p> <p><strong>Kelemahan epistemologis</strong></p> <p>Secara epistemologis, <i>Fitna</i> tidak punya dasar yang kuat. Bila dilihat dari pembuatannya, Wilders memang seorang yang rajin mencermati dan mengoleksi berbagai kekerasan yang terjadi di dunia Islam. Dari koleksinya itu, ia mengambil adegan-adegan yang dianggap penting dan kemudian disambung sana-sini sehingga menjadi satu alur cerita yang seakan-akan utuh. Namun, ia mendapat protes dari masyarakat Denmark karena kutipan 'kartun nabi' yang dipasang di awal film tidak mendapat izin dari si pembuat kartun. Dari protes ini, kita bisa berkesimpulan bahwa Wilders bukanlah sineas bertanggung jawab yang berkarya di atas prinsip hak dan kewajiban.</p> <p>Dilihat dari isinya, hampir seluruh ayat Alquran yang dikutip hanya diambil sepotong-sepotong dengan mengabaikan ayat lain dan konteks historis (<i>asbabun nuzul</i>) di mana ayat tersebut diturunkan. Akibatnya, isinya menjadi bias dan ayatnya kehilangan konteks. Dari penempatan gambar, Wilders terkesan memaksakan. Misalnya ia mengutip satu adegan kekerasan yang dilakukan kaum muslim untuk berkesimpulan, Islam agama kekerasan. Padahal, tanpa agama sekalipun kekerasan terjadi di mana-mana. Tetapi, kenapa kekerasan harus dijustifikasi sebagai dari agama? Dalam konteks ini, Wilders salah kaprah.</p> <p>Di akhir film, Wilders menggambarkan masa depan Belanda yang sungguh mengerikan, kaum muslim Belanda menebar kebencian dan permusuhan, bahkan anak kecilpun siap memotong leher orang-orang Belanda yang homoseksual. Pada level ini, Wilders terlalu berlebihan karena di Timur Tengah sekalipun, yang notabene menjadi sentrum Islam, kaum muslim tidak demikian. Meski masih banyak detail-detail lain yang bisa dikritik, namun secara umum film ini tidak mempunyai dasar epistemologis yang kuat.</p> <p><strong>Jihad demografik</strong></p> <p>Film ini tak lebih merupakan 'kekhawatiran' masyarakat Barat terhadap dampak dari percepatan teknologi komunikasi, transportasi, dan globalisasi yaitu gelombang <i>migrant society</i> (masyarakat pendatang) dari masyarakat luar yang secara serempak datang ke Barat. Ilmuwan politik terkemuka AS, Samuel Hunting, misalnya, melukiskan kekhawatirannya dalam buku berjudul <i>Who Are We? The Challenges to America's National Identity</i> (2004). Buku ini secara eksplisit menggambarkan masyarakat AS ketakutan dengan gelombang imigrasi besar-besaran suku Hispanik (Meksiko) dan masyarakat Latin lainnya.</p> <p>Gelombang besar imigrasi ini mengancam nilai-nilai atau warisan Anglo-Protestant yang menjadi inti 'budaya dan identitas AS'. Itu dianggap mengancam karena nilai-nilai atau budaya suku Hispanik/Latin menurut Huntington tidak kompatibel dengan ide-ide yang ada dalam Anglo-Protestant. Bagi Huntington, <i>there is no Americano dream. There is only the American dream created by an Anglo-Protestant society. Mexican-Americans will share in that dream and in that society only if they dream in English</i> (hlm 256).</p> <p>Hal yang sama juga terjadi di Eropa. Di Prancis, misalnya, imigran kulit hitam di sana selalu menyita perhatian dan tak jarang menjadi persoalan yang cukup rumit terutama menjelang pemilihan umum. Hal itu mungkin karena politisi Prancis sengaja menggunakan isu (sensitif) tersebut untuk mendongkrak suara mereka. Akibatnya, persoalan imigran di Prancis 'timbul-tenggelam' dan belum terselesaikan dengan baik.</p> <p>Dalam konteks <i>Fitna</i>, yang menjadi ketakutan Wilders adalah gelombang imigrasi besar-besaran masyarakat muslim ke Eropa, lebih khusus lagi ke Belanda. Sebab, anggapan bahwa Islam sebagai ancaman hingga kini memang masih ada di kalangan Barat. Tetapi, di mana letak ancamannya? Ancaman itu terletak pada perkembangan masyarakat muslim yang luar biasa dahsyat. Dari data yang ada, dalam dua dekade terakhir menunjukkan Islam sebagai <i>the world's fastest-growing faith</i> (agama yang berkembang paling pesat di dunia). Inilah ancaman sesungguhnya.</p> <p>Sebagian ahli memprediksikan pada 2025 kaum muslim akan melebihi jumlah umat kristiani mencapai 30% penduduk dunia, sedangkan Kristen hanya 25%. Hal itu bisa terjadi karena umat Islam bisa melakukan apa yang disebut jihad demografik yakni pengislaman dunia dilakukan dengan melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Para ahli terpana melihat umat Islam yang bisa mempunyai anak-cucu-cicit sampai 240 orang dari satu keturunan, sedangkan di dunia Barat dibutuhkan lima generasi untuk melahirkan keturunan sebanyak 30 orang saja (Spencer, 2003). Ledakan penduduk seperti itu kemudian akan melakukan jihad demografik ke negara-negara Barat.</p> <p>Oleh karena itu, gelombang imigran itulah yang sesungguhnya menjadi persoalan bagi masyarakat Barat. Namun, perlu ditegaskan ini tidak hanya tertuju pada komunitas muslim <i>an sich,</i> tetapi juga komunitas lain seperti suku Hispanik/Latin di AS, kulit hitam di Prancis, dan mungkin komunitas Asia Timur di belahan dunia lain.</p> <p><strong>Kepentingan politik</strong></p> <p>Ketakutan itulah yang kemudian dikemas oleh Wilders untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Belanda yang antiimigran. Hemat saya, sesungguhnya Wilders menyadari filmnya kurang solid dan banyak yang ahistoris. Tidak hanya itu, ia juga tahu bahwa semua agama tidak mengajarkan kekerasan, termasuk Islam. Bahkan ia tahu persis hasil survei yang menunjukkan umat Islam yang melakukan tindak kekerasan berkisar 0,9%-1% dari populasi kaum muslim dunia. Wilders bukanlah politikus 'bodoh' yang tidak tahu apa-apa. Bahkan, ia menyadari betul akan kenyataan di atas.</p> <p>Namun, karena ini untuk kepentingan politik, membuat Fitna bukanlah sesuatu yang tabu apalagi dilarang. Bahkan bisa jadi film ini menjadi kampanye yang paling efektif dan mungkin 'termurah' dari kampanye-kampanye Wilders lainnya. Jika dilihat dari perspektif ini, Wilders cukup jeli dan jenius menggunakan momentum tersebut untuk mengangkat dirinya dalam konstelasi politik di Belanda.</p> <p><strong>Respons</strong></p> <p>Atas dasar itulah, respons terhadap <i>Fitna</i> harus hati-hati, perlu tahu konteks, dan tidak usah berlebihan. Jika umat Islam merasa tersinggung dengan film tersebut, silakan protes, namun jangan terjebak pada cara kekerasan yang malah kontraproduktif, apalagi membuat film tandingan dengan menunjukkan kekerasan umat Kristen ataupun Yahudi misalnya.</p> <p>Sebagai penutup, alih-alih bertujuan menghina Islam dan umat Islam dalam arti yang sesungguhnya, film ini sebenarnya lebih mengekspresikan kekhawatiran terhadap jihad demografik umat Islam. Jika ini benar, maka umat Islam patut bersimpati pada Wilders, karena ia telah mengingatkan umat Islam agar tidak menjadi ancaman bagi yang lain. Untuk itu, kaum muslim perlu memperbaiki diri menjadi lebih sejuk dan damai karena memang itulah semangat Islam yang sesungguhnya.</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-63696837993997483152008-04-16T11:28:00.000+07:002008-04-16T11:29:20.302+07:00Agama dan Prinsip Teodisia<div id="title1"><br /></div> <div id="reporter">Ditulis oleh : Miming Ismail, Pegiat Sastra dan Filsafat Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina Jakarta</div> <div id="content1"> <!-- <span style="color:#FF0000;"> <span class="caption"><img src="images/img1.jpg" width="317" height="248" border="0" align="left" class="pict" /> <br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /> (ivan / MI)</span> JAKARTA - MI </span> : --> <p>Agama pada mulanya dimulai dengan hening, sunyi, dan senyap demikian kata esais Goenawan Mohammad. Metafora itu dalam beberapa hal mungkin benar, tapi sekaligus keliru. Ia mungkin benar, sejauh metafora hening, sunyi, dan senyap secara intrinsik melekat dalam semangat teodisia (ketertujuan). Karena itu, spirit dasarnya merujuk pada situasi batin maupun pikiran yang penuh dengan nuansa ketenangan tanpa konflik dan ketegangan. Ia keliru bila seakan agama lepas dari realitas dunia aktual yang meniscayakan kontaminasi, kontradiksi, dan alienasi di dalamnya. Karena itu, spirit dasar agama juga riuh dengan semangat pembebasan demi ketertujuan itu sendiri.</p> <p>Namun menurut filsuf idealis Hegel, agama atau iman pada mulanya adalah semesta roh atau spirit yang terbelah, penuh tegangan, oposisi, dan negasi. Bila bertolak dari pengandaian dialektis macam itu barangkali metafora yang identik dengan agama adalah riuh dan mungkin situasi batin yang gaduh, bukan hening, senyap, dan sunyi tadi.</p> <p>Sejak awal, agama atau iman selalu sudah hadir berhadapan dengan pikiran murni (<i>pure insight</i>), keduanya muncul dari kesadaran murni yang terbelah, meniscayakan kontradiksi dan oposisi (konflik dan ketegangan) baik batiniah maupun di luar yang batiniah. Dalam situasi macam itulah agama yang melekat pada iman sebenarnya memiliki keriuhan sekaligus pergulatan penuh liku dalam realitas dunia aktual.</p> <p><strong>Bukan hening, melainkan riuh</strong></p> <p>Bila menengok dalam sejarah atau mitos mengenai munculnya agama-agama di dunia--sejak mitos turunnya Adam ke bumi--pada mulanya agama merupakan suatu realitas dunia aktual yang semula gelisah dengan segala riuh hasrat, perasaan, prasangka, dan habitus lainnya yang saling silang dalam konteks dialektika kebudayaan. Karena itu momen negatifitas adalah titik tolak pergulatan nilai dalam agama dan kebudayaan itu sendiri. Hingga dalam batas tertentu mengalami perkembangan dirinya ke arah yang lebih rasional.</p> <p>Karena itu, kondisi-kondisi ketegangan alamiah merupakan hal yang niscaya dalam proses pembentukan sejarah kultur dan agama. Proses determinasi berlangsung dalam proses penemuan diri subjek dalam sejarah. Sebab itu, iman merupakan bentuk dari realitas yang selalu terbelah saling beroposisi dengan kesadaran atau pikiran murni yang melekat pada subjek bernama manusia.</p> <p>Dari situlah titik keterasingan bermula, yang dalam definisi sosiolog Berger, dilihat sebagai momen objektifikasi manusia dari realitas subjektifnya ke dalam realitas objektif, yaitu ke dalam iman atau agama sebagai bagian dari entitas dunia aktual. Dalam tahap atau momen objektifikasi itu manusia terasing dari dunia kesadarannya.</p> <p>Tahap-tahap objektifikasi dan subjektifikasi itu kemudian saling bermediasi ke dalam momen rekonsiliasi dengan agama mengalami rasionalisasi dirinya dengan unsur-unsur subjektif dalam diri manusia sehingga secara dialektis kebudayaan menghasilkan produk-produk hukum baru dalam setiap tahapnya. Meski tak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap inci dan tahapan momennya selalu ada ketegangan sekaligus kontradiksi di dalamnya.</p> <p>Keriuhan atau kegaduhan agama juga tecermin ketika ia berdiri dan berelasi dengan realitas dunia aktual yaitu ketika agama atau ajaran keagamaan berhadapan langsung degan dunia material, seperti problem ketidakadilan, kesetaraan, dan problematika lainnya yang bersifat sekuler (duniawi). Sebagaimana muncul dalam 'yang politis' yang problem utamanya selalu berkutat pada persoalan <i>injustice</i>, seperti ketidakbebasan, ketidaksetaraan, dan hilangnya persahabatan, padahal pada mulanya yang politis itu bertolak dari semangat dasar <i>liberty, equality, and fraternity.</i></p> <p><strong>Agama dan Teodisia</strong></p> <p>Tiga problematika itulah yang selalu mengisi keresahan teologis di tengah keheningan agama yang dibayangkan di atas. Karena itu, agama dalam arti tertentu juga memiliki semangat yang utopis yaitu semangat teodisia atau semangat ke-ter-tujuan akan penyelenggaraan yang ilahiah, sebagaimana pernah dimaklumatkan Ernest Bloch, dalam <i>The Prinsiple of Hope</i>.</p> <p>Semangat ke-ter-tujuan dalam agama itu muncul ketika problem krusial dalam konteks yang politis atau tatanan sosial politik tadi tidak selalu berjalan sempurna sebagaimana dibayangkan pikiran. Karena itu agama memiliki karakter dasar semangat pengharapan akan ke-ter-tujuan manusia pada masa depan dunia kehidupan yang penuh keadilan dan kesetaraan yang bertolak dari keadilan ilahiah. Sebab watak dasar dari realitas atau konsep yang politis di atas itu selalu terbatas.</p> <p>Dalam konteks ini, agama setidaknya menyelipkan janji kesempurnaan tentang ideal dunia sana yang penuh keadilan, kebebasan, dan semangat persahabatan abadi. Karena bertolak dari keyakinan dasar bahwa problem paling purba, seperti kesenjangan, ketidakbebasan dan masalah <i>injustice</i> lainnya itu akan selalu menjadi problem abadi di dunia ini. Karena itu, agama memberi ruang pengharapan baru dengan menawarkan segala sesuatu yang tidak akan terwujud dan tak terselesaikan di dunia ini, sebagaimana muncul dalam doktrin penebusan dan pembalasan.</p> <p>Orang miskin, penderita busung lapar, dan manusia lainnya yang tak beruntung di dunia ini, entah karena problem struktural maupun kultural, boleh jadi masih bisa berharap dalam utopianisme angin surga agama yang ditiupkan sebagai pengharapan akan datangnya hari mendatang.</p> <p>Anggapan itu boleh jadi naif karena menganggap seluruh tatanan kosmisnya memiliki garis atau suratan takdir yang dengan itu seakan masalah di dunia ini mungkin terselesaikan di suatu masa ketika hari penebusan itu datang. Tapi, realitas menunjukkan doktrin pengharapan akan menjadi relevan ketika justru deru kemajuan yang dicapai oleh teknologi kini memperlihatkan problem ketimpangan, manipulasi, dan semakin kontrasnya batas rasionalitas manusia. Dengan seluruh problem eksploitasi, kesenjangan, dan problem <i>injustice</i> lainnya yang hingga kini masih abadi menjadi persoalan dunia pada umumnya. Meski tentu saja dalam arti tertentu agama tidak mengajarkan sikap fatalis pada setiap individu dalam konteks ini.</p> <p>Doktrin pengharapan itu menjadi satu-satunya tempat berlindung ketika manusia mengalami dan mengenal batas, multiplisitas yang hadir dalam realitas, dan dari ketiadaan harapan akan terpenuhinya janji keadilan di dunia itulah, prinsip pengharapan menjadi semacam keyakinan akan teodisia.</p> <p>Bayangkan saja bila di dunia ini sekitar 80 juta jiwa dengan seluruh kerja keras dan usahanya masih saja jatuh dalam kemiskinan akut, bahkan sebagian lainnya jatuh dalam kemiskinan yang ekstrem, sebagaimana ditegaskan Jeffrey Sach. Sementara itu, di tempat lainnya, ada sebagian orang yang tidak perlu bekerja keras, namun masih dapat memenuhi kebutuhan bahkan menghamburkannya dalam gelimang kemewahan.</p> <p>Di mana letak keadilan di sini? Bukankah tatanan sosial politik yang demokratis semula diniatkan untuk merealisasikan cita-cita keadilan, kesetaraan, dan persahabatan. Tapi mengapa keadilan tak kunjung datang bagi mereka yang lemah?</p> <p>Lalu, mengapa problem ketidakbebasan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan muncul dalam semangat kawan dan lawan, bukan sebaliknya mendasarkan pada semangat <i>fraternity</i>?</p> <p>Dalam konteks inilah yang politis sebagai tatanan dunia memiliki batas realisasi dirinya. Barang kali dalam konteks inilah agama hadir mengisi kekosongan itu. Meski kadang batas antara yang telos dan yang politis tak pernah tegas karena keduanya tak pernah berdiri di ruang senyap.</p> <p>Tapi dalam situasi keterbatasan itulah, agama sesungguhnya hadir menjadi semacam katalog dari problematika dunia yang tak terselesaikan sepenuhnya. Karena itu, dalam arti tertentu, semangat pengharapan dalam agama juga menyiratkan semangat pembebasan dalam tradisi agama-agama yang mulanya memang riuh dengan segala gaduh yang diciptakan dunia.</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-39969702034995978942008-04-15T17:33:00.001+07:002008-04-15T17:33:30.279+07:00Stiglitz Tentang Biaya Perang Irak<span class="penulis">Oleh : Ahmad Syafii Maarif </span><br /> <br /> <span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Adalah Joseph E Stiglitz (kelahiran Gary, Indiana, 1943) bersama Linda J Bilmes dalam buku terbarunya, <i>The Three Trillion Dollar War</i> (London: Allen Lane, Maret 2008) yang telah menghitung secara rinci-statistik, biaya yang harus dikeluarkan Amerika untuk Perang Irak. Buku ini saya peroleh melalui kebaikan Dr Rizal Sukma yang menghadiahi saya buku-buku terbitan mutakhir.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Saya sudah sejak dini menamakan petualangan Amerika ini sebagai perang neoimperialisme terhadap bangsa lain, kali ini Afghanistan dan Irak, dua negeri yang tak berdaya. Dengan begitu, pelakunya jelas adalah penjahat perang yang telah melanggar Piagam PBB dan hukum internasional. Semua tuduhan terhadap Saddam Hussein yang menyimpan senjata pemusnah massal dan mempunyai kaitan dengan Alqaidah adalah palsu belaka. Kini Irak sudah babak belur, sementara tentara Amerika telah ribuan pula yang mati, invalid, gila, dan senewen. Mereka yang mengikuti perkembangan terakhir di Irak sangat paham dengan apa yang saya tulis ini. Tetapi, berapa biaya yang telah dan akan menguras pundi-pundi Amerika, maka buku Stiglitz di atas membeberkannya dalam analisis berdasarkan angka-angka. Stiglitz, di samping penulis-penulis lain, seperti Noam Chomsky, telah sejak awal menentang keras invasi terhadap Irak. Tetapi, Bush dan lingkaran neokons Amerika menutup mata dan menulikan telinga terhadap segala kritik rakyatnya sendiri. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, penderitaan dan eksodus rakyat Irak jangan ditanya lagi. Di bawah Saddam mereka menderita, sekarang mereka menderita berlipat ganda. Sebuah negeri yang dulunya punya peradaban tinggi telah dua kali sepanjang sejarahnya harus mengalami pukulan sejarah yang teramat kejam dan berat: pertama, pada 1258 kota Baghdad diluluhlantakkan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan; kedua, perang neoimperialisme yang sudah memasuki tahun keenam sampai detik ini.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Stiglitz mencatat bahwa biaya perang dan rentetan akibatnya yang harus dipikul Amerika, belum Inggris, Itali, dan lain-lain, tidak kurang dari tiga triliun dolar, sebuah angka yang teramat dahsyat dan tidak diperkirakan semula akan setinggi itu. Dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi dunia, menurut Stiglitz, akan menelan biaya dua kali lipat: enam triliun dolar. Bahkan, sampai tahun 2017, pengeluaran pemerintah federal Amerika akan bergerak antara 3,5 triliun dolar AS dan 4,5 triliun dolar AS. Coba konversikan ke rupiah, alangkah ngerinya! Satu triliun sama dengan 1.000 miliar; satu dolar Amerika sama dengan Rp 9.200. Dengan uang sebesar ini, jika dipakai untuk menghalau kemiskinan, tentu seluruh benua Afrika akan tertolong, sekalipun sebagiannya pasti dikorup pula oleh penguasa lokalnya.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Dalam <i>Los Angeles Times</i> (16 Maret), Bilmes dan Stiglitz menulis: "Akhir 2008, pemerintah federal sudah akan mengeluarkan lebih dari 800 miliar dolar AS untuk biaya operasi tempur di Irak dan Afghanistan. Sampai detik ini, sudah lebih dari 1,6 juta tentara [Amerika] yang dikerahkan, juga telah mengganti perangkat keras militer yang sedang digunakan dan yang telah lusuh di Irak, dan sejumlah besar uang untuk pembayaran bunga atas pinjaman luar negeri, untuk membiayai perang." </span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Kini sudah ada sekitar satu triliun dolar utang luar negeri Amerika pada Arab, Cina, dan negara lainnya. Kata Stiglitz, sebagai negara kaya, bagi Amerika tidak ada masalah dengan utang luar negeri, sebab pasti bisa dibayar. Yang menjadi pertanyaan Stiglitz adalah: "Apa yang telah dapat kita perbuat dengan satu, dua, atau tiga triliun dolar itu? Apa yang harus kita korbankan? Apakah, untuk menggunakan jargon para ekonom, biaya oportunitasnya?" Pemerintah Bush, menurut buku ini, telah memberikan jawaban yang tidak dikemas dengan baik dan tidak realistis. Perkiraan Gedung Putih semula biaya invasi itu hanyalah sekitar 50 miliar sampai 60 miliar dolar AS dan tidak akan menahun begini. Berbeda dengan ekonom yang lain, Stiglitz, pemenang Hadial Nobel ekonomi tahun 2002, kata orang, telah lama meninggalkan menara gadingnya karena langsung terjun ke lapangan untuk memberi pencerahan kepada penguasa dan pendukungnya agar tidak terus bertualang dalam kebiadaban.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Akhirnya, saya berharap agar kelompok-kelompok garis keras mau juga membaca buku ini, karena memang sangat kaya untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam bersikap. Janganlah orang memusuhi semua rakyat Amerika, apalagi membunuhnya. Jika saja yang terbunuh itu seorang Stiglitz yang senang juga tinggal di Bali, misalnya, dunia kemanusiaan tidak saja rugi, tetapi pasti akan meratapinya. Stiglitz telah melawan dengan argumen statistik hegemoni Pemerintah Amerika yang dikuasai kaum neokons selama hampir satu dasawarsa. </span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-22134412126725380152008-04-15T17:31:00.000+07:002008-04-15T17:32:31.187+07:00Benazir Bhutto tentang Dunia Islam<span class="penulis">Oleh : Ahmad Syafii Maarif </span> <br /><br /> <span class="deskripsi"> <span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Nama lengkapnya, Mohtarma Benazir Bhutto (21 Juni 1953-27 Desember 2007). Dia mati secara tragis pada 27 Desember 2007 saat berkampanye untuk Pakistan People's Party (PPP), partai warisan ayahnya Zulfikar Ali Bhutto, yang digantung Jenderal Zia Ul Haq pada 1979 dengan bermacam tuduhan. Sekiranya ayahnya tidak dibunuh, besar kemungkinan Benazir tidak akan pernah memasuki dunia politik yang sarat dengan ketegangan dan kekejaman itu. Kematian sang ayahlah yang memaksa Benazir untuk tampil, semula dikenal di lingkungan negaranya sendiri, kemudian merangkak menjadi politikus kelas dunia.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Dalam <i>the New Guinness Book Record</i> 1996, Benazir dinobatkan sebagai ''<i>The world most popular politician</i>'' (politikus paling populer dunia). Kepopulerannya melebihi ayahnya. Benazir adalah seorang pembicara yang memukau. Bandingannya untuk Asia Tenggara adalah Anwar Ibrahim, kader dan kemudian menjadi musuh Mahathir.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Kelemahan PPP terletak pada kenyataan bahwa partai ini seperti milik keluarga. Dari Zulfikar Ali Bhutto ke Benazir Bhutto, dan sekarang kepada Bilawal yang masih berusia 19 tahun dan lebih banyak menetap di luar negeri. Yang agak di luar perkiraan saya adalah bahwa Benazir ternyata turut memikirkan masa depan dunia Islam secara serius.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Beberapa penghargaan dari berbagai lembaga dunia bergengsi telah dipasangkan di pundaknya, termasuk beberapa doctor HC. Sebagai figur yang berasal dari keluarga elite Karachi, tidak sulit bagi Benazir untuk belajar di Universitas Harvard dan Oxford, sekalipun tidak sampai ke tingkat PhD. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Benazir adalah perdana menteri perempuan pertama di dunia Islam era modern, sekalipun mayoritas ulama Pakistan masih mengharamkan kepemimpinan perempuan. Siapa pembunuh perempuan yang sebenarnya berbakat ini, belum ada kesimpulan final. Tetapi, sebagai bagian dari filosofi politik kaum fundamentalis yang memandang enteng kematian orang lain dan kematian diri sendiri, tidak mustahil bahwa yang menyudahi nyawa Benazir adalah dari kelompok ini, sebutlah neo-Khawarij, di era kita.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Sebenarnya, kepulangan Benazir ke Pakistan Oktober 2007 adalah atas dorongan Gedung Putih agar mau berunding dengan Presiden Pervez Musharraf, tangan kanan Amerika dalam upaya memerangi terorisme. Saya tidak tahu mengapa Amerika berinisiatif untuk itu, tetapi jelas untuk kepentingan politik global negara adikuasa ini. Belum ada kesepakatan apa-apa dengan Musharraf, Benazir telah bersimbah darah, sebuah fakta yang sebenarnya tidak asing dalam perpolitikan Pakistan. Selama Benazir menjabat perdana menteri dalam dua periode, tantangan yang dihadapinya sungguh dahsyat. Pakistan, sekalipun punya bom nuklir, dikenal sebagai sebuah bangsa yang terpecah secara politik dan rentan secara etnik. Itulah sebabnya dalam <i>Resonansi</i> beberapa bulan yang lalu, saya katakan bahwa Islam di sana belum dijadikan acuan utama dalam cara berbangsa dan bernegara, sebagaimana juga terlihat di seluruh negeri Muslim.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Terlepas dari itu semua, Benazir adalah seorang penulis prolifik. Karya barunya, <i>Islam, Democracy, and the West</i>, New York: HarperCollins, 2008, terbit setelah penulisnya wafat. Saya belum baca buku ini, tetapi baru mengikutinya dari resensi Fareed Zakaria dalam harian <i>The New York Times</i>, 6 April 2008. Inilah catatan Fareed:</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Ditulis saat ia sedang bersiap-siap untuk kembali ke kehidupan politik. Ini adalah sebuah buku tentang kecerdasan yang hebat, keberanian, dan kejernihan. Ia mengandung tulisan terbaik dan interpretasi modern yang sangat persuasif tentang Islam yang telah saya baca. Tentu saja, bagian yang membuat buku ini dihormati adalah identitas pengarangnya.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Tentang situasi kontemporer dunia Islam yang ringkih ini, Benazir menulis: ''Lebih mudah menyalahkan pihak lain daripada kita sendiri yang menerima tanggung jawab. Satu miliar umat Islam di seluruh dunia tampak bersatu dalam kemarahan mereka terhadap perang di Irak, tetapi ada suasana diam yang mematikan manakala dihadapkan kepada kekerasan Muslim terhadap Muslim. Bahkan mengenai Darfur, di mana berlaku pemusnahan terhadap sebuah populasi Muslim, justru tidak ada protes yang menarik perhatian.''</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Kritiknya terhadap Amerika terutama karena negara inilah yang bertanggung jawab bagi munculnya kediktatoran di Pakistan sambil menghancurkan demokrasi di sana. Padahal menurut Benazir, sistem demokrasilah yang bisa menyelamatkan Pakistan dari keadaan yang penuh bahaya. Sebagai anak Timur dan Barat, Fareed menyimpulkan tentang Benazir: ''<i>She is imbued with rationalism, tolerance, and progressivism</i>'' (Ia diilhami oleh rasionalisme, toleransi, dan progresivisme).</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Akhirnya, di mata seorang fundamentalis, Benazir adalah sekuler dan pro-Barat. Oleh sebab itu, darahnya menjadi halal. Bagi saya, dengan segala kelemahan dan kekurangannya, kemunculan Benazir dan PPP di panggung politik Pakistan adalah bukti bahwa fatwa ulama mengenai haramnya kepemimpinan perempuan telah semakin kehilangan otoritas. Oleh sebab itu, perlu diadakan kajian mendalam tentang masalah gender ini, agar perempuan tidak lagi diperlakukan sebagai <i>konco wingking</i>. Dunia telah berubah! </span></span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-3956123041846119432008-04-15T17:30:00.000+07:002008-04-15T17:31:28.918+07:00Lorong Gelap Dunia Wilders<span class="penulis">Oleh : Haedar Nashir </span> <br /><br /> <span class="deskripsi"> <span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Geert Wilders bukan hanya pongah dan naif. Politikus ultrakanan Belanda itu sungguh telah menyemburkan atmosfir kebencian terhadap 1,3 miliar umat Islam sedunia. Ini terkait film <i>Fitna</i> yang diproduksinya telah memfitnah Alquran sebagai kitab fasis sebanding <i>Mein Kampt</i>-nya Hitler, seraya menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai barbar. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Banyak pihak yang juga dibuat tidak nyaman dengan karya provokatif Wilders yang bombastis itu. Siapa yang sebenarnya fasis dan barbar? Boleh jadi, Wilders-lah sang fasis dan barbar itu. Karena, sedemikian vulgar mengekspresikan kebencian terhadap Islam, nyaris tanpa keadaban.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Bagaimana mungkin di sebuah zaman modern ketika nilai-nilai penghormatan terhadap keyakinan siapa pun sangat dijunjung tinggi, malah lahir pikiran naif penuh kebencian sebagaimana diperagakan Wilders? Dengan jaminan kebebasan yang liar, tidak mengherankan jika pemerintah di negeri-negeri yang mengaku berperadaban modern itu selalu berkelit ketika dituntut untuk bertindak tegas. Sikap Pemerintah Belanda adalah salah satu contohnya. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Negeri Kincir Angin itu mengkritik dan tidak setuju dengan perbuatan Wilders, tetapi tidak dapat menindak karena dijamin oleh undang-undang. Demi dan atas nama kebebasan setiap pernyataan dan ekspresi warga negara diperbolehkan dan dijamin konstitusi. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Itulah hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh direnggut siapa pun, termasuk oleh negara. Itulah alam pikiran liberalisme Barat yang naif, yang telah mendarah daging menjadi <i>world view</i> atau pandangan hidup yang kokoh. Suatu paham yang mendewakan kebebasan absolut tanpa batas. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Namun, liberalisme absolut itu dalam praktiknya memiliki banyak ironi. Menjamin orang untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, tetapi tidak pernah mau menjamin, apalagi menindak kesewenang-wenangan atas nama kebebasan yang sesungguhnya merugikan pihak lain. Jika penghinaan, pelecehan, dan penistaan terhadap agama apa pun dan umat beragama mana pun dibiarkan atas nama kebebasan, lantas di mana perlindungan terhadap kebebasan orang lain. Jika umat Islam, misalnya, ingin agama dan kegiatan keagamaannya dijamin hak-haknya oleh prinsip kebebasan tanpa cercaan, hinaan, dan penistaan, di mana letak perlindungan oleh prinsip liberalisme? </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"><b>Jadi dogma</b><br />Liberalisme naif lantas menjadi dogma, bahkan doktrin yang membiarkan anarkisme. John Stuart Mill lewat karya monumentalnya <i>On Liberty</i> memang mengakui kebebasan yang bertanggung jawab. Tapi, filsuf positivisme ini pun tak menghendaki negara membatasi kebebasan warganya, lebih-lebih merenggut kebahagiaan individu. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Orang lantas berhak sewenang-wenang atas nama kebebasan, sedangkan negara tak mampu menghukumnya karena akan bertentangan dengan asas kebebasan itu sendiri. Di sinilah <i>blunder</i>nya liberalisme naif, hingga terseret ke lorong gelap dan buntu. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Hingga di sini, liberalisme juga menjelma menjadi dogma baru yang tak kalah doktrinalnya ketimbang agama zaman pertengahan di negeri Barat. Paham ini sangat sensitif terhadap pembelengguan, tetapi membiarkan orang menista. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Paham ini sangat alergi terhadap setiap pikiran dan keyakinan yang absolut, tetapi menjadikan dirinya memiliki hukum besi absolutisme. Paham yang naif ini sangat menjunjung tinggi kenisbian, tetapi memfosilkan dirinya menjadi sebuah sistem yang serba pasti dan tidak mau menjadi nisbi. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Anehnya, kaum liberalis naif sering kali sensitif terhadap dogma dan doktrin agama, seraya melupakan dirinya telah memfosil menjadi super-dogma. Liberalisme naif takut terhadap dogma dan doktrin agama yang bersifat absolut, tetapi dirinya menjelma menjadi dogma dan doktrin baru yang tidak kalah absolutnya. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Anti dan takut terhadap agama, tetapi menjadikan dirinya melampaui dogma agama. Takut dan anti terhadap Tuhan yang dibawa oleh misi setiap agama, tetapi menjadikan liberalisme sebagai paham absolut yang menjelma menjadi tuhan buatan mereka sendiri. Berontak terhadap setiap bentuk kebenaran absolut, tetapi menjadikan dirinya sangkar besi kebenaran absolut yang sangat pongah.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"><b>Standar ganda</b><br />Kenyinyiran liberalisme naif juga terjadi dalam menyikapi kebebasan. Gemar tebang pilih. Ketika kaum muslimah di negeri-negeri Eropa, seperti di Inggris dan Prancis, ingin mengekspresikan kebebasan beragama dengan memakai jilbab, justru dilarang dan tidak memperoleh ruang publik.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Padahal, kaum muslim itu tidak memaksakan agamanya untuk orang lain, sebatas untuk dirinya sesuai ajaran agama yang semestinya diberi hak hidup, sebagaimana layaknya di negeri-negeri liberal dan berperadaban mulia. Kebebasan tidak berlaku untuk semua orang. Para tokoh Islam menunjuk sebagai standar ganda liberalisme Barat. Kebebasan hanya berlaku bagi kaumnya, tidak berlaku bagi yang lain.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Kita tidak tahu persis kapan lorong gelap liberalisme naif itu akan berakhir. Ketika liberalisme seharusnya memberi kebebasan pada setiap individu, dalam praktiknya banyak individu yang dimatikan haknya. Mana kala liberalisme seharusnya menjunjung tinggi kebenaran yang terentang panjang dan serba melampaui, dikerangkengnya hanya berlaku untuk alam pikiran produk peradabannya sendiri, seolah memelihara benteng <i>chauvinisme</i> sejarah dan budaya lapuk. Di saat penghormatan akan pluralisme beragama dan menganut ajaran agama seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia yang menganut paham kebebasan, justru yang terjadi membiarkan pelecehan, penistaan, dan fitnah terhadap mereka yang ingin beragama sesuai pilihannya. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Liberalisme naif (radikal) bahkan melahirkan nihilisme. Ludwig Feuerbach menihilkan tuhan sekadar konstruksi manusia yang bingung dan ilusionis. Sedangkan, Friedrich Nietzsche dengan pongahnya meneriakkan, "tuhan telah mati." </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Jangan-jangan, para pengusung liberalisme naif itu juga memproduksi nihilisme baru atas nama kebebasan yang dilindungi negara. Seraya menuhankan kebebasan yang diyakininya, mereka juga menistakan kebebasan umat beragama. Persis ketika kaum Jahiliyah mereaksi dan menolak risalah Nabi Muhammad yang membawa agama monoteisme (Islam) sebagaimana Ibrahim. Karena, mereka harus melindungi 'arbab' atau tuhan-tuhan bikinan mereka sendiri, yakni Latta dan Uzza. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"><b>Alternatif</b><br />Karena itu, liberalisme naif ala Wilders harus dijawab dengan tegas, tetapi cerdas. Sikap fasis dan barbar tak perlu direspon dengan tindakan serupa. Jangan mengikuti arus trauma Barat ke hulu dan hilir yang sebaliknya. Bahwa liberalisme naif yang membawa gelombang absolutisme yang mendewakan humanisme antroposentrisme sekuler dijawab dengan antitesis teosentrisme Islam yang serba absolut dan monolitik, baik di dunia pemikiran keagamaan hingga ke tawaran-tawaran ideologi politik Islam yang sama bercorak teosentris dan monolitik. Kebencian dilawan amarah. Liberalisme naif dijawab dengan agama monolitik. Nanti, Islam menjadi sama kerdil dan ekstremnya. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Islam di abad modern dan sarat pertaruhan yang keras sekarang ini tidak boleh kehilangan jangkar keseimbangannya, yang terbukti mampu menghadirkan peradaban alternatif sejak Nabi Muhammad hingga era kejayaan Islam di abad yang lampau. Berikan jawaban alternatif dengan format Islam dan peradaban umat Islam yang puncak menaranya lurus menjulang ke langit dalam ikatan <i>hablu min Allah</i> (teosentrisme tauhid) kokoh, sementara akarnya menancap ke bumi yang nyata dalam rajutan <i>hablu min al-nas</i> (humanisme antroposentrisme profetik) yang mencerahkan dan menyebarkan <i>rahmatan lil-'alamin</i>. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"><i>Ghirah</i> keberagamaan boleh membara, tetapi orang Islam jangan sampai mengikuti lorong gelap dunia Wilders dan kaum liberalis naif di negeri Barat, dengan lari ke jurusan lain yang sama gelapnya dan kemudian memfosil. </span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-89700115583547559692008-04-12T15:32:00.000+07:002008-04-12T15:33:10.258+07:00Stiglitz Tentang Biaya Perang Irak<span class="penulis">Oleh : Ahmad Syafii Maarif </span><br /> <br /> <span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Adalah Joseph E Stiglitz (kelahiran Gary, Indiana, 1943) bersama Linda J Bilmes dalam buku terbarunya, <i>The Three Trillion Dollar War</i> (London: Allen Lane, Maret 2008) yang telah menghitung secara rinci-statistik, biaya yang harus dikeluarkan Amerika untuk Perang Irak. Buku ini saya peroleh melalui kebaikan Dr Rizal Sukma yang menghadiahi saya buku-buku terbitan mutakhir.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Saya sudah sejak dini menamakan petualangan Amerika ini sebagai perang neoimperialisme terhadap bangsa lain, kali ini Afghanistan dan Irak, dua negeri yang tak berdaya. Dengan begitu, pelakunya jelas adalah penjahat perang yang telah melanggar Piagam PBB dan hukum internasional. Semua tuduhan terhadap Saddam Hussein yang menyimpan senjata pemusnah massal dan mempunyai kaitan dengan Alqaidah adalah palsu belaka. Kini Irak sudah babak belur, sementara tentara Amerika telah ribuan pula yang mati, invalid, gila, dan senewen. Mereka yang mengikuti perkembangan terakhir di Irak sangat paham dengan apa yang saya tulis ini. Tetapi, berapa biaya yang telah dan akan menguras pundi-pundi Amerika, maka buku Stiglitz di atas membeberkannya dalam analisis berdasarkan angka-angka. Stiglitz, di samping penulis-penulis lain, seperti Noam Chomsky, telah sejak awal menentang keras invasi terhadap Irak. Tetapi, Bush dan lingkaran neokons Amerika menutup mata dan menulikan telinga terhadap segala kritik rakyatnya sendiri. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, penderitaan dan eksodus rakyat Irak jangan ditanya lagi. Di bawah Saddam mereka menderita, sekarang mereka menderita berlipat ganda. Sebuah negeri yang dulunya punya peradaban tinggi telah dua kali sepanjang sejarahnya harus mengalami pukulan sejarah yang teramat kejam dan berat: pertama, pada 1258 kota Baghdad diluluhlantakkan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan; kedua, perang neoimperialisme yang sudah memasuki tahun keenam sampai detik ini.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Stiglitz mencatat bahwa biaya perang dan rentetan akibatnya yang harus dipikul Amerika, belum Inggris, Itali, dan lain-lain, tidak kurang dari tiga triliun dolar, sebuah angka yang teramat dahsyat dan tidak diperkirakan semula akan setinggi itu. Dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi dunia, menurut Stiglitz, akan menelan biaya dua kali lipat: enam triliun dolar. Bahkan, sampai tahun 2017, pengeluaran pemerintah federal Amerika akan bergerak antara 3,5 triliun dolar AS dan 4,5 triliun dolar AS. Coba konversikan ke rupiah, alangkah ngerinya! Satu triliun sama dengan 1.000 miliar; satu dolar Amerika sama dengan Rp 9.200. Dengan uang sebesar ini, jika dipakai untuk menghalau kemiskinan, tentu seluruh benua Afrika akan tertolong, sekalipun sebagiannya pasti dikorup pula oleh penguasa lokalnya.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Dalam <i>Los Angeles Times</i> (16 Maret), Bilmes dan Stiglitz menulis: "Akhir 2008, pemerintah federal sudah akan mengeluarkan lebih dari 800 miliar dolar AS untuk biaya operasi tempur di Irak dan Afghanistan. Sampai detik ini, sudah lebih dari 1,6 juta tentara [Amerika] yang dikerahkan, juga telah mengganti perangkat keras militer yang sedang digunakan dan yang telah lusuh di Irak, dan sejumlah besar uang untuk pembayaran bunga atas pinjaman luar negeri, untuk membiayai perang." </span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Kini sudah ada sekitar satu triliun dolar utang luar negeri Amerika pada Arab, Cina, dan negara lainnya. Kata Stiglitz, sebagai negara kaya, bagi Amerika tidak ada masalah dengan utang luar negeri, sebab pasti bisa dibayar. Yang menjadi pertanyaan Stiglitz adalah: "Apa yang telah dapat kita perbuat dengan satu, dua, atau tiga triliun dolar itu? Apa yang harus kita korbankan? Apakah, untuk menggunakan jargon para ekonom, biaya oportunitasnya?" Pemerintah Bush, menurut buku ini, telah memberikan jawaban yang tidak dikemas dengan baik dan tidak realistis. Perkiraan Gedung Putih semula biaya invasi itu hanyalah sekitar 50 miliar sampai 60 miliar dolar AS dan tidak akan menahun begini. Berbeda dengan ekonom yang lain, Stiglitz, pemenang Hadial Nobel ekonomi tahun 2002, kata orang, telah lama meninggalkan menara gadingnya karena langsung terjun ke lapangan untuk memberi pencerahan kepada penguasa dan pendukungnya agar tidak terus bertualang dalam kebiadaban.</span></p><span class="deskripsi"> </span><p><span class="deskripsi">Akhirnya, saya berharap agar kelompok-kelompok garis keras mau juga membaca buku ini, karena memang sangat kaya untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam bersikap. Janganlah orang memusuhi semua rakyat Amerika, apalagi membunuhnya. Jika saja yang terbunuh itu seorang Stiglitz yang senang juga tinggal di Bali, misalnya, dunia kemanusiaan tidak saja rugi, tetapi pasti akan meratapinya. Stiglitz telah melawan dengan argumen statistik hegemoni Pemerintah Amerika yang dikuasai kaum neokons selama hampir satu dasawarsa. </span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5921260413951677441.post-44397550321760762422008-04-12T15:31:00.001+07:002008-04-12T15:31:39.443+07:00Talibanisasi Asia Tenggara<span class="penulis">Oleh : Azyumardi Azra </span> <br /><br /> <span class="deskripsi"> <span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Ini adalah judul buku paling baru Bilveer Singh, guru besar madya ilmu politik di Universitas Nasional, yang pernah menulis karya tentang Presiden BJ Habibie. Judul lengkapnya, <i>The Talibanization of Southeast Asia: Losing the War on Terror to Islamist Extremists</i> (Westport, Conn & London: Praeger, 2007).</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Judul buku ini dan substansinya bisa menyesatkan; karena pengarangnya menggunakan kacamata kuda dan bahkan kaca pembesar, yang membuat hal kecil menjadi sangat besar. Dengan kacamata kuda, Singh melihat gejala ekstremisme secara satu arah, tanpa mengkaji dan memperhitungkan berbagai faktor, yang memengaruhi meningkatnya gejala ekstremisme keagamaan dan yang mencegahnya.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Ketika ada orang lain mengingatkan bahaya simplifikasi, Singh menolak. Dia menulis: <i>While leading Indonesian scholars such as Professor Azyumardi Azra remained in denial, arguing that 'there is very limited room for radical discourses and movements in Southeast Asia in general. It is therefore simply wrong to assert that Muslim radicalism in the Middle East will find a fertile ground in Southeast Asia', unfortunately, the reality is just reverse</i>.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Lebih jauh Singh menulis: <i>Pockets of radicalism are already deeply entrenched in the region, especially in Indonesia. Even Professor Azyumardi Azra has observed that 'there can be little doubt that the September 11, 2001 tragedy did radicalise certain individuals and groups in among Muslims in Southeast Asia, particularly in Indonesia</i> (halaman 147).</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Tidak ada penolakan (<i>denial</i>), bahwa radikalisme di kalangan individual dan kelompok Muslim meningkat berikutan Peristiwa 11 September 2001. Kaum Muslimin di Indonesia mengutuk peristiwa itu. Tetapi, ketika Presiden George W Bush menggempur Afghanistan, maka kemarahan dan radikalisasi meletup di segelintir Muslim, yang memang memendam kemarahan terhadap kebijakan AS yang tidak adil di Palestina, misalnya. Apalagi kemudian Bush menyatakan <i>war on terror</i>, yang pada dasarnya tertuju kepada individu dan kelompok Muslim yang dicurigai terlibat 'jaringan teror'.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Tanpa harus melakukan riset serius, dapat terlihat radikalisasi bukanlah gejala umum dalam masyarakat Muslim Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Bahkan, mengatakan kantong radikalisme 'tertanam begitu dalam' (<i>deeply entrenched</i>) di kawasan [Asia Tenggara], khususnya di Indonesia, jelas merupakan simplifikasi yang menghasilkan distorsi dan mispersepsi menyesatkan.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Simak kembali kutipan Singh; <i>As the Muslims have historically been weakened in the last few centuries, many have sought to regain strength by reinvigorating Islam from within, a process referred to as tajdid and islah, meaning renewal and reform, respectively. This can be undertaken both peacefully and by force. One of the most important renewal movements in Islam is the Salafi movement, closely identified with Wahhabi Islam. Professor Azyumardi distinguishes two types of salafi movements. "Classical Salafiyyah" is seen as peaceful, while "neo-Salafiyyah" is viewed as being radical in nature. Increasingly, in Indonesia, the neo-salafiyyah have gained ground, and this largely explains the trend toward Talibanization in the country</i> (halaman 147-148).</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Meski kategorisasi tersebut berasal dari saya, tetapi jelas pernyataan bahwa Salafiyyah klasik umumnya damai dan sebaliknya neo-Salafiyyah adalah radikal. merupakan interpretasi Singh sendiri. Karena, gerakan Wahabiyah di Arab Saudi pada akhir abad ke-18 atau Gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke-19 yang termasuk ke dalam Salafiyyah klasik, jelas radikal. Sebaliknya, juga terdapat gerakan neo-Salafiyyah yang bersifat damai, atau tepatnya pemurnian keagamaan. Sekali lagi, pemikiran dan gerakan Salafiyyah sangat kompleks dan karena itu orang tidak dapat secara gegabah menyederhanakannya.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Singh jelas bukan seorang ahli tentang Islam, baik Islam di Indonesia maupun dalam konteks perbandingan dengan Islam di Timur Tengah atau tempat lain di muka bumi. Karena itu, tidak mengherankan, dia tidak memahami sejarah, dinamika dan kompleksitas Islam dan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.</span></span></p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi"> </span></span><p><span class="deskripsi"><span class="deskripsi">Walhasil, buku ini, merupakan karya tipikal dalam <i>security studies</i>, yang cenderung menyodorkan apa yang saya sebut sebagai <i>exaggerated fear</i>, ketakutan yang berlebihan dan dibesar-besarkan. Menyebut adanya 'Talibanisasi' di Asia Tenggara, jelas termasuk ke dalam bentuk <i>exaggerated fear</i> tersebut. Islam di Asia Tenggara, dengan karakter keagamaan, akar historis, lingkungan sosio-kultural dan politiknya yang khas, bukanlah lahan subur bagi Talibanisasi. Karena itu, apa yang disebut 'Talibanisasi' tak lebih dari distorsi dan mispersepsi belaka. </span></span></p>Unknownnoreply@blogger.com0