Thursday, December 6, 2007

Sultan, Dukun, dan Wali



Oleh : Azyumardi Azra

Tidak banyak kajian yang mencoba melihat Islam di Asia Tenggara sebagai sebuah kesatuan. Hal ini mudah dipahami. Islam di kawasan ini sangat kompleks dan juga sangat beragam sejak masa awal penyebarannya, tetapi juga pada masa kolonial, pascakolonial, dan kontemporer.

Karena itu, karya terbaru Indonesianis-Islamisis senior Howard Federspiel, Sultans, Shamans & Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia (Honolulu: Hawai'i University Press, 2007) merupakan kontribusi penting ke arah pemahaman lebih baik terhadap Islam di kawasan yang disebut Federspiel sebagai 'Muslim Zone' tersebut. Secara historis, 'kawasan Muslim' tersebut telah terwujud sebelum kedatangan kekuasaan-kekuasaan kolonial; dan dalam aktualisasinya 'kawasan Muslim' itu melintasi batas-batas politis dan geografis di Asia Tenggara.

Bagi saya sendiri, kawasan Muslim Asia Tenggara merupakan salah satu dari delapan wilayah kebudayaan atau peradaban Muslim (Islamic cultural spheres); Arab, Persia (Iran), Turki, Anak Benua India, Dunia Melayu-Indonesia, Sino-Islamic, Afrika Hitam, dan Western Hemisphere. Wilayah Muslim Asia Tenggara, seperti dibahas Federspiel betul-betul merupakan wilayah kultural Muslim yang distingtif, terlepas dari kenyataan bahwa kawasan ini tidak pernah bersatu secara politik; dan dalam masa pascakolonial terdiri atas delapan negara terpisah.

Meski merupakan satu wilayah kultural Muslim, budaya kaum Muslimin di kawasan ini tidak pernah terkonsolidasi sebagai satu kesatuan. Juga tidak ada upaya sistematis untuk mengonsolidasikannya dengan melewati batas-batas geografis dan politis yang ada. Keragaman adat istiadat dan tradisi lokal tetap menjadi ciri utama 'kawasan Muslim' Asia Tenggara.

Maka, pengikat utama kaum Muslimin di Asia Tenggara menjadi sebuah wilayah budaya Muslim pada tingkat pertama tentulah Islam itu sendiri. Kedua adalah bahasa Melayu, yang kini berkembang menjadi bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia. Meski terdapat perbedaan arti kosakata tertentu dan juga aksen, tetapi secara umum, orang-orang Muslim Asia Tenggara mengerti bahasa ini satu sama lain.

Secara historis, politis, dan antropologis, 'wilayah Muslim Asia Tenggara' ditandai dengan tiga figur yang diangkat Federspiel sebagai judul bukunya, yaitu sultan, dukun, dan wali. Ketiganya merupakan sosok-sosok yang cukup dominan dalam realitas politik dan sosiologis masyarakat Muslim sejak awal perkembangan; namun mereka bukan tanpa kontestasi.

Sultan menjadi penguasa di Indonesia, sampai kesultanan dihapuskan penjajah Belanda. Sedangkan di Semenanjung, sultan dikokohkan penjajah Inggris sebagai otoritas keagamaan dan adat istiadat Melayu, membuat Islam tidak terpisahkan dari kekuasaan tradisional dan politik di Malaysia kontemporer. Sementara dukun menjadi tumpuan praktik mistik, yang menjadi target pemurnian Islam, khususnya di Indonesia sejak bermulanya gerakan reformisme dan pemurnian Islam pada awal abad ke-20.

Sedangkan wali, yang sering terkait dengan tasawuf dan tarekat meski juga menjadi sasaran gerakan pemurnian Islam tetap bertahan selaras dengan tetap masih populernya tasawuf dan tarekat dalam kalangan masyarakat Muslim.

Dengan demikian, Islam di Asia Tenggara mengandung banyak perubahan; tetapi juga terdapat kesinambungan yang memiliki akar-akarnya sejak masa-masa awal perkembangan Islam di kawasan ini. Dan, seperti premis Federspiel, Islam di kawasan ini sangat dinamis, yang dapat beradaptasi dengan ruang dan waktu tanpa harus mengorbankan aspek-aspek paling fundamental Islam itu sendiri.

Karena itu, ortodoksi Islam di Asia Tenggara, seperti juga di kawasan-kawasan lain di luar Timur Tengah, tidak bisa diukur semata-mata dengan melihat Islam di Arab Saudi atau Mesir misalnya; tetapi harus juga dilihat dalam konteks sejarah dan lingkungan sosial-kultural dan politisnya di mana Islam berkembang dan menjadi berurat berakar.

Perkembangan dan dinamika Islam di kawasan Asia Tenggara sejak milenium baru jelas lebih kompleks lagi, yang tidak tercakup dalam karya Federspiel yang berhenti pada periode tahun 2000. Sejak awal abad ke-21 ini berbagai perkembangan baik internal maupun eksternal di antara kaum Muslimin Asia Tenggara tak bisa tidak menampilkan berbagai kecenderungan baru.

Salah satu kecenderungan itu adalah meningkatnya penyebaran gerakan-gerakan transnasional Islam yang ingin mengorientasikan Islam Asia Tenggara kepada Islam Timur Tengah. Hal ini tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik.

Meski gerakan-gerakan transnasional tidak kontekstual dan ahistoris di kawasan Asia Tenggara, tetapi mereka boleh jadi menemukan pijakan di kalangan Muslim Asia Tenggara, ketika situasi sosial, ekonomi, dan politik tidak menguntungkan. Karena itu, salah satu kunci penguatan kawasan Muslim Asia Tenggara adalah perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Tanpa itu, sulit berharap kawasan Muslim ini dapat memainkan peran lebih besar pada tingkat dunia Islam seperti diharapkan banyak kalangan di Timur Tengah.

No comments: