Friday, May 30, 2008

Pahami Islam secara Utuh
Jumat, 30 Mei 2008 | 01:03 WIB

Jakarta, Kompas - Islam yang dipahami seperti terjemahannya sendiri hanya akan melahirkan keislaman yang sempit. Sebagian umat Islam di Indonesia yang baru memahami Islam secara sebagian sudah berani mengklaim menguasai keseluruhan kebenaran Islam.

”Tidak heran kalau Islam yang harusnya tampil dengan wajah santun menjadi tidak ramah,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin Rembang KH Mustofa Bisri dalam haul 1.000 hari wafatnya Nurcholish Madjid atau Cak Nur di Jakarta, Rabu (28/5) malam.

Acara ini juga ditandai dengan peluncuran Nurcholish Madjid Society. Acara ini juga dihadiri sejumlah tokoh nasional, seper- ti Taufik Kiemas, Akbar Tandjung, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh.

”Semoga Allah memberikan pencerahan karena mereka belum memahami dan belajar tentang Islam secara utuh,” ujar Mustofa yang akrab dipanggil Gus Mus.

Sebelumnya, tokoh muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi, mengatakan, keindonesiaan saat ini memang membutuhkan toleransi. Tanpa penerapan toleransi, kedamaian di Indonesia sulit diwujudkan. ”Inilah salah satu ajaran yang diwariskan Cak Nur untuk bangsa ini,” ujarnya.

Sementara Romo Beni Susetyo mengatakan, Cak Nur selalu mengajarkan tentang koreksi yang perlu dilakukan bangsa ini. Namun, dalam melakukan koreksi itu, agama harus memberi kepada warga dan menjadi inspirasi bagi bangsa dalam membangun negeri yang berdaulat. (MAM)

Saturday, May 17, 2008

Mengenang Pemikiran Cak Nur

AHLUWALIA

Prof Nurcholish Madjid
(iPhA/Abdul Rauf)
INILAH.COM – Kenangan dan keharuan tentang Prof Nurcholish Madjid kembali digelar oleh masyarakat dan komunitas Paramadina. Kali ini dalam acara seribu hari wafatnya sang guru bangsa itu di Jakarta, Senin (17/3) malam.

Para inteligensia Muslim dari kalangan senior maupun yang muda, hadir untuk mendoakan almarhum Cak Nur dan meneguhkan komitmen mereka untuk meneruskan perjuangan cendekiawan Muslim itu dalam mewujudkan Islam dan keindonesiaan yang sejati.

Duduk lesehan di antara yang hadir tampak pendiri Yayasan Paramadina Utomo Dananjaya dan istri Cak Nur, Omi Komaria Madjid. Juga tampak gurubesar UIN Jakarta Prof Kautsar Azhari, Dr Zainun Kamal, Dr Agus Abubakar, M Syafii Anwar PhD. Tampak juga intelektual muda Yudi Latif PhD, Dr Asep Ilyas Ismail, M Wahjuni Nafis, Anis Baswedan PhD, kalangan Tionghoa dan kaum muda.

Nurchlish Madjid sangat dikenal dengan gagasan dan pergulatannya dalam ranah HAM, demokrasi, kebhinekaan (pluralisme), dan Islam yang modern, maju, dan toleran. Kecemasan dan keprihatinannya akan kekerasan atas nama agama, juga mengemuka.

Meskipun di Indonesia sering terjadi kekerasan berjubah agama yang dilakukan sejumlah kelompok, tetapi umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas cukup gencar mengembangkan demokrasi, perdamaian, toleransi, kebebasan beragama, dan penegakan hak asasi manusia (HAM).

Cak Nur juga sering mengingatkan tentang kebangkitan agama-agama di dunia pada era pasca-agama (post-religion) yang menimbulkan ironi menguatnya fundamentalisme. Kebangkitan semangat ideologis itu melahirkan eksklusivitas dalam beragama yang tercermin dalam tindakan militan, keras, dan cenderung tidak toleran dengan kelompok lain.

Dalam kasus radikalisme agama (Islam) di Indonesia, Sydney Jones dari International Crisis Group, pernah menyebutnya sebagai recycling militansdi Indonesia, yang merupakan daur ulang militansi gerakan Darul Islam di Indonesia, yang dalam banyak hal menginspirasikan radikalisme dan fundamentalisme Islam ideologis itu sendiri.

Dalam perkembangan akhir-akhir ini, masyarakat dan kaum muda sering menyesalkan bahwa ada dua kekuatan fundamentalisme itu telah menciptakan situasi dilematis bagi bangsa ini.

Kedua hal itu adalah fundamentalisme kelompok sektarian yang cenderung merampas hak-hak privat dari kehidupan sosial; dan fundamentalisme pasar yang cenderung mengabaikan hak-hak publik di bidang ekonomi dengan melemparkan perkara publik menyangkut hidup mati rakyat menjadi urusan privat individual.

Yang satu menekankan komunalisasi dan menepikan subyek, yang lain menekankan individualisasi dan mengabaikan kesosialan. Kedua fundamentalisme ini tidaklah cocok (compatible) bagi kita di Indonesia, dan merupakan tantangan yang harus dipecahkan bersama oleh segenap elemen bangsa.

Para aktivis dan komunitas Paramadina umumnya mengenang Nurcholish Madjid sebagai salah seorang tokoh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia serta mencari relevansinya dengan situasi kekinian. Dalam hal ini, seperti kata Cak Nur, perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia merupakan respons atas kondisi global.

Pengembangan wacana Islam kontemporer yang inklusif tidak hanya dilakukan kalangan intelektual, akademisi, atau ulama, tetapi juga oleh lembaga keagamaan dan pendidikan seperti pesantren.

Secara historis, umat Islam Indonesia memang terbuka dengan nilai luar. Islam datang memperkaya budaya lokal Nusantara dan tradisi Nusantara memperkaya peradaban Islam. Kondisi seperti ini juga melahirkan wajah Islam Indonesia yang sangat beragam sesuai dengan konfigurasi masyarakat Indonesia yang plural. [P1]

Thursday, May 15, 2008

Wawancara Tokoh: Islam, Demokrasi, dan Liberalisme

Source: http://www.psik-demokrasi.org/home.php?page=fullnews&action=view&id=76

Dalam sejarah pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, Nurcholish Madjid dianggap sebagai seorang yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan wacana Islam politik, termasuk wacana soal keksuaian Islam dan demokrasi. Dalam perjalanannya, isu ini tidak pernah menunjukkan kesurutannya, terus mengalami progress atau modernisasi pemikiran karena terus dikembangkan oleh para perawisnya di kalangan anak-anak muda. Kemajuan ini pun tidak lepas dari isu-isu militansi yang mengawalnya, seperti wacana khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Dalam rangka 1000 hari wafat Cak Nur, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina melakukan wawancara dengan Luthfi Assyaukanie, Koordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta seputar masalah ini. Wawancara dilakukan oleh Lukman Hakim dan Deni Agusta di kantor Freedom Institute, di Jakarta pada Jumat, 25 Januari 2008. Berikut petikan wawancaranya.

Perdebatan soal partai politik Islam hingga kini tidak pernah selesai. Dan Cak Nur menganggap bahwa isu itu akan terus berkembang hingga kini. Pertama, Islam merupakan agama konsepsi soal moral. Oleh umatnya dengan demikian seluruh nilai-nilainya itu relevan dijadikan pedoman hidup. Makanya ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa Islam juga masih tetap relevan dengan apapun, termasuk politik. Dan Mas Luthfi sendiri melihatnya bagaimana?

Isu Islam dan politik tampaknya memang tidak akan pernah selesai dalam waktu dekat. Wacananya terus bekembang, yang pro-kontra hingga kini, menurut saya, sama kuatanya. Di Indonesia sendiri isu-isu politik dibarengi dengan isu-isu militansi.

Saya kira Cak Nur sendiri memiliki kontribusi yang cukup dalam pengembangan wacana politik Islam. Kalau boleh saya singkat, perkembangan itu sebenarnya menuju kepada kemajuan, menuju pada progres pemikiran atau apa yang saya sebut sebagai moderasi pemikiran, meskipun di sana-sini terdapat kelompok radikal yang bermunculan. Akan tetapi kalau kita berbicara tentang wacana pemikiran politik Islam secara umum boleh saya katakan terjadi moderasi dan terjadi pencairan yang luar biasa dalam melihat konsep pemikiran politik Islam.

Akhir-akhir ini sering muncul tema khilafah. Dan menurut mas Luthfi sendiri apa sesungguhnya yang melatarbelakangi ini?

Ignorance. Ignorance itu bagian dari aktivisme—apa yang disebut sebagai harakah Islamiyah yang muncul sejak tahun 70-an. Tapi ini diakomodir oleh situasi politik kita yang lebih demokratis dan lebih bebas sejak satu dasawarsa terakhir ini. Munculnya gerakan HTI yang mendukung gagasan utopianisme Islam itu disebabkan karena ada ruang bagi mereka untuk menuangkan gagasan tersebut. Tapi menurut saya itu adalah kemunduran. Pertama, tidak memiliki akar sejarah di dalam konteks pemikiran politik Indonesia.

Sekalipun Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar, namun cukup rasional dalam merespon isu gerakan khilafah yang muncul sejak tahun 1925-1926. Beberapa perangkat formal dan informal dibangun untuk mendukung gerakan penghidupan kembali khilafah. Di Mesir dan India gerakan khilafah ini ada. Di Yordania itu belakangan. Di tahun 1925-26 itu ketika terjadi khalifah movement, sesungguhnya pada dirinya sendiri sebenarnya tidak ada. Ada undangan konferensi khilafah misalnya yang dihadiri oleh Tjokroaminoto dan juga Hamka Karim Amrullah. Pada waktu itu konferensi tidak berhasil memutuskan siapa yang menjadi khalifah.

Yang harus dicatat di sini adalah bahwa delegasi Indonesia datang ke Mekkah dan Jeddah itu bukan untuk mendukung (gagasan) khilafah. Akan tetapi sedang mencari dukungan untuk kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, hal ini sangat bertentangan dengan misi konferensi itu sendiri. Poin saya adalah khilafah tidak pernah menjadi isu (khususnya di Indonesia). Bahkan para pendiri negeri ini sadar betul bahwa khilafah sesuatu yang tidak bisa lagi dipertahankan. Oleh karena itu orang-orang yang mendukung gerakan khilafah itu sebetulnya ignorant (tidak mengerti apa-apa), terbelakang sekali dalam mengikuti sejarah pemikiran Islam.

Atau mungkin kelompok-kelompok itu ingin mencari jalan pintas dari situasi yang tidak menguntungkan umat Islam. Bagi mereka, khilafah adalah jalan keluar?

Ya. Penjelasan yang masuk akal mungkin itu. Kelompok-kelompok Islam yang selalu meneriakkan Islam adalah solusi, pada dasarnya mereka melihat ketimpangan, ketidakadilan dalam kehidupan sosial-politik kita. Mereka kemudian mencoba mencari alternatif. Dan salah satu dari alternatif itu adalah kembali pada khilafah. Akan tetapi mereka tidak mengerti apa itu khilafah? Dinamika khilafah? Dan lainnya.

Di Turki kelompok yang mendukung semangat khilafah itu adalah kaum liberal yang mengerti penuh bahwa khilafatisme itu sepenuhnya adalah sekuler. Akan tetapi kelompok-kelompok seperti Fathulah Ghulan, kelompok-kelompok yang didukung oleh AKP dan lainnya, kelompok yang bukan nasionalisme Turki dan juga bukan Islamisme, mereka membayangkan kebangkitan peradaban Turki. Dan pengertian kebangkitan peradaban Turki Utsmani yang sepenuhnya bersifat sekular.

Saya yakin betul orang-orang HTI itu tidak mengerti sejarah khilafah. Khilafah itu melewati masa-masa keemasanya itu justru ketika mereka menjaga jarak dengan agama. Begitu mereka mencampuradukannya dengan agama, mereka runtuh. Dan itulah yang terjadi pada masa Abdul Hamid (Turki). Saya kira problem yang cukup pelik di dalam khilafah ini tidak diketahui oleh para aktivis Islam.

Cak Nur melihat bahwa Islam memiliki semangat untuk berdemokrasi yang cukup baik. Akan tetapi beberapa kalangan menilai, orientalis khususnya, melihat bahwa Islam itu tidak akan sangup berdemokrasi. Salah satu contoh adalah negara-negara yang terdapat di Timur Tengah, kulturnya memang tidak cocok untuk demokrasi. Menurut Mas Luthfi sendiri adakah nilai-nilai keIslaman yang bisa diadopsi ke dalam nilai-nilai demokrasi khususnya di Indonesia?

Islam itu bukan sesuatu yang baku. Islam tidak memiliki esensi yang bisa didefinisikan dalam arti tertentu. Islam selalu berkembang dan dinamis. Kalau ada orang yang mengatakan Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, maka dia sesungguhnya sudah men-singel out pemahaman Islam tertentu. Misalnya Islam yang puritan, literal, Islam yang tidak mau berubah dan lainnya. Tetapi kalau Islam itu sudah didefinisikan sedemikian rupa maka dengan mudah dia akan kompatible dengan demokrasi.

Ketika Cak Nur berbicara tentang kompatibalitas Islam dan Demokrasi, yang dia maksudkan sesunguhnya adalah Islam yang sudah ditafsirkan sedemikian rupa agar sesuai dengan demokrasi.

Sekularisasi mungkin menjadi prasarat untuk menuju demokrasi. Dalam pengalaman Islam sendiri apakah memang perlu melakukan sekularisasi? Karena dalam beberapa hal juga istilah sekularisasi itu sendiri tidak sesuai dengan Islam, bahkan pengalaman Barat dan Islam dalam konteks realitas hubungan politik vis a vis agama, jelas berbeda.

Saya kira solusinya jangan menggunakan istilah. Nilai-nilai sekularisme itu sendiri sebetulnya sudah ada sebelum dunia modern itu muncul. Artinya dia pernah ada di Yunani, India dan lainnya. Istilah sekularisme atau sekularisasi itu bukan penemuan baru, dan sebetulnya praktek-praktek semacam itu sesungguhnya sudah ada.

Kalau kita mau mencoba mengaitkan sekularisasi dengan Islam saya kira yang harus ditekankan itu adalah semangatnya bukan pada persoalan apakah Islam harus menerapkan sekularisme atau meninggalkannya. Intinya adalah bahwa kita harus memisahkan ortoritas politik dengan otoritas negara. Selanjutnya anda mau menamakan sekularisasi, demokratisasi dan apapun itu sesunguhnya tidak masalah. Menurut saya, itu maunya Cak Nur. Akan tetapi sebuah konsep harus diberi nama. Dan yang kita bicarakan barusan namanya dalam wacana politik modern adalah sekularisasi.

Menurut Mas Luthfi kira-kira bagaimana prospek demokrasi di Indonesia ke depan?

Saya kira akan berkembang terus, tidak ada alasan untuk mundur, dan tidak ada poin untuk kembali lagi ke masa-masa otoriter atau ke masa-masa ideologi politik Islam pada tahun 50-an. Karena hal itu terbukti gagal dan tidak bisa lagi untuk diterima oleh umat Muslim. Jadi Demokrasi ke depan adalah satu-satunya alernatif yang lebih baik.

Tapi begini mas, kalau kita melihat pernyataan Jusuf Kalla pasca Rapimnas Golkar tempo hari cukup mengejutkan sekali. Dia mengatakan bahwa demokrasi itu belum sanggup mengantarkan masyarakat menjadi yang lebih makmur. Selain itu, dalam beberapa Pilkada terjadi kerusuhan dan konflik, itu semuanya disebabkan oleh demokrasi. Dan ini membuat tokoh-tokoh bangsa mengatakan bahwa demokrasi itu direvisi saja. Kira-kira dari rasa pesimisme itu adakah upaya-upaya ingin kembali kepada sistem otoriter?

Ada yang salah dengan praktek demokrasi. Mungkin masyarakat kita ini belum siap dengan praktek demokrasi itu sendiri. Tapi itu bukan berarti bahwa kita menolak konsep demokrasi. Akan tetapi pada dasarnya cara kita menerapkan demokrasi itu harus diperbaiki, dan ketika kita menjalan perangkat demokrasi juga harus benar. Dan saya kira kritik Jusuf Kalla lebih pada aspek itu. Bukan pada aspek apakah demokrasi itu baik atau buruk.

Bisa diceritakan kembali soal tesis Mas Lutfi yang mengatakan bahwa Islam politik di Indonesia itu telah mengalami pergeseran dari negara demokrasi Islam ke negara demokrasi agama hingga pada akhirnya negara demokrasi liberal seperti sekarang ini.

Secara umum para akademisi di Indonesia melihat Islam di Indonesia itu ada tiga kategori; pertama, abangan. Kedua, santri. Dan ketiga, priyai. Kalau kita melihat pergolakan dan perkembangan yang luar biasa pada pemikiran politik komunitas santri. Ini terjadi dalam beberapa aspek baik pengembangan argumen, cara merespon isu-isu politik dan lain sebagainya. Nah itulah yang saya lihat pada 5 dekade belakangan ini terjadi perkembangan yang sangat luar biasa dalam komunitas santri. Oleh Hefner dikatakan bahwa telah terjadi perkembangan dari abangan menjadi santri, atau dari santri menjadi abangan.

Akan tetapi saya melihat persoalannya bukan abangan menjadi santri dan santri menjadi abangan, tetapi dalam komunitas santri itu telah terjadi perkembangan yang luar biasa, baik karena interaksi, pendidikan, maupun medium-medium promosi lainnya. Dan karena itu ada perubahan sikap dalam melihat model kata pemerintahan di dalam ilmu politik di dalam masyarakat Islam. (Pergeseran itu terjadi) misalnya kalau kita lihat pada awal-awal pemerintahan hampir tidak ada tokoh santri muslim yang menolak gagasan negara Islam. Mungkin ada satu, dua. Akan tetapi dia tidak ingin mengasosiasikan dirinya dengan masyarakat santri.

Artinya apa? Paradigma politik santri pada awal-awal kemerdekaan sepenuhnya mendukung gagasan negara Islam. Ini dibuktikan dengan besarnya jumlah dukungan pada partai politik Islam yang mendukung konsep negara Islam. Masyumi, NU, PSII dan semua kaum muslim yang berafiliasi pada santri saat itu mendukung gagasan negara Islam. Mereka sebetulnya menerima demokrasi tetapi demokrasi yang harus diberikan atribut demokrasi Islam. Istilah itu sendiri diperkenalkan oleh Natsir, dan didukung oleh tokoh-tokoh Masyumi. Dan hingga tahun 60-an boleh dibilang paradigma politik umat Islam adalah paradigma negara demokrasi Islam.

Ini mengalami pergeseran setelah transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, khususnya pada generasi muda Muslim seperti Cak Nur, Mas Dawam, dan lain-lain. Mereka mengkritik paradigma politik Islam lama. (Kritik itu) sebetulnya sudah dimulai oleh pak Munawir Sadjali. Pada tahun 50-an dia menulis risalah kecil yang menolak negara Islam.

Baru setelah masuk tahun 70-an, waktu terjadi transisi politik, generasi santri secara terbuka mengkritik konsep-konsep pemikiran politik Islam. Sebagian besar mencoba mencari alternatif dan mengajukan model negara demokrasi yang agamis, demokrasi yang plural. Plural dalam pengertian bahwa agama harus berperan dalam negara. Itu menjadi paradigma umum pada waktu itu. Dan kebetulan Soeharto yang berkuasa itu juga mempergunakan dan merasa bahwa agama dapat dipergunakan untuk politik.

Sejak awal saya kira sikap Soeharto seperti itu. Hal itu terlihat ketika ia menerbitkan kebijakan fusi partai-partai politik. Sejak zaman Pak Harto, agama diatur oleh negara. Akan tetapi bukan dalam pengertian agama dikeluarkan dari negara, tetapi agama memainkan peran penting di dalam kebijakan negara. Departemen Agama diperkuat, MUI didirikan di tahun 1975, diciptakan peradilan agama, dan lainnya. Itu merupakan bagian dari gagasan yang saya sebut dengan model negara demokrasi agama. Mereka masih tetap menerima demokrasi; demokrasi yang basisnya agama. Tentu saja dari perspektif teori demokrasi ini bukan sebuah demokrasi yang sejati.

Demokrasi tidak akan pernah berjalan kecuali di atas platform negara sekuler: negara yang betul-betul memisahkan urusan agama dengan negara. Dan itu muncul setelah tahun 80-an, Cak Nur, Gus Dur mulai mengkritisi negara yang terlalu ikut campur dalam urusan agama. Secara umum mereka mulai bisa menerima model negara demokrasi Islam liberal. Mereka bahkan tidak menyebutnya itu sebagai demokrasi Islam, tapi Liberal Democrasi. (Buat mereka) itu sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Nilai-nilai keIslaman justru bisa diterapkan dan bisa diakomodir dalam negara seperti ini. Mungkin itu saya kira latar belakangnya seperti itu. Dan (selanjutnya) generasi di bawah Cak Nur, saya kira tidak ada (lagi) keraguan sama sekali untuk menerima demokrasi liberal.

Kalau anda baca tulisan-tulisan orang Islam baik Natsir, Syafruddin, Roem, dan beberapa tokoh Masyumi pada awal kemerdekaan itu hampir tidak ada yang menulis demokrasi liberal. Mereka selalu ragu menerima demokrasi liberal. Bagi mereka kalau mau menerima demokrasi harus ada label Islamnya. Pada masa Orde Baru mereka mulai bisa memisahkan Islam. Akan tetapi tidak bisa memisahkan agama. Orang seperti Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo, dan beberapa tokoh muslim di pemerintahan masih menganggap agama itu penting. Baru pada masa Cak Nur, dan juga Gus Dur menganggap bahwa agama tidak perlu lagi ikut campur dalam urusan negara. Meskipun dalam pemikiran Cak Nur awal-awal masih tidak jelas. Buku Indonesia Kita itu (menunjukkan) sangat jelas sekali sikap Cak Nur bahwa urusan negara harus dipisahkan dengan agama.

Demokrasi berangkat dari pemikiran yang liberal, benarkah seperti itu? Kita melihat makna liberalisme Islam itu menjadi bermakna pejoratif di kalangan sebagian umat. Apalagi menyangkut isu-isu soal liberalisme Islam. Dan mas Luthfi sendiri melihatnya seperti apa?

Sesuatu yang pejoratif belum tentu salah, dan sesuatu yang kontroversial belum tentu keliru. Masalahnya adalah masyarakat kita itu yang belum bisa menerima. Sama seperti orang-orang Masyumi dan kaum santri pada tahun 50-an belum bisa menerima demokrasi, dan tidak bisa menolak konsep negara Islam. Sekarang ini hampir tidak ada orang yang mau menerima negara Islam. Artinya berbalik 180 derajat. Kalau sekarang mereka menolak demokrasi liberal, demokrasi yang sejati, liberal (yang saya maksud) bukan dalam arti ideologis. Demokrasi liberal adalah demokrasi yang konstitusional. Lebih tepat istilahnya adalah constitutional democracy. Dalam arti seperti itu saya kira lambat laun akan diterima oleh masyarakat. Karena itu merupakan tawaran yang paling ideal, dan bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat.

Kalau saya berbicara soal liberal democracy itu maksudnya demokrasi yang konstitusional, demokrasi yang bisa mengakodomir semua masyarakat. Demokrasi yang menghargai kebebasan, pluralisme, kebebasan agama dan lainnya.

Akan tetapi kampanye soal itu di kalangan beberapa orang mungkin tidak bisa diterima. Lalu strategi apa yang bisa dilakukan? Karena bagaimanapun ketika dia sudah melihat maknanya yang pejoratif mereka buru-buru langsung menutup diri.

Kadang-kadang kita juga harus menghindari istilah. Masalahnya juga terkadang kita juga tidak mungkin menghindari dari penggunaan istilah. Istilah itu diciptakan untuk digunakan dalam konteks tertentu. Dalam kasus demokrasi misalnya kita tidak perlu menyebut bahwa kita mesti dan harus mengadopsi demokrasi liberal. Kita bilang saja demokrasi tidak usah menggunakan kata sifat.

Kalau dulu orang Islam menginginkan terbentuknya negara Islam dan kini mengalami pergeseran. Pasang surut seperti ini memiliki relasi kuasa; apakah relasi pengetahuan, rezim tertentu, dan lainnya. Mungkin dulu itu cita-cita terbentuknya negara Islam lebih pada semangat ketika aspirasi umat Islam berhadapan langsung dengan negara. Dan Islam politik juga selalu mengalami proses marjinalisasi oleh kekuasaan yang dibangun oleh orde baru. Lalu bagaimana mas Luthfi melihat hal itu?

Saya kira tidak ada yang keliru antara relasi kuasa dengan pengetahuan atau dengan sebuah konsep selama yang kita tuju adalah sesuatu yang positif. Misalnya kalau kita merasa bahwa kalau demokrasi itu benar atau lebih baik diterapkan dalam negara Islam atau negara teokrasi. Kita bisa menggunakan kekuasaan untuk itu. Kita bisa menggunakan network atau jaringan pengetahuan.

Apa yang dilakukan oleh Cak Nur dan para intelektual muslim, yang mana waktu dulu mereka menganggapnya sebagai berkolaborasi dengan rezim. Saya kira yang membedakan generasi Cak Nur dengan kita adalah kalau dulu Cak Nur membicarakan apa saja enak, tidak ada beban, karena Soeharto dengan tangan besinya akan melindungi mereka. Sementara kita berhadapan dengan elemen masyarkat yang sangat sulit (menerima), sangat bebas sekali, dan negara tidak ikut campur. Maksud saya adalah bahwa saat itu Cak Nur diuntungkan oleh keadaan sehingga dengan mulus dia bisa mengkampanyekan ide-idenya. Dan kita sekarang ini harus berkontestasi, harus mengasah terus argumen bahwa argumen yang kita kemukakan itu valid.

(Tapi) tidak serta merta bahwa Cak Nur, Gus Dur dan para intelektual muslim pada waktu berkolaborasi dengan kekuasaan, bukan untuk kekuasaan. Karena kebetulaan agenda mereka sama: Agenda Cak Nur ingin merubah mindset kaum muslim, dan agenda negara juga kurang lebih untuk hal yang sama seperti itu.

Dan ini Perancis sekali dengan gerakan pembaharuan sekarang: yang mana teman-teman JIL dan lainya sering dituduh berkolaborasi dengan Barat. Saya bilang ya kita memiliki kesamaan dan kemiripan dengan Barat. Karena agenda yang kita jalankan adalah sama dengan agenda yang dijalankan oleh negara-negara Barat. Seperti demokrasi, plurlisme, hak asasi manusia, gender. Kebebasan beragama dan lain sebagainya. Kita menganggap hal itu baik. Dan kita mencoba menerapkan hal demikian di sini. Dan ini percis sekali dengan apa yang pernah dilakukan Cak Nur dalam konteks hubunganya dengan orde baru saat itu.

Nah itulah yang saya bilang relasi kuasa dengan sebuah konsep tidak serta merta dipahami dengn sesuatu yang negatif. Kalau itu diperlukan sebanarnya tidak apa-apa.

Saya pernah membaca pendapatnya Amartya Sen ketika ingin menerapkan demokrasi, paling tidak ada tiga prasyarat yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Pertama, masyarakat itu terdidik. Secara kultural mereka yang terdidik dapat mengapresiasi pengetahuan. Yang kedua, sistem ekonoimi negara bisa berjalan. Dan ketiga, bahwa secara kultural masyarakat bisa menerima perbedaan yang ada.

Mungkin salah satu gagasan yang dibangun oleh JIL mungkin strateginya kurang tepat. Bagaimana pun juga at-thariqah ahammu min al-maddah. Bagaimana mas Luthfi melihat pembacaaan-pembacaan seperti itu?

Kadang-kadang demokrasi itu berjalan di luar teori yang dibuat manusia. Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di India. India itu adalah negara demokrasi terbesar di dunia, lebih besar dari Amerika. Proses demokratisasinya berjalan dengan baik dan dari tahun ke tahun demokrasinya selalu stabil. Tapi rakyatnya masih bodoh, terbelakang, dan kemiskinan di mana-mana.

Tetapi kalau ada yang mengatakan bahwa demokrasi harus sejahtera terlebih dahulu hal itu tidak terjadi pada India. Jadi kalau kita mau mengampanyekan demokrasi tidak usah menunggu harus pintar dulu dan lain sebagainya. Dan salah satu cara mengajak masyarakat pintar itu adalah dengan melatih pikiran mereka. Saya melihat gerakan pembaharuan secara umum, tidak hanya JIL, tujuannya adalah itu. Itulah yang sejak awal oleh Cak Nur disebut dengan shock terapi. Dan shock therapy itu penting untuk dilakukan terus menerus agar masyarakat berpikir.

Ada satu istilah yang cukup bagus “complacency”, yaitu sebuah keadaan masyarakat yang sudah lama dininabobokan, sudah lama berada dalam satu paradigma yang merasa benar sendiri. Complasesi itu adalah sebuah kondisi yang tidak sehat, artinya berabad-abad umat Islam itu berada dalam komplasensi. Sehingga harus ada shock terapi yang dapat mengejutkan mereka. Dan itu sesungguhnya inti dari pemikiran Cak Nur, melakukan shock therapy pada umat Islam. Dan kita tahu makalah awal-awal Cak Nur yang dibagikan secara terbatas ‘Antara Memajukan Mencerahkan Umat Islam dan Disintegrasi’. Disintegrasi dalam artian bahwa umat Islam sekarang ini tidak bersatu. Apakah anda mau umat Islam terus-menerus terbelakang akan tetapi bersatu, atau ingin mengubah cara mereka tetapi berpecah sedikit? Cak Nur dalam hal ini memilih disintegrasi, jelas sekali sikap Cak Nur sejak awal. Saya tidak mau umat Islam bersatu terus tapi juga bodoh terus. Maka harus kita lakukan terobosan-terobosan. Jadi Cak Nur lebih memilih jalan yang pahit. Dan saya kira seluruh gerakan pembaharuan Islam itu arahnya ke sana. Kita tidak usah menunggu situasi baik dulu, dan menunggu orang pintar dulu, dan lain sebagainya. Lakukan saja apa yang bisa kita lakukan.

Sikap Negara terhadap Aliran Sesat

(Attitude of State toward Deviant Sects)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Koran Tempo, 22 December 2007

Perilaku negara dan tokoh agama dalam menyikapi aliran dan kelompok agama yang dianggap sesat akhir-akhir ini memunculkan persoalan serius menyangkut kebebasan dan hak-hak individu di negeri kita. Setiap kali ada kelompok agama atau keyakinan baru yang muncul, reaksi yang diperlihatkan para tokoh Islam dan kaum Muslim secara umum tampak sangat berlebihan. Jika bukan dihakimi langsung, kaum Muslim ramai-ramai menuntut polisi dan aparat pemerintah untuk memberangusnya; seringkali dengan cara yang merendahkan dan mempermalukan martabat seseorang.

Setelah kasus al-Qiyadah al-Islamiyah yang masih segar dalam ingatan kita, kini muncul lagi kasus penyerangan terhadap anggota Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat. Ini adalah peristiwa yang kesekian lusin kalinya Ahmadiyah mengalami kekerasan dan permusuhan dari umat Islam. Dengan pemberitaan yang tak adil, media massa kita juga cenderung memihak agama status-quo, sambil ikut-ikutan mencap “sesat” kelompok minoritas itu.

Kelompok agama atau keyakinan bukanlah sekumpulan preman atau gerakan makar yang harus ditumpas. Mereka memiliki kebebasan dan hak beragama dan berkeyakinan yang dilindungi undang-undang. Secara jelas konstitusi kita menegaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29). Aturan atau fatwa apa saja yang menegasikan semangat konstitusi yang begitu agung ini sudah semestinya ditinjau ulang.

Salah satu alasan yang kerap dikemukakan para pemeluk agama mayoritas (dalam Islam misalnya), kelompok-kelompok agama/keyakinan baru dianggap “meresahkan masyarakat” dan karenanya harus ditindak secara hukum. Kepolisian biasanya dipanggil untuk menangkap kelompok-kelompok itu atas alasan yang sangat problematis ini.

Mengapa problematis? Istilah “meresahkan masyarakat” tentu bukan milik kelompok agama saja, dan bukan hanya milik agama/keyakinan minoritas saja. Siapa saja bisa meresahkan masyarakat, dengan cara yang berbeda-beda. Para tokoh agama mayoritas paling sering melakukan tindakan “meresahkan masyarakat.” MUI berkali-kali meresahkan masyarakat dengan fatwa-fatwa mereka (fatwa menghadiri perayaan natal, misalnya).

Para polisi dan aparat keamanan sudah semestinya memikirkan ulang cara mereka menghadapi isu-isu keagamaan. Semestinya mereka bukan memberikan perlindungan kepada kelompok mayoritas, tapi sebaliknya, kepada kelompok minoritas. Kelompok-kelompok minoritaslah yang paling berpotensi ditekan dan diabaikan hak-hak dasarnya.

Agama dan keyakinan adalah hak asasi yang dilindungi oleh undang-undang. Tugas polisi melindungi kelompok-kelompok minoritas dari tekanan orang atau lembaga yang mencoba mengancam atau menghancurkannya. Polisi dan aparat negara tidak semestinya terpengaruh, dan apalagi tunduk, kepada kelompok mayoritas untuk memberangus kelompok minoritas. Penegak hukum bekerja bukan atas dasar jumlah manusia, tapi atas dasar kebenaran.

“Sesat” adalah istilah dan katagori teologi yang diwariskan dari abad pertengahan. Polisi tidak memiliki wewenang untuk menangkap seseorang atas dasar pilihan keimanan atau keyakinan. Jika seseorang dianggap “sesat” oleh kelompok mayoritas, polisi wajib turun tangan, bukan untuk membela mayoritas, tapi untuk melindungi keyakinan minoritas yang hak-hak beragamanya ditindas.

Polisi hanya bisa ikut-campur jika sebuah kelompok terbukti melakukan perbuatan kriminal. Polisi boleh menahan pemimpin atau pengikut kelompok itu semata-mata karena alasan kejahatan—dan bukan karena alasan “sesat.” Polisi memiliki wewenang untuk memeriksa para petinggi al-Qiyadah al-Islamiyah, jika mereka dicurigai terlibat penipuan atau kekerasan, tapi bukan karena mereka memiliki keyakinan dan pemahaman agama tertentu.

Dari sudut pandang negara, tidak ada aliran yang sesat. Berdasarkan UUD 45, semua agama dan kepercayaan mendapat perlindungan. Sesat adalah katagori teologi dan bukan katagori hukum. Sanksi teologi adalah di akhirat dan bukan di dunia. Negara kita bukanlah negara agama, dan bukan pula negara yang mengadopsi praktik-praktik biadab di zaman kegelapan yang membunuh atau memenjarakan manusia semata-mata karena dianggap kafir, zindik, atau sesat.

Indonesia adalah negara netral agama, dan bukan negara yang memihak kepada satu agama tertentu. Otoritas tertinggi di negeri ini adalah UUD 45 yang menjadi konstitusi kita, bukannya fatwa MUI atau pendapat para tokoh agama.

Sudah teramat sering peringatan dari ahli-ahli sejarah bahwa konflik-konflik komunal dimulai dari ikut-campurnya agama ke wilayah politik dan pemerintahan. Setiap ada berita tentang penangkapan seseorang atau kelompok agama karena alasan “aliran sesat,” negeri ini sebenarnya sedang menyemai bibit-bibit permusuhan. Semakin sering kita mendengar berita semacam ini, semakin banyak bibit-bibit itu ditebarkan.

Satu-satunya cara untuk mengatasi potensi konflik itu adalah mengubah sikap kita yang keliru selama ini dalam melihat isu-isu kebebasan beragama. Para petinggi agama dan aparat negara harus kembali lagi kepada konstitusi negeri ini, bahwa agama dan keyakinan adalah hak manusia yang paling asasi. Melarang atau menghalangi seseorang untuk menjalankan agama atau keyakinannya adalah pelanggaran HAM yang dikutuk oleh semua bangsa.

Luthfi Assyaukanie. Kordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta.

Demokrasi dan Puritanisme

(Democracy and Puritanism)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Jawa Pos, 26 April 2004

Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Democracy in America, Alexis de Tocqueville melontarkan pernyataan yang menggelitik: “Puritanisme bukanlah semata-mata doktrin keagamaan, tapi dalam banyak hal ia terkait erat dengan teori-teori demokrasi dan republik.”

Yang dimaksud puritanisme adalah sikap dan keinginan untuk selalu menghadirkan dan mempraktikkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama ke dalam kehidupan sehari-hari. Tocqueville berpendapat bahwa demokrasi Amerika yang tumbuh pada awal abad ke-17 disemai oleh gerakan-gerakan puritanisme Protestan yang datang dari Eropa, khususnya Inggris.

Kaum Puritan Amerika abad ke-17 menyebut diri mereka sebagai kaum muhajirin (pilgrims) yang datang dari negeri tertindas Inggris. Di Inggris, mereka adalah sekte-sekte kecil yang tidak diakui oleh Gereja Anglikan, agama penguasa. Mereka disebut Puritan karena menjalankan ajaran-ajaran Kristen yang ketat dan berusaha mempraktikkannya ke dalam lingkup sosial-politik yang lebih luas. Tak tahan dengan tekanan Gereja penguasa, mereka hijrah ke Dunia Baru Amerika. Di Dunia Baru ini, mereka mencari sebuah suasana “di mana mereka dapat hidup sesuai dengan keyakinan mereka dan dapat menyembah Tuhan dalam kebebasan.”

Sejarah demokrasi di Amerika adalah sejarah perjuangan kaum agama untuk dapat layak hidup dengan iman dan keyakinan. Kebebasan agama tak bisa hidup di sebuah negara agama seperti Inggris abad ke-17, di mana hanya agama kerajaan (Gereja Anglikan) yang diakui sebagai agama yang sah. Di Amerika, para kaum Puritan itu bebas mengekspresikan ajaran-ajaran agama mereka.

Pada awalnya, kaum “muhajirin” asal Inggris itu membangun tatanan sosial-politik berbasiskan keimanan yang mereka bawa. Jangan heran kalau banyak pasal-pasal dari undang-undang, aturan hukum dan sosial, pada saat itu diambil langsung dari Alkitab. Bahkan, menurut Tocqueville, banyak aturan-aturan hukum itu dikopi secara apa adanya (verbatim) dari Kitab Exodus, Leviticus, dan Deuteronomy: pembunuh dihukum mati, pemerkosa dirajam, dan pencuri dicambuk.

Membaca sejarah demokrasi di Amerika lewat Tocqueville, saya langsung teringat dengan sejarah awal-awal kaum muhajirin Islam di Madinah 15 abad silam. Mereka juga berusaha menjalankan hukum-hukum Tuhan yang diambil langsung dari Alquran: pembunuh dibunuh, pemerkosa dirajam, dan pencuri dipotong tangannya.

Tapi, demokrasi di Amerika tidak berhenti sampai di situ. Hukum adalah refleksi dari masyarakat dan harus mencerminkan dinamika masyarakat. Tanpa itu, hukum tak akan berjalan efektif. Maka, sepanjang sejarahnya, generasi penerus kaum Puritan itu berusaha merevisi dan menyesuaikan aturan-aturan sosial, ekonomi, dan politik, berdasarkan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Demokrasi di Amerika kemudian menjadi sesuatu yang sangat menarik dan menjadi model yang diimpikan oleh banyak orang.

Saya kira, kaum Muslim sebaiknya belajar dari sejarah demokrasi di Amerika. Jika mereka benar-benar menginginkan demokrasi, mereka harus mampu melampaui fase “hijrah” yang pernah dijalani oleh Nabi Muhammad abad ke-6 dan kaum Puritan Amerika abad ke-17. Mengharapkan demokrasi sambil membayangkan kembali ke masa “hijrah” atau menjadi “muhajirin” adalah sebuah kemunduran. Sejarah melaju cepat ke depan, bukan ke belakang.

Islam Liberal untuk Demokrasi Liberal

(Liberal Islam for Liberal Democracy)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Media Indonesia, 20 June 2006

Demokrasi telah menjadi konsep karet yang bisa ditarik ke sana ke mari. Setiap orang bisa berbicara tentang demokrasi menurut perspektifnya masing-masing. Inilah yang tergambar dari dua tulisan, Saiful Mujani dan Ismail Yusanto dalam koran ini beberapa hari lalu (Media Indonesia, 12-14/06/06). Kedua penulis ini berbicara tentang demokrasi dari dua perspektif yang sama sekali berbeda.

Siapa saja memang bisa berbicara tentang demokrasi, dari mereka yang mendukung hingga yang anti. Para pengkritik demokrasi pun kerap memberi pemahaman dan formulasi baru terhadap konsep ini, sehingga memunculkan apa yang oleh David Held, seorang ilmuwan politik ternama, disebut “model-model demokrasi” (Held, Models of Democracy. Stanford: Stanford University Press, 1996).

Demokrasi sebagai sebuah konsep positif sebenarnya relatif baru. Di masa Yunani kuno, demokrasi merupakan konsep bet noire yang dibenci oleh kalangan ilmuwan dan elit terdidik. Bahkan pada era Pencerahan Eropa (abad ke-18), demokrasi masih merupakan istilah yang menjijikkan.

Namun, memasuki abad ke-20, setelah konsep negara-bangsa semakin matang, dan banyak negara-negara baru bermunculan, demokrasi perlahan-lahan mulai diterima. Setiap negara berlomba-lomba mengadopsi demokrasi sebagai sistem yang ideal. Bahkan negara yang jelas-jelas bersendikan otoritarianisme seperti Korea Utara, menyebut dirinya “Republik Rakyat Demokratik,” untuk menunjukkan bahwa negeri ini menganut paham demokrasi, meski kita tahu semua bahwa Korea Utara bukanlah negara yang demokratis.

Di Indonesia, Soekarno pernah mendeklarasikan “Demokrasi Terpimpin.” Sementara Muhammad Natsir dalam tulisan-tulisannya berbicara tentang “Demokrasi Islam.” Konsep-konsep demokrasi seperti ini, oleh David Collier dan Steven Levitsky disebut sebagai “demokrasi dengan kata sifat,” yang ujung-ujungnya hanya menekankan kata sifatnya, ketimbang demokrasinya (Collier and Levitsky, “Democracy with Adjectives: Conceptual Innovation in Comparative Research,” World Politics 49.3, 1997).

Kaum ideologis, baik Marxist, Leninist, Talibanist, Ikhwanist, maupun Tahririst, cenderung menggunakan “demokrasi” untuk kepentingan ideologi mereka. Pada dasarnya, mereka tidak menyukai atau bahkan anti terhadap demokrasi, karena demokrasi yang berarti “kedaulatan rakyat” tidak sejalan dengan landasan ideologi mereka. Kedaulatan berada di tangan Proletar (Marxist) atau di tangan Allah (Talibanist, Ikhwanist, dan Tahririst).

Demokrasi Liberal. Lalu, dengan begitu banyaknya versi demokrasi, yang manakah demokrasi yang benar? Apakah Demokrasi Marxist? Demokrasi Ikhwanis? atau Demokrasi Tahriris?

Jawabnya, tergantung bagaimana Anda mendefinisikan kata demokrasi itu. Tapi, kalau kita berbicara tentang demokrasi dalam pengertiannya yang modern, demokrasi yang berjalan sekarang ini, demokrasi yang diterapkan oleh negara-negara maju, demokrasi yang menjadi ukuran lembaga-lembaga internasional dan PBB, maka demokrasi yang dimaksud adalah “Demokrasi Liberal.”

Karena itulah, C.B. Marcpherson, seorang ilmuwan politik ternama, berbicara tentang model-model demokrasi dalam kerangka “Demokrasi Liberal” (Macpherson. The Life and Times of Liberal Democracy. Oxford: Oxford University Press, 1977). Di luar demokrasi liberal, menurut Macpherson, adalah bukan demokrasi, tapi model-model lain yang pada dasarnya justru ingin membunuh demokrasi.

Secara sederhana, demokrasi liberal bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan perwakilan, aturan hukum, dan konstitusi, serta perlindungan terhadap kebebasan individu, dan hak-hak minoritas. Demokrasi liberal tidak hanya menekankan pada pemilu dan jumlah mayoritas, tapi juga pada kebebasan individu dan hak-hak minoritas.

Kaum ideologis (yang banyak datang dari kalangan Komunis dan Agama), kerap menyangka bahwa demokrasi hanyalah pemilu dan mayoritas. Demokrasi semacam ini lebih layak disebut sebagai “demorasi elektoral” atau “demokrasi prosedural.” Demokrasi semacam ini hanya menekankan mekanisme pertarungan politik saja, dan kurang peduli pada inti yang menjadi target demokrasi, yakni kebebasan individu dan hak-hak sipil.

Islam Liberal. Kelompok-kelompok dan partai-partai Islam, sejak Masyumi hingga PKS, menolak konsep demokrasi liberal. Bagi mereka, demokrasi liberal bertentangan dengan ajaran Islam tentang “kedaulatan Allah” dan “keunikan Islam.” Muhammad Natsir mengatakan bahwa Islam tidak bisa menyerahkan segala urusan manusia kepada demokrasi, karena ada banyak hal yang secara qat’i (pasti) sudah diatur oleh syari’ah (Natsir. Persatuan Agama dengan Negara, Padang: Jajasan Pendidikan Islam, 1968).

Pandangan-pandangan semacam itu belakangan selalu diulang-ulang oleh para tokoh Islam, baik dari PKS, FPI, maupun Hizbut Tahrir. Intinya, menurut mereka, demokrasi liberal tidak sesuai dengan Islam. Para pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahkan tak pernah sungkan-sungkan mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.

Benarkah demikian? Benar, jika yang dimaksud dengan Islam adalah Islam yang sempit, yang tak mau berubah; Islam yang selalu memposisikan dirinya berlawanan dengan Barat; Islam yang dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk tentang dunia modern; Islam yang kelelahan karena selalu sibuk mencari-cari kesalahan orang lain.

Tapi, demokrasi liberal sangat sesuai dan cocok dengan Islam yang juga mengusung nilai-nilai liberal. Inilah yang oleh para sarjana kontemporer disebut “Islam liberal.” Dalam sebuah tulisannya, Bernard Lewis, mengatakan, satu-satunya jenis Islam yang bisa menerima dan menjalankan “demokrasi liberal” adalah “Islam liberal,” yakni Islam yang meyakini bahwa kedaulatan adalah milik rakyat, dan bukan milik Tuhan, kebebasan individu harus dijamin, dan hak-hak minoritas harus ditegakkan (Lewis, “Islam and Liberal Democracy: A Historical Overview,” Journal of Democracy 7.2, 1996).

Sejak tahun 1990-an, dan khususnya sejak peristiwa pengeboman WTC di Amerika Serikat, semakin tumbuh nilai-nilai liberal dalam diri kaum Muslim. Dari Maroko hingga Indonesia, perlahan-lahan bermunculan semangat liberalisme Islam. Sebagian besar mereka memilih menjadi pendukung dan penganut pasif, karena mereka sadar bahwa mengaku liberal berbahaya, karena kaum Muslim cenderung memusuhi liberalisme (seperti tercermin dalam fatwa MUI baru-baru ini).

Tapi, sebagian lainnya, mencoba bersuara, mengambil sikap, sambil terus memperkuat jaringan dengan membangun organisasi-organisasi yang menyuarakan kebebasan, persamaan, dan hak-hak minoritas. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, saya merasakan denyut “Islam liberal” yang diam-diam terus tumbuh.

Organisasi-organisasi seperti JIL, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, P3M, LKAJ (Jakarta), LKiS (Yogyakarta), LKPMP (Makassar), Syarikat (Yogyakarta), MiSPI (Aceh), LK3 (Banjarmasin), dan eLSAD (Surabaya), adalah kapal-kapal yang menampung gagasan dan semangat “Islam liberal.”

Tentu saja, “Islam liberal” bukan hanya para anggota organisasi itu. Kaum Muslim siapa saja yang meyakini nilia-nilai kebebasan, menghormati hak-hak individu dan minoritas, serta berjuang untuk menegakkan demokrasi berlandaskan cita-cita kaum liberal—dan bukan cita-cita para ideolog dan demagog—adalah Muslim liberal.

Kaum Muslim yang meyakini bahwa demokrasi, dan bukan teokrasi atau apalagi khilafah, sebagai sistem terbaik adalah Muslim liberal. Kaum Muslim yang menerima dasar negara yang plural, dan bukan dasar agama atau apalagi syariat Islam, adalah Muslim liberal.

Akhirnya, demokrasi liberal hanya bisa diterapkan oleh orang-orang yang meyakini nilai-nilai liberal. Ia tidak bisa dijalankan oleh para demagog dan ideolog yang sesungguhnya hanya berpura-pura mengusung demokrasi, tapi sebenarnya ingin membunuh demokrasi itu sendiri.

Renesans dan Reformasi Agama

(Renaissance and Religious Reformism)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Jawa Pos, 20 December 2004


Pemikiran Barat modern punya rujukan jelas ke mana sejarah liberalisme dan kebebasan harus dialamatkan. Tak lain dan tak bukan, ke periode renesans dan reformasi pada abad ke-16 Masehi. Renesans adalah masa kelahiran atau kebangkitan kembali manusia Barat setelah tertidur lama pada masa yang disebut “abad kegelapan” (dark ages). Kata ini berasal dari bahasa Itali, rinascimento, yang berarti “terlahir kembali.”

Sementara itu, “reformasi” adalah gerakan pembaharuan keagamaan Kristen. Inti dari gerakan ini adalah sikap protes terhadap Gereja Katolik yang dinilai otoriter, kaku, dan tak bersahabat terhadap perubahan zaman. Karenanya, gerakan ini kemudian disebut sebagai gerakan Protestan.

Baik renesans maupun reformasi menjadi landasan utama bagi sejarah peradaban Barat modern selanjutnya. Dua kata ini kemudian dipakai untuk menjelaskan akar sejarah berbagai konsep pemikiran yang muncul di dunia modern, seperti modernisme, humanisme, rasionalisme, pragmatisme, dan liberalisme.

Lalu, ke manakah renesans dan reformasi dalam Islam harus dialamatkan? Kita sering berbicara tentang kebangikitan dan refromasi Islam, tapi rujukan kita terhadap dua istilah ini tak pernah jelas. Sebagian merujuk kepada gerakan puritanisme agama yang muncul pada pertengahan abad ke-20, sebagian yang lain merujuk kepada gerakan kebangkitan pada awal abad ke-19.

Menurut hemat saya, kalau kita ingin menyamakan gerakan renesans dan reformasi Islam dengan gerakan serupa di Eropa, maka kita harus menyamakan sifat dan karakternya. Di Eropa, renesans adalah keinginan untuk mengulangi masa kegemilangan peradaban Greko-Romawi, yang terjadi pada lima abad terakhir dan tiga abad pertama sebelum dan sesudah masehi. Pada masa ini, kebudayaan Eropa mencapai puncaknya.

Periode kegelapan (dark ages) adalah masa yang terbentang selama “abad pertengahan” (medieval), yakni masa-masa di mana masyarakat Eropa didominiasi oleh pemerintahan dan kekuasaan agama. Para sejarawan biasanya merujuk antara abad ke-4 hingga abad ke-15 sebagai masa-masa peradaban skolastik atau peradaban yang dikuasai oleh para penguasa Gereja. Masa-masa ini adalah periode yang ingin dikubur oleh tokoh renesans.

Islam juga memiliki masa-masa kejayaan dan masa-masa kegelapan. Meski tidak setepat pengalaman Eropa, kita bisa membagi sejarah kegemilangan Islam pada masa-masa antara abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-13, atau hampir berbarengan dengan masa-masa kegelapan di Eropa. Setelah masa itu, peradaban Islam menjalani masa-masa kegelapan (dark ages). Dengan demikian, abad pertengahan dalam Islam terjadi antara abad ke-14 hingga abad ke-19.

Perbedaan paling nyata antara dua periode itu (kegemilangan dan kegelapan) adalah bahwa pada masa kegemilangan, semangat dan pencapaian budaya, seni, pemikiran, dan filsafat Islam begitu besar. Ratusan ilmuwan dilahirkan dan ribuan buku ditulis pada periode ini. Sementara itu, pada masa kegelapan, produksi intelektualisme menurun drastis dan ilmuwan besar tak lagi dilahirkan.

Dengan demikian, renesans dalam Islam, jika kita ingin menggunakan konsep ini, adalah semangat untuk kembali kepada nilai-nilai peradaban yang pernah dicapai pada masa kegemilangan Islam. Dengan demikian juga, reformasi adalah pembaruan keagamaan dan protes terhadap model dan cara beragama pada era kegelapan, era di mana ijtihad, rasionalitas, filsafat, dan pemikiran, dikecam dan dicampakkan.

Renesans dan reformasi dalam Islam, jika demikian, bukanlah merujuk kepada gerakan kebangkitan agama dalam maknanya yang puritan, bukan pula gerakan yang kembali kepada semangat ortodoksisme dan konservatisme. Tapi, gerakan renesans dan reformasi dalam Islam adalah gerakan mengembalikan nilai-nilai dan semangat rasionalisme dan liberalisme seperti pada masa-masa kegemilangan peradaban Islam.

Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim

(The Need to Change Muslim Political Attitude)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Media Indonesia, 19 March 2004

Khilafah adalah salah satu produk pemikiran politik Islam klasik yang semakin tidak populer. Sebab utama ketidakpopuleran konsep ini adalah bahwa ia tidak lagi visibel untuk diterapkan dalam kehidupan modern di mana konsep negara-bangsa (nation-state) telah menjadi satu konsensus semua orang modern. Khilafah yang mengandaikan adanya satu payung kekuasaan politik di mana seorang khalifah (pemimpin negara) berkuasa penuh terhadap negara-negara Muslim di dunia, adalah gagasan utopis yang absurd. Bahkan di masa silam ketika peradaban Islam mencapai kejayaannya, gagasan khilafah, sesungguhnya tak pernah berjalan secara sempurna.

Karakter khilafah yang totaliter hanya mungkin terlaksana pada wilayah geografis yang tidak terlalu luas dan masyarakat politik yang relatif homogen. Karena itu, dalam sejarah Islam, konsep khilafah dalam pengertian yang sesungguhnya, hanya pernah terjadi selama empat dasawarsa pertama, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan pada masa Ali, institusi khilafah mulai mengalami ancaman serius yang berpuncak pada terbunuhnya sang khalifah dan naiknya Muawiyah dari klan Bani Umayyah menggantikan Ali.

Di tangan Bani Umayyah, lembaga khilafah menjadi sistem kerajaan yang otoriter. Para khalifah Bani Umayyah berusaha mengatasai gejolak-gejolak politik secara dingin. Dan pada tingkat tertentu mereka berhasil. Tapi, dengan semakin meluasnya wilayah Islam, dinasti Umayyah tak lagi mampu mengontrol kekuasaannya. Maka, pada pertengahan abad ketiga hijriah, dimulai dari konflik-konflik berdarah yang panjang, institusi khilafah, untuk pertama kali dalam sejarah Islam, terbelah menjadi dua: satu di bawah kekuasaan Abbasiyyah yang berkuasa di Baghdad dan lainnya berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah yang berkuasa di Andalusia. Sejak saat itu, konsep khilafah yang mengandaikan adanya satu kepemimpinan politik Islam hanyalah sebatas konsep teoretis yang tak punya rujukan di dunia nyata.

Khilafah dan Totalitarianisme. Adalah mengherankan kalau pada masa modern, sebagian kaum Muslim berusaha menghidupkan konsep khilafah yang sudah mati ratusan tahun silam. Mengherankan karena sistem ini telah terbukti gagal dan tak berjalan dengan sempurna. Bahkan pada masa-masa awal Islam, yakni masa khalifah yang empat (khulafa al-rasyidun), yang kerap dianggap sebagai contoh ideal, sistem khilafah tidak berjalan secara mulus. Berbagai konflik, ketegangan politik, dan peperangan, mewarnai masa-masa ini. Cukuplah bagi kita menyebutkan bahwa tiga khalifah terakhir dari khulafa al-rasyidun, semuanya mati terbunuh secara mengenaskan. Jika sistem itu memang benar-benar berjalan dengan baik dan ideal, mestinya ada sebuah mekanisme politik yang dapat menjamin keamanan pengelola negara dan ketenteraman masyarakatnya.
Para pendukung gagasan khilafah kerap memiliki gambaran yang ideal tentang sistem politik Islam ini. Mereka membayangkan bahwa di bawah satu komando Islam, kaum Muslim bakal mudah diarahkan menjalankan aktifitas kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Secara politik, lembaga khilafah juga bisa dimanfaatkan untuk memobilisasi kaum Muslim sesuai dengan keinginan sang penguasa atau khalifah. Akibatnya, sistem khilafah model ini sangat mirip dengan komunisme atau fasisme, di mana semua masyarakat harus tunduk kepada satu rezim totaliter.

Hampir semua sistem totaliter dibangun lewat cara-cara pemaksaan dan kekerasan. Komunisme adalah contoh paling jelas dalam sejarah totalitarianisme. Namun, karena pemaksaan dan kekerasan bertentangan dengan fitrah manusia, sistem ini gagal dan berakhir dengan kebangkrutan.

Para pendukung gagasan khilafah tentu saja akan menolak jika gagasan mereka dibandingkan dengan komunisme atau sistem totaliter lainnya. Tapi, penolakan itu sesungguhnya merefleksikan ketidakmantapan dan ketidakpercayaan diri dalam menyikapi konsep khilafah. Dalam filsafat politik Islam klasik, khilafah didefinisikan sebagai sebuah sistem politik totaliter (nidham al-siyasi al-syamil) di mana Islam menjadi pilar utamanya, sama seperti sosialisme dalam sistem komunisme. Khilafah yang tidak totaliter adalah bukan khilafah, tapi sistem politik lain yang diklaim sebagai khilafah.

Dari Khilafah ke Negara Islam. Para intelektual Muslim modern seperti Rasyid Ridha dan Abul A’la al-Maududi mencoba bersikap jujur dan mengakui bahwa khilafah adalah sebuah gagasan utopis yang sulit untuk diterapkan. Berpijak dari kegagalan Jamaluddin al-Afghani dengan gagasan pan-Islamismenya, para intelektual Muslim itu mencoba bersikap realistis dengan mengesampingkan ide khilafah dan menggantinya dengan konsep “negara Islam.” Di dunia modern di mana paradigma komunitas politik didominasi oleh gagasan negara-bangsa, hanya gagasan “negara Islam” yang mungkin untuk diterapkan.

Maka, sejak paruh pertama abad ke-20, banyak dari pemimpin Muslim berlomba-lomba menyuguhkan konsep negara Islam sebagai alternatif dari sistem khilafah yang tak bisa lagi diterima oleh sebagian besar kaum Muslim. Pada tahun 1902, Arab Saudi memulainya dengan mendeklarasikan diri sebagai “kerajaan Islam.” Langkah ini kemudian disusul oleh Pakistan, Sudan, dan Iran yang mengumumkan diri sebagai “republik Islam.”

Di Indonesia, gagasan “negara Islam” pernah sangat kuat didukung oleh partai-partai Islam dan hampir terrealisasi pada pertengahan tahun 1950-an, kalau saja partai-partai itu berhasil memenangkan Pemilu. Tapi, lambat-laun, orang pun semakin sadar bahwa konsep “negara Islam” pun tidak realistis dan tak bisa bekerja dengan baik. Tidak mengherankan kalau sejak tahun 1970-an, para tokoh Muslim sendiri mulai mengkritisi dan bahkan menolaknya.

Ada banyak alasan untuk menolak ide negara Islam. Di antaranya, negara-negara yang menerapkan sistem ini, seperti Arab Saudi, Pakistan, Sudan, dan Iran, baik secara sosial, politik, dan ekonomi, gagal memberikan contoh yang baik. Bahkan negara-negara itu cenderung memberikan contoh buruk dengan banyaknya pelanggaran HAM, hilangnya kebebasan, dan kondisi hidup masyarakatnya yang terbelakang. Singkat kata, negara Islam bukanlah solusi yang baik bagi kehidupan bernegara orang-orang modern.

Berbagai Pilihan Model Politik. Salah satu sebab mengapa gagasan khilafah atau negara Islam tidak lagi relevan dan karenanya ditolak oleh sebagian besar kaum Muslim adalah karena ia menyalahi logika politik yang berlaku pada masa kini. Seperti saya katakan di atas, gagasan khilafah hanya mungkin diterapkan pada wilayah geografis yang terbatas dan komunitas politik yang relatif homogen. Sekarang ini, adalah mustahil menyatukan kaum Muslim yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik. Langkah maksimal yang bisa dilakukan adalah mewujudkan organisasi internasional seperti OKI (Organisasi Konferensi Islam) dengan tetap memberikan kebebasan pada masing-masing negara anggota untuk menentukan dan mengatur urusan politiknya.
Keterbatasan lain dari konsep khilafah (dan juga negara Islam) adalah pada karakternya yang eksklusif. Di tengah komunitas politik yang beragam di mana manusia tidak lagi dilihat berdasarkan afiliasi agamanya, tapi karena statusnya sebagai warga negara, konsep politik yang mengedepankan afiliasi keagamaan tak lagi bisa bekerja. Baik konsep khilafah maupun negara Islam memiliki persoalan serius menyangkut isu-isu agama-politik.

Dengan keterbatasan seperti itu, para pembaru Muslim sejak awal abad ke-20 telah berusaha melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi pemikiran klasik. Mereka berpendepat bahwa konsep-konsep politik masa silam harus dilihat dan diletakkan pada semangat zamannya. Dari sini, para ulama modernis menganggap bahwa konsep khilafah sudah tak lagi relevan. Soal platform dan model politik sepenuhnya dikembalikan kepada ijtihad kaum Muslim apakah mereka akan mengambil bentuk republik, parlementer, atau kerajaan. Yang ditekankan adalah bagaimana sebuah model politik dapat berjalan dan memberikan maslahat kepada orang banyak dan bukan hanya kepada sekelompok penganut agama tertentu saja.

SKB TENTANG AHMADIYAH

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

Kemarin, usai acara diskusi “Konstruksi Kepemimpinan Menuju Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Jakarta Media Center, saya ditanya oleh sejumlah wartawan mengenai Ahmadiyah, sehubungan dengan Mirza_ghulam_ahmadrencana diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, yang kini tengah menjadi berita hangat media massa di tanah air. Waktu itu saya menjawab, yang harus diterbitkan bukanlah sebuah SKB karena istilah itu sudah tidak dikenal lagi dengan diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004. Istilah yang benar ialah Peraturan Menteri. Apakah Peraturan itu dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah Keputusan, dengan berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan untuk sebuah penetapan, seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur.

Beberapa jam setelah saya menjawab pertanyaan wartawan di atas, beredar berita melalui SMS bahwa saya sama saja dengan Adnan Buyung Nasution yang menentang SKB tentang Ahmadiyah. Hal inilah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini, melengkapi apa yang sudah diberitakan oleh beberapa media, antara lain Detik.Com kemarin, Republika, Indopos dan The Jakarta Post hari ini. Saya menegaskan bahwa saya bukannya tidak setuju dengan SKB itu, tetapi bentuk peraturan hukum yang diterbitkan ialah Peraturan Bersama, bukan Surat Keputusan Bersama. Memang istilah Keputusan Bersama dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, tetapi setelah berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, maka istilah Peraturan Bersama lebih sesuai untuk digunakan. Dengan penjelasan ini, mudah-mudahan segala kesalahpahaman akibat pemberitaan sepotong-sepotong, dapat dijernihkan.

Pendapat saya tentang Ahmadiyah sebenarnya tegas saja. Bagi saya, seseorang masih dapat dikatakan seorang Muslim, apabila dia berpegang teguh dan berkeyakinan sejalan dengan prinsip akidah Islam, yakni La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Tentang Muhammadur Rasulullah itu tegas pula dianut prinsip, bahwa sesudah beliau tidak ada lagi rasul dan nabi yang lain. Kalau mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad (lihat gambar) adalah nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w, saya berpendirian bahwa keyakinan tersebut sudah menyimpang dari pokok akidah Islam. Karena itu, lebih baik jika penganut Ahmadiyah itu menyatakan diri atau dinyatakan sebagai non-Muslim saja. Dengan demikian, hak-hak konstitusional mereka di negara Republik Indonesia ini tetap sah dan diakui. Saya memberikan contoh di Pakistan, para penganut Ahmadiyah –lebih khusus disebutkan kelompok Ahmadiyah Qadian atau Qadiani — yang tegas-tegas digolongkan sebagai minoritas bukan Muslim atau “Non Muslim minority”. Sebab itu Konstitusi Pakistan menetapkan bahwa mereka mempunyai wakil di Majelis Nasional Pakistan yang diangkat untuk mewakili golongan minoritas.

Dalam agama Islam memang diakui keberadaan mazhab-mazhab, yakni berbagai aliran penafsiran baik di bidang Ilmu Kalam, Fiqih dan Tasawwuf. Namun perbedaan penafsiran itu tidaklah sampai mempertentangkan pokok-pokok ajaran Islam, melainkan detil-detilnya. Dalam Kalam misalnya, tafsiran kaum Muktazilah dengan kaum Asy’ariyyah tentang al-Qada wal-Qadar, walau berbeda namun tetap dalam batas-batas yang sejalan dengan pokok-pokok akidah. Demikian pula halnya mazhab-mazhab fiqih, adalah perbedaan dalam menafsirkan kaidah-kaidah hukum sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang tidak menyimpang dari asas-asas syariah. Dalam Tasawwuf, para aliran sufi saling berbeda persepsi mengenai cara-cara berdzikir dalam mendekatkan diri kepada Allah. Namun dalam hal akidah yang pokok, tak ada perbedaan yang prinsipil di antara aliran-aliran tasawwuf. Adapun meyakini bahwa masih ada seorang nabi setelah Nabi Muhammad s.a.w, jelaslah menyalahi prinsip akidah Islam. Sebab itulah, Rabithah al-Alam al-Islami dan Organisasi Konfrensi Islam (OKI) telah lama mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmadiyah (Qadian) adalah golongan yang telah keluar dari Islam. Pemerintah Arab Saudi juga melarang penganut Ahmadiyah (Qadian) menunaikan ibadah haji. Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1984 juga telah menerbitkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang telah keluar dari Islam.

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Sebagai sebuah perkumpulan, Ahmadiyah Indonesia telah pula mendapat status badan hukum yang disahkan Kementerian Kehakiman pada tahun 1950-an. Namun aktivitas gerakan ini sampai sekarang meresahkan bagian terbesar Umat Islam di Indonesia. Tempat ibadah mereka disebut “mesjid” juga. Sementara di samping al-Qur’an, mereka juga menggunakan Kitab Tadzkirah sebagai pegangan dalam keyakinan mereka, khususnya tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad serta ajaran-ajarannya. Sebab itu tidak mengherankan jika berbagai ormas Islam mendesak Pemerintah untuk melarang gerakan Ahmadiyah ini sejak lama. Dalam beberapa bulan terakhir ini isyu Ahmadiyah kembali mencuat dan tindak kekerasan terjadi di berbagai tempat. Dalam konteks inilah, wacana keluarnya “SKB” muncul ke permukaan.

Apakah dasar hukum yang diinginkan agar Pemerintah melarang keberadaan Gerakan Ahmadiyah itu? SKB yang menjadi bahan pembicaraan itu bersumber pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam undang-undang ini disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1). Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan kegiatan seperti itu, diberi “perintah dan peringatan keras” untuk menghentikan kegiatannya. Perintah itu dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam bentuk “Keputusan Bersama”. Apabila kegiatan itu dilakukan oleh sebuah organisasi maka “Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Apabila orang/organisasi tersebut telah diberi peringatan atau dibubarkan dan dilarang oleh Presiden, namun tetap membandel, maka kepada mereka dapat dituntut pidana dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 ini pula, ketentuan Pasal 156 KUHP ditambah dengan Pasal 156a yang antara lain berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia”.

Nah, kalau membaca dengan cermat isi UU Nomor 1/PNPS/1965 di atas, maka keliru kalau ada yang meminta Pemerintah — dalam hal ini Menteri Agama, mendagri dan Jaksa Agung — untuk menerbitkan “SKB “untuk melarang Ahmadiyah. “SKB” hanya dapat memberikan perintah dan peringatan keras kepada orang perorangan yang melanggar ketentuan Pasal 1 UU tersebut. Kalau Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan/perkumpulan/organisasi, maka yang dapat membubarkan dan melarangnya bukan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, tetapi Presiden Republik Indonesia. Jadi permintaan harus disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukan kepada Muhammad Maftuch Basyuni, Mardiyanto dan Hendarman Supanji.

Ada kalangan yang berpendapat bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 itu sudah ketinggalan zaman, tidak sejalan dengan hak asasi manusia, demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen. Sebagai tafsiran dan pendapat boleh-boleh saja. Pendapat yang sebaliknya juga ada, namanya saja tafsir dan pemahaman. Namun hingga kini keberadaan undang-undang tersebut sebagai kaidah hukum postif secara formal masih berlaku, sebab belum pernah diubah atau dicabut oleh Presiden dan DPR. Mahkamah Konstitusi sampai kini juga belum pernah membatalkan undang-undang itu dan menganggapnya bertentangan dengan UUD 1945 dalam permohonan uji materil. Jadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 itu sah sebagai undang-undang yang berlaku. Bahwa sampai sekarang dua menteri dan Jaksa Agung belum juga menerbitkan “SKB” dan Presiden belum juga mengeluarkan Peraturan Presiden membubarkan dan sekaligus melarang organisasi/perkumpulan Ahmadiyah, semuanya itu tergantung kepada kemauan dan keberanian politik mereka itu. Walaupun konon, anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution menentang, namun nasehat anggota Wantimpres, bahkan Wantimpres sebagai sebuah lembaga, tidaklah mengikat Presiden. Jangankan hanya Adnan Buyung Nasution, nasehat seluruh anggota Wantimpres dapat diabaikan Presiden, kalau Presiden berpendapat lain. Saya dengar rapat mengenai Ahmadiyah ini telah beberapa kali dilakukan oleh beberapa menteri yang dipimpin Presiden dan juga dihadiri anggota Wantimpres. Namun hingga kini, kita belum tahu keputusan apa yang akan diambil, baik oleh Manteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung, maupun oleh Presiden sendiri. Reaksi atau komentar Presiden atas soal Ahmadiyah ini belum terdengar. Ini beda dengan reaksi beliau yang cukup cepat terhadap isyu poligami yang dilakukan Aa Gim, walau hal itu lebih bersifat personal Aa Gim. Perbedaan tafsir mengenai poligami masuk ke dalam bidang fikih Islam. Masalahnya tidak menyangkut akidah, dibanding dengan isyu Ahmadiyah yang kini menyita banyak perhatian umat Islam, politisi dan aktivis hak asasi manusia di tanah air, bahkan gemanya jauh ke mancanegara.

Wallahu’alam bissawwab

Cetak artikel Oleh Yusril Ihza Mahendra — May 9th, 2008

Agama dan Pencerahan

(Religion and Enlightenment)

By Luthfi Assyaukanie

Sekitar 220 tahun lalu, Immanuel Kant menulis sebuah risalah kecil berjudul “Apa Itu Pencerahan?” Risalah ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan banyak intelektual pada masa itu. Dalam bahasa Jerman, pencerahan disebut “aufklarung.”

Menurut Kant, pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Sedangkan ketidakmatangan sendiri adalah “ketidakmampuan menggunakan penalaran pribadi” dan keinginan untuk selalu merujuk dan menggunakan pendapat orang lain. Manusia menjadi tidak matang bukan karena dia tidak mau berpikir, tapi karena dia takut menggunakan pemahamannya sendiri.

Inti dari zaman pencerahan di Eropa, di mana Kant sebagai salah satu pionirnya, adalah anjuran menggunakan pemahaman sendiri, dan membuang jauh-jauh pemahaman orang lain yang tidak relevan. Selama kita masih bergantung kepada pemahaman orang lain, selama itu pula kita tak akan pernah matang. Dan karenya, tak akan bisa tercerahkan.

Semboyan pencerahan yang sangat terkenal adalah “Sapere Aude!” yang berarti “beranilah menggunakan pemahaman Anda sendiri!” Dengan kata lain, orang yang tidak berani menggunakan pemahamannya sendiri bukanlah orang yang tercerahkan.

Yang ditekankan dalam pencerahan bukanlah “menggunakan pemahaman sendiri,” tapi “berani.” Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan orang lain.

Orang lain itu bisa Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.

Pencerahan memerlukan kedewasaan dan kematangan. Orang yang selalu menganggap orang lain lebih besar dan lebih otoritatif dari dirinya, tak akan pernah bisa dewasa dan tak akan pernah bisa matang.

Hal-hal baru ditemukan bukan dengan mengulang-ngulang pendapat lama, tapi mencari sendiri pendapat baru secara kreatif. Pengulang-ulangan pendapat orang lain tak akan membawa seseorang ke mana-mana, kecuali ke masa silam itu sendiri, yang menjadi rujukannya.

Gerakan pembaruan keagamaan adalah gerakan pencerahan. Ia seperti gerakan aufklarung di Jerman yang dimotori oleh Kant. Para pembaru agama adalah orang-orang yang tercerahkan dan orang-orang yang telah mendapatkan kematangan dirinya.

“Keberanian” seperti juga “kebebasan” adalah suatu konsep yang paling sulit diterima manusia. Karena manusia cenderung menerima apa yang sudah ada, yang sudah jadi. Sesuatu yang “liar” dan “tanpa batas” adalah sesuatu yang menakutkan. Karenanya, buat mereka, lebih baik menerima kondisi yang ada, meskipun itu buruk dan tidak menarik.

Orang-orang yang tercerahkan selalu berpikir ke depan, dan selalu memikirkan kemungkinan yang lebih baik dari kondisi yang ada. Karena itulah mereka berani menggunakan pemahamannya sendiri dan membuang jauh-jauh pandangan-pandangan dari masa silam yang tak lagi relevan.

Banyak sekali pandangan yang datang dari masa silam diambil begitu saja oleh kaum Muslim, tanpa ada sikap kritis sedikitpun. Ide-ide seperti khilafah, syariah, dan negara Islam, adalah produk pemikiran masa silam yang sama sekali tak lagi relevan dengan konteks zaman kita.

Selama kita masih terus saja mengulang-ulang pendapat orang-orang di masa silam dan takut mengemukakan pendapat kita sendiri, selama itu pula kita tak pernah tercerahkan.

Wednesday, May 7, 2008

Kekerasan Atas Nama Agama

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Tindakan kekerasan, brutalitas, bahkan peperangan atas nama agama bukan barang baru dalam sejarah peradaban (kebiadaban) manusia. Pelaku tindakan ini merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan.

Karena itu, mereka berhak memonopoli kebenaran. Seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Perkara pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.

Seorang Presiden, George W. Bush, penganut Kristen puritan fundamentalis telah memakai agama untuk menghancurkan bangsa lain yang tak berdaya dengan seribu dalih. Perkembangan terakhir menunjukkan semakin banyak tentara Amerika yang bunuh diri karena diimpit suasana putus asa: perang di Afghanistan dan Irak tidak kunjung usai. Mereka memilih mati berkalang tanah daripada hidup becermin mayat. Itu belum lagi yang menjadi gila, rusak ingatan akibat perang yang dipaksakan. Bush dan para pendukungnya yang haus darah tidak hirau dengan semuanya ini.

Sementara itu, di kalangan segelintir Muslim, termasuk di Indonesia yang berkoar anti-Barat, atas nama agama telah membencanai tempat-tempat ibadah, perkantoran, bahkan rumah-rumah mereka yang berbeda agama atau mereka yang dianggap sesat dengan menggunakan fatwa MUI. Para pengrusak ini dari sudut pandang sistem nilai tidak banyak berbeda dengan Bush yang secara lahiriah ditentang oleh mereka. Di sinilah ironi itu berlaku. Dalam retorika politik, mereka seperti bermusuhan. Tetapi, dalam kelakuan, mereka bersahabat. Bedanya, Bush merusak dalam skala besar dengan persenjataan modern, sedangkan mereka dalam skala kecil, seperti dengan memakai pentungan, golok, linggis, dan lain-lain. Sementara itu, aparat seperti tidak mampu menghalangi mereka.

Dengan mengatakan demikian, anda jangan salah paham bila dikaitkan dengan paham Ahmadiyah yang jadi berita besar sekarang ini. Secara teologis, saya menolak 200 persen pendapat yang mengatakan bahwa ada nabi pasca-Muhammad, sekalipun katanya tidak membawa syariat. Jika memang begitu, mengapa harus dihadirkan nabi baru? Di sinilah saya gagal memahami kehadiran aliran Ahmadiyah. Mengapa tidak kembali saja kepada ajaran Islam semula. Adapun jika Ghulam Ahmad dipercayai sebagai pembaru, mungkin masalahnya tidak menjadi ruwet, sekalipun sebagian besar umat Islam tidak mengakuinya.

Sepanjang sejarah Islam selama sekian abad, umat yang percaya kepada kemunculan pembaru bukan barang baru, tetapi hanya sebagian tokoh yang memercayainya. Dengan pernyataan ini, posisi saya tentang Ahmadiyah sudah sangat gamblang. Memang dalam beberapa hadis dikatakan tentang akan turunnya nabi Isa sebelum kiamat. Dan katanya, Ghulam Ahmadlah orangnya.

Saya sungguh berharap agar hadis-hadis serupa ini diteliti kembali, sebab implikasinya sangat dahsyat. Maksud saya, jika Isa masih harus turun kembali, berarti misi Muhammad gagal. Saya tidak percaya bahwa nabi Isa masih hidup, karena dia adalah manusia biasa yang atas dirinya berlaku sepenuhnya hukum alam: lahir, dewasa, tua, dan mati. Tetapi, Alquran membantah bahwa kematian nabi Isa karena disalib. Masalah ini biarlah tidak diperdebatkan panjang-panjang, sebab saudara-saudara Kristen kita memercayai bahwa Isa mati di kayu salib. Kita tidak perlu memasuki teologi mereka.

Kembali kepada masalah kekerasan atas nama agama. Saya akan membela sepenuhnya posisi Ahmadiyah jika mereka dizalimi, hak milik mereka dirampok, dan keluarga mereka diusir. Ini perbuatan biadab karena pengikut Ahmadiyah itu punya hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain menurut konstitusi Indonesia. Jika mereka dizalimi, aparat dan kita semua wajib melindungi mereka. Bahkan, seorang warga negara Indonesia penganut ateisme, tetapi patuh kepada UUD, tidak ada hak kita untuk membinasakan mereka. Kita bisa bergaul dengan mereka dalam masalah-masalah keduniaan. Mereka juga punya hak hidup dengan ateismenya.

Di sinilah pentingnya kita memahami secara jujur diktum Alquran dalam Albaqarah ayat 256, "Tidak ada paksaan dalam agama." Jika Tuhan tidak mau memaksa hambanya untuk memeluk atau tidak memeluk agama, mengapa kita manusia mau main paksa atas nama Tuhan? Sikap semacam inilah yang bikin kacau masyarakat. Oleh karena itu, Alquran jangan dibawa-bawa untuk menindas orang lain. Kekerasan atas nama agama adalah pengkhianatan yang nyata terhadap hakikat agama itu sendiri.

Tuesday, May 6, 2008

Islam dan Modernitas Berjalan Seiring


Rabu, 30 April 2008 | 01:39 WIB

Musthafa Abdul Rahman

Selasa siang, 18 Maret 2008, di Casablanca, Maroko. Duduk di sebuah kafe sambil minum teh panas di jantung kota Casablanca, untuk sekadar melepaskan lelah dari berziarah di Masjid Hassan II. Masjid Hassan II dibangun selama tujuh tahun dengan melibatkan ribuan pekerja.

Masjid tersebut kini menjadi salah satu ikon kota Casablanca. Di seberang jalan dari kafe itu berdiri gagah Hotel Hyatt Regency yang megah dan modern. Tak jauh dari hotel itu tampak pula hotel-hotel lain berbintang lima. Hiruk-pikuk kendaraan dari berbagai merek melintasi jalan raya besar yang membelah antara Hotel Hyatt Regency dan pusat pertokoan di jantung kota Casablanca itu.

Dari kafe tersebut bisa disaksikan geliat modernitas kehidupan di Maroko dengan kota Casablanca sebagai representasinya. Casablanca merupakan kota terbesar di Maroko serta dikenal sebagai kota perdagangan dan keuangan di negara tersebut.

Kehadiran Masjid Hassan II sebagai salah satu ikon kota dan geliat kehidupan modern di kota Casablanca sesungguhnya merupakan potret dari karakteristik negara Maroko yang menganut sistem monarki itu.

Potret itu adalah keberhasilan sistem monarki di Maroko menjadikan Islam dan modernitas berjalan seiring. Maroko pun tampak tampil dengan dua wajah, yakni Islam dan kemodernan (Barat) yang berpadu harmonis dalam sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Dalam konteks sosial budaya, nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan yang menjadi salah satu sendi peradaban modern terpatri cukup kokoh. Salah satu kasus adalah masalah kaum Yahudi Maroko yang kini hidup sangat aman dan nyaman di Maroko.

Raja Maroko berkomitmen melindungi komunitas Yahudi di negara itu. Kini ada sekitar 7.000 warga Yahudi di Maroko. Salah seorang penasihat raja bahkan berasal dari Yahudi. Sebagian besar warga Yahudi kini berdomisili di Casablanca.

Menurut penuturan salah seorang anggota staf KBRI Rabat, warga Yahudi dari mancanegara, khususnya dari Israel, rajin berziarah ke kuburan mendiang Raja Muhammad V di Rabat. Raja Muhammad V dikenal sebagai pelindung yang gigih kaum Yahudi di Maroko.

Tidak perlu terkejut jika saat berjalan-jalan di tengah kota Casablanca, kita sering berpapasan dengan warga Yahudi dengan pakaian khasnya, yakni pakaian warna serba hitam dan topi hitam pula. Bagi warga Casablanca, tampak sudah terbiasa bertemu, berpapasan, dan berjalan dengan warga Yahudi dalam kehidupan keseharian.

Sebaliknya, warga Yahudi itu tampak tidak canggung sama sekali berjalan bersama warga Arab, seakan mereka seperti berada di Israel saja. Maroko menjadi tempat beradanya komunitas Yahudi terbesar di dunia Islam. Cikal bakal keberadaan kaum Yahudi di Maroko bermula sejak 2000 tahun silam.

Memang pernah terjadi pembantaian kaum Yahudi di Fez tahun 1033 dan di Marrakech tahun 1232, tetapi kaum Yahudi mendapatkan perlakuan yang sama sejak masa protektorat Perancis pada tahun 1912.

Dalam waktu yang sama, Maroko, kini sebagai Ketua Komite Al Quds (Jerusalem), bertugas memelihara dan melindungi kota Al Quds dari aksi Yahudinisasi. Komite Al Quds merupakan salah satu badan otonom dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Maroko sendiri adalah salah satu pendiri OKI pada tahun 1969, menyusul dibakarnya Masjid Al Aqsa oleh ekstremis Yahudi saat itu. Kapasitas Maroko dalam OKI itu tidak mengganggu sama sekali terhadap keberadaan kaum Yahudi di negara tersebut.

7,45 juta wisatawan

Di sektor ekonomi, Maroko membuka diri secara besar-besaran. Menurut laporan Bank Pembangunan Afrika, pertumbuhan ekonomi Maroko mencapai 7 persen. Pendapatan per kapita 4.600 dollar AS (sekitar Rp 42,3 juta) per tahun. Maroko dengan penduduk 33.757.175 merupakan kekuatan ekonomi kelima di Benua Afrika setelah Afrika Selatan, Mesir, Aljazair, dan Nigeria.

Maroko kini merupakan salah satu tujuan wisata terbesar di dunia. Tahun 2007, sebanyak 7,45 juta turis mengunjungi Maroko. Dalam upaya mendongkrak jumlah wisatawan, banyak negara termasuk Indonesia bebas visa masuk ke Maroko.

Pemerintah Maroko juga membangun pusat-pusat wisata secara besar-besaran selama 20 tahun terakhir ini, seperti kota pantai Algadir, kota sejarah Marrakech, dan kota spiritual Fez, selain Casablanca sebagai kota perdagangan.

Maroko telah menandatangani pula perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan Uni Eropa. Perdagangan bebas Maroko-Uni Eropa akan dilaksanakan mulai tahun 2010. Pilihan politik, ekonomi, dan budaya di Maroko bukan berarti tanpa dampak.

Maroko juga diguncang aksi-aksi teroris terakhir ini. Aksi teroris yang paling populer adalah serangan bunuh diri di Casablanca pada tahun 2003 yang menyebabkan 40 orang tewas. Namun, aparat keamanan Maroko secara umum masih mampu mengendalikan situasi keamanan negara.

Menurut pengamat politik Maroko, Mohamed Noruddin Afayeh, legitimasi sistem monarki di Maroko berpijak pada tiga fondasi. Pertama, agama (Islam). Kedua, adat istiadat. Ketiga, modernitas.

Afayeh menjelaskan, kemampuan monarki menyinergikan tiga fondasi tersebut dalam aplikasinya di lapangan adalah membuat negeri Maroko mengalami stabilitas cukup lama dan sistem monarki pun tetap mendapat dukungan kuat dari rakyat hingga hari ini, sekaligus fleksibel dalam menyerap nilai-nilai kemodernan.

Raja Maroko pun dipandang sebagai perwujudan dari tiga fondasi tersebut. Dalam konteks legitimasi agama, Raja Maroko dipercaya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan dijuluki ”Amirul Mukminin”. Karena itu, Raja Maroko menyandang simbol keagamaan yang sangat sakral.

Bertumpu pada raja

Dalam hal pelindung adat istiadat, Raja Maroko dinobatkan sebagai ”Bapak Teladan” yang mengayomi segenap rakyat Maroko dan mendengarkan pengaduan masalah keseharian dari setiap warga Maroko.

Sebagai raja negara modern yang struktur negaranya mengadopsi sistem negara bangsa di Eropa, Raja Maroko harus berkomitmen dan menghormati konstitusi negara, di mana setiap warga Maroko punya hak dan kewajiban.

Otoritas dan kekuatan dalam sistem monarki di Maroko tertumpu pada raja. Institusi kerajaan merupakan institusi sentral dan menentukan dalam sistem politik di Maroko. Sedangkan raja sebagai ”Bapak Teladan” dan ”Simbol Persatuan” serta penjamin kebebasan individu dan kolektif, berada di puncak institusi monarki tersebut.

Maka, semua lembaga politik, sosial, budaya, dan ekonomi baik pemerintah maupun swasta tunduk pada otoritas raja. Posisi hegemonik Raja di Maroko diperkuat oleh posisi istimewa agama sebagai sumber hukum dan adat istiadat. Masyarakat dipandang sebagai sebuah kesatuan spiritual.

Sementara itu, sistem politik dianggap sebagai perwujudan dari simbol suci agama, dengan sang raja sebagai amirul mukminin berhubungan langsung dengan rakyat tanpa mediator dalam menyelesaikan urusan keseharian.

Tradisi monarki yang sangat kuat di Maroko itu sama sekali tidak tergoyahkan oleh interaksi negara itu dengan kolonialis Barat (Perancis dan Spanyol). Raja tidak melihat kolonialis Barat dengan budaya politiknya sebagai ancaman, dan bahkan raja dengan cerdik mengizinkan sistem politik Barat diterapkan, berjalan seiring dengan agama dan adat istiadat dalam kehidupan modern Maroko.

Karena itu, raja menerima idiom-idiom politik Barat seperti demokrasi, konstitusi, kesepakatan, partisipasi, dan pengawasan. Maka, Maroko pascameraih kemerdekaan dari Perancis tahun 1956 langsung menerapkan sistem multipartai. Hal ini berbeda dengan negara-negara Arab lain yang menerapkan sistem satu partai setelah meraih kemerdekaan dari kolonialis Barat.

Kekhasan sistem politik di Maroko adalah kekuasaan luas di tangan raja, tetapi dalam waktu yang sama terdapat banyak partai politik yang dijamin konstitusi.

Di Maroko, kini ada dua kategori partai politik. Pertama, partai politik yang didirikan pada prakemerdekaan. Partai-partai tersebut adalah Partai Kemerdekaan, Persatuan Sosialis untuk Kekuatan Rakyat, Organisasi Pekerja Rakyat Demokratik, dan Partai Sosialis Progresif.

Kedua, partai-partai yang didirikan pascakemerdekaan. Partai-partai itu adalah Partai Gerakan Rakyat, Perkumpulan Nasional bagi Kemerdekaan dan Persatuan Konstitusi.

Ada tiga fase besar menyangkut hubungan institusi monarki dan partai-partai politik di Maroko. Fase pertama dimulai dari saat kemerdekaan tahun 1956 hingga tahun 1960. Dalam fase tersebut, raja dan institusi kerajaan mengontrol penuh bahkan mendikte partai-partai politik.

Fase kedua dimulai dari tahun 1960 hingga pertengahan tahun 1970-an. Pada fase ini, hubungan raja dan partai-partai politik sering kali mengalami ketegangan, khususnya setelah dibentuk parlemen sesuai dengan konstitusi tahun 1962 dan pengumuman keadaan darurat pada tahun 1965 serta beberapa upaya kudeta terhadap raja pada awal tahun 1970, di antaranya upaya kudeta oleh Jenderal Ofkir.

Fase ketiga dimulai tahun 1974. Dalam fase ini, Maroko menyaksikan keterbukaan politik dan sikap raja yang semakin fleksibel, dengan diselenggarakannya pemilu lokal dan parlemen dengan melibatkan partai-partai oposisi. Pada fase itu pula raja dan rakyat Maroko serta semua kekuatan politik bersatu sikap menghadapi isu wilayah Sahara Barat yang diperebutkan dengan kelompok Polisario (Front Pembebasan Sahara Barat). Maroko kini mengklaim memiliki wilayah Sahara Barat.

Itulah potret kekuatan Islam bersanding harmonis dengan modernitas di Maroko.