Wednesday, December 19, 2007

Keimanan dan Pengorbanan


Yudi Latif


Ibarat drama kolosal, ibadah haji adalah epik duologi yang menampilkan gerak kehidupan secara simultan: gerak kembali dan gerak kembara.

Yang pertama menampilkan prosesi kepulangan manusia dari "rumah duniawi" menuju "rumah Ilahi" (gerak keimanan). Yang kedua menampilkan prosesi pengembaraan manusia dari "rumah Ilahi" ke "rumah duniawi" (gerak pengorbanan). Kedua gerak ini dijalani lewat tapak tilas jejak historis para pahlawan peradaban (Ibrahim, Hajar, dan Ismail) sebagai hulu berpadunya keimanan dan pengorbanan.

Ke "rumah Allah"

Bermula dari lempung yang ditiupkan roh Tuhan kepadanya, manusia secara alami merindukan gerak kembali dari lumpur duniawi ke kesucian Ilahi. Demi memenuhi hasrat kembali ini, Allah menyeru manusia meninggalkan kampung halaman, berkunjung ke "rumah Allah" di Tanah Suci. Gerak kembali ke rumah Allah ini dilalui lewat prosesi "haji kecil" (umrah) dengan serangkaian ritual: ihram, tawaf, dan sai.

Ali Shariati melukiskan makna simbolis ritual umrah secara menawan. Dalam berihram, manusia harus menanggalkan pakaian sehari-hari di miqat. Karena pakaian, menutupi diri dan watak manusia; melambangkan status dan perbedaan; menciptakan batas palsu, menyebabkan perpecahan di antara umat manusia.

Dalam perjalanan menuju "rumah Allah", segala batas dan perbedaan dilucuti karena di mata Allah derajat manusia sama. Maka, kenakan kain tak berjahit berwarna paling generik dan universal, putih. Dalam kesederhanaan dan tanpa topeng, manusia menemukan persamaan dan kesederajatan. Hanya dengan kondisi seperti itu, ia boleh menuju Kabah.

Dalam tawaf, sang aktor hendaknya ikut hanyut dalam lautan manusia lainnya. Semua "aku" menjadi "kita", berputar mengitari Kabah, bagai bintang-bintang beredar mengelilingi orbitnya. Itu berarti, untuk dapat menghampiri Allah, tiap individu harus menghampiri manusia. Jalan ketuhanan adalah jalan kemanusiaan. Tanpa tindakan kemanusiaan, kesucian ketuhanan tak bisa direngkuh.

Dalam sai, sang aktor berlari-lari kecil antara dua bukit, memerankan heroisme Siti Hajar, berjuang mencari air untuk menyelamatkan bayinya, Ismail. Sai berarti "berjihad" sebisa mungkin demi sesuatu yang lebih besar dari kepentingan sendiri. Bermula dari Bukit Safa (artinya cinta murni) menuju Marwah (yang berarti idealitas dan altruisme). Pada titik ini keimanan berpadu dengan pengorbanan. Di situlah haji kecil berakhir.

Ketika gerak kembali berakhir, saatnya melakukan gerak kembara. Kenikmatan "mengenali" Tuhan (makrifat) bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi dirayakan bersama melalui kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran pengayoman yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan semesta. Di sini kita dituntut mengenali diri dan dasar perjuangan sebagai khalifah Tuhan di muka Bumi. Maka, haji akbar dimulai.

Pada 9 Zulhijah, sang aktor meninggalkan "rumah Allah", menuju Padang Arafah. Selama sehari jemaah haji berhenti (wukuf) di sini, berjemur di bawah terik matahari, membiarkan kepicikan egosentrisme terbakar oleh terang pengetahuan. Arafah sendiri artinya pengetahuan. Pengetahuan sebagai titik awal pengenalan diri dan tugas kesejarahan.

Bersama sinar matahari yang tenggelam, sang aktor mengarungi malam menuju Masy’ar. Dalam konsentrasi di keheningan malam, diharap terbit kesadaran bahwa pengetahuan bisa bermanfaat atau menyesatkan bagi manusia, tergantung kesadaran kemanusiaan. Kesadaranlah yang mengubah pengetahuan menjadi moralitas, imoralitas, damai, perang, keadilan, atau kezaliman. Masy’ar artinya kesadaran. Masy’ar adalah cahaya yang dinyalakan Allah di dalam hati orang-orang yang dikehendaki, yakni mereka yang berjuang bukan demi diri sendiri, tetapi demi kemaslahatan orang banyak.

Melawan berhala

Menyongsong matahari terbit, sang aktor bergegas menuju Mina. Tibalah saat terpenting dalam ibadah haji; tanggal 10 Zulhijah bertepatan dengan Idul Adha. Persinggahan di Mina yang terlama dan terakhir melambangkan harapan, aspirasi, idealisme, dan cinta. Setelah memiliki pengetahuan dan kesadaran, yang harus dimiliki dalam perjuangan adalah kecintaan terhadap kebenaran dan kemanusiaan.

Mina berarti cinta. Di sini kecintaan kepada kebenaran dan kemanusiaan dicapai melalui dua ujian. Pertama, melawan berhala yang memperbudak manusia, yang dilambangkan dengan melemparkan batu di tiga jumrah. Pada jumrah pertama manusia berperang melawan berhala Firaun sebagai lambang penindasan. Pada jumrah kedua manusia berperang melawan berhala Karun sebagai lambang keserakahan. Pada jumrah ketiga manusia melawan Balam sebagai lambang kemunafikan. Akhirnya, kecintaan kepada kebenaran dan kemanusiaan juga diuji dengan kesediaan melakukan pengorbanan, yang dilambangkan dengan penyembelihan hewan kurban.

Pengorbanan inilah yang merupakan fase tertinggi dan terberat dalam perjuangan. Seberat Ibrahim yang harus tega menyembelih anak yang dicintainya, yang dengan susah payah ia dapatkan. Pengetahuan, kesadaran, dan cinta tanpa pengorbanan tak mungkin mendapat hasil yang diinginkan.

Seperti diingatkan Mahatma Gandhi sekitar delapan dekade lalu, salah satu dosa sosial terberat yang menimbulkan krisis dalam masyarakat adalah keimanan (peribadatan) tanpa pengorbanan. Rumah-rumah ibadah, majelis zikir, dan minat naik haji berkembang. Pada saat yang sama kesediaan orang beriman untuk berbagi kebahagiaan bersama dalam bentuk asketisme, altruisme, dan toleransi masih terasa lemah.

Ibadah haji seharusnya memberi kesadaran bahwa keimanan sejati harus dibuktikan dalam kesediaan melakukan pengorbanan. Diperlukan tekad dan keberanian untuk menyembelih hasrat korup demi kesehatan negara-bangsa, menyembelih keserakahan demi kesetaraan, menyembelih elitisme demi penguatan kerakyatan, menyembelih komunalisme demi solidaritas kewargaan, menyembelih pemborosan demi kelestarian, menyembelih hedonisme demi produktivitas, menyembelih kekerasan demi kebahagiaan hidup bersama.

Marilah kita berkorban!

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

No comments: