Tuesday, May 6, 2008

Islam dan Modernitas Berjalan Seiring


Rabu, 30 April 2008 | 01:39 WIB

Musthafa Abdul Rahman

Selasa siang, 18 Maret 2008, di Casablanca, Maroko. Duduk di sebuah kafe sambil minum teh panas di jantung kota Casablanca, untuk sekadar melepaskan lelah dari berziarah di Masjid Hassan II. Masjid Hassan II dibangun selama tujuh tahun dengan melibatkan ribuan pekerja.

Masjid tersebut kini menjadi salah satu ikon kota Casablanca. Di seberang jalan dari kafe itu berdiri gagah Hotel Hyatt Regency yang megah dan modern. Tak jauh dari hotel itu tampak pula hotel-hotel lain berbintang lima. Hiruk-pikuk kendaraan dari berbagai merek melintasi jalan raya besar yang membelah antara Hotel Hyatt Regency dan pusat pertokoan di jantung kota Casablanca itu.

Dari kafe tersebut bisa disaksikan geliat modernitas kehidupan di Maroko dengan kota Casablanca sebagai representasinya. Casablanca merupakan kota terbesar di Maroko serta dikenal sebagai kota perdagangan dan keuangan di negara tersebut.

Kehadiran Masjid Hassan II sebagai salah satu ikon kota dan geliat kehidupan modern di kota Casablanca sesungguhnya merupakan potret dari karakteristik negara Maroko yang menganut sistem monarki itu.

Potret itu adalah keberhasilan sistem monarki di Maroko menjadikan Islam dan modernitas berjalan seiring. Maroko pun tampak tampil dengan dua wajah, yakni Islam dan kemodernan (Barat) yang berpadu harmonis dalam sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Dalam konteks sosial budaya, nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan yang menjadi salah satu sendi peradaban modern terpatri cukup kokoh. Salah satu kasus adalah masalah kaum Yahudi Maroko yang kini hidup sangat aman dan nyaman di Maroko.

Raja Maroko berkomitmen melindungi komunitas Yahudi di negara itu. Kini ada sekitar 7.000 warga Yahudi di Maroko. Salah seorang penasihat raja bahkan berasal dari Yahudi. Sebagian besar warga Yahudi kini berdomisili di Casablanca.

Menurut penuturan salah seorang anggota staf KBRI Rabat, warga Yahudi dari mancanegara, khususnya dari Israel, rajin berziarah ke kuburan mendiang Raja Muhammad V di Rabat. Raja Muhammad V dikenal sebagai pelindung yang gigih kaum Yahudi di Maroko.

Tidak perlu terkejut jika saat berjalan-jalan di tengah kota Casablanca, kita sering berpapasan dengan warga Yahudi dengan pakaian khasnya, yakni pakaian warna serba hitam dan topi hitam pula. Bagi warga Casablanca, tampak sudah terbiasa bertemu, berpapasan, dan berjalan dengan warga Yahudi dalam kehidupan keseharian.

Sebaliknya, warga Yahudi itu tampak tidak canggung sama sekali berjalan bersama warga Arab, seakan mereka seperti berada di Israel saja. Maroko menjadi tempat beradanya komunitas Yahudi terbesar di dunia Islam. Cikal bakal keberadaan kaum Yahudi di Maroko bermula sejak 2000 tahun silam.

Memang pernah terjadi pembantaian kaum Yahudi di Fez tahun 1033 dan di Marrakech tahun 1232, tetapi kaum Yahudi mendapatkan perlakuan yang sama sejak masa protektorat Perancis pada tahun 1912.

Dalam waktu yang sama, Maroko, kini sebagai Ketua Komite Al Quds (Jerusalem), bertugas memelihara dan melindungi kota Al Quds dari aksi Yahudinisasi. Komite Al Quds merupakan salah satu badan otonom dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Maroko sendiri adalah salah satu pendiri OKI pada tahun 1969, menyusul dibakarnya Masjid Al Aqsa oleh ekstremis Yahudi saat itu. Kapasitas Maroko dalam OKI itu tidak mengganggu sama sekali terhadap keberadaan kaum Yahudi di negara tersebut.

7,45 juta wisatawan

Di sektor ekonomi, Maroko membuka diri secara besar-besaran. Menurut laporan Bank Pembangunan Afrika, pertumbuhan ekonomi Maroko mencapai 7 persen. Pendapatan per kapita 4.600 dollar AS (sekitar Rp 42,3 juta) per tahun. Maroko dengan penduduk 33.757.175 merupakan kekuatan ekonomi kelima di Benua Afrika setelah Afrika Selatan, Mesir, Aljazair, dan Nigeria.

Maroko kini merupakan salah satu tujuan wisata terbesar di dunia. Tahun 2007, sebanyak 7,45 juta turis mengunjungi Maroko. Dalam upaya mendongkrak jumlah wisatawan, banyak negara termasuk Indonesia bebas visa masuk ke Maroko.

Pemerintah Maroko juga membangun pusat-pusat wisata secara besar-besaran selama 20 tahun terakhir ini, seperti kota pantai Algadir, kota sejarah Marrakech, dan kota spiritual Fez, selain Casablanca sebagai kota perdagangan.

Maroko telah menandatangani pula perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan Uni Eropa. Perdagangan bebas Maroko-Uni Eropa akan dilaksanakan mulai tahun 2010. Pilihan politik, ekonomi, dan budaya di Maroko bukan berarti tanpa dampak.

Maroko juga diguncang aksi-aksi teroris terakhir ini. Aksi teroris yang paling populer adalah serangan bunuh diri di Casablanca pada tahun 2003 yang menyebabkan 40 orang tewas. Namun, aparat keamanan Maroko secara umum masih mampu mengendalikan situasi keamanan negara.

Menurut pengamat politik Maroko, Mohamed Noruddin Afayeh, legitimasi sistem monarki di Maroko berpijak pada tiga fondasi. Pertama, agama (Islam). Kedua, adat istiadat. Ketiga, modernitas.

Afayeh menjelaskan, kemampuan monarki menyinergikan tiga fondasi tersebut dalam aplikasinya di lapangan adalah membuat negeri Maroko mengalami stabilitas cukup lama dan sistem monarki pun tetap mendapat dukungan kuat dari rakyat hingga hari ini, sekaligus fleksibel dalam menyerap nilai-nilai kemodernan.

Raja Maroko pun dipandang sebagai perwujudan dari tiga fondasi tersebut. Dalam konteks legitimasi agama, Raja Maroko dipercaya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan dijuluki ”Amirul Mukminin”. Karena itu, Raja Maroko menyandang simbol keagamaan yang sangat sakral.

Bertumpu pada raja

Dalam hal pelindung adat istiadat, Raja Maroko dinobatkan sebagai ”Bapak Teladan” yang mengayomi segenap rakyat Maroko dan mendengarkan pengaduan masalah keseharian dari setiap warga Maroko.

Sebagai raja negara modern yang struktur negaranya mengadopsi sistem negara bangsa di Eropa, Raja Maroko harus berkomitmen dan menghormati konstitusi negara, di mana setiap warga Maroko punya hak dan kewajiban.

Otoritas dan kekuatan dalam sistem monarki di Maroko tertumpu pada raja. Institusi kerajaan merupakan institusi sentral dan menentukan dalam sistem politik di Maroko. Sedangkan raja sebagai ”Bapak Teladan” dan ”Simbol Persatuan” serta penjamin kebebasan individu dan kolektif, berada di puncak institusi monarki tersebut.

Maka, semua lembaga politik, sosial, budaya, dan ekonomi baik pemerintah maupun swasta tunduk pada otoritas raja. Posisi hegemonik Raja di Maroko diperkuat oleh posisi istimewa agama sebagai sumber hukum dan adat istiadat. Masyarakat dipandang sebagai sebuah kesatuan spiritual.

Sementara itu, sistem politik dianggap sebagai perwujudan dari simbol suci agama, dengan sang raja sebagai amirul mukminin berhubungan langsung dengan rakyat tanpa mediator dalam menyelesaikan urusan keseharian.

Tradisi monarki yang sangat kuat di Maroko itu sama sekali tidak tergoyahkan oleh interaksi negara itu dengan kolonialis Barat (Perancis dan Spanyol). Raja tidak melihat kolonialis Barat dengan budaya politiknya sebagai ancaman, dan bahkan raja dengan cerdik mengizinkan sistem politik Barat diterapkan, berjalan seiring dengan agama dan adat istiadat dalam kehidupan modern Maroko.

Karena itu, raja menerima idiom-idiom politik Barat seperti demokrasi, konstitusi, kesepakatan, partisipasi, dan pengawasan. Maka, Maroko pascameraih kemerdekaan dari Perancis tahun 1956 langsung menerapkan sistem multipartai. Hal ini berbeda dengan negara-negara Arab lain yang menerapkan sistem satu partai setelah meraih kemerdekaan dari kolonialis Barat.

Kekhasan sistem politik di Maroko adalah kekuasaan luas di tangan raja, tetapi dalam waktu yang sama terdapat banyak partai politik yang dijamin konstitusi.

Di Maroko, kini ada dua kategori partai politik. Pertama, partai politik yang didirikan pada prakemerdekaan. Partai-partai tersebut adalah Partai Kemerdekaan, Persatuan Sosialis untuk Kekuatan Rakyat, Organisasi Pekerja Rakyat Demokratik, dan Partai Sosialis Progresif.

Kedua, partai-partai yang didirikan pascakemerdekaan. Partai-partai itu adalah Partai Gerakan Rakyat, Perkumpulan Nasional bagi Kemerdekaan dan Persatuan Konstitusi.

Ada tiga fase besar menyangkut hubungan institusi monarki dan partai-partai politik di Maroko. Fase pertama dimulai dari saat kemerdekaan tahun 1956 hingga tahun 1960. Dalam fase tersebut, raja dan institusi kerajaan mengontrol penuh bahkan mendikte partai-partai politik.

Fase kedua dimulai dari tahun 1960 hingga pertengahan tahun 1970-an. Pada fase ini, hubungan raja dan partai-partai politik sering kali mengalami ketegangan, khususnya setelah dibentuk parlemen sesuai dengan konstitusi tahun 1962 dan pengumuman keadaan darurat pada tahun 1965 serta beberapa upaya kudeta terhadap raja pada awal tahun 1970, di antaranya upaya kudeta oleh Jenderal Ofkir.

Fase ketiga dimulai tahun 1974. Dalam fase ini, Maroko menyaksikan keterbukaan politik dan sikap raja yang semakin fleksibel, dengan diselenggarakannya pemilu lokal dan parlemen dengan melibatkan partai-partai oposisi. Pada fase itu pula raja dan rakyat Maroko serta semua kekuatan politik bersatu sikap menghadapi isu wilayah Sahara Barat yang diperebutkan dengan kelompok Polisario (Front Pembebasan Sahara Barat). Maroko kini mengklaim memiliki wilayah Sahara Barat.

Itulah potret kekuatan Islam bersanding harmonis dengan modernitas di Maroko.

No comments: