Sunday, December 30, 2007

Selamat Pak Maftuh


Oleh : Asro Kamal Rokan

Sehari setelah wukuf di Arafah, Rabu malam pekan lalu, Pak Maftuh Basyuni mencukur habis rambutnya. Senyum pun menghiasi wajahnya. Hati Menteri Agama ini mungkin sedang gembira: beban yang menekan perasaan terlepas sudah.

Penyelenggaraan haji tahun ini berlangsung relatif lancar dibanding tahun sebelumnya. Tahun lalu, kelaparan melanda jamaah haji Indonesia di Arafah dan Mina. Berbagai kalangan menuntut Pak Maftuh mundur. Ini bermula dari ketidakmampuan perusahaan katering menyediakan makanan. Ada yang menyebutkan, kegagalan itu karena ulah pihak yang merasa dirugikan.

Peristiwa tahun lalu itu sangat menekan Pak Maftuh. Ini pulalah yang mendorongnya langsung memimpin jamaah sebagai Amirul Haji dan datang lebih awal ke Makkah. Ia tidak ingin peristiwa pahit itu terulang lagi. Ini pertaruhan sekaligus pembuktian kepemimpinannya.

Berbagai persiapan dilakukan. Muassasah kembali dilibatkan selain perusahaan katering. Format penyediaan makan dan minuman juga diubah. Sebelumnya setiap jamaah diberikan nasi kotak. Format ini memiliki kelemahan, kualitas dan jenis makanan sulit dikontrol. Bahkan, adakalanya tak layak dikonsumsi.

Pak Maftuh mengajukan ide, yang kemudian disambut kontroversi berbagai pihak. Ide itu adalah prasmanan, mencontoh format penyediaan makanan di kalangan pesantren dan militer. Format ini sama seperti jamaah dalam penyelenggaraan haji plus. Banyak pihak meragukan ide ini, terutama kemungkinan terjadinya antrean panjang. Pak Maftuh tetap bertahan. Baginya ini pembuktian.

Di Arafah, malam sebelum wukuf, Pak Maftuh mencek langsung kesiapan prasmanan. Ia menemui jamaah di tenda-tenda, bertanya, mengevaluasi. Malam itu beban menekannya, meski terus berupaya senyum menyapa setiap orang. Besok adalah pembuktian.

Alhamdulillah, distribusi makan dan minuman di Arafah dan Mina berjalan relatif sesuai rencana. Makanan tersedia, minuman tinggal pilih yang panas atau dingin di kulkas yang disediakan di perkemahan. Ide prasmanan berjalan baik, meski tentu saja tidak ada pesta yang sempurna, tidak ada pesta tanpa piring yang pecah. Selamat untuk Pak Maftuh.

Penyelenggaraan haji, tentu bukan hanya soal tersedianya makanan, tapi juga transportasi, pemondokan, keamanan, dan kesehatan. Pemondokan jamaah yang sebagian jauh dari Masjidil Haram, tentu pula berpengaruh pada kenyamanan jamaah. Soal ini berkait dengan sewa rumah yang disetujui DPR sebesar 2.000 riyal per orang. Bandingkan dengan Malaysia mematok sewa 2.800 riyal plus subsidi dari Tabung Haji sehingga total mencapai sekitar 3.000 riyal. Sedangkan Pakistan dan India sebesar 2.300 riyal. Tak mengherankan, pemondokan mereka lebih dekat dengan Masjidil Haram. Sewa rumah itu tahun depan diperkirakan terus naik karena di sini berlaku hukum bisnis.

Pak Maftuh telah berupaya maksimal, setidaknya tahun ini jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Evaluasi untuk perbaikan akan terus dilakukan, apalagi penyelenggaraan haji melibatkan banyak pihak, antara lain pemerintah, DPR, maskapai penerbangan, muassasah, dan pemerintah Arab Saudi yang terkadang kebijakannya bisa berubah, selain sistem transportasi yang tak tertib.

Mengurus 194.239 orang jamaah dengan berbagai karakter dan latar belakang sosial, jelas bukan pekerjaan mudah. Ini ditingkahi pula oleh isu dan prasangka negatif, yang berseliweran seperti angin panas padang pasir yang menerbangkan debu. Dan, di salah satu sudut Mina, Pak Maftuh diam-diam mencukur rambutnya. Ia terlihat lega. Ketegangan berakhir sudah. Saat melontar tiga jumrah, setelah bercukur, Pak Maftuh terlihat begitu bersemangat: Satu demi satu batu membentur dengan keras.

Haji sebagai Modal Budaya

Oleh : M Hilaly Basya

Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Alumni Pesantren Darunnajah


Dari tahun ke tahun, antusiasme umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji selalu meningkat. Kecenderungan ini sebenarnya bukan khas pada masyarakat Islam Indonesia, melainkan juga terjadi pada umat Islam di negara-negara lain. Hal ini menunjukkan adanya daya tarik yang kuat dalam ibadah haji. Buktinya, meskipun biaya yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah ini sangat mahal, hal itu seperti tidak menjadi masalah, bahkan bagi masyarakat kelas bawah sekalipun. Sebagian dari mereka mendapatkan biaya dengan cara menabung, lalu sebagian lainnya dengan menjual aset.

Magis dan keimanan
Menurut Martin Van Bruinessen, antusiasme masyarakat Islam Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji lebih disebabkan oleh ketertarikan pada nuansa magis yang melekat pada Kabah dan wilayah sekitarnya (1996). Tesis Bruinessen ini didasarkan pada pengamatannya bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sangat mempercayai adanya tempat-tempat sakral yang bisa memberikan berkah.

Bruinessen melihat bahwa nilai Kabah dan kota Makkah dalam kepercayaan umat Islam Indonesia secara kuat dipengaruhi oleh pandangan atas kepercayaan klasik yang disebut animisme dan dinamisme. Tesis ini berangkat dari asumsi bahwa konversi agama kepada Islam, tidak serta-merta menghancurkan kepercayaan lama. Dalam beberapa kasus kita memang masih menyaksikan adanya bentuk ritual peninggalan kepercayaan lama yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Benarkah tesis itu?

Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyampaikan ajaran Islam, Kabah memang sudah menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh hampir seluruh masyarakat Arab. Kunjungan itu didasarkan pada kepercayaan adanya keberkahan yang dapat diberikan oleh Kabah. Maka selama beberapa ratus tahun, Kabah sudah menjadi pusat spiritual yang kerap diziarahi oleh para pedagang dan masyarakat umum untuk mendapatkan keberkahan.

Jadi, saat itu kepercayaan terhadap Kabah sebagai tempat keramat sudah sangat kuat tertanam dalam masyarakat Arab. Hal ini antara lain juga ditandai dengan banyaknya patung (kurang lebih ada 360 patung) yang diletakkan di seputar Kabah. Setiap patung itu merepresentasikan komunitas atau kelompok dalam masyarakat saat itu. Tribalisme yang begitu kuat memungkinkan munculnya identitas kelompok yang terekspresi pula dalam kepercayaan. Sehingga meskipun disatukan oleh nilai keramat Kabah, mereka tetap menempatkan simbol dari identitas kesukuan mereka melalui patung.

Penghormatan mereka terhadap Kabah tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ini adalah suatu tanda adanya pengakuan terhadap sakralitas dan spiritualitas yang dikandung oleh Kabah itu sendiri. Namun dalam konteks tradisi umat Islam, tentu saja tidak bisa disederhanakan bahwa antusiasme mereka untuk mengunjungi Kabah didorong oleh kepercayaan terhadap tempat keramat. Ada faktor lain yang lebih mendorong kedatangan mereka ke sana, yaitu keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.

Fenomena menunaikan ibadah haji dapat disimpulkan sebagai pancaran dari keimanan yang mendalam. Faktor keimanan ini merupakan hal penting dalam menjalankan ajaran agama. Hampir semua peristiwa besar dalam sejarah perjuangan agama Islam digerakkan oleh faktor keimanan. Keimanan yang kuat itu lah yang menggerakkan sejarah peradaban masyarakat Arab dari kondisi jahiliyah yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas, menuju suasana yang beradab.

Kita percaya bahwa umat Islam yang melaksanakan ibadah haji adalah bagian dari mereka yang senantiasa berzikir dan mensucikan nama Allah. Pada gilirannya antusiasme terhadap haji akan berpengaruh terhadap perbaikan bangsa juga. Semakin kuat keimanan seseorang, yang ditambah pula dengan pengalaman spiritual ketika menunaikan ibadah haji, akan semakin meningkatkan kualitas kecerdasan emosi dan spiritual pelakunya. Bukankah perbaikan sebuah masyarakat selalu dimulai dari perbaikan individu? Dan bukankah tegaknya keadilan dan hukum selalu ditopang oleh masyarakat yang baik, yang senantiasa menjunjung tinggi amanah? Agama dan modernisasi

Semangat keagamaan dalam masyarakat Indonesia relatif tinggi sebagaimana tercermin dari maraknya pengajian-pengajian dan kegiatan-kegiatan agama lainnya (di samping ibadah haji). Bahkan sebagian dari kegiatan keagamaan tersebut disiarkan oleh stasiun TV. Peningkatan itu menunjukkan menguatnya ghirah terhadap agama.

Kecenderungan ini beriringan dengan meningkatnya kecanggihan teknologi informasi. Sehingga daya jangkau dakwah dapat melintasi ruang dan waktu. Hal ini berpengaruh terhadap kemudahan yang diperoleh masyarakat dalam menerima dakwah ajaran agama. Karena itu tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang memungkinkan menguatnya ghirah keagamaan ini adalah teknologi informasi tersebut.

Dalam batas-batas tertentu, meningkatnya ghirah keagamaan ini agak mengherankan. Mengingat bahwa antusiasme itu terjadi justru di masyarakat kota yang dalam segi pendidikancukup well educated. Dengan kata lain semangat keagamaan itu terjadi dalam masyarakat yang sejauh ini menopang modernisasi.

Gambaran kondisi keagamaan beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang stabil ke arah positif. Sebagian memang ada yang merepresentasikan resistensi terhadap modernitas, tetapi jumlahnya sangat kecil. Sebagian besar justru mencerminkan adanya keselarasan antara keagamaan dan kemodernan. Mereka tidak melihat agama sebagai sesuatu yang berhadapan ataupun bertentangan dengan modernitas.

Dan hal ini merupakan kemajuan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 1950-an hingga 1970-an, di mana umat Islam merasakan adanya pertentangan antara menjadi Muslim dan warga negara Indonesia. Saat itu, hampir mustahil menjadi Muslim yang komprehensif atau paripurna jika hidup dalam sistem negara Indonesia.

Perubahan pandangan keagamaan, dari pertentangan menuju kompatibilitas dan sinergi, menggambarkan arah perkembangan yang positif. Penerimaan mereka (umat Islam) terhadap sistem Indonesia modern (sekuler) tidak serta-merta menjauhkan mereka dari Islam. Di satu sisi mereka adalah warga negara Indonesia yang berkomitmen penuh terhadap nilai-nilai keindonesiaan yang modern, dan di lain sisi mereka juga seorang Muslim yang taat terhadap ajaran agamanya. Bahkan dalam banyak hal menunjukkan bahwa proses modernisasi itu ditopang oleh nilai-nilai keberagamaan mereka.

Dalam situasi dan kecenderungan seperti ini, pelaksanaan ibadah haji tidak semata-mata bermakna induvidual. Ibadah haji menjadi wahana dalam pengayaan pengalaman spiritual (ruhani) yang dapat memberikan inspirasi atau jalan terang kepada nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini menunjukkan ibadah haji dapat menjadi modal budaya. Pelaksanaan ibadah haji dapat membimbing umat Islam untuk merenungi dan meresapi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan, yang sangat berguna bagi perubahan sosial.

Ikhtisar

- Tesis bahwa umat Islam sangat antusias beribadah haji karena mengejar faktor magis, layak dipertanyakan.
- Kenyataan menunjukkan bahwa keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW lebih kuat mendorong umat Islam beribadah haji.
- Modernisasi yang terus bergulir tak membuat keberagamaan umat Islam menjadi surut.

Saturday, December 29, 2007

Pemerintah Harus Lindungi Semua Kelompok


Jakarta, Kompas - Pemerintah semestinya menjadi pihak yang mampu mendorong terciptanya kehidupan keagamaan yang damai. Konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah untuk menjaga keragaman agama yang dimiliki bangsa ini. Pemerintah juga harus memberikan perlindungan terhadap semua kelompok.

"Perlindungan pada semua kelompok tentu tidak ada kecualinya. Perlindungan harus diberikan terutama pada mereka yang selama ini berada dalam ancaman dan tekanan. Pemerintah harus berani menegakkan UUD 1945, khususnya dalam hal melindungi segenap warga negara," ujar Ketua Baitul Muslimin Indonesia Zuhairi Misrawi di Jakarta, Jumat (28/12), ketika menyampaikan refleksi keagamaan tahun 2007.

"Kerinduan untuk membangun kehidupan keberagamaan yang bernuansa kedamaian dan kerukunan merupakan harapan sebagian besar bangsa ini. Hal itu dibuktikan dengan komitmen tokoh agama dan umat untuk menjalin pertemuan yang berkelanjutan," ujarnya.

Namun, menurut Zuhairi, kuatnya keinginan untuk mewujudkan kehidupan harmoni dalam keagamaan ternyata belum sepenuhnya mampu menyingkirkan munculnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama.

"Kekerasan dan diskriminasi masih menjadi masalah utama yang kerap kali mengancam dan mengganggu kerukunan yang sudah dibangun," ujarnya.

Secara terpisah, Ketua Balitbang Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri mengatakan, agama yang didialogkan sekarang sudah ditinggalkan. Sebagai gantinya, agama diterapkan dalam semangat prinsip hitam putih. (MAM)

Saturday, December 22, 2007

Naik Haji



Oleh : Azyumardi Azra

Menunggu di ruang check in Bandara Arlanda, Stockholm, awal Desember lalu, saya menyaksikan rombongan calon jamaah haji yang cukup mencolok, baik segi jumlahnya maupun dari segi berpakaiannya.

Mereka yang kebanyakannya perempuan mengenakan hijab dan baju panjang busana Muslim khas Timur Tengah. Saya bisa segera memastikan bahwa mereka adalah kaum Muslimin migran asal Turki, yang memang banyak terdapat di wilayah Eropa Barat dan negara-negara Skandinavia; di dada mereka tertempel bendera Turki, bukan bendera Swedia. Hal ini secara sempurna menunjukkan Islam dan Muslim dalam diaspora.

Musim haji memang menampilkan fenomena distingtif di berbagai bandara internasional di berbagai penjuru dunia; tidak hanya di Dunia Muslim, tapi juga di Barat, seperti Swedia. Karena perjalanan menuju Tanah Suci di Barat dan banyak negara lain diselenggarakan biro perjalanan, bukan oleh pemerintah seperti berlaku di Tanah Air maka para jamaah calon haji ini tidak bertolak dari terminal khusus di bandara yang ada.

Naik haji dari manapun titik berangkatnya tampaknya selalu merupakan sebuah pengalaman (lifetime experience) yang berkesan. Saya sendiri pertama kali dari Belanda pada 1991, ketika melakukan riset untuk disertasi PhD. Mengajukan aplikasi visa haji ke Kedubes Belanda di Den Haag, kawan-kawan mukimin dalam diaspora di Belanda mengatur perjalanan saya ke Jeddah via Amman, Yordania. Dan, ketika sampai di Makkah, saya bergabung secara tidak resmi dengan jamaah haji ONH Indonesia asal Banten.

Meningkatnya fenomena rombongan calon jamaah haji di berbagai bandara Eropa mengisyaratkan berbagai hal. Pertama, tentu saja mencerminkan peningkatan jumlah kaum Muslim di Eropa, yang berasal dari berbagai kawasan Muslim. Islam bahkan disebut sebagai agama yang tumbuh paling cepat di Eropa dan Barat umumnya; ini juga berarti Eropa menjadi wilayah diaspora terbesar Muslim di dunia. Kedua, kaum Muslim di diaspora Eropa atau bahkan Barat umumnya masih berpegang kuat pada pengamalan ajaran Islam, dalam hal ini ibadah haji.

Dan ini terlihat bukan hanya pada generasi pertama atau kedua yang datang ke wilayah diaspora Eropa lebih awal, tetapi juga pada generasi yang lebih akhir, yang sudah menjadi 'European-born Muslims', Muslimin kelahiran Eropa. Saya menyaksikan, rombongan calon jamaah haji di Bandara Arlanda, Stockholm, bukan hanya orang tua, tapi juga banyak yang muda-muda, bahkan anak-anak.

Dengan begitu, Islam tidak serta-merta lenyap atau lambat laun lenyap dalam kehidupan kaum Muslim perantauan, meski mereka telah berada di wilayah diaspora dalam satu, dua, atau bahkan tiga generasi atau mungkin lebih. Memang, sementara ahli dan peneliti tentang Islam di Eropa atau Dunia Barat umumnya mengasumsikan bahwa kaum Muslimin yang datang dari berbagai wilayah ini, cepat atau lambat akan kehilangan keislamannya dalam dua atau tiga generasi saja. Selanjutnya, mereka boleh saja tetap Muslim, tetapi sudah mengalami 'Eropanisasi', menjadi 'Europanized Muslims'.

Peningkatan jumlah jamaah haji dari Eropa menunjukkan kekeliruan asumsi itu. Perkembangan sentimen dan semangat keagamaan tidaklah linear, seperti sering diasumsikan sejumlah orang; ada faktor-faktor tertentu, baik internal ataupun eksternal yang membuat terjadinya peningkatan semangat dan sentimen keagamaan.

Dalam konteks Eropa atau Barat umumnya, peningkatan sentimen keislaman justru meningkat setelah terjadinya Peristiwa 11 September 2001 di AS. Dampak peristiwa itu seperti kita ketahui bukan hanya berlaku terhadap kaum Muslim di Amerika, tetapi juga di Eropa, yang sejak itu kian sering menjadi sasaran kecurigaan, diskriminasi, kebencian, dan kemarahan dari kelompok masyarakat setempat yang semakin menunjukkan sikap antiorang asing, khususnya Muslim, untuk tidak menyebut 'anti-Islam'.

Perkembangan seperti ini, pada gilirannya membangkitkan 'self-defence mechanism' di dalam masyarakat Muslim umumnya. Mekanisme pertahanan diri ini, baik langsung maupun tidak, mendorong peningkatan identitas Muslim. Pemakaian hijab, dan bahkan juga naik haji ke Tanah Suci, misalnya, kini merupakan bagian integral dari politik identitas (identity politics) di kalangan kaum Muslim yang hidup dalam diaspora Eropa atau Dunia Barat lainnya. Pergi haji dan kemudian kembali ke diaspora dengan gelar haji membuat identitas keislaman menjadi lebih lengkap; dan ini secara langsung memperkuat Islam sebagai politik identitas tersebut.

Naik haji dari Eropa seperti juga dari Indonesia kian singkat dari segi waktu, karena perjalanan dengan pesawat jet. Keharuan dan kesyahduan naik haji mungkin juga berkurang karena waktu yang singkat itu. Tetapi, terlepas dari itu, makna dan simbolisme ibadah haji tidak pernah berkurang apalagi menghilang. Ia kini bahkan kian menjadi bagian tidak terpisahkan dari 'kebangkitan Islam' kebangkitan yang juga dialami agama-agama lain.

Ideologi Fasad



Oleh : Haedar Nashir

Para pemimpin dunia saling gundah tentang perubahan iklim dan alam semesta yang kian diambang kehancuran. Gundah tentang kemiskinan. Tentang tatanan dunia yang sarat dengan krisis. Tentang masa depan manusia dan seluruh makhluk Tuhan yang sedang dipertaruhkan. Tapi, sempatkan mereka berpikir dari mana asal mula kehancuran di jagad raya yang kita huni ini? Kenapa lingkungan rusak. Hutan gundul.

Bumi kian panas. Orang-orang miskin kian bertambah jumlah dan rasa deritanya. Orang-orang tak bersalah dan bangsa-bangsa yang tak berdaya kian tertindas dan menderita seperti terjadi di Palestina dan Irak. Mengapa tidak memulai berpikir dari hulu, bukan dari hilir.

Boleh jadi tahu. Bahwa kehancuran dunia dan alam semesta serta isinya di abad mutakhir ini karena ulah manusia dan sistem yang merusak, selain karena proses alamiah. Karena ulah manusia dan sistem yang diciptakannya. Namun, belum tentu para tokoh wibawa dunia itu benar-benar mampu membebaskan diri dari ulah manusia dan sistem yang merusak itu. Boleh jadi pula mereka bahkan menjadi pendukung dan bahkan pelaku perilaku dan sistem yang merusak itu.

Para aktivis lingkungan dan kalangan kritis menuding biang semua kerusakan atau kehancuran dunia ialah kapitalisme. Manusia dan sistem kapitalis, yang nafsu angkara murkanya menghunjam ke bumi dan menjulang tinggi ke langit. Para tokoh agama pun berteriak yang sama, bahwa kapitalisme globallah yang menjadi akar dan sebab kehancuran dunia saat ini.

Bahkan neokapitalisme dan berbagai ketidak-adilan ekonomi-politik global yang kini merajalela secara sistematik ke seluruh penjuru dunia, tiada lain sebagai anak kandung atau rumpun biologis dan ideologis dari dajjal kapitalisme itu. Sayap terbarunya yang tak kalah merajalelanya ialah neoliberalisme.

Namun apa daya. Para pemimpin dunia yang menentukan hitam-putihnya berbagai kebijakan di jagad raya saat ini sungguh menjadi pendukung setia dan pelaku sistem kapitalisme, neoimperalisme, dan neoliberalisme yang massive itu. Mereka adalah para pemimpin negara-negara maju, sang biang kapitalisme global. Bahkan para pemimpin dunia kedua dan dunia ketiga, termasuk Indonesia, kebanyakan menjadi satelit-satelit paling setia dari hegemoni para pemimpin dunia di negara adidaya itu. Ada negara dan pemimpin sentral, ada pula negara dan para pemimpin periferal.

Ideologi kapitalisme melahirkan nafsu dan perilaku yang rakus. Dengan mengejar keuntungan yang sebesar-sebesarnya, sistem yang satu ini memanjakan siapa pun yang mau dan mampu mengejar dan mewujudkan apa pun yang serba besar, menguntungkan, dan berlebih. Kerakusan adalah esensi dari ideologi kapitalisme. Kehancuran dan kerusakan di muka bumi ini sesungguhnya lahir dari rahim ideologi yang memang berwatak merusak dan menghancurkan.

Sistem yang memproduksi kehancuran atau kerusakan itu celakanya justru mampu memanjakan orang-orang yang melakukannya seolah-seolah membawa misi kebaikan. Masyarakat dunia, bahkan yang menjadi korban, dibuainya seolah bukan memperoleh keburukan dari sistem dan pelaku yang merusak itu, sebaliknya memperoleh berkat atau kebaikan. Inilah yang disebut ideologi kerusakan. Ideologi kehancuran, lebih tepatnya ideologi pengrusakan atau penghancuran.

Islam memperkenalkan "ideologi" penghancuran atau perusakan itu dengan istilah "al-fasad" atau "fasad" sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat ke-11. Pesan Allah itu berbunyi, yang artinya: "Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.".

Di lain ayat Alquran, Allah juga menegaskan bahwa kerusakan atau penghancuran di muka bumi ini, tiada lain karena ulah tangan manusia sendiri. Manusia perusak, tidak merasa dan mengakui dirinya merusak, bahkan sebaliknya mengklaim diri sebagai pembangun. Itulah paradoks manusia perusak. Mengakui diri membangun, tetapi yang terjadi sesungguhnya merusak. Itulah ideologi fasad, ideologi perusakan atau penghancuran dunia.

Kini, ideologi fasad itulah yang mencengkeram alam pikiran dan sistem kehidupan dunia abad supermodern. Terlalu banyak contohnya. Alam dan isinya rusak karena kerakusan nafsu eksploitasi yang melekat dan jiwa kapitalisme dan bersarang kokoh pada jantung hati dan pikiran manusia-manusia pelakunya seperti para pengusaha dan pejabat yang korup. Para perusak alam dan lingkungan itu bukan mengambil sedikit, bahkan sebanyak-banyaknya demi keuntungan yang sebesar-besarnya, bila perlu dan memang sering melalui cara-cara yang haram tetapi legal.

Maka tidak mengherankan bila pembalak hutan yang merugikan bangsa dan negara, malah bebas dari hukuman karena banyak pihak yang semestinya menegakkan hukum telah dimanjakan oleh suap, sogok, dan fasilitas. Hukum tidak lagi tegak di tangan penegak hukum, malah mati-suri, tetapi semuanya berpikir sama bahwa perusak hutan dan alam itu tidak bersalah. Hingga kapan pun perusak kehidupan akan leluasa hidup di tengah sistem dan perilaku yang memberikan keleluasaan.

Ideologi fasad kini masuk ke ruang-ruang kehidupan di mana pun. Televisi katanya hadir untuk memberikan tuntunan, tetapi senyatanya banyak meracuni generasi bangsa. Merusak akidah, akhlak, dan nalar sehat. Menguras energi fitri anak-anak bangsa sejak dini, hingga mereka larut dalam setiap tayangan dari bangun tidur sampai jelang tidur kembali. Menayangkan pola hidup mewah, hedonis, seks bebas, hingga segala macam parade hidup yang tidak karu-karuan. Televisi sebenarnya telah menjelma menjadi pembunuh kehidupan generasi manusia menyamai genocide di masa lampau.

Tak mudah menghadapi ideologi fasad yang berada dalam bingkai sistem dan rezim yang kendati banyak melahirkan benih-benih kerusakan tetapi pada saat yang sama banyak memanjakan setiap orang dengan citra serba baik. Pada waktu yang sama kekuatan-kekuatan alternatif seperti agama dan para agamawan juga terninabobokan oleh sistem dasamuka itu.

Arundhati Roy pernah menyuarakan dengan lantang di India melalui karyanya The God of Small Things. Di sebuah desa di barat daya India, Kerala, justru agama selain ideologi dan negara tidak lagi kuasa melawan kapitalisme, sebaliknya menjadi bagian dari rezim raksasa itu. Agama dan kaum agamawan bahkan menjadi tidak peduli dengan derita kaum miskin dan papa; mereka justru berada dalam sistem yang membuat kaum dhu'afa dan mustadh'afin itu tetap berada dalam lingkaran sistem yang menindas dan memarjinalkan. Agama, negara, dan ideologi dunia saat ini tak mampu membebaskan kaum Sudra dari marjinalisasi sistem kasta di India, juga di belahan bumi lain.

Ekonom Jerman, Schumaker pernah menawarkan aternatif radikal: Kecil Itu Indah, Small Is Beautiful. Guna melawan ekonomi yang serba raksasa yang digerakkan oleh mesin kapitalisme dunia, diperlukan ekonomi kecil yang mampu membebaskan orang-orang miskin di muka bumi ini. Sistem yang raksasa justru harus dilawan oleh yang kecil tetapi kokoh. Melawan Golliath perlu seorang David.

Dawud (David) yang kecil, atas izin Allah dan kekuatan dirinya serta dukungan raja Thalut yang bijaksana dari negeri Bani Israil akhirnya mampu mengalahkan Jalut (Golliath) yang perkasa dari negari Amaliq. Tuhan mengabadikan kisah Dawud dan Thalut melawan pasukan Jalut itu dalam Al-Quran: "...berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah dan Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS Al-Baqarah{2}: 249).

Memang tak mudah meruntuhkan rezim yang raksasa, yang ideologinya telah mendarah-daging dalam denyut nadi setiap orang di muka bumi ini. Selalu ada psikologi kecemasan, kekhawatiran, ketakutan, bahkan pesimisme dan fatalisme dalam diri banyak orang yang telah berada dalam kungkungannya. Ketika Thalut membangunkan kesadaran kaumnya untuk melawan kedigdayaan rezim Jalut, kaumnya selain lemah mental juga tergiur untuk minum air di sungai padahal kala itu seharusnya dihindari. Pasukan Thalut yang telah meminum air sungai itu lantas berkata: "tidak ada kesanggupan kami untuk melawan Jalut dan tentaranya". Bahkan ketika Dawud yang diminta Thalut untuk menjadi martir melawan Jalut yang raksasa, anak muda Bani Israil ini selain dicemaskan kaumnya juga dilecehkan Jalut sebagai sosok kemustahilan.

Gerakan melawan ideologi fasad perlu dari semua jurusan. Mulailah segala sesuatu dari hulu, jangan dari hilir. Produksi pikiran-pikiran baru yang bersifat alternatif. Lakukan langkah-langkah perintisan, yang juga bersifat alternatif. Bangun sinergi dan kekuatan lintas peradaban. Tak perlu menuggu besar dan raksasa, dimulai dari kecil pun lama-kelamaan akan menjadi gelombang besar. Tak perlu menunggu janji-janji besar dunia politik dan politisi, yang menjanjikan perubahan struktural tetapi sekadar kerja-kerja pinggiran dan retorika. Kecil itu sebenarnya indah, asalkan kita meyakini dan mengembangbiakkannya dengan spirit menggelora untuk menghadirkan gerakan pencerahan dan pembebasan.

ndustrialisasi dan Pendidikan dalam Islam



Oleh : Heri Sudarsono

Staff Pengajar Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta


Proses industrialisasi membawa pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikan di negara kita. Pendidikan tidak lebih sebagai alat yang digunakan untuk mendeteksi dan mengikuti apa yang diinginkan industrialisasi yang direfleksikan dari kerangka silabi, setumpuk referensi, metode pengajaran, dan sistem penilaian. Dalam hal ini pendidikan bukan menjadi entitas independen dalam kehidupan manusia tetapi menjadi sebuah alat yang mefungsikan diri sebagai jalan bagi manusia menghadapi industrialisasi.

Bila pendidikan digunakan untuk mengakomodasi kepentingan industrialiasi, maka pendidikan akan memaknai fungsi manusia dan benda-benda sekitar kita seperti industrialisasi inginkan. Kemampuan manusia pun akhirnya mengikuti keinginan industrialisasi yang mengarah pada penyeragaman karakter manusia. Oleh karenanya, pendidikan mengasumsikan bahwa manusia mempunyai kemampuan sama, maka sama pula proses pembelajaran bagi mereka semua. Dampak dari proses ini adalah usaha untuk memberi peringkat di kelas-kelas, tanpa mempedulikan perbedaan potensi di antara mereka.

Pendidikan dalam konsep industrialisasi akan memberikan solusi bagi manusia pada pilihan-pilihan mekanistik. Industrialisasi telah memenjarakan pada pemaknaan-pemaknaan baru sehingga tingkat kesadaran manusia atas posisi di semesta terekayasa oleh kepentingan interpretasi industrialisasi. Bila nama, istilah, dan simbol dimaknai secara mekanistik, maka makna-makna ini akan mengikat manusia pada dunia baru yang serba materialistis. Dalam dunia ini kehormatan manusia dihargai dari berapa besar materi yang dihasilkannya. Kehidupan menjadi diskriminatif dan makna diskriminasi dalam industrialisasi menjelma menjadi sesuatu yang tidak mengandung sensitivitas dalam ranah pemaknaanya karena diskriminasi adalah konsekuensi dari simbol kemajuan industrialisasi.

Pendidikan Islam
Pendidikan saat ini lebih banyak menawarkan konsep 'bagaimana untuk menjadi' bukan 'mengapa harus menjadi'. Dari sini kita bisa melihat bagaimana pendidikan membingkai anak didik sebagai mahluk pasif, bukanlah mahluk aktif yang dapat menidentifikasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi dunia dalam imajinasinya. Bila pendidikan mengabaikan manusia sebagai mahluk aktif maka pendidikan tidak akan mampu mengakomodasi keutuhan manusia atas kemanusiaannya.

Pendidikan seperti ini akan mengarahkan manusia pada jalan yang serba pragmatis karena dituntut untuk mendapatkan identitas atau gelar sebagai simbol keahliannya dan keilmuannya dalam bidang tertentu namun tidak menyadari mengapa harus memiliki identitas seperti itu. Identitas tidak akan menjawab masalah manusia bila identitas sendiri tidak menjamin manusia bisa memenuhi kebutuhan di tingkat idelitasnya karena identitas yang dihasilkan tidak didapatkan dari proses pendidikan yang seutuhnya.

Yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pasif dan aktif dari diri manusia sehingga manusia mampu memposisikan dirinya sebagai mahluk yang utuh. Keutuhan inilah yang akan mempengaruhi persepsi manusia atas dirinya terhadap semesta. Keutuhan juga menjadi titik tolak bagi manusia dalam membebaskan diri dari belenggu yang menyekat fitrahnya.

Tujuan akhir pendidikan adalah bagaimana manusia mendapatkan kebahagiaan sejati. Kebahagian tidak akan didapat bila ia selalu menjauhi fitrahnya. Manusia tidak akan mendapatkan fitrah yang dimiliki bila selalu menjauhi apa yang Allah kehendaki. Pendidikan dalam Islam selalu melibatkan kehendak Allah dalam memposisikan hidup manusia. Oleh karena itu, Naquib Alatas (1999) dalam Concept of Education mendefinisikan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan, yang diajarkan secara progresif kepada manusia, mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam tatanan ciptaan yang mengarah pada pengenalan dan pengakuan tempat yang patut bagi Allah dalam tatanan wujud dan eksistensi.

Islam sebagai din (agama) mempunyai peran pengingat peristiwa perjanjian primordial antara Allah dan manusia. Manusia diingatkan kembali akan fitrahnya sebagai seorang hamba dengan spesifikasi potensi tertentu. Menurut Naquib (1993), sudah ada janji sebelumnya antara manusia dan Allah yang membawa konsekuensi pada kelahiran seorang manusia yang ideal dengan karakter keilmuan yang khas. Allah kembali mengingatkan janji manusia tersebut melalui ajarannya yang kita bisa implisitkan lewat pendidikan.

Oleh karenanya sebagai pengingat, pendidikan memiliki tanggung jawab meletakkan kembali manusia pada tempatnya sebagai manusia. Jadi, industrialisasi adalah refleksi dari spektrum manusia sebagai makhluk yang memiliki posisi tinggi bukan sebaliknya. Sebagaimana yang dinyatakan Naquib, tujuan sebenarnya pendidikan Islam adalah mengajarkan dan memperkenalkan adab kepada seorang manusia. Adab adalah memposisikan diri sendiri dalam suatu sistem yang terdiri dari tingkatan (maqamat) dan level (maratib).

Pendidikan merupakan proses penyadaran atas posisi manusia. Hal ini mengandung berbagai konsekuensi dari pembentukan sistem pendidikan, seperti dalam proses belajar-mengajar. Guru dan murid memiliki peran sebagai 'penikmat' ilmu dalam visi spiritual. Mereka saling menghormati karena tuntutan kemanusiaannya untuk mendapatkan penyadaran. Oleh karenanya tujuan pendidikan dalam Islam tidak akan meninggalkan prosesnya agar timbul penyadaran akan posisi manusia sebagai hamba Allah dan ciptaan-Nya.

Bila manusia mampu membawa dirinya kepada fitrahnya, maka mereka akan beruntung sehingga mereka mendapatkan kebahagian sejati. Bukankah tujuan hidup menusia menjadi orang yang berbahagia? Menurut Naquib (2001) dalam The Meaning and Experience of Happiness in Islam, kebahagiaan adalah keyakinan yang membuahkan ketenangan hati. Keyakinan terjadi kalau manusia bisa melihat jelas segala unsur dari segala eksistensi yang ada di dalam dirinya dan ada di objek yang dilihat. Selanjutnya manusia mampu meletakkan dirinya pada keberadaan dirinya sebagai subjek di semesta.

Ulama di Buku Pelajaran


Oleh : Adian Husaini

Sarjana Kedokteran Hewan IPB


Dalam sebuah kuliah, seorang mahasiswa terkejut ketika saya jelaskan tentang peran Al Ghazali dalam kebangkitan umat Islam di zaman Perang Salib. Menurut dia, dalam ruang-ruang kuliah studi Islam selama ini, diajarkan bahwa Al Ghazali adalah biang keladi kemunduran umat Islam. Setelah saya meneliti sejumlah buku studi Islam di perguruan tinggi, cerita si mahasiswa tadi ternyata benar adanya.

Sebuah buku rujukan tentang sejarah peradaban Islam yang ditulis seorang guru besar bidang peradaban Islam, misalnya, mengutip pendapat Nurcholish Madjid, menyatakan bahwa pemikiran Al Ghazali itu mempunyai efek pemenjaraan kreativitas intelektual Islam. Buku studi Islam karya dosen lain ada yang menulis, Andai Ibn Rusyd yang dianut oleh orang-orang Timur, bukan Al Ghazali, maka yang maju pesat di zaman modern ini pastilah negara-negara Islam, dan bukan negara Eropa.

Karena buku-buku semacam itu diajarkan kepada para mahasiswa, maka bisa dipahami jika banyak memakan 'korban'. Para mahasiswa itu kemudian bersikap sinis dan tidak tertarik lagi untuk melakukan kajian lebih mendalam. Sebagai gantinya, dimunculkanlah sosok-sosok intelektual yang menjadi idola baru semisal Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Abid Al Jabiri, dan sebagainya.

Buku Al Ghazali
Belum lama ini buku Hakadza Zhahara Jiilu Shalahuddin wa Hakadza Aadat Al Quds (Demikianlah Bangkitnya Generasi Shalahudin Al Ayyubi dan Demikianlah Kembalinya Yerusalem) karya Dr Majid Irsan Al Kilani diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku ini menarik, terutama dari sudut pandang kebangkitan sebuah peradaban. Penerjemah buku ini, dua orang alumni Universitas Islam Madinah, menceritakan, bahwa dosen pembimbing mereka, Dr Ghazi bin Ghazi Al Muthairi, adalah orang yang mengenalkan dan meminta mereka membaca buku ini.

Buku ini menceritakan bagaimana kaum Muslimin mampu bangkit dari keterpurukan selama sekitar 50 tahun, dan akhirnya berhasil merebut kembali Yerusalem setelah dikuasai pasukan Salib selama 88 tahun. Dr Irsan Al Kilani memaparkan data-data bahwa Shalahudin bukanlah pemain tunggal yang 'turun dari langit' dalam mengangkat keterpurukan umat Islam. Tetapi, dia adalah produk dan bagian sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat. Dua ulama besar yang disebut berjasa besar dalam menyiapkan generasi baru itu adalah Imam Al Ghazali dan Abdul Qadir Al Jilani.

Dalam melakukan upaya perubahan umat yang mendasar, Al Ghazali dan Al Jilani lebih menfokuskan pada upaya mengatasi masalah kondisi umat yang ketika itu memang layak menerima kekalahan (al qabiliyah lil hazimah). Faktor dasar kelemahan umat didiagnosis dan dicarikan solusinya. Menurut Al Ghazali, masalah yang paling mendasar dari terpuruknya umat Islam adalah faktor hubbud dunya (cinta dunia), rusaknya pemikiran keagamaan, dan fanatisme kelompok. Untuk itu, Al Ghazali melakukan perubahan dimulai dari dirinya sendiri, kemudian baru mengubah orang lain.

Kata penulis buku ini Al Ghazali lebih menfokuskan usahanya untuk membersihkan masyarakat Muslim dari berbagai penyakit yang menggerogotinya dari dalam dan pentingnya mempersiapkan kaum Muslim agar mampu mengemban risalah Islam kembali sehingga dakwah Islam merambah seluruh pelosok bumi dan pilar-pilar iman serta kedamaian dapat tegak dengan kokoh. .

Melalui kitab-kitab yang ditulisnya setelah merenungkan kondisi umat secara mendalam, Al Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa yang harus dibenahi pertama dari umat adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Oleh sebab itu, kitabnya yang terkenal dia beri nama Ihya’ Ulumuddin. Secara ringkas dapat dipahami bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al nafs dan jihad melawan musuh dalam bentuk qital dengan baik..

Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat. Dalam Ihya' Ulumuddin, Al Ghazali menekankan pentingnya masalah ilmu, akhlak, dan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Aktivitas tersebut, kata Al Ghazali, adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Ia adalah sesuatu yang penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Jika aktivitas amar ma’ruf nahi munkar hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan binasa, begitu juga umat secara keseluruhan..

Aktivitas Al Ghazali yang gigih dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan hanya dari faktor-faktor permukaan, seperti masalah politik atau ekonomi, tetapi harus diselesaikan dari akar persoalannya, yaitu kerusakan ilmu dan ulama. Dr Irsan Al Kilani menyebutkan bahwa memang banyak yang salah paham terhadap Al Ghazali dan Abdul Qadir Al Jilani. Nama yang terakhir ini adalah ulama ahli fikih mazhab Hambali yang aktif berdakwah kepada para penguasa dan berhasil mengislamkan ribuan orang non-Muslim. Dari madrasah-madrasah ulama itulah di kemudian hari lahir para ulama yang alim dan zuhud, para ustad, dan para pemimpin politik yang saleh, zuhud, dan mencintai jihad fi sabilillah..

Di belakang hari, memang terjadi penyimpangan di madrasah Al Qadiriyah. Maka, dalam kondisi terpuruk, umat Islam tidak seyogyanya berpangku tangan, menunggu datangnya seorang pemimpin (ratu adil). Mereka harus mengubah kondisi mereka sendiri, dari 'kondisi kekalahan' menuju 'kondisi kemanangan'. Sebab, memang Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri (QS 13:11)..

Bersikap adil
Belum lama ini, dalam sebuah diskusi di tentang pemikiran Ibnul Qayyim Al Jauziyah di Berlin, seorang sarjana Indonesia berusaha membuktikan keterkaitan antara pemikiran Ibn Taimiyah dengan terorisme. Salah satu buktinya, menurutnya, para ’teroris’ memang membaca buku-buku Ibn Taimiyah. Cara-cara pengkajian semacam ini tentu saja tidak adil dan tidak komprehensif. Hampir tidak ada sarjana Barat yang membuat kesimpulan, bahwa karena George Bush rutin membaca Bibel, maka Bibel dikatakan sebagai sumber terorisme..

Ulama adalah manusia. Merekalah yang terutama mendapat amanah untuk melanjutkan risalah kenabian. Banyak dari mereka yang telah melahirkan karya-karya besar. Bisa jadi, sebagian pendapat mereka keliru. Tetapi, kekeliruan pada sebagian pendapat mereka itu jangan sampai menafikan seluruh karya dan jasa besar mereka kepada umat Islam. Generasi saat ini perlu bersikap lebih terbuka dan serius menggali khazanah pemikiran Islam, warisan para ulama, yang sangat kaya. Ketepatan dan kearifan dalam melihat masa lalu dan masa depan, Insya Allah akan menjadi modal kuat dalam kebangkitan umat Islam di masa depan. .

Ikhtisar.

- Gambaran tentang Al Ghazali di dunia pendidikan di Indonesia saat ini mengalami distorsi.
- Sebagian referensi lembaga pendidikan menggambarkan Al Ghazali sebagai penghambat perkembangan umat Islam.
- Padahal, karya dan pemikiran Al Ghazali sangatlah menginspirasi kemajuan umat Islam.
- Boleh jadi pada sebagian pemikiran Al Ghazali terdapat kekeliruan, namun tidaklah adil jika hal itu kemudian menjadi dasar untuk menyudutkan Al Ghazali..

Kembangkan Silaturahim


Penyelesaian Kultural Tepat untuk Selesaikan Kekerasan


Jakarta, Kompas - Untuk mencegah munculnya konflik atau kekerasan bernuansa agama, pendekatan kultural dan silaturahim antarwarga selayaknya selalu dikembangkan. Langkah itu tidak hanya efektif meredam kemungkinan munculnya kekerasan, tetapi juga mampu mematahkan provokasi dan pengaruh buruk dari luar.

Demikian dikatakan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Baso, Jumat (21/12), setelah meninjau lokasi dan bertemu warga Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Seperti dikabarkan, sejumlah rumah warga dan masjid milik jemaah Ahmadiyah di Manislor dirusak massa.

Selain pendekatan kultural, Ahmad Baso mengatakan, dengan silaturahim yang dikembangkan masing-masing pihak, setiap orang tidak dengan mudah terpancing berbagai hasutan. Sebab, masing-masing memiliki pemahaman yang memadai.

Ahmad Baso menjelaskan, dalam kasus perusakan rumah dan masjid milik jemaah Ahmadiyah, umumnya pelaku datang dari luar Kuningan. Aksi itu menyebabkan dua masjid rusak parah. Untuk meredam aksi itu, disepakati 10 masjid di Manislor disegel.

Selain itu, dibentuk tim independen untuk mengusut kasus itu. "Kami meminta agar Komnas HAM dilibatkan dalam tim itu. Mereka setuju," tuturnya.

Ahmad Baso menyarankan, pimpinan jemaah Ahamadiyah di Manislor juga mengembangkan silaturahim. "Saya menganjurkan mereka bertemu dengan (Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) KH Hasyim Muzadi," katanya lagi.

Lakukan mediasi

Nurkholis, komisioner Komnas HAM yang lain, mengatakan, Komnas HAM akan membantu proses mediasi antarpihak dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus Manislor. Mediasi yang dilakukan diharapkan dapat memberi jalan keluar atas kasus yang sebelumnya pernah terjadi di Manislor tahun 2002.

Nurkholis juga mengakui, dalam kunjungan ke Manislor ada distorsi informasi yang menimbulkan penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah. Ada dugaan yang menyebutkan, kekerasan itu disebabkan konflik personal.

Konflik lalu mengarah pada konflik politik lokal yang merembet isu penolakan Ahmadiyah. Di Manislor, jemaah Ahmadiyah tergolong banyak. Komnas HAM akan memusatkan perhatian pada proses mediasi antarpihak agar hal itu tak terulang.

Mantan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan, penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM tahun 2005 menemukan ada pelanggaran HAM serius terhadap hak sipil dan politik warga Ahmadiyah. (JOS/NWO)

Friday, December 21, 2007

Kala Kita Membajak Agama



Oleh: Buya Abd. Aziz Aru Bone, wartawan Rakyat Merdeka.

Secara umum, agama-agama lahir dari rahim dunia yang penuh krisis dan hadir untuk menjawab berbagai krisis tersebut. Karena itu, para Nabi pembawa agama bukan saja menempatkan agama sebagai jalan pencarian spiritual bagi kaum beriman untuk berbagi kebenaran menuju Yang Maha Benar, tapi secara sosiologis juga menempatkan agama sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan dan krisis kemanusiaan.

Di tangan para Nabi, agama tidak saja merupakan jalan spiritual meniti kebenaran dan pensucian diri bagi kaum beriman buat melampaui dunia yang dilanda aneka kemelut menuju Yang Maha Benar, tetapi secara praksis dalam ranah sosial, agama mampu ditampilkan oleh para Nabi sebagai perangkat yang membebaskan umatnya dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan dan perilaku tidak adil.

Maka dengan menampilkan dua wajah agama di tengah krisis zamannya, Nabi Musa bukan saja menjadikan agama sebagai energi spiritual bagi umatnya, tapi juga menjadi perangkat pembebasan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno.

Pun bagi Nabi Isa (Yesus), agama tidak saja merupakan mata air cinta dan kasih sayang, tetapi juga sumber inspirasi yang membebaskan Bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes.

Atau bagi Nabi Muhammad, ia tidak saja menjadikan Islam sebagai jalan menyerahkan diri kepada Yang Maha Mutlak, tapi juga sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan masyarakat Arab dan Dunia.

Pendek kata, para Nabi mampu memfungsikan agama secara seimbang sebagai jalan kesholehan individual yang sejalan dengan kesholehan sosial. Karena memang, secara umum tujuan pokok pewahyuan agama bukan untuk Tuhan, tetapi kepentingan manusia guna membebaskan manusia secara individual maupun secara sosial di kehidupan kini dan nanti dari berbagai krisis, derita dan malapetaka, guna merengkuh kebahagiaan hidup di kehidupan kini dan nanti. Bagi kita yang hidup jauh dari masa para Nabi. Kita kerap mengklaim bahwa kita beragama sama seperti agama yang peluk para Nabi. Tapi kini apa yang tersisa dari agama kita kini?

Berbeda 180 derajat dengan agama di tangan para Nabi, di tangan kita agama bukan saja gagap memberikan jawaban atas berbagai krisis kemanusiaan modern. Bahkan, oleh novelis seperti AN Wilson penulis buku, Against Religion, Why We Should Live Without It, agama digambarkan sebagai sumber konflik dan pertikaian, bukan saja antar pemeluk agama, tapi juga antar pemeluk seagama.

Wilson menggambarkan, semakin taat seorang pemeluk agama kepada Tuhan, ia semakin merasa mendapatkan justifikasi teologis untuk menghancurkan yang lain yang berbeda dari ajaran yang ia yakini benar. Yang berbeda adalah sesat dan kafir. Yang sesat dan kafir harus dilawan, bila perlu dengan cara-cara kekerasan.

Maka semakin merasa dirinya taat pada Tuhan, orang seperti ini biasanya semakin merasa benar sendiri dan merasa memiliki justifikasi teologis untuk menghancurkan yang tidak sejalan dengannya, baik terhadap yang seagama, apalagi yang berbeda agama.

Gambaran Wilson yang menempatkan agama sebagai sumber kekerasan dan pertikaian ini sungguh tidak berlebihan, apabila kita melihat agama lebih ditempatkan sebagai legitimasi perebutan klaim kebenaran atau bila kita membajak agama, hingga mencerabut agama dari fungsinya sebagai jalan untuk saling berbagi kebaikan guna mengatasi krisis kehidupan yang terjadi dalam level individual tiap kita, maupun pada level sosial kita.

Karena itu sikap menempatkan agama-agama sebagai corpus terbuka, inklusif, jalan untuk mendialogkan dan saling berbagi kebenaran, adalah merupakan keniscayaan dan salah satu langkah fundamental guna mengembalikan fungsi agama-agama seperti halnya ketika ia berada di tangan para Nabi pembawanya.

Jika tidak, maka tesis AN. Wilson yang memandang agama sebagai sumber konflik akan selalu menemukan pembenarannya. Jika tidak, maka agama-agama formal akan semakin kehilangan legitimasinya di mata sebagian masyarakat.

Dalam konteks Indonesia kini, maraknya berbagai aliran yang divonis sesat, saya rasa juga merupakan cerminan hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap agama-agama formal. Karena agama-agama formal bukan saja dinilai gagal memainkan perannya sebagai jalan keselamatan yang mampu memberikan solusi atas problematika individual dan sosial seperti yang dicontohkan para Nabi di atas, alih-alih turut menjadi sumber masalah. Wallahu lam. (email:buyaarubone@yahoo.com,blog:www.buyaku.blogspot.com)

Puritanisme Islam & Pengkhianatan Elit Politik



Oleh: Buya Abd. Aziz Aru Bone, Wartawan Rakyat Merdeka

Hari Minggu (12/8) kemarin, sekitar 90 ribu massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memadati Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta , dalam acara bertajuk, “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia; Konferensi Khilafah Internasional 2007.” Organisasi Islam puritan yang menyatakan diri sebagai gerakan politik dengan agenda pembentukan Khilafah Islamiyah ini secara tegas menyatakan, menolak konsep sosial-politik Barat, seperti, konsep negara-bangsa (nation-state) dan demokrasi.

Dengan pembentukan Khilafah Islamiyah, HTI bukan saja bercita-cita melenyapkan demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , tapi juga mencita-citakan semua negara berpenduduk muslim mayoritas sebagai satu kesatuan politik.

Kebangkitan Islam puritan yang aktornya diperankan oleh gerakan keislaman seperti HTI, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Dunia Islam, terutama Timur Tengah. Kesadaran yang lahir di kalangan dunia Islam sebagai respon terhadap kolonialisme Barat di era kolonial adalah, bahwa yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural ideologi Barat yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Maka berbagai konsep social-politik yang diidentifikasi berasal dari Barat, seperti, nation-state, sekularisme, demokrasi dan liberalisme, diletakan sebagai musuh yang harus diperangi karena dipandang mengancam koherensi dan validitas Islam. Dan seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat. (El Fadl, 1997:2).

Dalam konteks pasca kolonial kini, sikap menempatkan dunia Islam pada kutup yang berlawanan secara diametral dengan Barat terus berlanjut dengan mengambil beragam agenda dan strategi, dari yang paling radikal melalui berbagai gerakan terorisme yang dimotori oleh organisasi seperti Al-Qaeda, hingga yang mengambil perlawanan politik-kultural dengan melakukan penolakan secara menyeluruh dan fundamental atas berbagai konsep sosial politik Barat, seperti yang dipelopori organisasi gerakan keislaman Hizbut Tahrir di berbagai negara.

Meski berbeda agenda dan strategi aksi, tapi gerakan Islam puritan ini sama-sama memposisikan Barat sebagai the others (meminjam istilah Edward W Said) yang menyebabkan keterpurukan Dunia Islam melalui kolonialisme duhulu, hingga imperealisme kini.
Sikap menempatkan Barat sebagai lawan juga dipicu dan seakan mendapatkan justifikasi teologis oleh pembacaan teks-teks keagamaan dengan lagam puritanistik.
Kaitannya dengan ini, tokoh penting dan ideolog Ikhwanul Muslimin yang merupakan organisasi asal Hizbut Tahrir, Sayyid Qutb, meramu tafsir tentang jihad sebagai ajaran ofensif, bukan defensif.

Dalam lagam penafsiran yang puritanistik-tekstual ala Qutb, Islam puritan juga mendapatkan justifikasi teologis untuk menolak semua ideologi dan konsep-konsep sosial politik Barat yang dinilai mengancam koherensi dan validitas Islam, termasuk demokrasi dan nation state.

Kini Islam puritan hadir di Indoensia. Selain dipengaruhi dua faktor di atas, tumbuh suburnya puritanisme Islam di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru, juga merupakan aktualisasi kekecewaan masyarakat bawah atas peralihan politik dari rezim Orde Baru ke Era Reformasi yang sama sekali tidak berdampak pada perbaikan kesejahteraan rakyat.

Kecewa terhadap elit politik yang tidak menunjukan komitmen sungguh dan kepedulian penuh pada rakyat, rakyat pun bukan saja tidak percaya terhadap elit politik, tapi juga tidak percaya terhadap demokrasi. Lalu memandang penuh harap pada gerakan puritanisme agama yang dipandang memberikan harapan baru di dunia dan bumbu-bumbu janji syurgawi di kehidupan setelah mati.
Maka perlawanan terhadap puritanisme Islam Indonesia , sebenarnya bukan saja merupakan tantangan dan tanggungjawab kalangan muslim moderat dan civil sosiety, tapi juga elit politik.

Meski kehadirannya mengancam demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , perlawananan terhadapnya tidak perlu melibatkan tangan besi kekuasaan negara, karena akan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang meniscayakan kebebasan berorganisasi dan berpendapat. Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini menjadi pasar bebas bagi ide-ide keagamaan.
Perlawanan terhadapnya sebaiknya dilakukan secara kultural oleh kalangan Islam moderat dan civil society dengan memberikan pemahaman kepada kaum muslimin Indonesia tentang pentingnya meletakan Islam sebagai corpus terbuka, moderat, dan mengambil peran kultural dalam relasi Islam dan negara, bukan sebagai ideologi politik tertutup yang legal-formalistik. Karena tidak seperti Islam Arab, dengan peran kulturalnya Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia , gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Itu saja tidak cukup, tugas berat juga diemban para pengelola negara dan elit-elit politik untuk segera mengakhiri pengkhianatannya terhadap rakyat dan nilai-nilai demokrasi. Bahwa kini sudah saatnya para elit politik harus menunjukan keseriusan, komitmen tinggi dan keberpihakan pada rakyat agar perubahan politik yang terjadi secara langsung dapat berpengaruh positif pada perbaikan kesejahteraan rakyat, bukan hanya pergantian kekuasaan politik di tingkat elit.

Keberpihakan sepenuh hati pada kesejahteraan rakyat, merupakan keniscayaan muktak untuk menumbuhkan optimisme rakyat terhadap demokrasi sekaligus membendung arus puritanisme Islam yang mengancam nation-state dan demokrasi Indonesia. Lantaran, puritanisme Islam tumbuh subur di Indonesia pasca Orde Baru, bukan hanya sebagai respon atas sikap politik Barat terhadap dunia Islam yang tidak adil dan disokong oleh pemahaman keislaman yang puritanistik, tapi juga dipicu oleh kekecewaan terhadap elit politik dan pengelola negara yang kerap mempertontonkan pengkhianatan atas nilai-nilai demokrasi dan tidak memiliki keberpihakan sepenuh hati kepada rakyat.(**)

Islam Puritan Anak Kandung Kolonialisme Barat




Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone, wartawan Rakyat Merdeka


KEBANGKITAN puritanisme Islam modern yang memimpikan terjadinya the re-birth of Islamic Civilization, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Timur Tengah. Kesadaran yang lahir di kalangan bangsa Arab sebagai respon terhadap kolonialisme adalah, bahwa yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural ideologi Barat yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Komunisme, sekularisme, demokrasi, liberalisme, pun diletakan sebagai ideologi Barat yang mengancam koherensi dan validitas Islam.

Karena itu, seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat yang menyertai kolonialisme. (El Fadl, 1997:2). Kesadaran tersebut tidak hanya dialami kalangan Islam Sunny, tapi juga Islam Shi’ah di Iran, Irak, Lebanon dan Suriah (Mallat, 2003:4).

Kesadaran untuk kembali kepada autentisitas Islam bukan saja ingin membebaskan Timur Tengah dari kolonial Eropa, tapi lebih dari itu ingin kembali menciptakan the re-birth of Islamic Civilization dengan menempatkan tradisi Nabi Muhammad di masa Madinah sebagai sumber legitimasi dan otoritas.

Tapi tidak sedikitpun mimpi tersebut terwujud, meski pun pioner pemikir modern Islam; Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan penyatuan modernisme Barat dan tradisi Islam pada fase kedua kebangkitan Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern minus pendirian negara Islam.

Kedua tokoh ini bekerja pada tataran pemikiran untuk meyakinkan umat bahwa mereka tetap dapat mengadopsi sisi positif modernisme Barat tanpa harus tercerabut dari tradisi dan nilai-nilai agama.

Akan tetapi, berakhirnya kolonialisme Eropa dan secara bersamaan dimulainya dominasi militer-ekonomi Uni Soviat dan Amerika Serikat di Timur Tengah yang diawali dengan pecahnya Perang Dunia Kedua, kembali melahirkan gerakan Ashabiyah nasionalisme Pan Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin di Mesir dengan gagasan, menjadikan Islam sebagai satu-satunya dasar yang shahih dalam pengaturan sosial dan politik. (Hourani, 1983: xxii).

Jauh sebelumnya, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab juga telah memproklamerkan ideologi politik serupa di Saudi Arabia dengan Wahabismenya (op.cit:xvii).

Terinspirasi Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme, Islam pun kembali hadir sebagai ideologi sosial dan politik di era Arab modern. Islam kembali diletakan dalam kerangka politik sebagai ad-din wa ad-dawlah (agama dan Negara).

Pembajakan besar-besaran atas Islam sebagai basis otoritas dan legitimasi politik pun kembali mulai dibangun.
Jika Abduh dan Ridho berupaya melakukan penyatuan Islam dan modernisme Barat tanpa mengagendakan pendirian negara Islam atau tidak menempatkan Islam sebagai ideologi sosial dan politik.

Maka Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme sebaliknya, yakni, memerangi modernisme serta memberangus tradisi aliran intelektual Islam klasik, seperti, Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy-Ariyah, dan tradisi fiqh berbagai mazhab sebagai bid’ah dan khurafat, sembari menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Secara bersamaan, Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme juga menyerukan penolakan terhadap semua ideologi dan konsep sosial-politik Barat, dengan pengecualian materialisme Barat.

Dalam kondisi demikian, terjadilah kemandekan intelektual, karena di satu sisi menutup diri dari nilai-nilai Barat, di sisi lain melakukan pemberangusan warisan tradisi intelektual Islam klasik.

Revitalisasi puritanisme Islam memang bukan hanya disebabkan faktor di luar Islam; hegemoni kultural idelogi-idelogi Barat yang menyertai kolonialisme Barat di Timur Tengah. Harus juga diakui bahwa, seperti halnya agama-agama lain, secara normatif sumber otoritas teks Islam; Al-Quran dan As-Sunnah, juga membuka peluang untuk ditafsirkan dengan lagam puritanistik. Ini lantaran watak dasar kedua sumber otoritas itu berwatak terbuka. Sebagai teks mati, makna Al-Quran dan As-Sunah diberikan oleh pembaca dan penafsirnya. Dalam menakukan tafsir, tentu si penafsir terikat pada konteks sosial-politik zamannya.

Dengan konteks seperti inilah, tokoh penting dan ideologi Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb meramu tafsir tentang jihad sebagai ajaran ofensif, bukan defensif. Penafsiran Qutb inilah yang dipakai oleh pelbagai kelompok Islam untuk membenarkan penggunaan kekerasan atas semua yang mereka anggap sebagai musuh-musuh Islam.

Dalam lagam penafsiran yang puritanistik-tekstual ala Qutb, Islam puritan mendapatkan justifikasi teologis untuk menolak semua idelogi dan konsep-konsep sosial politik Barat yang dinilai mengancam koherensi dan validitas Islam, termasuk demokrasi yang meniscayakan egaliterianisme, partisipasi dan kontrol publik, berkeadilan, menghargai kemajemukan dan pluralisme.


Menatap Indonesia

Kini Islam puritan yang akarnya dapat ditelusuri hingga Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin hadir di Indoensia dimotori sejumlah gerakan keislaman, seperti, Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin.

Seperti halnya di Timur Tengah, Islam puritan Indonesia juga mengagendakan pembentukan negara Islam dan formalisasi Syariat Islam. Selain itu, juga menolak konsep sosial-politik Barat, seperti, demokrasi. Jika di Timur Tengah puritanisme Islam memberangus tradisi kritis aliran intelektual Islam klasik, seperti, Mu'tazilah, Maturidiyah, Asy-Ariyah, dan tradisi fiqh berbagai mazhab sebagai bid'ah dan khurafat, sembari menyerukan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Maka di Indonesia mereka mengarahkan anak panahnya kepada Islam moderat Indonesia sebagai modal kultural demokrasi yang dimotori ormas-ormas Islam, seperti, NU, Muhammadiyah, Persis dan Nahdlatul Wathon.

Tapi berbeda dengan di tempat asalnya, Timur Tengah, Islam puritan Indonesia tumbuh dan mengembangkan dirinya dengan memanfaatkan demokratisasi yang kini tumbuh dan meniscayakan kebebasan berpendapat dan berorganisasi.

Inilah dilema demokrasi, ibarat pohon, ia memberi tempat kepada apapun untuk hidup selama tidak melanggar hokum positif yang merupakan social contract, bahkan terhadap parasit yang mengancam kelangsungannya.

Kehadiran Islam puritan di Indonesia yang menjadi ancaman terhadap demokrasi merupakan tantangan bagi Islam moderat yang sejak kehadiran Islam di Indonesia mengambil peran kultural dengan menempatkan Islam sebagai way of life, bukan ideologi sosial-politik.

Hemat saya, meski keberadaannya mengancam demokrasi, perlawananan terhadap puritanisme Islam tidak perlu melibatkan campur tangan negara, seperti yang dikehendaki Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi (Sindo, 26 Februari 2007). Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini menjadi pasar bebas bagi ide-ide keagamaan. Perlawanan terhadapnya sebaiknya dilakukan secara cultural dengan memberikan pemahaman kepada kaum muslimin Indonesia tentang pentingnya Islam Indonesia mengambil peran cultural sebagai way of life, bukan sebagai ideologi tertutup.

Karena tidak seperti Islam Arab, dengan peran kulturalnya Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia, gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.
Wallahu A'lam bi as-Showab.
(buyaarubone@yahoo.com)

Wednesday, December 19, 2007

Siti Hajar, Potret Ibu yang Tegar


Saparinah Sadli


Perjuangan perempuan Indonesia mempunyai sejarah panjang. Perempuan Indonesia, bersama dengan laki-laki, berjuang membebaskan bangsa dari penjajahan negara lain. Setiap tahun, tanggal 22 Desember, kita bersama memperingati perjuangan perempuan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan bangsa. Apa kaitannya dengan perjuangan Siti Hajar?

Tanggal 20 Desember tahun ini berjuta-juta kaum Muslim berada di Gurun Arafah untuk menunaikan ibadah haji. Salah satu ritual dalam rangka ibadah haji adalah melakukan sai.

Dalam sejarah umat Islam, Siti Hajar, sebagai istri dan ibu, pada suatu hari ditinggal suaminya, Nabi Ibrahim, di gurun pasir yang kering, bersama bayinya, Ismail, dengan hanya diberi kurma dan sekantong air minum.

Siti Hajar bertanya, "Ibrahim, mengapa saya ditinggal di sini di mana tidak ada orang yang dapat memberi minum atau makan?"

Jawab Ibrahim, "Ini adalah perintah Allah."

Siti Hajar menerima keputusan suaminya yang meninggalkannya karena itu adalah keputusan Allah. Juga karena suaminya ingin hidup dengan istrinya yang lain, Sarah.

Dengan menerima keputusan Ibrahim, Siti Hajar dihadapkan pada cobaan Tuhan yang sangat berat. Siti Hajar kemudian berjuang agar bayinya bisa memperoleh air susu.

Pada suatu hari air susunya tidak lagi keluar dan air dalam kantong sudah habis. Dalam kebingungannya, Siti Hajar berlari-lari antara bukit Safa dan Marwah sampai tujuh kali mencari air minum bagi bayinya. Pada saat akan melakukan untuk kedelapan kalinya, Siti Hajar tidak kuat lagi dan jatuh terkulai di samping Ismail yang menangis kelaparan.

Saat itulah disebutkan, malaikat Jibril menyemburkan air di tempat Ismail menangis sambil menendang-nendangkan kakinya. Siti Hajar melihat air keluar dari tempat di mana Ismail menendang-nendangkan kakinya. Siti Hajar berteriak karena melihat air kembali masuk ke dalam pasir. Ia berteriak, "Zumi, ya mubaraka (Berhentilah, ini air karunia Tuhan)".

Air yang keluar kemudian menjadi kolam. Kolam yang berisi air suci sejak itu disebut sebagai zamzam, artinya berhenti. Siti Hajar minum air tersebut dan ia dapat menyusui Ismail lagi.

Upaya dan doa Siti Hajar dikabulkan Tuhan. Karena keteguhan hatinya, Siti Hajar disebut sebagai ibu peradaban baru. Ia juga potret ibu yang teguh hati perempuan memenuhi kebutuhan anaknya dalam perannya sebagai orangtua tunggal.

Peran penting

Siti Hajar adalah perempuan yang mempunyai peran penting dalam sejarah agama Islam. Nabi Muhammad bersabda, "Semoga Allah memberkahi ibu Ismail." Adalah Nabi Muhammad yang menghormati keberadaan Siti Hajar.

Hingga sekarang, salah satu ritual haji adalah sai, berjalan/berlari-lari kecil tujuh kali antara bukit Safa dan Marwah sebagaimana dilakukan Siti Hajar.

Ritual haji sampai sekarang lebih dilakukan untuk memperingati kebesaran Nabi Ibrahim yang sebagai ayah telah meninggalkan anaknya, Ismail, bersama ibunya di gurun pasir yang kering kerontang. Sumur zamzam sebagai jawaban Tuhan terhadap doa Siti Hajar dalam mencari sumber kehidupan bagi bayinya sekarang lebih dikenal sebagai sumur zamzam Ismail. Tidak sekali pun jemaah haji diingatkan kepada ibunya, Siti Hajar, yang memperjuangkan agar Ismail tetap hidup.

Perjuangan Siti Hajar pantas menjadi inspirasi bagi perempuan dan laki-laki Muslim. Siti Hajar telah memanifestasikan semangat perjuangan, ketegaran, dan keteguhan hati perempuan dalam menghadapi cobaan Tuhan.

Menjadi inspirasi

Dalam rangka Hari Ibu yang tahun ini jatuh berdekatan dengan Idul Adha, perjuangan Siti Hajar sebagai ibu dan pejuang pantas diingat sebagai potret perempuan (Muslim) yang tegar dan keteguhan hati menghadapi cobaan, menghidupi sendiri bayinya dalam keadaan sulit. Sebagai istri dan ibu, ia tidak "berantakan" saat suaminya meninggalkannya bersama bayinya di tengah-tengah gurun pasir.

Dalam semangat Hari Ibu, patutlah perjuangan perempuan bernama Siti Hajar dirayakan sebagai Muslimah yang ratusan tahun lalu telah menunjukkan dan berhasil menegakkan hak dasar manusia, ialah hak hidup, sebagai hak asasi manusia.

Jutaan umat Islam sampai hari ini dalam rangka menunaikan ibadah haji tanpa selalu ingat akan Siti Hajar telah menghormati perjuangan dan jejak perempuan bernama Siti Hajar.

Dalam rangka Hari Ibu, keteguhan hati Siti Hajar merupakan contoh bagi perempuan dan laki-laki bahwa dalam kondisi menghadapi kesulitan kehidupan (akibat konflik, bencana alam, perubahan iklim, dan lainnya) perempuan yang masih dianggap "kurang" dibandingkan dengan laki-laki ternyata mampu bertahan dan mencari alternatif solusi sendirian.

Perjuangan Siti Hajar perlu diteladani sebagai perempuan pejuang penegakan hak hidup manusia. Ia sosok perempuan yang menerima keputusan Tuhan dan menghadapi cobaan hdiup dengan keteguhan hati luar biasa.

Ia perempuan yang kemudian meninggalkan pada umat manusia suatu sumber kehidupan: sumber air yang tidak pernah habis. Ia contoh apa yang dilakukan perempuan sering kali dianggap biasa, meskipun apa yang ia lakukan luar biasa.

Saparinah Sadli Pendiri Komnas Perempuan

Keimanan dan Pengorbanan


Yudi Latif


Ibarat drama kolosal, ibadah haji adalah epik duologi yang menampilkan gerak kehidupan secara simultan: gerak kembali dan gerak kembara.

Yang pertama menampilkan prosesi kepulangan manusia dari "rumah duniawi" menuju "rumah Ilahi" (gerak keimanan). Yang kedua menampilkan prosesi pengembaraan manusia dari "rumah Ilahi" ke "rumah duniawi" (gerak pengorbanan). Kedua gerak ini dijalani lewat tapak tilas jejak historis para pahlawan peradaban (Ibrahim, Hajar, dan Ismail) sebagai hulu berpadunya keimanan dan pengorbanan.

Ke "rumah Allah"

Bermula dari lempung yang ditiupkan roh Tuhan kepadanya, manusia secara alami merindukan gerak kembali dari lumpur duniawi ke kesucian Ilahi. Demi memenuhi hasrat kembali ini, Allah menyeru manusia meninggalkan kampung halaman, berkunjung ke "rumah Allah" di Tanah Suci. Gerak kembali ke rumah Allah ini dilalui lewat prosesi "haji kecil" (umrah) dengan serangkaian ritual: ihram, tawaf, dan sai.

Ali Shariati melukiskan makna simbolis ritual umrah secara menawan. Dalam berihram, manusia harus menanggalkan pakaian sehari-hari di miqat. Karena pakaian, menutupi diri dan watak manusia; melambangkan status dan perbedaan; menciptakan batas palsu, menyebabkan perpecahan di antara umat manusia.

Dalam perjalanan menuju "rumah Allah", segala batas dan perbedaan dilucuti karena di mata Allah derajat manusia sama. Maka, kenakan kain tak berjahit berwarna paling generik dan universal, putih. Dalam kesederhanaan dan tanpa topeng, manusia menemukan persamaan dan kesederajatan. Hanya dengan kondisi seperti itu, ia boleh menuju Kabah.

Dalam tawaf, sang aktor hendaknya ikut hanyut dalam lautan manusia lainnya. Semua "aku" menjadi "kita", berputar mengitari Kabah, bagai bintang-bintang beredar mengelilingi orbitnya. Itu berarti, untuk dapat menghampiri Allah, tiap individu harus menghampiri manusia. Jalan ketuhanan adalah jalan kemanusiaan. Tanpa tindakan kemanusiaan, kesucian ketuhanan tak bisa direngkuh.

Dalam sai, sang aktor berlari-lari kecil antara dua bukit, memerankan heroisme Siti Hajar, berjuang mencari air untuk menyelamatkan bayinya, Ismail. Sai berarti "berjihad" sebisa mungkin demi sesuatu yang lebih besar dari kepentingan sendiri. Bermula dari Bukit Safa (artinya cinta murni) menuju Marwah (yang berarti idealitas dan altruisme). Pada titik ini keimanan berpadu dengan pengorbanan. Di situlah haji kecil berakhir.

Ketika gerak kembali berakhir, saatnya melakukan gerak kembara. Kenikmatan "mengenali" Tuhan (makrifat) bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi dirayakan bersama melalui kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran pengayoman yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan semesta. Di sini kita dituntut mengenali diri dan dasar perjuangan sebagai khalifah Tuhan di muka Bumi. Maka, haji akbar dimulai.

Pada 9 Zulhijah, sang aktor meninggalkan "rumah Allah", menuju Padang Arafah. Selama sehari jemaah haji berhenti (wukuf) di sini, berjemur di bawah terik matahari, membiarkan kepicikan egosentrisme terbakar oleh terang pengetahuan. Arafah sendiri artinya pengetahuan. Pengetahuan sebagai titik awal pengenalan diri dan tugas kesejarahan.

Bersama sinar matahari yang tenggelam, sang aktor mengarungi malam menuju Masy’ar. Dalam konsentrasi di keheningan malam, diharap terbit kesadaran bahwa pengetahuan bisa bermanfaat atau menyesatkan bagi manusia, tergantung kesadaran kemanusiaan. Kesadaranlah yang mengubah pengetahuan menjadi moralitas, imoralitas, damai, perang, keadilan, atau kezaliman. Masy’ar artinya kesadaran. Masy’ar adalah cahaya yang dinyalakan Allah di dalam hati orang-orang yang dikehendaki, yakni mereka yang berjuang bukan demi diri sendiri, tetapi demi kemaslahatan orang banyak.

Melawan berhala

Menyongsong matahari terbit, sang aktor bergegas menuju Mina. Tibalah saat terpenting dalam ibadah haji; tanggal 10 Zulhijah bertepatan dengan Idul Adha. Persinggahan di Mina yang terlama dan terakhir melambangkan harapan, aspirasi, idealisme, dan cinta. Setelah memiliki pengetahuan dan kesadaran, yang harus dimiliki dalam perjuangan adalah kecintaan terhadap kebenaran dan kemanusiaan.

Mina berarti cinta. Di sini kecintaan kepada kebenaran dan kemanusiaan dicapai melalui dua ujian. Pertama, melawan berhala yang memperbudak manusia, yang dilambangkan dengan melemparkan batu di tiga jumrah. Pada jumrah pertama manusia berperang melawan berhala Firaun sebagai lambang penindasan. Pada jumrah kedua manusia berperang melawan berhala Karun sebagai lambang keserakahan. Pada jumrah ketiga manusia melawan Balam sebagai lambang kemunafikan. Akhirnya, kecintaan kepada kebenaran dan kemanusiaan juga diuji dengan kesediaan melakukan pengorbanan, yang dilambangkan dengan penyembelihan hewan kurban.

Pengorbanan inilah yang merupakan fase tertinggi dan terberat dalam perjuangan. Seberat Ibrahim yang harus tega menyembelih anak yang dicintainya, yang dengan susah payah ia dapatkan. Pengetahuan, kesadaran, dan cinta tanpa pengorbanan tak mungkin mendapat hasil yang diinginkan.

Seperti diingatkan Mahatma Gandhi sekitar delapan dekade lalu, salah satu dosa sosial terberat yang menimbulkan krisis dalam masyarakat adalah keimanan (peribadatan) tanpa pengorbanan. Rumah-rumah ibadah, majelis zikir, dan minat naik haji berkembang. Pada saat yang sama kesediaan orang beriman untuk berbagi kebahagiaan bersama dalam bentuk asketisme, altruisme, dan toleransi masih terasa lemah.

Ibadah haji seharusnya memberi kesadaran bahwa keimanan sejati harus dibuktikan dalam kesediaan melakukan pengorbanan. Diperlukan tekad dan keberanian untuk menyembelih hasrat korup demi kesehatan negara-bangsa, menyembelih keserakahan demi kesetaraan, menyembelih elitisme demi penguatan kerakyatan, menyembelih komunalisme demi solidaritas kewargaan, menyembelih pemborosan demi kelestarian, menyembelih hedonisme demi produktivitas, menyembelih kekerasan demi kebahagiaan hidup bersama.

Marilah kita berkorban!

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan