Thursday, November 22, 2007

Alquran dan Lautan


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Judul Resonansi ini berasal dari karya tulis Bung Agus S Djamil, seorang geo-saintis yang sejak 1998 bekerja di Brunei. Agus, kelahiran Banjarnegara, adalah cucu KRH Hadjid, salah seorang murid Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan kemudian Hadjid menjadi salah seorang pemimpin gerakan Islam itu. Sebenarnya Bung Agus telah menghadiahi saya karyanya itu sekitar tahun 2005, tetapi saya lalai untuk membukanya.

Beberapa hari yang lalu Bung Agus singgah ke rumah sambil membawakan lagi karyanya itu yang sudah cetakan kedua (2005), terbitan Arasy Mizan, Bandung. Buku ini sangat penting untuk dibaca, siapa pun kita, Muslim dan non-Muslim. Agus memaparkan dengan rinci berdasarkan data mutakhir tentang kekayaan lautan kita yang luar biasa. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sangat dijanjikan oleh kandungan planet biru nusantara kita.

Nilai buku ini, bukan saja karena Alquran banyak berbicara tentang lautan dengan segala potensinya, tetapi hari depan Indonesia untuk survival akan sangat bergantung kepada lautan, tidak saja sebagai sumber protein yang melimpah, bahan-bahan obat, dan juga sebagai sumber energi yang tidak akan pernah habis. Bung Agus telah sangat berhasil mengenalkan kepada kita betapa sentralnya posisi lautan, baik dilihat dari ekonomi, maupun ditinjau dari kepentingan militer. Disebut misalnya letak Selat Malaka, Selat Lombok, dan Selat Makassar, yang sungguh strategis bagi kepentingan lalu lintas pelayaran dunia.

Tentang Selat Malaka, Agus menulis: ''Selat Malaka sendiri merupakan salah satu jalur laut yang terpadat di dunia. Suatu tantangan bagi penduduk Riau, dan kawasan pesisir timur Sumatra, mengapa potensi yang sangat luar biasa ini hanya bisa diraih oleh Singapura yang arealnya kecil. Mengapa Riau hanya bisa jadi penonton dan menguntungkan Singapura, bahkan 'melukai diri sendiri' dengan menjual pasir dan kerikil untuk menimbun rawa-rawa di kawasan Jurong Singapura untuk disulap menjadi sentra kawasan industri yang melayani industri kelautan dan perminyakan dunia.'' (Hlm. 417-418).

Pernyataan dengan nada ini beberapa kali dilontarkan Agus dalam bukunya itu. Tujuannya jelas, agar pembacanya terbangun dari tidur mendengkur untuk segera menukikkan pandangan ke lautan, mencintainya, dan dengan bantuan teknologi tinggi memanfaatkan karunia Allah yang tersimpan di dalamnya.

Bung Agus mengusulkan kepada bangsa ini agar paradigma pembangunan Indonesia yang berbasis daratan digeser ke paradigma pembangunan yang berbasis kelautan. Sebuah pemikiran yang menurut hemat saya patut benar direnungkan oleh seluruh kekuatan bangsa Indonesia. Bukankah Indonesia adalah negara kepulauan yang terbesar di muka bumi di mana luas lautan sekitar lima kali luas daratan?

Bangsa ini sebenarnya sungguh dahsyat, tetapi sayang rakyat dan pemimpinnya belum cukup cerdas dan peka dalam membaca potensi lautan ini. Maka, untuk menebus keteledoran ini, saya mengusulkan agar masalah kelautan dimasukkan dalam kurikulum sekolah dari tingkat SD sampai SMA. Siapa tahu generasi yang akan datang menjadi terbelalak matanya untuk memanfaatkan potensi lautan yang tak ternilai itu. Sebagai kelanjutannya adalah agar Angkatan Laut harus melebihi kekuatan Angkatan Darat sebagai akibat logis dari pergeseran paradigma pembangunan nasional: Dari darat ke lautan.

Bung Agus melalui karya tulisnya sungguh telah berjasa menyingkapkan potensi lautan untuk kepentingan umat manusia. Dan Alquran ternyata telah sekian abad merangsang rasa ingin tahu kita tentang kelautan, tetapi tingkat kehirauan dan intensitas perhatian kita tetap saja lemah dan rendah selama kurun yang panjang. Pengetahuan kita, khususnya saya, tentang lautan masih berada di bawah batas minimal. Bagaimana Anda? Mudah-mudahan lebih baik dari saya!

No comments: