Thursday, May 15, 2008

Wawancara Tokoh: Islam, Demokrasi, dan Liberalisme

Source: http://www.psik-demokrasi.org/home.php?page=fullnews&action=view&id=76

Dalam sejarah pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, Nurcholish Madjid dianggap sebagai seorang yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan wacana Islam politik, termasuk wacana soal keksuaian Islam dan demokrasi. Dalam perjalanannya, isu ini tidak pernah menunjukkan kesurutannya, terus mengalami progress atau modernisasi pemikiran karena terus dikembangkan oleh para perawisnya di kalangan anak-anak muda. Kemajuan ini pun tidak lepas dari isu-isu militansi yang mengawalnya, seperti wacana khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Dalam rangka 1000 hari wafat Cak Nur, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina melakukan wawancara dengan Luthfi Assyaukanie, Koordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta seputar masalah ini. Wawancara dilakukan oleh Lukman Hakim dan Deni Agusta di kantor Freedom Institute, di Jakarta pada Jumat, 25 Januari 2008. Berikut petikan wawancaranya.

Perdebatan soal partai politik Islam hingga kini tidak pernah selesai. Dan Cak Nur menganggap bahwa isu itu akan terus berkembang hingga kini. Pertama, Islam merupakan agama konsepsi soal moral. Oleh umatnya dengan demikian seluruh nilai-nilainya itu relevan dijadikan pedoman hidup. Makanya ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa Islam juga masih tetap relevan dengan apapun, termasuk politik. Dan Mas Luthfi sendiri melihatnya bagaimana?

Isu Islam dan politik tampaknya memang tidak akan pernah selesai dalam waktu dekat. Wacananya terus bekembang, yang pro-kontra hingga kini, menurut saya, sama kuatanya. Di Indonesia sendiri isu-isu politik dibarengi dengan isu-isu militansi.

Saya kira Cak Nur sendiri memiliki kontribusi yang cukup dalam pengembangan wacana politik Islam. Kalau boleh saya singkat, perkembangan itu sebenarnya menuju kepada kemajuan, menuju pada progres pemikiran atau apa yang saya sebut sebagai moderasi pemikiran, meskipun di sana-sini terdapat kelompok radikal yang bermunculan. Akan tetapi kalau kita berbicara tentang wacana pemikiran politik Islam secara umum boleh saya katakan terjadi moderasi dan terjadi pencairan yang luar biasa dalam melihat konsep pemikiran politik Islam.

Akhir-akhir ini sering muncul tema khilafah. Dan menurut mas Luthfi sendiri apa sesungguhnya yang melatarbelakangi ini?

Ignorance. Ignorance itu bagian dari aktivisme—apa yang disebut sebagai harakah Islamiyah yang muncul sejak tahun 70-an. Tapi ini diakomodir oleh situasi politik kita yang lebih demokratis dan lebih bebas sejak satu dasawarsa terakhir ini. Munculnya gerakan HTI yang mendukung gagasan utopianisme Islam itu disebabkan karena ada ruang bagi mereka untuk menuangkan gagasan tersebut. Tapi menurut saya itu adalah kemunduran. Pertama, tidak memiliki akar sejarah di dalam konteks pemikiran politik Indonesia.

Sekalipun Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar, namun cukup rasional dalam merespon isu gerakan khilafah yang muncul sejak tahun 1925-1926. Beberapa perangkat formal dan informal dibangun untuk mendukung gerakan penghidupan kembali khilafah. Di Mesir dan India gerakan khilafah ini ada. Di Yordania itu belakangan. Di tahun 1925-26 itu ketika terjadi khalifah movement, sesungguhnya pada dirinya sendiri sebenarnya tidak ada. Ada undangan konferensi khilafah misalnya yang dihadiri oleh Tjokroaminoto dan juga Hamka Karim Amrullah. Pada waktu itu konferensi tidak berhasil memutuskan siapa yang menjadi khalifah.

Yang harus dicatat di sini adalah bahwa delegasi Indonesia datang ke Mekkah dan Jeddah itu bukan untuk mendukung (gagasan) khilafah. Akan tetapi sedang mencari dukungan untuk kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, hal ini sangat bertentangan dengan misi konferensi itu sendiri. Poin saya adalah khilafah tidak pernah menjadi isu (khususnya di Indonesia). Bahkan para pendiri negeri ini sadar betul bahwa khilafah sesuatu yang tidak bisa lagi dipertahankan. Oleh karena itu orang-orang yang mendukung gerakan khilafah itu sebetulnya ignorant (tidak mengerti apa-apa), terbelakang sekali dalam mengikuti sejarah pemikiran Islam.

Atau mungkin kelompok-kelompok itu ingin mencari jalan pintas dari situasi yang tidak menguntungkan umat Islam. Bagi mereka, khilafah adalah jalan keluar?

Ya. Penjelasan yang masuk akal mungkin itu. Kelompok-kelompok Islam yang selalu meneriakkan Islam adalah solusi, pada dasarnya mereka melihat ketimpangan, ketidakadilan dalam kehidupan sosial-politik kita. Mereka kemudian mencoba mencari alternatif. Dan salah satu dari alternatif itu adalah kembali pada khilafah. Akan tetapi mereka tidak mengerti apa itu khilafah? Dinamika khilafah? Dan lainnya.

Di Turki kelompok yang mendukung semangat khilafah itu adalah kaum liberal yang mengerti penuh bahwa khilafatisme itu sepenuhnya adalah sekuler. Akan tetapi kelompok-kelompok seperti Fathulah Ghulan, kelompok-kelompok yang didukung oleh AKP dan lainnya, kelompok yang bukan nasionalisme Turki dan juga bukan Islamisme, mereka membayangkan kebangkitan peradaban Turki. Dan pengertian kebangkitan peradaban Turki Utsmani yang sepenuhnya bersifat sekular.

Saya yakin betul orang-orang HTI itu tidak mengerti sejarah khilafah. Khilafah itu melewati masa-masa keemasanya itu justru ketika mereka menjaga jarak dengan agama. Begitu mereka mencampuradukannya dengan agama, mereka runtuh. Dan itulah yang terjadi pada masa Abdul Hamid (Turki). Saya kira problem yang cukup pelik di dalam khilafah ini tidak diketahui oleh para aktivis Islam.

Cak Nur melihat bahwa Islam memiliki semangat untuk berdemokrasi yang cukup baik. Akan tetapi beberapa kalangan menilai, orientalis khususnya, melihat bahwa Islam itu tidak akan sangup berdemokrasi. Salah satu contoh adalah negara-negara yang terdapat di Timur Tengah, kulturnya memang tidak cocok untuk demokrasi. Menurut Mas Luthfi sendiri adakah nilai-nilai keIslaman yang bisa diadopsi ke dalam nilai-nilai demokrasi khususnya di Indonesia?

Islam itu bukan sesuatu yang baku. Islam tidak memiliki esensi yang bisa didefinisikan dalam arti tertentu. Islam selalu berkembang dan dinamis. Kalau ada orang yang mengatakan Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, maka dia sesungguhnya sudah men-singel out pemahaman Islam tertentu. Misalnya Islam yang puritan, literal, Islam yang tidak mau berubah dan lainnya. Tetapi kalau Islam itu sudah didefinisikan sedemikian rupa maka dengan mudah dia akan kompatible dengan demokrasi.

Ketika Cak Nur berbicara tentang kompatibalitas Islam dan Demokrasi, yang dia maksudkan sesunguhnya adalah Islam yang sudah ditafsirkan sedemikian rupa agar sesuai dengan demokrasi.

Sekularisasi mungkin menjadi prasarat untuk menuju demokrasi. Dalam pengalaman Islam sendiri apakah memang perlu melakukan sekularisasi? Karena dalam beberapa hal juga istilah sekularisasi itu sendiri tidak sesuai dengan Islam, bahkan pengalaman Barat dan Islam dalam konteks realitas hubungan politik vis a vis agama, jelas berbeda.

Saya kira solusinya jangan menggunakan istilah. Nilai-nilai sekularisme itu sendiri sebetulnya sudah ada sebelum dunia modern itu muncul. Artinya dia pernah ada di Yunani, India dan lainnya. Istilah sekularisme atau sekularisasi itu bukan penemuan baru, dan sebetulnya praktek-praktek semacam itu sesungguhnya sudah ada.

Kalau kita mau mencoba mengaitkan sekularisasi dengan Islam saya kira yang harus ditekankan itu adalah semangatnya bukan pada persoalan apakah Islam harus menerapkan sekularisme atau meninggalkannya. Intinya adalah bahwa kita harus memisahkan ortoritas politik dengan otoritas negara. Selanjutnya anda mau menamakan sekularisasi, demokratisasi dan apapun itu sesunguhnya tidak masalah. Menurut saya, itu maunya Cak Nur. Akan tetapi sebuah konsep harus diberi nama. Dan yang kita bicarakan barusan namanya dalam wacana politik modern adalah sekularisasi.

Menurut Mas Luthfi kira-kira bagaimana prospek demokrasi di Indonesia ke depan?

Saya kira akan berkembang terus, tidak ada alasan untuk mundur, dan tidak ada poin untuk kembali lagi ke masa-masa otoriter atau ke masa-masa ideologi politik Islam pada tahun 50-an. Karena hal itu terbukti gagal dan tidak bisa lagi untuk diterima oleh umat Muslim. Jadi Demokrasi ke depan adalah satu-satunya alernatif yang lebih baik.

Tapi begini mas, kalau kita melihat pernyataan Jusuf Kalla pasca Rapimnas Golkar tempo hari cukup mengejutkan sekali. Dia mengatakan bahwa demokrasi itu belum sanggup mengantarkan masyarakat menjadi yang lebih makmur. Selain itu, dalam beberapa Pilkada terjadi kerusuhan dan konflik, itu semuanya disebabkan oleh demokrasi. Dan ini membuat tokoh-tokoh bangsa mengatakan bahwa demokrasi itu direvisi saja. Kira-kira dari rasa pesimisme itu adakah upaya-upaya ingin kembali kepada sistem otoriter?

Ada yang salah dengan praktek demokrasi. Mungkin masyarakat kita ini belum siap dengan praktek demokrasi itu sendiri. Tapi itu bukan berarti bahwa kita menolak konsep demokrasi. Akan tetapi pada dasarnya cara kita menerapkan demokrasi itu harus diperbaiki, dan ketika kita menjalan perangkat demokrasi juga harus benar. Dan saya kira kritik Jusuf Kalla lebih pada aspek itu. Bukan pada aspek apakah demokrasi itu baik atau buruk.

Bisa diceritakan kembali soal tesis Mas Lutfi yang mengatakan bahwa Islam politik di Indonesia itu telah mengalami pergeseran dari negara demokrasi Islam ke negara demokrasi agama hingga pada akhirnya negara demokrasi liberal seperti sekarang ini.

Secara umum para akademisi di Indonesia melihat Islam di Indonesia itu ada tiga kategori; pertama, abangan. Kedua, santri. Dan ketiga, priyai. Kalau kita melihat pergolakan dan perkembangan yang luar biasa pada pemikiran politik komunitas santri. Ini terjadi dalam beberapa aspek baik pengembangan argumen, cara merespon isu-isu politik dan lain sebagainya. Nah itulah yang saya lihat pada 5 dekade belakangan ini terjadi perkembangan yang sangat luar biasa dalam komunitas santri. Oleh Hefner dikatakan bahwa telah terjadi perkembangan dari abangan menjadi santri, atau dari santri menjadi abangan.

Akan tetapi saya melihat persoalannya bukan abangan menjadi santri dan santri menjadi abangan, tetapi dalam komunitas santri itu telah terjadi perkembangan yang luar biasa, baik karena interaksi, pendidikan, maupun medium-medium promosi lainnya. Dan karena itu ada perubahan sikap dalam melihat model kata pemerintahan di dalam ilmu politik di dalam masyarakat Islam. (Pergeseran itu terjadi) misalnya kalau kita lihat pada awal-awal pemerintahan hampir tidak ada tokoh santri muslim yang menolak gagasan negara Islam. Mungkin ada satu, dua. Akan tetapi dia tidak ingin mengasosiasikan dirinya dengan masyarakat santri.

Artinya apa? Paradigma politik santri pada awal-awal kemerdekaan sepenuhnya mendukung gagasan negara Islam. Ini dibuktikan dengan besarnya jumlah dukungan pada partai politik Islam yang mendukung konsep negara Islam. Masyumi, NU, PSII dan semua kaum muslim yang berafiliasi pada santri saat itu mendukung gagasan negara Islam. Mereka sebetulnya menerima demokrasi tetapi demokrasi yang harus diberikan atribut demokrasi Islam. Istilah itu sendiri diperkenalkan oleh Natsir, dan didukung oleh tokoh-tokoh Masyumi. Dan hingga tahun 60-an boleh dibilang paradigma politik umat Islam adalah paradigma negara demokrasi Islam.

Ini mengalami pergeseran setelah transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, khususnya pada generasi muda Muslim seperti Cak Nur, Mas Dawam, dan lain-lain. Mereka mengkritik paradigma politik Islam lama. (Kritik itu) sebetulnya sudah dimulai oleh pak Munawir Sadjali. Pada tahun 50-an dia menulis risalah kecil yang menolak negara Islam.

Baru setelah masuk tahun 70-an, waktu terjadi transisi politik, generasi santri secara terbuka mengkritik konsep-konsep pemikiran politik Islam. Sebagian besar mencoba mencari alternatif dan mengajukan model negara demokrasi yang agamis, demokrasi yang plural. Plural dalam pengertian bahwa agama harus berperan dalam negara. Itu menjadi paradigma umum pada waktu itu. Dan kebetulan Soeharto yang berkuasa itu juga mempergunakan dan merasa bahwa agama dapat dipergunakan untuk politik.

Sejak awal saya kira sikap Soeharto seperti itu. Hal itu terlihat ketika ia menerbitkan kebijakan fusi partai-partai politik. Sejak zaman Pak Harto, agama diatur oleh negara. Akan tetapi bukan dalam pengertian agama dikeluarkan dari negara, tetapi agama memainkan peran penting di dalam kebijakan negara. Departemen Agama diperkuat, MUI didirikan di tahun 1975, diciptakan peradilan agama, dan lainnya. Itu merupakan bagian dari gagasan yang saya sebut dengan model negara demokrasi agama. Mereka masih tetap menerima demokrasi; demokrasi yang basisnya agama. Tentu saja dari perspektif teori demokrasi ini bukan sebuah demokrasi yang sejati.

Demokrasi tidak akan pernah berjalan kecuali di atas platform negara sekuler: negara yang betul-betul memisahkan urusan agama dengan negara. Dan itu muncul setelah tahun 80-an, Cak Nur, Gus Dur mulai mengkritisi negara yang terlalu ikut campur dalam urusan agama. Secara umum mereka mulai bisa menerima model negara demokrasi Islam liberal. Mereka bahkan tidak menyebutnya itu sebagai demokrasi Islam, tapi Liberal Democrasi. (Buat mereka) itu sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Nilai-nilai keIslaman justru bisa diterapkan dan bisa diakomodir dalam negara seperti ini. Mungkin itu saya kira latar belakangnya seperti itu. Dan (selanjutnya) generasi di bawah Cak Nur, saya kira tidak ada (lagi) keraguan sama sekali untuk menerima demokrasi liberal.

Kalau anda baca tulisan-tulisan orang Islam baik Natsir, Syafruddin, Roem, dan beberapa tokoh Masyumi pada awal kemerdekaan itu hampir tidak ada yang menulis demokrasi liberal. Mereka selalu ragu menerima demokrasi liberal. Bagi mereka kalau mau menerima demokrasi harus ada label Islamnya. Pada masa Orde Baru mereka mulai bisa memisahkan Islam. Akan tetapi tidak bisa memisahkan agama. Orang seperti Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo, dan beberapa tokoh muslim di pemerintahan masih menganggap agama itu penting. Baru pada masa Cak Nur, dan juga Gus Dur menganggap bahwa agama tidak perlu lagi ikut campur dalam urusan negara. Meskipun dalam pemikiran Cak Nur awal-awal masih tidak jelas. Buku Indonesia Kita itu (menunjukkan) sangat jelas sekali sikap Cak Nur bahwa urusan negara harus dipisahkan dengan agama.

Demokrasi berangkat dari pemikiran yang liberal, benarkah seperti itu? Kita melihat makna liberalisme Islam itu menjadi bermakna pejoratif di kalangan sebagian umat. Apalagi menyangkut isu-isu soal liberalisme Islam. Dan mas Luthfi sendiri melihatnya seperti apa?

Sesuatu yang pejoratif belum tentu salah, dan sesuatu yang kontroversial belum tentu keliru. Masalahnya adalah masyarakat kita itu yang belum bisa menerima. Sama seperti orang-orang Masyumi dan kaum santri pada tahun 50-an belum bisa menerima demokrasi, dan tidak bisa menolak konsep negara Islam. Sekarang ini hampir tidak ada orang yang mau menerima negara Islam. Artinya berbalik 180 derajat. Kalau sekarang mereka menolak demokrasi liberal, demokrasi yang sejati, liberal (yang saya maksud) bukan dalam arti ideologis. Demokrasi liberal adalah demokrasi yang konstitusional. Lebih tepat istilahnya adalah constitutional democracy. Dalam arti seperti itu saya kira lambat laun akan diterima oleh masyarakat. Karena itu merupakan tawaran yang paling ideal, dan bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat.

Kalau saya berbicara soal liberal democracy itu maksudnya demokrasi yang konstitusional, demokrasi yang bisa mengakodomir semua masyarakat. Demokrasi yang menghargai kebebasan, pluralisme, kebebasan agama dan lainnya.

Akan tetapi kampanye soal itu di kalangan beberapa orang mungkin tidak bisa diterima. Lalu strategi apa yang bisa dilakukan? Karena bagaimanapun ketika dia sudah melihat maknanya yang pejoratif mereka buru-buru langsung menutup diri.

Kadang-kadang kita juga harus menghindari istilah. Masalahnya juga terkadang kita juga tidak mungkin menghindari dari penggunaan istilah. Istilah itu diciptakan untuk digunakan dalam konteks tertentu. Dalam kasus demokrasi misalnya kita tidak perlu menyebut bahwa kita mesti dan harus mengadopsi demokrasi liberal. Kita bilang saja demokrasi tidak usah menggunakan kata sifat.

Kalau dulu orang Islam menginginkan terbentuknya negara Islam dan kini mengalami pergeseran. Pasang surut seperti ini memiliki relasi kuasa; apakah relasi pengetahuan, rezim tertentu, dan lainnya. Mungkin dulu itu cita-cita terbentuknya negara Islam lebih pada semangat ketika aspirasi umat Islam berhadapan langsung dengan negara. Dan Islam politik juga selalu mengalami proses marjinalisasi oleh kekuasaan yang dibangun oleh orde baru. Lalu bagaimana mas Luthfi melihat hal itu?

Saya kira tidak ada yang keliru antara relasi kuasa dengan pengetahuan atau dengan sebuah konsep selama yang kita tuju adalah sesuatu yang positif. Misalnya kalau kita merasa bahwa kalau demokrasi itu benar atau lebih baik diterapkan dalam negara Islam atau negara teokrasi. Kita bisa menggunakan kekuasaan untuk itu. Kita bisa menggunakan network atau jaringan pengetahuan.

Apa yang dilakukan oleh Cak Nur dan para intelektual muslim, yang mana waktu dulu mereka menganggapnya sebagai berkolaborasi dengan rezim. Saya kira yang membedakan generasi Cak Nur dengan kita adalah kalau dulu Cak Nur membicarakan apa saja enak, tidak ada beban, karena Soeharto dengan tangan besinya akan melindungi mereka. Sementara kita berhadapan dengan elemen masyarkat yang sangat sulit (menerima), sangat bebas sekali, dan negara tidak ikut campur. Maksud saya adalah bahwa saat itu Cak Nur diuntungkan oleh keadaan sehingga dengan mulus dia bisa mengkampanyekan ide-idenya. Dan kita sekarang ini harus berkontestasi, harus mengasah terus argumen bahwa argumen yang kita kemukakan itu valid.

(Tapi) tidak serta merta bahwa Cak Nur, Gus Dur dan para intelektual muslim pada waktu berkolaborasi dengan kekuasaan, bukan untuk kekuasaan. Karena kebetulaan agenda mereka sama: Agenda Cak Nur ingin merubah mindset kaum muslim, dan agenda negara juga kurang lebih untuk hal yang sama seperti itu.

