Sunday, December 30, 2007

Haji sebagai Modal Budaya

Oleh : M Hilaly Basya

Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Alumni Pesantren Darunnajah


Dari tahun ke tahun, antusiasme umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji selalu meningkat. Kecenderungan ini sebenarnya bukan khas pada masyarakat Islam Indonesia, melainkan juga terjadi pada umat Islam di negara-negara lain. Hal ini menunjukkan adanya daya tarik yang kuat dalam ibadah haji. Buktinya, meskipun biaya yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah ini sangat mahal, hal itu seperti tidak menjadi masalah, bahkan bagi masyarakat kelas bawah sekalipun. Sebagian dari mereka mendapatkan biaya dengan cara menabung, lalu sebagian lainnya dengan menjual aset.

Magis dan keimanan
Menurut Martin Van Bruinessen, antusiasme masyarakat Islam Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji lebih disebabkan oleh ketertarikan pada nuansa magis yang melekat pada Kabah dan wilayah sekitarnya (1996). Tesis Bruinessen ini didasarkan pada pengamatannya bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sangat mempercayai adanya tempat-tempat sakral yang bisa memberikan berkah.

Bruinessen melihat bahwa nilai Kabah dan kota Makkah dalam kepercayaan umat Islam Indonesia secara kuat dipengaruhi oleh pandangan atas kepercayaan klasik yang disebut animisme dan dinamisme. Tesis ini berangkat dari asumsi bahwa konversi agama kepada Islam, tidak serta-merta menghancurkan kepercayaan lama. Dalam beberapa kasus kita memang masih menyaksikan adanya bentuk ritual peninggalan kepercayaan lama yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Benarkah tesis itu?

Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyampaikan ajaran Islam, Kabah memang sudah menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh hampir seluruh masyarakat Arab. Kunjungan itu didasarkan pada kepercayaan adanya keberkahan yang dapat diberikan oleh Kabah. Maka selama beberapa ratus tahun, Kabah sudah menjadi pusat spiritual yang kerap diziarahi oleh para pedagang dan masyarakat umum untuk mendapatkan keberkahan.

Jadi, saat itu kepercayaan terhadap Kabah sebagai tempat keramat sudah sangat kuat tertanam dalam masyarakat Arab. Hal ini antara lain juga ditandai dengan banyaknya patung (kurang lebih ada 360 patung) yang diletakkan di seputar Kabah. Setiap patung itu merepresentasikan komunitas atau kelompok dalam masyarakat saat itu. Tribalisme yang begitu kuat memungkinkan munculnya identitas kelompok yang terekspresi pula dalam kepercayaan. Sehingga meskipun disatukan oleh nilai keramat Kabah, mereka tetap menempatkan simbol dari identitas kesukuan mereka melalui patung.

Penghormatan mereka terhadap Kabah tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ini adalah suatu tanda adanya pengakuan terhadap sakralitas dan spiritualitas yang dikandung oleh Kabah itu sendiri. Namun dalam konteks tradisi umat Islam, tentu saja tidak bisa disederhanakan bahwa antusiasme mereka untuk mengunjungi Kabah didorong oleh kepercayaan terhadap tempat keramat. Ada faktor lain yang lebih mendorong kedatangan mereka ke sana, yaitu keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.

Fenomena menunaikan ibadah haji dapat disimpulkan sebagai pancaran dari keimanan yang mendalam. Faktor keimanan ini merupakan hal penting dalam menjalankan ajaran agama. Hampir semua peristiwa besar dalam sejarah perjuangan agama Islam digerakkan oleh faktor keimanan. Keimanan yang kuat itu lah yang menggerakkan sejarah peradaban masyarakat Arab dari kondisi jahiliyah yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas, menuju suasana yang beradab.

Kita percaya bahwa umat Islam yang melaksanakan ibadah haji adalah bagian dari mereka yang senantiasa berzikir dan mensucikan nama Allah. Pada gilirannya antusiasme terhadap haji akan berpengaruh terhadap perbaikan bangsa juga. Semakin kuat keimanan seseorang, yang ditambah pula dengan pengalaman spiritual ketika menunaikan ibadah haji, akan semakin meningkatkan kualitas kecerdasan emosi dan spiritual pelakunya. Bukankah perbaikan sebuah masyarakat selalu dimulai dari perbaikan individu? Dan bukankah tegaknya keadilan dan hukum selalu ditopang oleh masyarakat yang baik, yang senantiasa menjunjung tinggi amanah? Agama dan modernisasi

Semangat keagamaan dalam masyarakat Indonesia relatif tinggi sebagaimana tercermin dari maraknya pengajian-pengajian dan kegiatan-kegiatan agama lainnya (di samping ibadah haji). Bahkan sebagian dari kegiatan keagamaan tersebut disiarkan oleh stasiun TV. Peningkatan itu menunjukkan menguatnya ghirah terhadap agama.

Kecenderungan ini beriringan dengan meningkatnya kecanggihan teknologi informasi. Sehingga daya jangkau dakwah dapat melintasi ruang dan waktu. Hal ini berpengaruh terhadap kemudahan yang diperoleh masyarakat dalam menerima dakwah ajaran agama. Karena itu tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang memungkinkan menguatnya ghirah keagamaan ini adalah teknologi informasi tersebut.

Dalam batas-batas tertentu, meningkatnya ghirah keagamaan ini agak mengherankan. Mengingat bahwa antusiasme itu terjadi justru di masyarakat kota yang dalam segi pendidikancukup well educated. Dengan kata lain semangat keagamaan itu terjadi dalam masyarakat yang sejauh ini menopang modernisasi.

Gambaran kondisi keagamaan beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang stabil ke arah positif. Sebagian memang ada yang merepresentasikan resistensi terhadap modernitas, tetapi jumlahnya sangat kecil. Sebagian besar justru mencerminkan adanya keselarasan antara keagamaan dan kemodernan. Mereka tidak melihat agama sebagai sesuatu yang berhadapan ataupun bertentangan dengan modernitas.

Dan hal ini merupakan kemajuan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 1950-an hingga 1970-an, di mana umat Islam merasakan adanya pertentangan antara menjadi Muslim dan warga negara Indonesia. Saat itu, hampir mustahil menjadi Muslim yang komprehensif atau paripurna jika hidup dalam sistem negara Indonesia.

Perubahan pandangan keagamaan, dari pertentangan menuju kompatibilitas dan sinergi, menggambarkan arah perkembangan yang positif. Penerimaan mereka (umat Islam) terhadap sistem Indonesia modern (sekuler) tidak serta-merta menjauhkan mereka dari Islam. Di satu sisi mereka adalah warga negara Indonesia yang berkomitmen penuh terhadap nilai-nilai keindonesiaan yang modern, dan di lain sisi mereka juga seorang Muslim yang taat terhadap ajaran agamanya. Bahkan dalam banyak hal menunjukkan bahwa proses modernisasi itu ditopang oleh nilai-nilai keberagamaan mereka.

Dalam situasi dan kecenderungan seperti ini, pelaksanaan ibadah haji tidak semata-mata bermakna induvidual. Ibadah haji menjadi wahana dalam pengayaan pengalaman spiritual (ruhani) yang dapat memberikan inspirasi atau jalan terang kepada nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini menunjukkan ibadah haji dapat menjadi modal budaya. Pelaksanaan ibadah haji dapat membimbing umat Islam untuk merenungi dan meresapi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan, yang sangat berguna bagi perubahan sosial.

Ikhtisar

- Tesis bahwa umat Islam sangat antusias beribadah haji karena mengejar faktor magis, layak dipertanyakan.
- Kenyataan menunjukkan bahwa keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW lebih kuat mendorong umat Islam beribadah haji.
- Modernisasi yang terus bergulir tak membuat keberagamaan umat Islam menjadi surut.

No comments: