Saturday, May 17, 2008

Mengenang Pemikiran Cak Nur

AHLUWALIA

Prof Nurcholish Madjid
(iPhA/Abdul Rauf)
INILAH.COM – Kenangan dan keharuan tentang Prof Nurcholish Madjid kembali digelar oleh masyarakat dan komunitas Paramadina. Kali ini dalam acara seribu hari wafatnya sang guru bangsa itu di Jakarta, Senin (17/3) malam.

Para inteligensia Muslim dari kalangan senior maupun yang muda, hadir untuk mendoakan almarhum Cak Nur dan meneguhkan komitmen mereka untuk meneruskan perjuangan cendekiawan Muslim itu dalam mewujudkan Islam dan keindonesiaan yang sejati.

Duduk lesehan di antara yang hadir tampak pendiri Yayasan Paramadina Utomo Dananjaya dan istri Cak Nur, Omi Komaria Madjid. Juga tampak gurubesar UIN Jakarta Prof Kautsar Azhari, Dr Zainun Kamal, Dr Agus Abubakar, M Syafii Anwar PhD. Tampak juga intelektual muda Yudi Latif PhD, Dr Asep Ilyas Ismail, M Wahjuni Nafis, Anis Baswedan PhD, kalangan Tionghoa dan kaum muda.

Nurchlish Madjid sangat dikenal dengan gagasan dan pergulatannya dalam ranah HAM, demokrasi, kebhinekaan (pluralisme), dan Islam yang modern, maju, dan toleran. Kecemasan dan keprihatinannya akan kekerasan atas nama agama, juga mengemuka.

Meskipun di Indonesia sering terjadi kekerasan berjubah agama yang dilakukan sejumlah kelompok, tetapi umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas cukup gencar mengembangkan demokrasi, perdamaian, toleransi, kebebasan beragama, dan penegakan hak asasi manusia (HAM).

Cak Nur juga sering mengingatkan tentang kebangkitan agama-agama di dunia pada era pasca-agama (post-religion) yang menimbulkan ironi menguatnya fundamentalisme. Kebangkitan semangat ideologis itu melahirkan eksklusivitas dalam beragama yang tercermin dalam tindakan militan, keras, dan cenderung tidak toleran dengan kelompok lain.

Dalam kasus radikalisme agama (Islam) di Indonesia, Sydney Jones dari International Crisis Group, pernah menyebutnya sebagai recycling militansdi Indonesia, yang merupakan daur ulang militansi gerakan Darul Islam di Indonesia, yang dalam banyak hal menginspirasikan radikalisme dan fundamentalisme Islam ideologis itu sendiri.

Dalam perkembangan akhir-akhir ini, masyarakat dan kaum muda sering menyesalkan bahwa ada dua kekuatan fundamentalisme itu telah menciptakan situasi dilematis bagi bangsa ini.

Kedua hal itu adalah fundamentalisme kelompok sektarian yang cenderung merampas hak-hak privat dari kehidupan sosial; dan fundamentalisme pasar yang cenderung mengabaikan hak-hak publik di bidang ekonomi dengan melemparkan perkara publik menyangkut hidup mati rakyat menjadi urusan privat individual.

Yang satu menekankan komunalisasi dan menepikan subyek, yang lain menekankan individualisasi dan mengabaikan kesosialan. Kedua fundamentalisme ini tidaklah cocok (compatible) bagi kita di Indonesia, dan merupakan tantangan yang harus dipecahkan bersama oleh segenap elemen bangsa.

Para aktivis dan komunitas Paramadina umumnya mengenang Nurcholish Madjid sebagai salah seorang tokoh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia serta mencari relevansinya dengan situasi kekinian. Dalam hal ini, seperti kata Cak Nur, perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia merupakan respons atas kondisi global.

Pengembangan wacana Islam kontemporer yang inklusif tidak hanya dilakukan kalangan intelektual, akademisi, atau ulama, tetapi juga oleh lembaga keagamaan dan pendidikan seperti pesantren.

Secara historis, umat Islam Indonesia memang terbuka dengan nilai luar. Islam datang memperkaya budaya lokal Nusantara dan tradisi Nusantara memperkaya peradaban Islam. Kondisi seperti ini juga melahirkan wajah Islam Indonesia yang sangat beragam sesuai dengan konfigurasi masyarakat Indonesia yang plural. [P1]

No comments: