Friday, February 29, 2008

Penanggulangan Tingginya Angka Perceraian




Oleh :M Fuad Nasar

Badan Amil Zakat Nasional

Indonesia kini berada dalam peringkat tertinggi negara-negara yang menghadapi angka perceraian (marital divorce) paling banyak dibandingkan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya. Berdasarkan data yang diungkapkan Dirjen Bimas Islam Depag, setiap tahun ada dua juta perkawinan. Tetapi, yang memprihatinkan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, yaitu setiap 100 orang yang menikah, 10 di antaranya bercerai.

Tidak sedikit perceraian terjadi pada mereka yang baru berumah tangga. Perkawinan yang banyak mengalami kegagalan sebagian besar adalah perkawinan di kalangan Muslim. Tingginya angka perceraian bukan sebuah fenomena yang wajar dalam kehidupan masyarakat.

Perceraian pada kalangan masyarakat menengah bawah terutama karena faktor ekonomi. Tetapi, saat ini perceraian banyak terjadi pada lapisan masyarakat menengah atas yang sudah mapan secara ekonomi dan sosial.

Dulu kondisi yang lebih parah pernah terjadi dalam dekade 1950-an, yaitu sebelum berdirinya BP4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) dan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Penanggulangan yang dilakukan pada masa itu ialah upaya yang dipelopori HSM Nasaruddin Latif selaku perintis BP4 dan Kepala KUA Provinsi Jakarta Raya bahwa setiap suami istri yang akan mengajukan perceraian pada Pengadilan Agama harus terlebih dahulu datang ke kantor penasihat perkawinan untuk sedapat mungkin dirukunkan dan diselesaikan perselisihannya.

Lembaga penasihat perkawinan ketika itu mengambil peranan sebagai mediasi, yakni mencegah perceraian selagi belum diajukan ke Pengadilan Agama. Upaya tersebut terbukti berhasil menurunkan angka perceraian secara signifikan.

Kini pada sebagian kalangan masyarakat perkawinan sudah tidak dianggap lagi sebagai pranata sosial yang sakral sehingga ketika terjadi masalah atau perselisihan, perceraian langsung menjadi pilihan utama. Padahal, ikatan perkawinan bukan semata-mata ikatan perdata.

Banyaknya perceraian belakangan ini juga ditengarai sebagai dampak globalisai arus informasi yang mengganggu psikologi masyarakat melalui multimedia yang menampilkan figur artis dan selebriti dengan bangga mengungkap kasus perceraiannya. Penulis tertarik dengan pembinaan perkawinan di Singapura sewaktu berkunjung ke negara tersebut menjelang akhir 2007 lalu.

Setiap calon pengantin diwajibkan mengikuti kursus pranikah yang di Singapura disebut Kursus Bimbingan Rumah Tangga. Untuk calon pengantin Muslim, peserta kursus bimbingan rumah tangga memperoleh sijil (sertificate) yang diiktiraf oleh Jabatan Pernikahan Islam setempat.

Selain Singapura atau Malaysia, di beberapa negara Eropa nasihat sebelum perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester, sementara di Indonesia hanya sekitar 30 menit saat berhadapan dengan penghulu. Prof Dr Zakiah Daradjat, ahli ilmu jiwa agama yang banyak memberi perhatian terhadap masalah kesejahteraan keluarga, pernah menyatakan jika kita tanyakan kepada orang tua yang mempunyai anak yang sudah mencapai usia dewasa awal, bahkan usia remaja, tentang apa yang mereka pikirkan, jawabnya hampir sama, yaitu masalah jodoh bagi anaknya.

Jarang kita dengar tentang cara membekali putra putri mereka menghadapi kehidupan berkeluarga kelak. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya pemikiran orang tua tentang pembekalan putra putrinya yang telah di ambang pernikahan.

Padahal, untuk suatu pekerjaan sederhana sekali pun, orang perlu dipersiapkan. Namun, untuk menjadi seorang suami yang akan menjadi kepala rumah tangga atau seorang istri yang akan menjadi pendamping suami, pengatur kehidupan rumah tangga dan cepat atau lambat akan menjadi pengasuh, pendidik, dan pembimbing anak-anak yang lahir di dalam keluarga itu nanti, tidak ada kursus atau sekolahnya. Setiap pengantin hanya diantar dengan doa, ditambah sedikit nasihat pernikahan dari orang yang dipandang dapat memberikannya.

Di tengah tingginya potensi instabilitas rumah tangga dan banyaknya perceraian, maka pendidikan dan pembekalan kepada pasangan yang hendak menikah adalah salah satu cara yang paling mungkin dilakukan. Upaya tersebut akan berfungsi ganda sebagai edukasi nilai-nilai perkawinan di semua level masyarakat maupun sebagai langkah untuk memperbaiki mutu perkawinan dan mengurangi perceraian.

Pemerintah bersama BP4 perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat lembaga perkawinan dan mengurangi perceraian. Langkah yang dapat dilakukan ialah kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin di seluruh Tanah Air.

Di samping itu, langkah lainnya ialah revitalisasi peran BP4 untuk bertindak sebagai mediasi dalam penyelesaian kasus perceraian di luar peradilan atau out of court settlement. Mengenai lembaga mediasi, perlu dibahas secara lintas sektoral antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung dalam hal ini Direktorat Jenderal Peradilan Agama.

Penulis optimistis upaya di atas dapat mengurangi perceraian. Berkenaan dengan hal di atas, dalam Peraturan Menteri Agama RI tentang Pencatatan Nikah perlu ditambahkan ketentuan mengenai kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin yang akan menyampaikan pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA).

Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni beberapa waktu lalu yang menginstruksikan kepada Direktorat Urusan Agama Islam supaya membuat terobosan program guna memperkuat lembaga perkawinan, di antaranya lewat pendidikan pranikah. Lembaga yang ditugaskan untuk menyelenggarakan kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga itu adalah BP4 pusat dan daerah dengan sumber dana APBN dan APBD.

Di samping itu, dapat pula diselenggarakan oleh lembaga swasta secara swadana dengan akreditasi dan sertifikasi diberikan oleh BP4. Jika bukan sekarang, kapan lagi kita berbuat lebih serius memperkuat nilai-nilai perkawinan dan rumah tangga di tengah masyarakat.

Pada hemat penulis, penguatan lembaga perkawinan sama mendesaknya dengan penanggulangan bencana moral dan pergaulan bebas yang kini melanda para remaja kita. Betapa tidak risau, norma standar dan nilai-nilai yang seharusnya menjadi simpul pengikat perkawinan dan kehidupan rumah tangga Muslim belakangan ini tampak semakin pudar pengaruhnya di masyarakat.

Semua kalangan tentu sepakat bahwa mempersiapkan perkawinan yang mempunyai tujuan mulia sebagai ibadah kepada Allah Swt berarti meletakkan fondasi yang kokoh bagi mahligai rumah tangga dan masa depan satu generasi. Begitu pula menyelamatkan perkawinan dan rumah tangga yang sedang dirundung masalah berarti menyelamatkan satu generasi.

Rasulullah SAW dan Nabi Palsu



Oleh :Ahmad Rofiqi

(Mahasiswa Pasca-Sarjana Program Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibn Khaldun, Bogor)

Dominasi peradaban Barat telah menyebabkan banyak cendekiawan berusaha mengubah ajaran-ajaran Islam agar sesuai dengan konsep HAM sekuler Barat. Salah satu konsep Islam yang mendapat serangan adalah konsep tentang murtad (orang yang keluar dari agama Islam).

Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, manusia dijamin haknya untuk memeluk agama apa saja, termasuk keluar masuk suatu agama. Bagi mereka, agama dianggap seperti baju. Kapan saja boleh ditukar-tukar. Salah satu cara yang dilakukan para cendekiawan adalah berusaha ”mengubah sejarah dengan menulis bahwa seolah-olah Nabi Muhammad SAW berdiam diri terhadap tindakan kemurtadan. Bahkan, perang melawan kaum murtad yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra dikatakan sebagai perang melawan pemberontak yang semata-mata bermotif politik, bukan perang atas dasar agama.

Sebuah buku sejarah Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Dr Muhammad Husein Haekal, misalnya, juga menulis nabi palsu yang muncul pada masa Rasulullah SAW tidaklah terlalu memengaruhi beliau untuk melakukan tindakan militer. ''Itulah sebabnya tatkala ada tiga orang yang mendakwakan diri sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan. (Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (terjemahan), 1990:559).

Di Indonesia, disertasi, tesis, skripsi, dan buku-buku yang mendukung 'hak murtad' sangat banyak. Salah satu trik mereka mengungkap sejarah dengan keliru.

Kisah dua utusan
Dalam kitabnya Al Sunan (Kitab Al Jihad, Bab Ar Rusul hadits no, 2.380) Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mas'ud. Ketika menerima dua utusan nabi palsu, Musailamah al-Kazzab, Rasulullah SAW bertanya kepada mereka: ''Apa yang kalian katakan (tentang Musailamah)? Mereka menjawab, ''Kami menerima pengakuannya (sebagai nabi)''. Rasulullah SAW berkata: ''Kalau bukan karena utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku akan memenggal leher kalian berdua''.

Lafadz ini diceritakan juga oleh Ahmad (hadits no 15.420), Al Hakim (2: 155 no 2.632). Ahmad (hadits no 15.420) melaporkan melalui Abdullah bin Mas'ud dengan lafadz la-qataltu-kumaa, (aku pasti membunuh kalian berdua). Versi hadits ini diceritakan kembali oleh kitab-kitab sejarah, seperti Al Thabari (Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid) dan Ibnu Katsir (Al Bidayah wa Al Nihayah, Dar Ihya' Al Turats Al Arabi, tt, Juz 6, hal: 5).

Riwayat ini menampilkan ketegasan Rasulullah terhadap orang yang mengakui kenabian Musailamah. Tetapi, karena Rasulullah SAW memegang etika diplomatik yang tinggi, beliau membiarkan begitu saja kedua utusan nabi palsu itu.

Abu Daud (hadits no 2.381), Al Nasa'i (Al Sunan Al Kubra, 2: 205) dan Al Darimi (Kitab Al Siyar, hadits no 2.391) menceritakan kesaksian Haritsah bin Al Mudharib dan Ibn Mu'ayyiz yang mendapati sekelompok orang dipimpin Ibn Nuwahah di sebuah masjid perkampungan Bani Hanifah, ternyata masih beriman pada Musailamah. Setelah kejadian ini dilaporkan pada Ibn Mas'ud, beliau berkata pada Ibn Nuwahah (tokoh kelompok tersebut), ''Aku mendengar Rasulullah SAW dulu bersabda: ''Kalau engkau bukan utusan, pasti aku akan penggal kamu. Nah, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan.''

Maka Ibn Mas'ud menyuruh Quradhah bin Kaab untuk memenggal leher Ibn Nuwahah. Ibn Mas'ud berkata, ''Siapa yang ingin melihat Ibn Nuwahah mati, maka lihatlah ia di pasar.'' Masjid mereka pun akhirnya turut dirobohkan.

Mengapa Rasulullah SAW tidak memerangi Musailamah? Ibn Khaldun menjelaskan masalah ini bahwa ''Sepulangnya Nabi SAW dari Haji Wada', beliau kemudian jatuh sakit. Tersebarlah berita sakit tersebut sehingga muncullah Al Aswad Al Anasi di Yaman, Musailamah di Yamamah dan Thulaihah bin Khuwailid dari Bani Asad, mereka semua mengaku nabi.

Rasulullah SAW segera memerintahkan untuk memerangi mereka melalui edaran surat dan utusan-utusan kepada para gubernurnya di daerah-daerah dengan bantuan orang-orang yang masih setia dalam keislamannya. Rasulullah SAW menyuruh mereka semua bersungguh-sungguh dalam jihad memerangi para nabi palsu itu sehingga Al Aswad dapat ditangkap sebelum beliau wafat.

Rasulullah menyerukan orang-orang Islam di penjuru Arab yang dekat dengan wilayah para pendusta itu, menyuruh mereka jihad (melawan kelompok murtad).'' (Abdurrahman Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon, cetakan 1, tahun 1992, hal 474-475).

Tindakan Abu Bakar
Pada masa Abu Bakar kekisruhan negara sumbernya ada dua. Yang pertama orang yang menolak membayar zakat. Kedua adalah para nabi palsu.

Dalam Al Bidayah wa Al Nihayah Imam Ibn Katsir menulis judul Fasal Peperangan Abu Bakar Melawan Orang-orang Murtad dan Penolak Zakat (cetakan 1 terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Lebanon: 2001, jilid 6 hal 307). Abu Bakar sampai membentuk sebelas ekspedisi militer untuk menumpas gerakan tersebut (Al Daulah Al Umawiyah, Muhammad Al Khudhari, Mansyurat Kulliyah Dakwah Islamiyah, Tripoli, Libya: tt. hal 177-178)

Semula Umar bin Khatab ra mencoba membujuk Abu Bakar agar tidak memerangi penolak zakat. Kata Abu Bakar, ''Demi Allah, jika mereka berani menolak menyerahkan seutas tali yang dulunya mereka berikan pada Rasulullah SAW, aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan ini.'' (Dikeluarkan oleh Ahmad 1: 11, 19, 35, 2: 35, 4: 8, Al Bukhari hadits no 1.561, Muslim Kitab Al Iman hadits no 82, 83 Juz 1 hal 52.)

Pada riwayat lain disebutkan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq yang dikenal sangat lembut perangainya menyatakan: ''Rasulullah SAW telah wafat dan wahyu sudah tidak turun lagi! Demi Allah aku akan memerangi mereka selama masih memegang pedang di tanganku meski mereka tidak mau menyerahkan seutas tali!'' (Tarikh Al Khulafa', Al Suyuthi, Fasal fii maa Waqa'a fii Khilafati Abi Bakar Al Shiddiq ra).

Ungkapan Abu Bakar 'dan wahyu sudah tidak turun lagi' menunjukkan ketegasannya terhadap persoalan nabi palsu. Dari Handzalah bin Ali Al Laitsi ia berkata, ''Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Al Walid memerangi orang-orang dengan sebab lima rukun Islam. Siapa saja yang menolak salah satunya hendaknya ia diperangi.'' (Adz Dzahabi, Tarikh Al Islam, Kitab Sanah Ihda 'Asyr Bab Khabar Al Riddah).

Terkait dengan perang melawan kelompok murtad itu, Ibnu Mas'ud berkata, ''Setelah Rasulullah SAW wafat, kami hampir saja binasa kalau saja Allah tidak menganugerahi kami kepemimpinan Abu Bakar.'' (Tarikh Al Dzahabi, Juz 2, Kitab Sanah Ihda 'Asyr, bab Akhbar al Riddah). Juga dikatakan: ''Demi Allah, aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan perang dan baru aku tahu, inilah keputusan yang benar.'' (Al Bukhari hadits no 1.561).

Islam memandang masalah agama (ad-Dinul Islam) sebagai hal yang prinsip karena menyangkut urusan dunia dan akhirat. Agama tak hanya laksana baju, boleh dipakai dan ditanggalkan kapan saja.

Rasulullah SAW dan Abu Bakar bersikap tegas terhadap setiap penyelewengan agama. Jadi, sangat tidak benar umat Islam, apalagi para ulamanya, hanya berdiam diri terhadap segala bentuk kesesatan dan kemurtadan. Oleh sebab itu, sesuai dengan fungsinya, tindakan MUI yang menetapkan ajaran sejumlah nabi palsu sebagai ajaran sesat adalah tindakan yang sangat tepat. Tentu saja tindakan berikutnya adalah menjadi tanggung jawab penguasa (umara).

Ikhtisar:
- Disertasi, tesis, skripsi, dan buku-buku yang mendukung hak murtad sangat banyak.
- Nabi mencontohkan memerangi musuh Allah dengan cara yang halus, tetapi tegas.

Bermazhab yang Ideal


M Afifuddin Muchit
Wakil Ketua Tanfidhiyah PCI-NU Pakistan (Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Social Science IIU Islamabad)

Sejarah NU adalah perlawanan hegemoni ideologi purifikasi yang hendak membabat tradisi-tradisi lokal yang disinyalir menyimpang dari ajaran Islam. Perlawanan terhadap hegemoni pembaruan Islam ini titik kulminasi terakhir dari tiga gerakan yang mendahulinya, yaitu Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air) 1916, Taswirul Afkar atau Kebangkitan Pemikiran, dan Nadlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar).

Dari rentetan keempat event itu, terlihat perjuangan kaum pribumi yang digawangi kelompok sayap pesantren tradisionalis sangat antidiskriminatif dan prokebebasan dan pencerahan. Pembelaan terhadap kebebasan beragama dan tafsirnya yang di antaranya melahirkan gerakan NU, merupakan hak setiap manusia yang harus dilindungi. Tafsir Islam tunggal tidak hanya akan merobek barisan umat Islam, tapi juga pemicu lahirnya pertumpahan darah di antara sesama umat Islam.

Kendati Islam berasal dari satu sumber, penafsiran Islam tidaklah tunggal alias sangat beragam seiring perjalanan waktu. Nabi mengakui perbedaan pandangan umatnya dan mengatakan perbedaan adalah rahmat. Pengesahan Nabi ini momentum penting dalam kebebasan mengungkapkan tafsir Islam. Namun, pengabsahan perbedaan pendapat ini tidak berlaku di semua lini. Kebebasan berbeda terjemah Islam ini tidak berlaku dalam bidang fundamental, seperti rukun iman dan Islam.

Tidak perlu diperpanjang
Wacana akulturasi dan kompromi budaya lokal yang kerap melahirkan stigma negatif pada NU, seperti bid'ah dan khurafat sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Ini semua interpretasi masing-masing dalam memahami agama dalam aspek sosio-kultur masyarakat setempat. Praktik agama yang selalu menjurus kepada kecurigaan dan saling tuding tidak kondusif untuk merapatkan barisan umat yang masih tercerai-berai. Terlebih lagi untuk memasarkan Islam yang cinta damai dan toleran kepada penduduk dunia.

Islam memberikan pengesahan terhadap praktik akulturasi budaya lokal saat era pertama Islam muncul di Arab. Sebut saja praktik poligami, fanatisme kelompok, kejantanan dan kehebatan berperang, dendam kelompok, dan bederma yang berlebihan adalah tradisi lokal Arab yang tetap dilegalkan oleh Islam hingga sekarang. Tapi, dengan sedikit mengubah motif dan caranya menjadi Islami.

Kehebatan NU mendobrak hegemoni beragama yang kaku ini tidak dibarengi dengan cara bermazhab yang kreatif dan progresif. Cara beragama NU yang terlalu mendewakan tradisi ini menumpulkan kritik beragama. Slogan NU mengusung konsep 'menjaga tradisi yang masih laik dan menerima ide baik dari luar' membawa kaum nahdliyyin menjadi kelompok prokemapanan alias kurang kritis dengan perubahan sosial.

Ini tampak saat NU dihadapkan pada realitas problem sosial. Mereka hanya mampu menyodorkan jawaban legalitas hukumnya dan bukan pada aspek pemecahan problem. Ini bisa dilihat dengan masih menguatnya tradisi bahsul masail pada nahdliyyin sebagai jawaban atas problem sosial dengan merujuk pada kitab-kitab klasiknya.

Keahlian mencari legalitas hukum sebuah persoalan dalam kitab-kitab agama memang tetap diperlukan. Namun, keahlian ini tak cukup untuk memecahkan problem sosial riil. Persoalan tidak selesai dengan hanya menyodorkan jawaban ini haram, ini boleh, ini makruh, dan lain-lain.

Menurut A Qadri Azizi dalam bukunya: Islam dan Permasalahan Sosial (LKiS 2000), yang patut disayangkan dari cara bermazhab kaum nadliyyin ini lebih banyak mengacu pada metode adopsi matang pendapat ulama tertentu yang tertera dalam kitab-kitab mu'tabaroh (terkenal) dan bukan pada metodologi hukumnya. Tidak mengherankan bila ada persoalan yang muncul lalu tidak ditemui teks matang dari kitab tersebut.

Ulama NU cenderung menghentikan persoalan (mauquf) tanpa berani mengeluarkan ijtihad pendapat pribadi. Padahal, sebuah problem terkadang menuntut jawaban yang cepat dan solutif.

Sikap bermazhab ala NU ini sudah tidak kondusif di era modern. Pengembangan wacana bermazhab yang progresif dan berani mengadopsi ijtihad pribadi sangat perlu untuk tidak mengatakan sudah sangat mendesak di era sekarang. Sebenarnya khazanah keilmuan ulama dan intlektual NU lebih dari cukup untuk menelurkan sebuah produk hukum baru dalam kaca mata Imam Syatibi, pemilik kitab Al-muwafaqot.

Keahlian ulama NU dalam mencari legalitas sebuah hukum persoalan dalam kitab-kitab agama tidak perlu dipertanyakan lagi. Akan tetapi, ini sangat terbatas pada pencarian produk matang karya ulama terdahulu. Padahal, materi metodologi pengambilan hukum Islam, seperti ushul fiqh dan kaedah fikih selalu mereka pelajari dan ajarkan kepada santri-santrinya.

Sayang, materi ini hanya terbatas untuk 'bacaan' saja dan bukan dicoba dipraktikkan untuk memproduk hukum baru sesuai kaedah yang mereka pelajari dari kitab tersebut. Keengganan mereka mempraktikkan ilmu metodologi pengambilan sebuah hukum baru yang sesuai dengan tuntutan zaman karena masih kuatnya persepsi bahwa teks dalam kita-kitab agama adalah sebuah nash taken for granted yang harus dipatuhi dan diikuti.

Padahal, teks-teks dalam kitab-kitab agama tersebut adalah produk sebuah pemikiran yang punya setting sejarah dan tempat. Ini artinya ia punya nilai relativitas dengan zaman.

Produk pemikiran bukanlah nash agama (wahyu) yang punya nilai sakral dan suci. Ketika seseorang menafsirkan nash agama maka produk tafsir nash tersebut akan menjelma menjadi sebuah produk pemikiran dan bukan nash itu sendiri. Dari sinilah muncul beberapa produk pemikiran ulama yang biasa dikenal dengan istilah mazhab.

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bermazhab yang ideal bukanlah mengikuti pendapat ulama secara membabi-buta, tapi mengikuti metodologinya sehingga produk-produk hukum agama akan bisa up to date menjawab zaman. Tapi, lagi-lagi problem yang mungkin akan muncul adalah dikotomi perbandingan antara ulama dahulu dan ulama sekarang yang diyakini kualitasnya sangat rendah dibanding ulama zaman dahulu.

Ini sebenarnya problem klasik yang selalu bersentuhan dengan syarat menjadi seorang mujtahid dan persyaratannya yang sangat ketat. Menurut penulis tidak ada salahnya bila ulama nahdliyyin membuka diri dengan konsep ijtihad yang pernah ditelurkan oleh Imam Syatibi. Ini untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Ia mengatakan syarat menjadi mujtahid hanya dua, yaitu mengusai literatur bahasa Arab secara baik dan memahami maqasid syariah secara benar.

Thursday, February 28, 2008

Beragama ala Ibrahim


Oleh Husein Ja'far Al Hadar


Jumat, 22 Februari 2008
Upaya guna merefleksikan kembali dinamika keagamaan di masa lalu yang ditorehkan oleh pembawa risalah "langit", dinilai efektif guna menjadi objek refleksi bagi umat beragama di Indonesia. Utamanya karena keberagamaan di Indonesia makin menjauh dari nilai-nilai dasar profetik agama berupa toleransi, humanisme, dan peradaban dialogis.
Dinamika serta pergulatan keagamaan Ibrahim yang melahirkan "agama-agama Ibrahim" (Islam, Kristen dan Yahudi) dapat menjadi titik tolak refleksi dalam upaya merekonstruksikan pemahaman keagamaan yang nantinya mengarah pada terbangunnya tatanan peradaban keagamaan yang lebih ideal dalam tatanan masyarakat beragama kini. Pasalnya, dinamika serta pergolakan keagamaan Ibrahim sarat dengan nilai-nilai toleransi, humanisme, dialogis serta nilai-nilai filosofis-rasionalis.
Selain itu, pergolakan keagamaan Ibrahim memuat substansi dari "agama-agama Ibrahim" sehingga representatif menjadi rujukan. Bertolak dari sini, maka tulisan ini mencoba memaparkan pergolakan teologis-keagamaan sosok Ibrahim yang sarat dengan nilai-nilai dasar profetik keagamaan (toleran, humanis serta dialogis) sebagai dasar refleksi bagi tatanan keagamaan di era kini dan masa depan dalam membangun peradaban agama.
Keyakinan Ibrahim akan keberadaan dan eksistensi Tuhannya merupakan sebuah kesimpulan teologis yang dicapai setelah melalui ronde-ronde pergolakan ketuhanan dan keagamaan yang panjang dan sarat makna. Teologi Ibrahim lahir dari lingkungan yang puas akan eksistensi tuhan simbolik (bintang, bulan, matahari dan atribut alam lain). Namun, teologis simbolik itu tak memuaskan Ibrahim yang rasional, filosofis, dan dialogis.
Sebaliknya, fenomena pemahaman dan keyakinan atas Tuhan simbolik yang tersebar dalam tatanan kosmologis alam semesta -yang diyakini oleh masyarakat kala itu- menjadi refleksi bagi Ibrahim menuju pergulatan ketuhanan yang mengarahkannya kepada suatu kesempurnaan keyakinan akan eksistensi Tuhan (QS. 6: 75). Dan, Ibrahim berhasil membawa pemahaman ketuhanan subjektifnya pada sebuah paradigma dan keyakinan teologis yang terus bergerak dinamis pada titik kesempurnaan dan kesejatian.
Dalam dinamikanya, Ibrahim cenderung "menyeret" fenomena teologis tersebut dalam ranah pergulatan ketuhanannya yang sarat dengan tinjauan-tinjauan teologis-filosofis berbasis rasionalistis. Oleh karena itu, ketika bintang tersebut tenggelam, maka Ibrahim pun menentangnya dan mengkritisinya dengan sebuah gugatan teologis-filosofis bahwa ia tidak pernah suka pada eksistensi (Tuhan) yang tenggelam (QS. 6: 76). Ibrahim mendasarkan pada silogisme, bahwa seluruh eksistensi yang timbul dan tenggelam adalah objek yang terikat pada sederetan norma kosmologis (hukum kausalitas). Keberadaan dan pergerakannya bergantung pada objek lain yang mengawali sekaligus menggerakkannya. Selaras dengan pemahaman Aristoteles -dalam konsep Aktus Murni-nya- Ibrahim menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang bergerak adalah objek yang ada atas dasar keberadaan penciptanya yang menggerakkannya.
Respons teologis tersebut mengindikasikan sebuah kematangan pemahaman serta paradigma ketuhanan sosok Ibrahim, sekaligus meruntuhkan keyakinan teologis berbasis mitologi. Selain itu, ketika Ibrahim melihat sederetan fenomena kosmologis -bulan dan matahari- yang diyakini sebagai eksistensi Tuhan oleh mayoritas masyarakat jahiliyah kala itu, Ibrahim secara ofensif menentang pemahaman teologis "purba" tersebut dengan sederetan paradigma teologis-filosofis berbasis rasionalistik yang ia suguhkan kepada penyembah Tuhan simbolik tersebut (QS. 6: 77-78).
Nilai-nilai dasar profetik keagamaan lain yang tersirat di balik pergolakan teologia Ibrahim adalah totalitas pemahaman yang bukan didasarkan pada klaim subjektivitas Ibrahim. Sosok Ibrahim menyisakan kesan keagamaan bahwa pada dasarnya peradaban keagamaan dasar "langit" merupakan sebuah peradaban keagamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dialogis dalam pergulatan pencapaian kebenarannya. Oleh karena itu, sosok Ibrahim selalu menjalin dialog teologi-keagamaan terkait fenomena keagamaan yang cenderung plural, bahkan paradoks dalam tatanan umat beragama.
Dengan begitu, maka sejatinya konsep ketuhanan dan keagamaan yang diwariskan Ibrahim merupakan sebuah konsep teologi-keagamaan substansial yang didasarkan pada paradigma dan pemahaman filosofis-rasionalistis. Sehingga, sebagaimana hipotesa Ismail Raji Faruqi (1986) dalam Trialogue of The Abrahamic Faiths, cenderung terlihat keselarasan konsep teologis dasar antar-"agama-agama Ibrahim" (Abrahamic faiths) yang sejatinya terinspirasi dari pegulatan ketuhanan Ibrahim.
Bertolak dari sini, maka serangkaian kesan teologis-filosofis yang kemudian menjadi bekal dalam upaya rekonstruksi peradaban umat beragama saat ini. Pertama, Ibrahim cenderung memandang dan memahami seluruh fenomena keagamaan dan ketuhanan pada paradigma filosofis-teologis berbasis rasionalistis. Itu juga mengindikasikan penghargaan pada rasio sebagai salah satu perspektif dominan dalam membangun pemahaman dan keyakinan keagamaan dan ketuhanan.
Kedua, pergolakan ketuhanan yang dilalui Ibrahim -dengan didasarkan pada dialog keagamaan dengan sekelompok umat dengan keyakinan ketuhanan yang bersebelahan, bahkan berseberangan-dalam upaya menuju eksistensi kebenaran sejati, mengindikasikan signifikansi peran dialog dalam membangun sebuah paradigma dan keyakinan keagamaan yang lebih toleran dan sesuai dengan nilai-nilai transendensi "langit" dan imanensi manusia. Sejarah Ibrahim mendorong dibangunnya sebuah peradaban yang berlandaskan toleransi dan dialog, yang menuntut metode dakwah keagamaan berbasis dialogis-toleran, sekaligus sebagai media potensial memahami pluralitas keagamaan.
Pergulatan keagamaan Ibrahim yang terekam dalam teks "suci" dapat menjadi dasar refleksi umat beragama dalam membangun tatanan peradaban keagamaan, khususnya di Indonesia yang berbasis pada nilai toleransi, dialogis, dan humanis.***
Penulis adalah ketua lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta

Tuesday, February 26, 2008

Agama untuk Kemanusiaan



SEPANJANG sejarah, nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan senantiasa hidup. Keduanya merupakan sumber dan acuan perjuangan serta dinamika sosial.

Berbagai revolusi sosial terjadi karena dipicu dan diinspirasi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan adakalanya oleh nilai-nilai dan spirit keagamaan. Lebih dari itu, banyak monumen sejarah yang sangat indah dan megah yang diinspirasi oleh keyakinan agama. Tentu ada yang keberatan dengan pembedaan dan bahkan memperhadapkan keduanya. Bukankah agama diwahyukan untuk membela martabat manusia, bukan sebaliknya manusia dicipta untuk membela agama? Pembedaan antara agama dan kemanusiaan bukannya tanpa alasan.

Alasan pertama dan utama, secara ontologis agama diyakini sebagai kebenaran yang diwahyukan (revealed) melalui para nabi pilihan Tuhan, sementara postulat nilai-nilai kemanusiaan merupakan produksi dan refleksi penalaran insani. Meski agama diyakini dari Tuhan, ketika wahyu ilahi masuk ranah sejarah kemanusiaan, berbagai perkembangan muncul sehingga seringkali menimbulkan perdebatan dan perkelahian berdarah-darah.

Ketika sejarah menghadirkan sekian wajah nabi dan kemudian mewariskan ajaran agama dengan beragam bahasa, tradisi, dan ajaran yang sudah membaur dengan budaya, kita pun bertanya, dari semua agama itu mana yang paling benar? Yakin bahwa Tuhan adalah Esa, mengapa di muka bumi terdapat beragam agama? Agama mana yang mesti saya ikuti? Kalaupun semuanya mengandung unsur kebenaran, mungkinkah kebenaran yang berserakan itu disatukan, lalu manusia memiliki satu agama yang diterima bersama?

Pertanyaan dan harapan tersebut hanyalah sebuah ilusi karena pada kenyataannya di atas planet bumi yang satu ini tumbuh sekian banyak agama, budaya, bahasa, dan manusia pun terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok etnis, bangsa, dan negara. Belum lagi sekian ratus sekte, mazhab, dan kepercayaan yang semuanya dihayati dan diyakini secara eksklusif, yang satu cenderung merendahkan yang lain.

Ketika keragaman dan perilaku agama telah menimbulkan sekian konflik sosial, bahkan perang, dan dianggap mempersempit dialog kritis-konstruktif, situasi demikian mendorong sikap skeptis-apatis terhadap agama,baik lembaga, tokoh maupun doktrinnya. Di Barat gerakan humanisme-sekularisme juga dikondisikan oleh kegagalan agama menampilkan dirinya sebagai pelopor peradaban yang menjunjung nalar kritis dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, memasuki abad ke-21 ini muncul tanda-tanda terjadinya rekonsiliasi dan dialog cerdas antara ilmu pengetahuan, paham humanisme, dan spirit keagamaan dalam format yang baru.

Bagaimanapun juga agama menawarkan nilai-nilai luhur yang bersifat metafisisperenial yang sangat sejalan dengan agenda humanisme. Humanisme-sekularisme yang tidak memberikan ruang bagi bimbingan wahyu ilahi akan menemui jalan buntu dan mempersempit perspektif hidup dan perjuangan kemanusiaan itu sendiri.

Di sisi lain, jika paham dan artikulasi serta praktik keberagamaan berseberangan dengan nalar kritis serta agenda kemanusiaan, agama akan terpinggirkan dalam pasar sejarah. Agama senantiasa dibela dan dalam waktu bersamaan juga dikritik dan dicaci. Lagi-lagi, orang akan berkata, yang salah adalah umatnya atau pemeluknya, bukan agamanya.

Namun, bukankah mata rantai penyebaran dan pemahaman agama adalah manusia? Artinya, memisahkan agama ke dalam ruang steril yang terpisah dari pemahaman, penafsiran, keyakinan, dan pengamalan para pemeluknya adalah mustahil. Oleh karenanya usaha pemurnian dan proses penyimpangan paham keagamaan selalu berkembang bersama. Keduanya mesti melibatkan penafsiran yang bersifat nisbi, relatif, tetapi tidak berarti mesti jatuh pada paham nihilisme.

Mari kita cermati sekian banyak buku bernuansa keagamaan yang beredar hari ini. Bahwa yang disebut buku keagamaan mesti terdapat unsur-unsur keyakinan agama, wawasan ilmu pengetahuan, dan kepedulian pada masalah sosial kemanusiaan yang kesemuanya saling bertalian. Dengan demikian, pada tataran praksis wilayah agama, budaya, dan cita-cita kemanusiaan sudah melebur jadi satu. Agama yang tidak peduli pada masalah kemanusiaan dan politik akan kehilangan dimensi dan fungsi liberatifnya.

Bukankah panggung politik merupakan medium paling efektif untuk memikirkan masalah rakyat dan negara? Kalau demikian halnya, bukankah agama harus masuk ke wilayah politik? Di sinilah mulai muncul wilayah kelabu (grey area), wilayah konflik dan kolaborasi antara perjuangan nilai-nilai agama dan kemanusiaan di satu sisi serta agenda kekuasaan yang sarat dengan kepentingan pribadi/kelompok di sisi yang lain. Artikulasi dan agenda aksi gerakan keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini perlu kita cermati saksama karena tidak jarang simbol dan kutipan ayat-ayat suci agama dimanipulasi untuk kepentingan politik murahan.

Atau bisa saja pemahaman agama yang eksklusif sering kurang memedulikan dimensi kemanusiaan serta enggan mendengarkan suara yang berbeda, padahal semuanya mengatasnamakan misi keagamaan yang sama. Yang berbeda lalu diposisikan sebagai lawan yang mengancam sehingga harus dikutuk, tidak boleh hidup. Masyarakat kita yang begitu mudah menggunakan simbol agama ternyata juga sangat mudah terjatuh pada sikap brutal yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan.

Lihat saja berbagai konflik yang muncul, mulai dari konflik antarwarga desa, konflik antara pendukung parpol dalam pilkada hingga konflik akibat pemahaman agama yang berbeda, semua itu melahirkan sebuah pertanyaan: apa pengaruh pemahaman dan keyakinan agama dalam perilaku sosial? Jangan-jangan etika beragama itu berawal dan berakhir di masjid atau gereja saja, tetapi begitu masuk ranah sosial-politik etika agama dan kemanusiaan diinjak-injak.

Korupsi dan sikap saling mengumpat ditemui di mana-mana. Yang menyedihkan lagi, adakalanya mimbar khotbah agama dinodai dengan cacian dan fitnah terhadap pihak-pihak lain tanpa dasar yang kuat. Demikianlah, tanpa disadari kehidupan beragama yang kurang mengindahkan etika sosial dan nilai-nilai kemanusiaan pada urutannya akan mendorong paham sekularisme dan liberalisme akibat kekecewaan pada praktik beragama yang tidak sehat.

Membela agama dengan cara tidak etis dan tidak cerdas sama halnya dengan melecehkan dan menjatuhkan martabat agama. Dengan demikian, kita bisa membuat formula, panggung kemanusiaan mestinya menjadi lokus aktualisasi nilai agama sehingga agama dan kemanusiaan bagaikan dua sisi dari satu mata uang. (*)

Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Monday, February 25, 2008

Religious Vernaculars


Oleh : Azyumardi Azra

Kalam ('teologi') merupakan bagian integral pemikiran Islam yang berkembang sejak zaman klasik sampai pertengahan. Pertumbuhan kalam yang melibatkan dinamika intelektual yang intens di kalangan ulama dan pemikir Islam kelihatannya mengalami masa surut pada masa modern.

Apa yang tersisa adalah paradigma dan kerangka teologis Islam klasik, seperti Asy'ariyah, yang kini dominan di kalangan mayoritas Muslim di berbagai penjuru dunia. Sedangkan aliran Kalam lainnya, seperti Mu'tazilah, kelihatannya sulit mengalami kebangkitan kembali.

Masihkah relevan berbicara tentang Kalam? Mungkin juga tidak, jika Kalam lebih banyak berbicara tentang 'sifat' dan 'zat' Tuhan dan posisi manusia vis-a-vis Tuhan. Wacana dan perdebatan tentang itu lebih merupakan konsumsi dan intellectual exercise di kalangan terbatas saja.

Tapi, Kalam ('teologi') dalam bidang-bidang tertentu pemikiran keagamaan tampaknya masih diperlukan. Ini terlihat misalnya dari berbagai wacana dan pemikiran, misalnya, tentang 'teologi bumi', 'teologi lingkungan hidup', 'teologi sosial', dan sebagainya. Teologi-teologi seperti ini pada dasarnya merupakan upaya perumusan pemikiran Islam dalam bidang-bidang tersebut, sehingga memberikan landasan 'doktrinal' yang valid dan kuat. Teologi semacam itu merupakan respons pemikiran Islam atas tantangan aktual di masa kini.

Dalam konteks itu, sebuah upaya terobosan untuk merumuskan 'teologi Muslim kontemporer tentang agama-agama dunia' tengah digiatkan sejumlah pemikir Muslim antarbenua. Mereka menyelenggarakan konferensi pertama pada 27-30 Mei 2007 di Universitas al-Akhawayn, Ifrane, Maroko. Hasil-hasil pertemuan itu yang akhir Januari 2008 lalu dirilis secara terbatas menampilkan sejumlah kerangka pemikiran menarik.

Pertama, sejauh menyangkut teologi, seperti pernah dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, salah satu tantangan adalah bagaimana kita sebagai Muslim dapat menjaga kebenaran Islam, ortodoksi Islam, dan struktur dogmatis tradisi Islam. Tapi, pada saat yang sama juga membuka diri pada tradisi keagamaan lain. Stockholm bukan hanya orang tua, tapi juga banyak yang muda-muda, bahkan anak-anak.

Tantangan seperti ini tidaklah unik, dan juga tidaklah baru, karena kaum Muslim telah menghadapi tantangan seperti itu di masa silam. Dan para ulama serta pemikir Muslim juga telah memberikan respons intelektual mereka terhadap tantangan tersebut. Tetapi pada akhir modernitas dan globalisasi sekarang, tantangan itu kelihatan kian sentral. Kini bahkan merupakan salah satu dari beberapa tantangan utama terhadap para pemuka dan pemikir agama, baik secara internal di dalam satu agama, maupun eksternal, antara satu agama dan agama lain.

Konferensi Ifrane dalam konteks itu menawarkan kerangka yang disebut religius vernaculars. Istilah ini dipinjam dari teori antropologi tentang vernacular cultures yang berdasarkan pada konsep sosiolinguistik tentang bahasa-bahasa vernakular (lokal) yang relatif berbeda dalam hal-hal tertentu dengan bahasa standar.

Dalam konteks Eropa atau Barat umumnya, peningkatan sentimen keislaman justru meningkat setelah Peristiwa 11 September 2001 di AS. Dampaknya bukan hanya berlaku terhadap kaum Muslim di Amerika, tetapi juga di Eropa, yang sejak itu kian sering menjadi sasaran kecurigaan, diskriminasi, kebencian, dan kemarahan dari kelompok masyarakat setempat yang semakin menunjukkan sikap antiorang asing, khususnya Muslim, untuk tidak menyebut 'anti-Islam'.

Perkembangan seperti ini, pada gilirannya membangkitkan self-defence mechanism di dalam masyarakat Muslim. Mekanisme pertahanan diri ini, baik langsung maupun tidak, mendorong peningkatan identitas Muslim. Pemakaian hijab, dan bahkan juga pergi haji, misalnya, kini merupakan bagian integral dari politik identitas di kalangan Muslim yang hidup dalam diaspora Eropa atau Dunia Barat lainnya. Pergi haji, dan kemudian kembali ke diaspora dengan gelar haji membuat identitas keislaman menjadi lebih lengkap; dan ini secara langsung memperkuat Islam sebagai politik identitas tersebut.

Naik haji dari Eropa seperti juga dari Indonesia kian singkat dari segi waktu, karena perjalanan dengan pesawat jet. Keharuan dan kesyahduan naik haji mungkin juga berkurang karena waktu yang singkat itu. Tetapi, terlepas dari itu, makna dan simbolisme ibadah haji tidak pernah berkurang, apalagi menghilang. Ia kini bahkan kian menjadi bagian tidak terpisahkan dari 'kebangkitan Islam'. Sekali lagi, dalam konteks Eropa, naik haji merupakan salah satu ekspresi politik identitas tadi.

Potensi dan Kekuatan Umat

Meskipun pada saat ini umat dan bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai problem yang berat dan kompleks, seperti kemiskinan, kebodohan, pengangguran, perpecahan, musibah yang terus-menerus datang bertubi-tubi, tetapi tidak boleh menyurutkan keinginan dan tekad untuk tetap menggali potensi dan kekuatan yang ada.

Tidak ada dalam kamus kehidupan kaum Muslimin, frustrasi dan putus asa. ''... dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.'' (QS Yusuf [12]: 87). Bahkan Alquran mengajarkan, jika kita tetap bekerja keras, cerdas, dan ikhlas, sesuai dengan profesi dan keahlian masing-masing dan mempersembahkan yang terbaik dalam kehidupan ini, maka kesulitan akan berubah menjadi kemudahan. Ketakutan akan berubah menjadi harapan.

Pesimisme akan berubah menjadi optimisme. Allah SWT berfirman dalam QS Alam Nasyrah [94] ayat 5-6: ''Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu terdapat kemudahan (5) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu terdapat kemudahan (6).'' Juga firman-Nya dalam QS Al-Isra' [17] ayat 84: ''Katakanlah: 'Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.' Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya."

Kekuatan ajaran
Sebagai satu-satunya ajaran yang diridhai-Nya (QS Ali Imran [3]: 19 dan 85), Islam adalah ajaran yang komprehensif dan universal, yang sesuai dengan kebutuhan hidup manusia, kapan dan di mana pun (QS Ar-Rum [30]: 30) yang mampu memberikan jawaban secara tuntas terhadap segala problematika kehidupan.

Dalam bidang ekonomi, misalnya, di samping menekankan aspek pertumbuhan juga menekankan aspek pemerataan (economic growth with equity) melalui mekanisme zakat, infak, wakaf, dan bentuk-bentuk keuangan publik lainnya. Tidak boleh harta itu hanya dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang kaya, mapan dan dekat dengan lingkaran kekuasaan (QS Al-Hasyr [59]: 7). Sistem ekonomi kapitalistik dan ribawi yang saat ini mendominasi dunia (juga Indonesia) telah melahirkan kesenjangan yang sangat dahsyat dan luar biasa.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Maddison (2001), terungkap bahwa kesenjangan pendapatan antarwilayah regional dan benua cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 1870 hingga tahun 2000 M. Rasio perbandingan antara pendapatan per kapita kelompok terkaya dan kelompok termiskin meningkat dari 5 : 1 pada tahun 1870 menjadi 19 : 1 pada tahun 1998. Begitu pula halnya dengan kesenjangan pendapatan yang terjadi di Indonesia.

Menurut penelitian Kuncoro, yang dikutip Investor Daily (23 November 2007), pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2000 hanya dinikmati oleh 40 persen golongan menengah dan 20 persen golongan terkaya. Sisanya 40 persen golongan berpendapatan terendah semakin tersisih.

Pada tahun 2000, kelompok ini menikmati porsi pertumbuhan sebesar 20,92 persen, sedangkan pada tahun 2006, kelompok miskin ini hanya menikmati porsi pertumbuhan ekonomi sebesar 19,2 persen. Sebaliknya, 20 persen kelompok kaya semakin menikmati pertumbuhan ekonomi, dari 42,19 persen menjadi 45,72 persen dalam kurun waktu yang sama.

Fakta serupa juga ditemukan pula dalam Human Development Report 2006 yang diterbitkan oleh UNDP (United Nations Development Programme). Berdasarkan laporan tersebut, 10 persen kelompok kaya dunia menguasai 54 persen total kekayaan dunia. Sedangkan sisanya 90 persen masyarakat dunia menguasai 46 persen total kekayaan dunia (Beik, 2006).

Salah satu faktor utama yang menyebabkan besarnya kesenjangan pendapatan tersebut, karena ketiadaan mekanisme distribusi kekayaan yang mencerminkan prinsip keadilan dan keseimbangan, sehingga kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok. Ajaran Islam yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan perlu terus-menerus digali dan diimplementasikan dengan penuh keyakinan dan kesungguhan.

Kekuatan umat
Jika penganut Katolik dan Protestan dipisahkan dalam penjumlahannya, maka pemeluk agama Islam merupakan jumlah yang terbesar. Hampir seperlima penduduk dunia beragama Islam. Demikian pula di negara kita, sebagaimana telah sama-sama diketahui, lebih dari 80 persen pendudukan Indonesia beragama Islam. Ini merupakan sebuah potensi dan kekuatan yang sangat luar biasa. Tinggal bagaimana para pemimpin umat, para tokoh, dan kita semua berupaya meningkatkan kualitasnya. Ormas dan parpol Islam, harus percaya diri dengan kekuatan umat.

Kita harus mampu menyusun langkah-langkah strategis, terencana, profesional, sinergik dan terus-menerus untuk membangun kekuatannya, dalam semua bidang kehidupan, terutama pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan. Kita harus menghentikan cara-cara konvensional dan tidak bermartabat, yaitu mendekati umat hanya menjelang pilkada (pemilihan kepala daerah) ataupun pemilu (pemilihan umum) seperti yang terjadi selama ini. Mereka dibujuk, dirayu, diberikan janj-janji kosong yang sesungguhnya tidak akan pernah bisa direalisasikan. Kita berharap, para kandidat harus berhenti melakukan proses pembodohan.

Apalagi disertai dengan money politics (politik uang) yang sekarang ini semakin tidak terkendali dan sungguh sangat mengerikan. Jika hal ini tidak segera diakhiri, kita khawatir yang muncul nanti adalah para pemimpin formal yang mengendalikan birokrasi dan pemerintahan ini, adalah orang-orang yang terbiasa dengan permainan uang.

Potensi sumber alam
Allah SWT telah menganugerahkan negara kesatuan Republik Indonesia, yang penduduknya mayoritas umat Islam ini, sebuah negara yang memiliki sumber alam yang luar biasa. Hutan yang luas, sumber mata air yang mengalir di mana-mana, tanah yang subur, barang tambang yang terdapat di berbagai kawasan, dan kekayaan alam lainnya. Jika sumber alan ini dikelola dengan penuh tanggung jawab, amanah, profesional dan berpihak pada kepentingan rakyat, maka sesungguhnya Indonesia akan menjadi sebauh negara yang mandiri, kuat, bermartabat, dan tidak tergantung pada pihak lain.

Kekisruhan yang terjadi selama ini, karena alam Indonesia dikelola, bukan dengan semangat menyejahterakan masyarakat, akan tetapi kerakusan dan ketamakan untuk untuk memperkaya diri sendiri ataupun hanya terbatas untuk kelompoknya saja. Akhirnya yang terjadi, adalah penipuan, pembohongan, pengkhianatan, dan KKN, yang semuanya berujung pada kerusakan dan kehancuran.

Sumber alam ini harus dikelola, di samping dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga harus disertai dengan hati nurani yang dibimbing oleh cahaya Allah SWT yang terdapat dalam kitab suci-Nya, Alquran al-Karim. Perhatikan firman-Nya dalam QS Luqman [31] ayat 20: ''Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan."

Karena itu, mari kita bergandengan tangan, bahu-membahu, bekerja keras dan sungguh-sungguh dalam barisan yang rapi dan teratur, untuk menggali potensi-potensi dan kekuatan tersebut di atas, maupun potensi lainnya, demi kepentingan umat dan bangsa yang kita cintai ini.
Wallahu `alamu bi ash-shawab.

Friday, February 22, 2008

Agama untuk Kemanusiaan



SEPANJANG sejarah, nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan senantiasa hidup. Keduanya merupakan sumber dan acuan perjuangan serta dinamika sosial.

Berbagai revolusi sosial terjadi karena dipicu dan diinspirasi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan adakalanya oleh nilai-nilai dan spirit keagamaan. Lebih dari itu, banyak monumen sejarah yang sangat indah dan megah yang diinspirasi oleh keyakinan agama. Tentu ada yang keberatan dengan pembedaan dan bahkan memperhadapkan keduanya. Bukankah agama diwahyukan untuk membela martabat manusia, bukan sebaliknya manusia dicipta untuk membela agama? Pembedaan antara agama dan kemanusiaan bukannya tanpa alasan.

Alasan pertama dan utama, secara ontologis agama diyakini sebagai kebenaran yang diwahyukan (revealed) melalui para nabi pilihan Tuhan, sementara postulat nilai-nilai kemanusiaan merupakan produksi dan refleksi penalaran insani. Meski agama diyakini dari Tuhan, ketika wahyu ilahi masuk ranah sejarah kemanusiaan, berbagai perkembangan muncul sehingga seringkali menimbulkan perdebatan dan perkelahian berdarah-darah.

Ketika sejarah menghadirkan sekian wajah nabi dan kemudian mewariskan ajaran agama dengan beragam bahasa, tradisi, dan ajaran yang sudah membaur dengan budaya, kita pun bertanya, dari semua agama itu mana yang paling benar? Yakin bahwa Tuhan adalah Esa, mengapa di muka bumi terdapat beragam agama? Agama mana yang mesti saya ikuti? Kalaupun semuanya mengandung unsur kebenaran, mungkinkah kebenaran yang berserakan itu disatukan, lalu manusia memiliki satu agama yang diterima bersama?

Pertanyaan dan harapan tersebut hanyalah sebuah ilusi karena pada kenyataannya di atas planet bumi yang satu ini tumbuh sekian banyak agama, budaya, bahasa, dan manusia pun terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok etnis, bangsa, dan negara. Belum lagi sekian ratus sekte, mazhab, dan kepercayaan yang semuanya dihayati dan diyakini secara eksklusif, yang satu cenderung merendahkan yang lain.

Ketika keragaman dan perilaku agama telah menimbulkan sekian konflik sosial, bahkan perang, dan dianggap mempersempit dialog kritis-konstruktif, situasi demikian mendorong sikap skeptis-apatis terhadap agama,baik lembaga, tokoh maupun doktrinnya. Di Barat gerakan humanisme-sekularisme juga dikondisikan oleh kegagalan agama menampilkan dirinya sebagai pelopor peradaban yang menjunjung nalar kritis dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, memasuki abad ke-21 ini muncul tanda-tanda terjadinya rekonsiliasi dan dialog cerdas antara ilmu pengetahuan, paham humanisme, dan spirit keagamaan dalam format yang baru.

Bagaimanapun juga agama menawarkan nilai-nilai luhur yang bersifat metafisisperenial yang sangat sejalan dengan agenda humanisme. Humanisme-sekularisme yang tidak memberikan ruang bagi bimbingan wahyu ilahi akan menemui jalan buntu dan mempersempit perspektif hidup dan perjuangan kemanusiaan itu sendiri.

Di sisi lain, jika paham dan artikulasi serta praktik keberagamaan berseberangan dengan nalar kritis serta agenda kemanusiaan, agama akan terpinggirkan dalam pasar sejarah. Agama senantiasa dibela dan dalam waktu bersamaan juga dikritik dan dicaci. Lagi-lagi, orang akan berkata, yang salah adalah umatnya atau pemeluknya, bukan agamanya.

Namun, bukankah mata rantai penyebaran dan pemahaman agama adalah manusia? Artinya, memisahkan agama ke dalam ruang steril yang terpisah dari pemahaman, penafsiran, keyakinan, dan pengamalan para pemeluknya adalah mustahil. Oleh karenanya usaha pemurnian dan proses penyimpangan paham keagamaan selalu berkembang bersama. Keduanya mesti melibatkan penafsiran yang bersifat nisbi, relatif, tetapi tidak berarti mesti jatuh pada paham nihilisme.

Mari kita cermati sekian banyak buku bernuansa keagamaan yang beredar hari ini. Bahwa yang disebut buku keagamaan mesti terdapat unsur-unsur keyakinan agama, wawasan ilmu pengetahuan, dan kepedulian pada masalah sosial kemanusiaan yang kesemuanya saling bertalian. Dengan demikian, pada tataran praksis wilayah agama, budaya, dan cita-cita kemanusiaan sudah melebur jadi satu. Agama yang tidak peduli pada masalah kemanusiaan dan politik akan kehilangan dimensi dan fungsi liberatifnya.

Bukankah panggung politik merupakan medium paling efektif untuk memikirkan masalah rakyat dan negara? Kalau demikian halnya, bukankah agama harus masuk ke wilayah politik? Di sinilah mulai muncul wilayah kelabu (grey area), wilayah konflik dan kolaborasi antara perjuangan nilai-nilai agama dan kemanusiaan di satu sisi serta agenda kekuasaan yang sarat dengan kepentingan pribadi/kelompok di sisi yang lain. Artikulasi dan agenda aksi gerakan keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini perlu kita cermati saksama karena tidak jarang simbol dan kutipan ayat-ayat suci agama dimanipulasi untuk kepentingan politik murahan.

Atau bisa saja pemahaman agama yang eksklusif sering kurang memedulikan dimensi kemanusiaan serta enggan mendengarkan suara yang berbeda, padahal semuanya mengatasnamakan misi keagamaan yang sama. Yang berbeda lalu diposisikan sebagai lawan yang mengancam sehingga harus dikutuk, tidak boleh hidup. Masyarakat kita yang begitu mudah menggunakan simbol agama ternyata juga sangat mudah terjatuh pada sikap brutal yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan.

Lihat saja berbagai konflik yang muncul, mulai dari konflik antarwarga desa, konflik antara pendukung parpol dalam pilkada hingga konflik akibat pemahaman agama yang berbeda, semua itu melahirkan sebuah pertanyaan: apa pengaruh pemahaman dan keyakinan agama dalam perilaku sosial? Jangan-jangan etika beragama itu berawal dan berakhir di masjid atau gereja saja, tetapi begitu masuk ranah sosial-politik etika agama dan kemanusiaan diinjak-injak.

Korupsi dan sikap saling mengumpat ditemui di mana-mana. Yang menyedihkan lagi, adakalanya mimbar khotbah agama dinodai dengan cacian dan fitnah terhadap pihak-pihak lain tanpa dasar yang kuat. Demikianlah, tanpa disadari kehidupan beragama yang kurang mengindahkan etika sosial dan nilai-nilai kemanusiaan pada urutannya akan mendorong paham sekularisme dan liberalisme akibat kekecewaan pada praktik beragama yang tidak sehat.

Membela agama dengan cara tidak etis dan tidak cerdas sama halnya dengan melecehkan dan menjatuhkan martabat agama. Dengan demikian, kita bisa membuat formula, panggung kemanusiaan mestinya menjadi lokus aktualisasi nilai agama sehingga agama dan kemanusiaan bagaikan dua sisi dari satu mata uang. (*)

Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Monday, February 18, 2008

Paradoks Budaya


Oleh : Haedar Nashir

Seperti apa wajah budaya masyarakat Indonesia saat ini? Agaknya, tak begitu mudah melukiskannya. Kadang tampak khusyuk dan religius. Tapi tiba-tiba muncul panorama serbametal dan ingar-bingar. Kesalehan dan kebrutalan seolah berjalan beriringan, kadang tampil sama-sama populer dan semarak. Paradoks budaya tengah berlangsung seolah saling memperebutkan hegemoni kultural.

Ketika nyawa melayang dan kerusuhan demi kerusuhan mewarnai dunia persepakbolaan di negeri ini, kompetisi tetap berlangsung tanpa keprihatinan yang serius. Kendati Menpora berteriak keras, para pengurus sepak bola Indonesia seolah menganggap kebrutalan seperti itu lazim adanya. Bahkan dunia sepak bola masih dipimpin dari balik jeruji besi, dan para pengurusnya dengan bangga menantang ketentuan FIFA.

Mungkin orang-orang di luar negeri heran, kenapa masih ada bangsa yang begitu naif di muka bumi ini. Nalar sehat yang sederhana pun dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang keterlaluan.

Konser musik keras di Bandung berbuah rusuh dan memakan korban nyawa karena salah urus penyelenggara. Jika menyaksikan sebagian konser-konser musik sejenis di negeri ini, banyak panorama yang begitu liar. Penonton selain dibikin terhipnosis dalam histeria massa, juga mengikuti irama musik dengan liar. Hati ini dibikin tertegun, kenapa musik harus begitu metal dan binal?

Generasi muda hanyut dalam budaya populer yang seakan tak mengajar apapun yang maknawi selain menghempaskan diri dalam kegembiraan-kegembiran primitif. Padahal musik dan seni sejatinya mengajarkan kelembutan, keindahan, dan kehalusan untuk membangun akal budi dan peradaban yang luhur.

Panorama kontras lainnya hadir di negeri ini. Tatkala masyarakat Situbondo, Bondowoso, dan daerah-daerah sekitarnya tengah ditimpa musibah, di kota-kota besar dan media layar kaca gegap gempita orang-orang merayakan Valentine's day.

Budaya luar yang sumir begitu mudah diserap dan dipindahkan, yang sebenarnya asing dengan kultur masyarakat kita sendiri. Persis ketika masyarakat di negeri ini setiap tahunnya melakukan pesta kembang api dan suka-cita yang meluap-luap tatkala merayakan kehadiran tahun baru. Tahun baru tak dimaknai kian berkurangnya waktu dan momentum untuk menghisab amal, malah menjadi sebuah pesta.

Budaya latah seolah telah menjadi pakaian bangsa ini. Bahkan yang tampil dan dipakai sesungguhnya budaya serbaserpihan yang kelihatan wah di luar, tetapi compang-camping kehilangan makna. Laksana buih, berbusa-busa tanpa esensi.

Banyak orang melarutkan diri dalam suka-cita yang serba indrawi, tapi hampa isi. Kelihatan berguna terutama dari luaran, namun kehilangan makna. Serbamemesona tetapi tidak banyak memberi arti. Itulah budaya serpihan, ibarat kain robek. Budaya yang telah kehilangan banyak makna, selain simbol dan pesona luar.

Dalam budaya serba meriah, sulit sekali menebak secara persis di posisi mana psikologi rohaniah orang-orang Indonesia saat ini. Setelah gempa dan Tsunami meluluhluntahkan Aceh dan Nias. Menyusul berbagai gempa bumi di Bantul dan Klaten, Sumatra Barat, Bengkulu, dan daerah-daerah lainnya, kini banjir, longsor, dan badai angin meluas di berbagai daerah.

Alam bertubi-tubi menunjukkan ulah dan kemarahannya, sebagai pantulan dari hukum alam yang murni sekaligus produk pengaruh ulah-tangan manusia yang suka merusak. Adakah semua bencana dan musibah telah mengubah orientasi kejiwaan dan nalar orang-orang Indonesia untuk lebih reflektif? Bangsa ini makin dijejali sajian konsumerisme budaya yang serbaindrawi. Budaya yang memuja dan memamerkan keglamoran materi, kesenangan, konflik, dan jalan pintas. Budaya yang menihilkan daya nalar dan moral.

Tengoklah acara-acara televisi yang begitu memproduksi tayangan-tayangan rendahan. Judul-judul sinetron yang selain vulgar dan rendahan, juga memerkosa akal sehat. Menakjubkannya, semua kevulgaran dan ketaknaralan itu terus diproduksi dengan gempita dan dikonsumsi masyarakat dengan riangnya. Dalam kemasygulan dan ketakberdayaan kadang kita bertanya penuh nada heran, hendak dibawa ke mana bangsa ini oleh para pegiat dan para pemilik modal yang begitu liar dan rakus? Memang, tak sepenuhnya metal dan liar. Ruang budaya masyarakat saat ini juga di sejumlah sudutnya ada yang diisi dengan semarak spiritualitas. Ada panorama spiritualisasi sebagai budaya tandingan. Semacam oase di balik ingar-bingar kebudayaan sekular yang mengajarkan hidup apa saja boleh. Di ruang publik makin marak majelis-majelis zikir dan doa, mujahadahan, tahlilan, dan majelis-majelis taklim yang tampil kenes. Acara-acara doa dan pertobatan massal pun dikumandangkan di sejumlah tempat, memohon kepada Tuhan untuk keselamatan bangsa dan negeri ini. Para elite agama, seniman, dan pejabat pun banyak yang antusias menampilkan spiritualisasi yang populer itu sebagai bagian dari panggilan dakwah.

Harapan kita semoga majelis-majelis spiritual yang marak itu tidak berhenti di ranah simbolik semata. Apalagi sekadar spiritualitas gincu yang memesona bentuk keagamaan luaran, sekaligus diproduksi oleh media sebagai jualan baru yang menguntungkan dunia industri entertainment yang memang penuh energi kreatif untuk menjual apa pun yang laris di negeri ini.

Alangkah esensial dan fungsional manakala majelis-majelis zikir dan doa itu menjadi washilah nyata untuk menampilkan kesalehan yang autentik, baik di ranah individual maupun sosial. Manakala tidak, tidak beda dengan budaya populer yang kini tengah membanjiri masyarakat di negeri ini.

Untuk itu, kalangan Muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia perlu menyusun rancang-bangun dan strategi kebudayaan yang jelas. Di satu pihak merupakan pantulan dari nilai-nilai Islami yang universal dan dapat menjadi alternatif yang cerdas dalam kehidupan masyarakat yang tengah berada dalam dominasi kebudayaan dan peradaban modern Barat yang berbasis humanisme-sekuler.

Di pihak lain adaptif dan berpijak pada bangunan masyarakat Indonesia yang cair dan majemuk, sehingga Islam dan budaya Islami yang ditampilkan berakar dalam sanubari masyarakat Indonesia. Agenda ini bersifat klasik tetapi tidak pernah tuntas dibahas dan diperdebatkan dalam gerakan dakwah dan pembangunan umat Islam di Indonesia.

Kebudayaan itu bukan sekadar produk, tapi juga alam pikiran yang dikonstruksikan sebagai "mode for action" (pola bagi kelakuan) sekaligus juga buah dari "mode of actian" (pola dari kelakuan) yang saling berinteraksi dan menjadi sistem pengetahuan kolektif masyarakat dalam mengarungi kehidupan bersama.

Karena itu tidak bisa dengan pola paksaan dan monolitik. Para wali di masa lalu paham betul realitas dan corak kehidupan masyarakat Nusantara kala itu, sehingga dengan cerdas mampu menampilkan kebudayaan Islam yang adaptif dan lentur.

Sayang kreasi para wali itu kemudian difosilkan menjadi warisan kebudayaan yang statis, bahkan diawetkan dalam sangkar-besi tradisionalisme Islam yang selain mengawetkan keterbelakangan juga selalu dijadikan alat legitimasi kekuasaan para elite lokal.

Padahal kebudayaan itu semestinya dinamis tanpa kehilangan jati diri dan warisan yang memang pantas untuk dipertahankan sebagai mozaik yang berfungsi untuk mengawal nilai-nilai kebaikan hidup. Ketika tradisionalitas dan ketertinggalan diawetkan atasnama memelihara nilai-nilai lama, maka yang terjadi arus penjungkirbalikkan sikap menjadi serbapermisif pada budaya luar yang datang dengan dahsyatnya, yakni kebebasan yang serbajebol atas nama kemajuan atau kemodernan.

Tidak tahu persis. Apakah kegiatan-kegiatan spiritualisasi yang semarak dalam majelis mujahadahan, doa dan zikir kolektif, dan sejenisnya benar-benar merupakan ekspresi umat untuk memenuhi hajat spiritual yang autentik atau sebaliknya menjadi media legitimasi elite dalam perjuangan mobilitas diri melalui institusi-institusi keagamaan.

Hingga di sini harapan kita semoga yang terjadi memang spiritualisasi yang bersifat transformasional, yang selain memenuhi keperluan memperkaya basis moral dan spiritual elite serta massa umat; sekaligus juga menjadi salah satu pilar terbentuknya kebudayaan atau lebih jauh lagi peradaban Islami yang tengah dirindukan.

Namun kalau boleh berharap, mestinya segenap proses spiritualisasi Islam yang kini tengah menemukan momentumnya yang gempita itu menuju pada muara terbentuknya kebudayaan Islami yang memberi warna substansial dan transformasional bagi kebudayaan masyarakat Indonesia.

Bukan malah mengawetkan keterbelakangan atau sebaliknya mendatangkan budaya lain yang serba asing baik yang datang dari Barat maupun belahan dunia lain. Manakala harapan luhur seperti itu tak terpenuhi, maka spiritualisasi yang marak itu pun tidak lebih dari sekadar buaian tradisionalisme yang sarat ritual simbolik sekaligus rentan terhadap politisasi yang bernapas pendek. Jika itu terjadi, kebudayaan Islami menjadi jauh panggang dari api.

Yahudi dan Islam Liberal



Oleh :Nur Faizin Muhith

Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Liberalisme adalah suatu kepercayaan tentang nilai-nilai kebebasan individu dengan intervensi minimal dari negara dalam kehidupan pribadi. Liberalisme adalah teori kontrak sosial yang menyatakan atau menegaskan bahwa otoritas politik secara orsinil tersusun dari kebebasan dan rasionalitas individu sebagai media untuk memadukan kebebasan dengan hasil-hasil kerja sama sosial.

Dalam sejarahnya sebagai gagasan, liberalisme berhubungan dengan gagasan kebebasan (liberty) atau pembebasan (liberation) karena esensi gagasan liberalisme adalah untuk menuju pembebasan. Dengan demikian, liberalisme mengekspresikan spirit manusia sebagai individu.

'Man is born to free' adalah asumsi dasar para pemikir liberal. Dalam artikulasinya, liberalisme menjadi sebuah keyakinan, filsafat, dan gerakan yang memegang teguh kebebasan sebagai sebuah metode dan kebijakan, sebuah prinsip yang terorganisasi dalam masyarakat dan menjadi jalan hidup bagi individu maupun komunitas (Ida Rohmawati, 2004).

Yahudi liberal
Liberalisme juga merambah pola hidup keberagamaan menghadapi akselerasi perubahan atas tuntutan globalisasi dan moderinitas. Dengan demikian, kata liberal akhirnya juga menjadi dan dijadikan sebuah atribut gerakan keagamaan, di antaranya gerakan keberagamaan dalam agama Yahudi dan juga Islam.

Kemunculan Yahudi liberal (Liberal Judaism) adalah karena kegelisahan sekelompok Yahudi atas kegagalan gerakan pembaharuan keagamaan yang dilakukan gerakan Yahudi reformis belum dapat mencapai cita-cita reformasi yang diharapkan dan hanya menyentuh isu-isu luar, bukan menyeselaikan problem-problem yang sebenarnya. Dengan liberalisme ini, mereka ingin memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut.

Gerakan Yahudi liberal muncul pada tahun 1902 M, persis ketika dirilisnya Persatuan Keagamaan Yahudi yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Yahudi Liberal. Gerakan Yahudi liberal mucul di Inggris pada tahun-tahun pertama abad ke-20, perkembangan yang dipelopori oleh Laely Montagu (1873-1963) dan Claude Montefiore (1851-1938), seorang agamawan Yahudi yang terpengaruh oleh salah seorang pemikir Kristen liberal di Oxford, Benjamin G (Al-Masiriy: 1999).

Misi dari gerakan mengupayakan agar dasar-dasar ajaran agama Yahudi dapat sesuai dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (enlightement) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Mereka berharap untuk menyesuaikan agamanya dengan masyarakat modern.

Kaum Yahudi liberal juga percaya bahwa kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scripture), termasuk Taurat, adalah upaya manusia untuk memahami kehendak Tuhan. Karena itu, mereka menggunakan kitab-kitab itu sebagai titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan kemungkinan kesalahan kitab mereka dan menghargai nilai-nilai pengetahuan di luar kitab agam mereka (Adian Husaini: 2007).

Titik tolak Yahudi liberal adalah wujud manusia dan kebutuhan-kebutuhannya (humanis), bukan lagi mempermasalahkan akidah (teosentris). Tidak heran jika mereka menganggap old statement sebagai ijtihad manusia dan bukan wahyu Tuhan. Mereka mengembangkan ide-ide pencerahan dan berhukum kepada hati nurani: kebaikan dan kesalehan harus dinilai dengan ukuran nurani yang tercerahkan dan bukannya dengan tolak ukur wahyu lagi.

Istilah Yahudi liberal juga sering digunakan untuk menunjukkan gerakan Yahudi progersif dan juga Yahudi reformis. Ketiga istilah itu seakan menjadi istilah yang satu meskipun titik tekan pada semangat pembaharuan dan reformasi lebih radikal di dalam gerakan Yahudi liberal dan kadang juga untuk gerakan pembaharuan yang sedikit masih berpegang kepada tradisi, sementara Yahudi progresif sering digunakan untuk gerakan pembaharuan secara umum (Al-Masiriy: 1999)

Islam liberal
Tidak jauh dengan Liberal Judaism adalah gerakan yang dinamakan atau menamakan dirinya dengan gerakan Islam liberal, baik secara individual maupun kelompok. Berangkat dari semangat pembaharuan dan keinginan membawa Islam agar selalu relevan dengan zaman modern yang berubah maju begitu cepat, gerakan Islam liberal muncul. Selain itu, ada semacam keyakinan bahwa Allah SWT akan mengutus mujaddid pembaharu setiap tahun, baik pembaharuannya bersifat individu maupun kolektif.

Istilah Islam liberal sebenarnya sudah dikenal beberapa dasawarsa yang lalu meskipun tidak secara tegas menyandangkan kata Islam di belakangnya. Albert Honnani pada tahun 1960-an dalam karyanya yang berjudul Arabic Thought in The Liberal Age memperkenalkan istilah Islam liberal untuk menunjukkan suatu ragam pemikiran yang berkembang di dunia Islam (Ida Rohmawati: 2004).

Sementara secara tegas, orang yang menggunakan istilah liberal Islam (Islam liberal) adalah Charles Khurzman pada tahun 1998 melalui bukunya Liberal Islam: A Sourcebook. Sebelum Khurzman, juga sudah ada Leonardo Binder yang juga berbicara tentang Islam liberal dalam bukunya Islamic Liberalisme di mana dia berusaha memetakan tokoh-tokoh yang dianggapnya liberal.

Seorang sarjana hukum dari India, Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), juga ikut memopulerkan Islam liberal. Dia menulis: ''Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya (gerakan pemikiran), marilah kita sebut itu Islam liberal.'' (Charlez Khurzman: 1998).

Islam liberal secara umum memiliki agenda, antara lain untuk menentang sistem pemerintahan teokrasi dan mendukung demokrasi, meneguhkan hak-hak perempuan atau gerakan feminisme, membela hak-hak non-Muslim (termasuk juga aliran-aliran sempalan), mengembangkan kebebasan berpikir, dan serempak menyuarakan gagasan-gagasan tentang kemajuan dan progresivitas.

Dengan semangat yang berlebihan, mereka memusuhi semua pemikiran teosentris dan berkeinginan menegakkan nilai-nilai humanisme meskipun sering mengorbankan keyakinan dan kepercayaan yang sudah lama mapan dan diyakini kebenarannya. Mereka juga berusaha membuka kembali seluruh pintu ijtihad yang sempat 'tertutup'.

Dalam penerapan ajaran-ajaran Islam, mereka mendahulukan subtansi sebuah syariat daripada tatanan tekstual yang secara jelas sudah dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis. Mereka mengakui bahwa kebenaran bersifat relatif, inklusif, dan akomodatif. Mereka mendukung minoritas, siapa pun dan bagaimana pun mereka.

Kebebasan memilih agama atau bahkan tidak beragama sekalipun (ateis) bisa mereka terima. Mereka sekularisasi secara menyeluruh dan komprehensif.

Bila diteliti lebih jauh, ada atau bahkan banyak sekali kesamaan-kesamaan antara Yahudi liberal dan Islam liberal. Paling tidak keduanya adalah berangkat dari misi asumsif untuk melakukan reformasi dan peremajaan wacana-wacana keagamaan agar disesuaikan dengan modernitas.

Ikhtisar:

- Liberalisme merambah pola hidup keberagamaan.
- Kelompok Yahudi liberal muncul karena mereka merasa gagal mencapai tujuan.
- Islam liberal di Indonesia terlalu memaksakan kehendaknya sendiri.

Friday, February 15, 2008

Problem Yuridis RUU Syariah

 

Oleh :Ahmad Tholabi Kharlie
Dosen Syariah Universitas Islam Negeri, Jakarta

Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah tampaknya masih menyisakan ketimpangan mulai dari aspek filosofis, sosiologis, politis, hingga praktis. Itulah simpul-simpul yang dapat diurai dalam diskusi para guru besar, pakar, dan praktisi hukum ekonomi syariah yang digelar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dan Himpunan Ilmuwan Sarjana Syariah se-Indonesia (HISSI) beberapa waktu lalu di Jakarta.

Diskusi terbatas ini menyoal secara tajam beberapa poin krusial menyangkut eksistensi nomenklatur ilmu ekonomi Syariah dan kompetensi institusi Peradilan Agama. Draf terakhir yang setelah mengalami pelbagai revisi menunjukkan adanya bias kepentingan pragmatis dan inkonsistensi bahkan kerancuan dari sisi aturan main pembentukan perundang-undangan.

Entah apa yang menyebabkan itu terjadi. Namun, patut diduga pemerintah sebagai penyusun draf tidak sepenuhnya memahami tentang substansi dan konsep ekonomi Islam. Selain itu, ada semacam kegamangan yang menghinggapi pemerintah terhadap profesionalitas dan integritas para yuris Muslim di negeri ini.

Dari titik ini memunculkan suatu kekhawatiran yang bernuansa historis, metodologis, dan politis yang tergambar dalam benak para pakar, guru besar, dan praktisi ekonomi syariah tersebut. Kekhawatiran historis berwujud dalam persepsi tentang 'keterpojokan' kepentingan umat Islam dalam menjalani lakon-lakon publiknya. Di sisi lain, forum juga menangkap adanya kekeliruan interpretasi publik, terutama para pemegang kebijakan, terhadap akar-akar metodologis ekonomi syariah di tengah kuatnya sentimen politis yang beraroma syariah phobia.

Kontradiksi
Pasal 52 mengenai Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah adalah salah satu bukti ketimpangan RUU tersebut. Pasal ini berbunyi: ''Penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum''. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat komersial.

Terdapat dua kekeliruan mendasar atas munculnya pasal sensitif ini. Pertama, secara yuridis pencantuman pasal ini dinilai ahistoris mengingat keberadaannya telah ditampung dalam Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang secara tegas menegasikan kewenangan secara penuh kepada institusi Peradilan Agama untuk menerima dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

Memberikan atau lebih tepatnya mengalihkan kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah kepada peradilan umum dengan demikian jelas bertentangan dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kedua payung hukum ini secara nyata telah melegitimasi kompetensi absolut Peradilan Agama sebagai peradilan yang berwenang menangani perkara-perkara umat Islam dalam ranah hukum Islam, termasuk di dalamnya ekonomi syariah. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (1) TAP MPR No III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang secara hierarki lebih tinggi.

Hal ini dapat pula kita artikan bahwa dalam hierarki yang setara pun sejatinya tidak bertentangan karena akan melahirkan kerancuan, bahkan kekacauan hukum. Inilah yang terjadi dalam RUU Perbankan Syariah, yakni Pasal 52 RUU Perbankan Syariah versus Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Kedua, secara metodologis munculnya suatu pasal dalam RUU yang mengatur tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah dinilai kurang tepat atau salah tempat. Terlepas dari perbedaan sudut pandang (word view), tampaknya persoalan ini perlu dikritisi agar tidak menjadi preseden buruk dalam program legislasi nasional.

Ketidaktepatan tampak dari perspektif aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya, aturan mengenai penyelesaian sengketa perbankan tidak dimasukkan dalam regulasi atau perundang-undangan dalam ranah atau rezim bisnis, seperti halnya RUU ini.

Aturan mengenai institusi mana yang lebih berhak atau berkompeten menangani sengketa perbankan tidak lain merupakan wilayah atau rezim kekuasaan kehakiman. Secara metodologis hal ini menyalahi Pasal 5 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegasikan suatu asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dari titik ini maka usulan mengenai masuknya pasal 52 yang mengatur tentang penyelesaian sengketa bank syariah harus ditolak demi hukum. Ketentuan ini telah cukup termaktub dalam Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang selaras dengan rezimnya.

Menepis kegamangan
Nuansa kegamangan juga mewarnai proses penyusunan RUU Perbankan Syariah tersebut. Ini dapat kita rasakan dalam dua hal. Pertama, hingga kini masih saja ada anggapan bahwa Peradilan Agama merupakan peradilan eksklusif umat Islam.

Anggapan mengenai eksklusivitas ini melahirkan kekhawatiran otoritas moneter kita tentang keengganan investor asing datang ke Indonesia. Kesan inilah yang pada gilirannnya melahirkan nuansa Islamophobia yang tidak semestinya hadir. Padahal, secara faktual saat ini konsep ekonomi syariah telah mendapat pengakuan dan dipraktikkan di pelbagai penjuru dunia.

Perlu dikemukakan di sini bahwa apa yang disebut sebagai eksklusivitas Peradilan Agama sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Sebab, jika dicermati dalam penjelasan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama tidak hanya diperuntukkan bagi orang Islam, tapi juga bagi siapa saja yang menundukkan dirinya kepada hukum Islam, tentu yang dimaksud adalah non-Muslim.

Kedua, usai diundangkannya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang di dalamnya antara lain memuat kewenangan di bidang ekonomi syariah, ternyata melahirkan keraguan atas profesionalitas dan kredibilitas hakim-hakim agama. Ini pula yang melatarbelakangi munculnya gagasan untuk mengalihkan kewenangan memutus sengketa perbankan syariah kepada peradilan umum sebagai dimaksud pada pasal 52 RUU Perbankan Syariah.

Menurut logika akademis, hakim-hakim agama sebagai abituren fakultas syariah tentu akan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang ilmu-ilmu syariah, dalam hal ini fikih muamalah, dibandingkan dengan hakim-hakim peradilan umum yang notabene tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu syariah. Logika sederhana ini sejatinya menjadi argumen tentang tidak beralasannya meragukan profesionalitas dan kredibilitas hakim-hakim agama dalam menangani sengketa perbankan syariah.

Akhirnya, kita semua tentu berharap RUU Perbankan Syariah ini segera disahkan menjadi Undang-Undang Perbankan Syariah. Ini karena akan kian mengukuhkan eksistensi perbankan syariah dalam aras perekonomian nasional.

Ikhtisar:
- Ada kekeliruan interpretasi publik pada pasal tertentu RUU Syariah.
- Ada pertentangan dengan UU Peradilan Agama dan UU Kekuasaan Kehakiman.
- Aturan main yang keliru akan menghalangi masuknya investor asing.

Wanita IRAN Pasca Revolusi


Ali Pahlevani Rad
Anggota The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) dan Sekjen Asosiasi Persahabatan Indonesia-Iran

Kehadiran Ayatullah Khomeini yang tampil dengan gagasan revolusioner, antiimperialisme, menjunjung tinggi nasionalisme, dan ajaran Islam pada dekade 1980-an membawa perubahan menyeluruh di negara Iran. Selain berhasil mengakhiri tradisi kerajaan sepanjang 2.500 tahun dan menggantinya dengan Republik Islam Iran, revolusi yang dilakukan Khomeini tidak hanya terbatas dalam bidang infrastruktur pemerintahan, melainkan juga memengaruhi nilai-nilai identitas nasional, sosial, politik, dan budaya.

Langkah menjunjung tinggi ajaran Islam ini diperkuat dengan adanya kebijakan dan penerapan hukum guna mengembalikan tatanan masyarakat Iran yang Islami. Kebijakan berupa penutupan klub malam, pelarangan alkohol, perjudian, pornografi, hingga kebijakan dalam bidang sosial, seperti revisi buku, lembaga pendidikan, menunjukkan bagaimana langkah menghapus unsur-unsur yang tidak Islami begitu gencar dilakukan Pemerintahan Iran.

Wanita Iran merupakan kaum yang merasakan pengaruh khusus dari tatanan negara Iran baru yang berlandaskan ajaran Islam. Salah satu bentuk gagasan Khomeini yang revolusioner ialah gagasan yang berbunyi: ''Walaupun pria dan wanita mempunyai hak yang sama, tetapi terdapat perbedaan jasmani dan rohani antara wanita dan pria.''

Perbedaan itulah yang menyebabkan wanita dan pria untuk saling menutupi kekurangan satu sama lain. Salah satu contohnya adalah lingkungan keluarga yang biasanya pria menghabiskan waktu lebih sedikit ketimbang wanita. Maka dari itu revolusi Islam Iran dengan nilai-nilai Islam mencoba untuk meningkatkan peran wanita dalam keluarga.

Para wanita dengan peran keibuan mereka dalam keluarga membesarkan dan mendidik anak-anaknya dan menyumbang pemuda-pemuda yang penuh dengan optimisme kemajuan kepada bangsa dan negara. Angka statistik pun telah menunjukkan kemanjuran peran wanita di keluarga setelah revolusi Islam Iran, yaitu pada 1979 angka pria dan wanita terdidik di Iran mencapai 71 persen dan 42 persen. Tetapi, kini angka tersebut menjadi 98 persen untuk pria dan 97 persen untuk wanita.

Mencapai keberhasilan
Republik Islam Iran yang kini telah berusia 29 tahun telah membuat Pemerintahan Iran mencapai keberhasilan yang begitu penting di tingkat regional, yaitu dengan mendobrak paradigma lama posisi wanita di negara-negara Islam. Paradigma lama memosisikan wanita sebagai harta yang dimiliki pria, yang menempatkan posisi pria lebih tinggi daripada wanita. Akibatnya, hanya kaum pria yang dapat memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, sementara wanita dianggap tidak cocok untuk terjun dan mempunyai peranan dalam berbagai bidang di masyarakat.

Tetapi, revolusi Islam Iran memberikan pemahaman yang berbeda tentang potensi-potensi kaum wanita yang sebenarnya. Dengan kembali kepada ajaran Islam yang luhur, seperti yang dicantumkan dalam syariat Islam, wanita Iran pada hakikatnya telah mendapatkan peranan yang lebih aktif di Republik Islam Iran.

Dengan adanya landasan ideologi mengenai wanita dan perempuan di samping memiliki hak-hak yang sama dapat menutupi kekurangan satu sama lain, yang sesuai dengan hukum Islam, kaum wanita mendapatkan peran dan posisi yang semestinya pada kehidupan berbangsa. Itu memungkinkan peranan wanita yang lebih besar dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, teknologi, budaya, dan kesenian di Iran.

Sebagai contoh, pada bidang sosial kaum wanita selain peran keibuan dalam rumah tangga juga mempunyai peran yang penting dalam kehidupan sosial. Kini terdapat lebih dari 50 persen doktor dan 90 persen tenaga medis Iran dari kalangan wanita.

Wanita Iran pun tak ketinggalan pada bidang ekonomi. Mereka dengan mendirikan Asosiasi Wanita Pengusaha Iran di samping melakukan berbagai kegiatan ekonomi di dalam negeri juga berhasil melakukan kerja sama dengan ikatan wanita pengusaha negara-negara lain. Wanita Iran juga berperan dalam bidang teknologi negaranya dan mereka berpartisipasi secara aktif pada berbagai bidang teknologi canggih di Iran sekalipun teknologi nuklir.

Pada bidang kebudayaan dan kesenian wanita Iran berhasil menyumbang berbagai karya mereka yang sangat berguna bagai kehidupan bangsa Iran sebagaimana tercatat bahwa pada tahun 2006 para wanita Iran telah menulis lebih dari 8.673 judul buku. Hebatnya buku itu telah dipublikasikan dan juga berhasil membuat 473 judul film pada tahun 2005 yang mengikuti berbagai kompetisi internasional.

Pada bidang politik, selain ibu Fatemeh Vaez Javadi yang menjadi wakil presiden Mahmoud Ahmadinejad yang mengunjungi Indonesia beberapa waktu yang lalu. Lalu, mereke menduduki 12 kursi anggota parlemen, lebih dari 2.336 anggota dewan kota dan desa dan satu pertiga pegawai negeri serta 35 persen jabatan pengelola pemerintahan di seluruh Iran diduduki oleh kaum wanita.

Dengan sistem republik Islam yang mengizinkan wanita ikut serta dalam dunia perpolitikan, Iran mendobrak hegemoni negara-negara Timur Tengah yang cenderung hanya menempatkan pria di kursi pemerintahan. Proses demokratisasi telah membuat Pemerintah Iran memberikan aksesibilitas terhadap kaum wanita yang selama ini dianggap inferior dan tidak mampu memangku jabatan penting di pemerintahan.

Kehadiran para wanita di lembaga kepresidenan, parlemen, serta dewan kota dan desa di seluruh Iran memiliki dampak positif. Yang utama ialah tersalurkannya aspirasi kaum wanita Iran.

Dengan kehadiran para wanita di parlemen, kepekaan yang mereka miliki akan isu-isu yang menyangkut kaumnya tertentu akan lebih tinggi. Dengan kepekaan yang lebih tinggi tersebut, para wanita di parlemen tentunya menjadi lebih aktif dalam memperjuangkan masalah yang menyangkut kepentingan kaum mereka sendiri.

Kehadiran para wanita di parlemen yang didukung rekan-rekan feminis serta lembaga swadaya masyarakat berhasil membuat beberapa perubahan penting. Sebagai contoh perjuangan kaum wanita Iran dalam memperjuangkan hak-hak mereka adalah terjadinya perubahan dari kebijakan yang ada sebelumnya yang cenderung lebih menguntungkan kaum pria.

Pada pertengahan tahun 1990-an terjadi perubahan hukum perceraian yang lebih memihak wanita. Hukum perceraian yang awalnya lebih menguntungkan pria berganti menjadi lebih adil karena memungkinkan istri yang diceraikan mendapatkan ganti rugi atas pekerjaan rumah tangga yang telah dilakukannya.

Perubahan lain yang tak kalah penting mengenai hak kaum wanita juga terjadi dalam bidang pendidikan. Hal ini diwakili dengan dihapuskannya peraturan yang membatasi pemilihan jurusan oleh wanita di tingkat universitas. Para wanita yang sebelumnya tidak dapat mendaftar ke beberapa jurusan di universitas, seperti jurusan hukum karena adanya aturan bahwa jurusan tersebut hanya untuk kaum pria, saat itu sudah dapat mendaftar ke berbagai jurusan yang sesuai dengan kehendak mereka.

Bahkan, kini terdapat universitas yang khusus bagi kaum perempuan di Iran, seperti Universitas Al-Zahra. Dihapuskannya aturan yang mendiskriminasikan kaum wanita Iran dalam mengenyam pendidikan tentunya sejalan dengan landasan persamaan derajat antara pria dan wanita yang tertuang di dalam Alquran dan dipertegas dalam mukadimah Konsitusi Republik Islam Iran.

Sama dalam pendidikan
Dengan adanya penyamarataan dalam bidang pendidikan, akses kaum wanita dalam memasuki universitas dan dunia kerja tentunya menjadi lebih besar. Hal ini terlihat dari data pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa 55 persen mahasiswa di universitas-universitas Iran berjenis kelamin wanita.

Perempuan Iran adalah salah satu kekuatan yang sangat berpengaruh dalam meruntuhkan rezim Shah yang feodal. Tanpa dukungan mereka, nyaris mustahil revolusi akan berhasil.

Mereka berpartisipasi dalam berbagai posisi di pemerintahan maupun swasta, termasuk dalam ketentaraan sebagai staf medis (dokter atau perawat) dan kepolisian. Sifat lain perempuan Iran adalah teguh dan keras dalam mengarungi kehidupan. Ini dibuktikan dengan penaklukan Mount Everest sebagai Muslimah pertama.

Bahkan, perempuan Iran menjadi turis wanita pertama yang ke luar angkasa. Perempuan Iran pun tidak ketinggalan dalam bidang iptek. Sebut saja Prof Nasrin Moazami dari Lembaga Penelitian Ilmu dan Teknologi Iran.

Moazami adalah pelopor pembangunan di bidang penelitian parasitologi dan mikrobiologi. Penelitiannya pada tahun 1986 menemukan bahwa bakteri Bacillus thuringeinsis dapat membunuh larva nyamuk anopheles, aedes, atau culex.

Penemuan besar di bidang bakteri ini adalah bahwa ia punya potensi memberantas penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti malaria, demam berdarah (dengue), dan filariasis. UNDP dan Unesco yang tertarik dengan penemuan Moazami mendirikan pabrik percontohan pada 1990.

Di pabrik percontohan ini ia melakukan persiapan, fermentasi, pengeringan, sampai formasi produk itu yang di kemudian hari disebut bioflash. Dengan kerja keras tanpa kenal lelah, dua tahun lalu pabrik itu memulai produksi dengan kapasitas 100 metrik ton/tahun. Sekitar 20 persen produk ini digunakan oleh Pemerintah Iran dan sisanya siap untuk diekspor. Demikianlah sekilas mengenai kiprah wanita Iran pasca-revolusi 1979.

Ikhtisar:
- Lebih dari 50 persen doktor dan 90 persen tenaga medis Iran dari kalangan wanita.
- Dengan sistem Republik Islam yang mengizinkan wanita ikut serta dalam dunia perpolitikan, Iran mendobrak hegemoni negara-negara Timur Tengah.
- Hingga akhir tahun lalu 55 persen mahasiswa Iran berjenis kelamin wanita.