Dan ini Perancis sekali dengan gerakan pembaharuan sekarang: yang mana teman-teman JIL dan lainya sering dituduh berkolaborasi dengan Barat. Saya bilang ya kita memiliki kesamaan dan kemiripan dengan Barat. Karena agenda yang kita jalankan adalah sama dengan agenda yang dijalankan oleh negara-negara Barat. Seperti demokrasi, plurlisme, hak asasi manusia, gender. Kebebasan beragama dan lain sebagainya. Kita menganggap hal itu baik. Dan kita mencoba menerapkan hal demikian di sini. Dan ini percis sekali dengan apa yang pernah dilakukan Cak Nur dalam konteks hubunganya dengan orde baru saat itu.

Nah itulah yang saya bilang relasi kuasa dengan sebuah konsep tidak serta merta dipahami dengn sesuatu yang negatif. Kalau itu diperlukan sebanarnya tidak apa-apa.

Saya pernah membaca pendapatnya Amartya Sen ketika ingin menerapkan demokrasi, paling tidak ada tiga prasyarat yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Pertama, masyarakat itu terdidik. Secara kultural mereka yang terdidik dapat mengapresiasi pengetahuan. Yang kedua, sistem ekonoimi negara bisa berjalan. Dan ketiga, bahwa secara kultural masyarakat bisa menerima perbedaan yang ada.

Mungkin salah satu gagasan yang dibangun oleh JIL mungkin strateginya kurang tepat. Bagaimana pun juga at-thariqah ahammu min al-maddah. Bagaimana mas Luthfi melihat pembacaaan-pembacaan seperti itu?

Kadang-kadang demokrasi itu berjalan di luar teori yang dibuat manusia. Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di India. India itu adalah negara demokrasi terbesar di dunia, lebih besar dari Amerika. Proses demokratisasinya berjalan dengan baik dan dari tahun ke tahun demokrasinya selalu stabil. Tapi rakyatnya masih bodoh, terbelakang, dan kemiskinan di mana-mana.

Tetapi kalau ada yang mengatakan bahwa demokrasi harus sejahtera terlebih dahulu hal itu tidak terjadi pada India. Jadi kalau kita mau mengampanyekan demokrasi tidak usah menunggu harus pintar dulu dan lain sebagainya. Dan salah satu cara mengajak masyarakat pintar itu adalah dengan melatih pikiran mereka. Saya melihat gerakan pembaharuan secara umum, tidak hanya JIL, tujuannya adalah itu. Itulah yang sejak awal oleh Cak Nur disebut dengan shock terapi. Dan shock therapy itu penting untuk dilakukan terus menerus agar masyarakat berpikir.

Ada satu istilah yang cukup bagus “complacency”, yaitu sebuah keadaan masyarakat yang sudah lama dininabobokan, sudah lama berada dalam satu paradigma yang merasa benar sendiri. Complasesi itu adalah sebuah kondisi yang tidak sehat, artinya berabad-abad umat Islam itu berada dalam komplasensi. Sehingga harus ada shock terapi yang dapat mengejutkan mereka. Dan itu sesungguhnya inti dari pemikiran Cak Nur, melakukan shock therapy pada umat Islam. Dan kita tahu makalah awal-awal Cak Nur yang dibagikan secara terbatas ‘Antara Memajukan Mencerahkan Umat Islam dan Disintegrasi’. Disintegrasi dalam artian bahwa umat Islam sekarang ini tidak bersatu. Apakah anda mau umat Islam terus-menerus terbelakang akan tetapi bersatu, atau ingin mengubah cara mereka tetapi berpecah sedikit? Cak Nur dalam hal ini memilih disintegrasi, jelas sekali sikap Cak Nur sejak awal. Saya tidak mau umat Islam bersatu terus tapi juga bodoh terus. Maka harus kita lakukan terobosan-terobosan. Jadi Cak Nur lebih memilih jalan yang pahit. Dan saya kira seluruh gerakan pembaharuan Islam itu arahnya ke sana. Kita tidak usah menunggu situasi baik dulu, dan menunggu orang pintar dulu, dan lain sebagainya. Lakukan saja apa yang bisa kita lakukan.

No comments: