Thursday, May 15, 2008

Islam Liberal untuk Demokrasi Liberal

(Liberal Islam for Liberal Democracy)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Media Indonesia, 20 June 2006

Demokrasi telah menjadi konsep karet yang bisa ditarik ke sana ke mari. Setiap orang bisa berbicara tentang demokrasi menurut perspektifnya masing-masing. Inilah yang tergambar dari dua tulisan, Saiful Mujani dan Ismail Yusanto dalam koran ini beberapa hari lalu (Media Indonesia, 12-14/06/06). Kedua penulis ini berbicara tentang demokrasi dari dua perspektif yang sama sekali berbeda.

Siapa saja memang bisa berbicara tentang demokrasi, dari mereka yang mendukung hingga yang anti. Para pengkritik demokrasi pun kerap memberi pemahaman dan formulasi baru terhadap konsep ini, sehingga memunculkan apa yang oleh David Held, seorang ilmuwan politik ternama, disebut “model-model demokrasi” (Held, Models of Democracy. Stanford: Stanford University Press, 1996).

Demokrasi sebagai sebuah konsep positif sebenarnya relatif baru. Di masa Yunani kuno, demokrasi merupakan konsep bet noire yang dibenci oleh kalangan ilmuwan dan elit terdidik. Bahkan pada era Pencerahan Eropa (abad ke-18), demokrasi masih merupakan istilah yang menjijikkan.

Namun, memasuki abad ke-20, setelah konsep negara-bangsa semakin matang, dan banyak negara-negara baru bermunculan, demokrasi perlahan-lahan mulai diterima. Setiap negara berlomba-lomba mengadopsi demokrasi sebagai sistem yang ideal. Bahkan negara yang jelas-jelas bersendikan otoritarianisme seperti Korea Utara, menyebut dirinya “Republik Rakyat Demokratik,” untuk menunjukkan bahwa negeri ini menganut paham demokrasi, meski kita tahu semua bahwa Korea Utara bukanlah negara yang demokratis.

Di Indonesia, Soekarno pernah mendeklarasikan “Demokrasi Terpimpin.” Sementara Muhammad Natsir dalam tulisan-tulisannya berbicara tentang “Demokrasi Islam.” Konsep-konsep demokrasi seperti ini, oleh David Collier dan Steven Levitsky disebut sebagai “demokrasi dengan kata sifat,” yang ujung-ujungnya hanya menekankan kata sifatnya, ketimbang demokrasinya (Collier and Levitsky, “Democracy with Adjectives: Conceptual Innovation in Comparative Research,” World Politics 49.3, 1997).

Kaum ideologis, baik Marxist, Leninist, Talibanist, Ikhwanist, maupun Tahririst, cenderung menggunakan “demokrasi” untuk kepentingan ideologi mereka. Pada dasarnya, mereka tidak menyukai atau bahkan anti terhadap demokrasi, karena demokrasi yang berarti “kedaulatan rakyat” tidak sejalan dengan landasan ideologi mereka. Kedaulatan berada di tangan Proletar (Marxist) atau di tangan Allah (Talibanist, Ikhwanist, dan Tahririst).

Demokrasi Liberal. Lalu, dengan begitu banyaknya versi demokrasi, yang manakah demokrasi yang benar? Apakah Demokrasi Marxist? Demokrasi Ikhwanis? atau Demokrasi Tahriris?

Jawabnya, tergantung bagaimana Anda mendefinisikan kata demokrasi itu. Tapi, kalau kita berbicara tentang demokrasi dalam pengertiannya yang modern, demokrasi yang berjalan sekarang ini, demokrasi yang diterapkan oleh negara-negara maju, demokrasi yang menjadi ukuran lembaga-lembaga internasional dan PBB, maka demokrasi yang dimaksud adalah “Demokrasi Liberal.”

Karena itulah, C.B. Marcpherson, seorang ilmuwan politik ternama, berbicara tentang model-model demokrasi dalam kerangka “Demokrasi Liberal” (Macpherson. The Life and Times of Liberal Democracy. Oxford: Oxford University Press, 1977). Di luar demokrasi liberal, menurut Macpherson, adalah bukan demokrasi, tapi model-model lain yang pada dasarnya justru ingin membunuh demokrasi.

Secara sederhana, demokrasi liberal bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan perwakilan, aturan hukum, dan konstitusi, serta perlindungan terhadap kebebasan individu, dan hak-hak minoritas. Demokrasi liberal tidak hanya menekankan pada pemilu dan jumlah mayoritas, tapi juga pada kebebasan individu dan hak-hak minoritas.

Kaum ideologis (yang banyak datang dari kalangan Komunis dan Agama), kerap menyangka bahwa demokrasi hanyalah pemilu dan mayoritas. Demokrasi semacam ini lebih layak disebut sebagai “demorasi elektoral” atau “demokrasi prosedural.” Demokrasi semacam ini hanya menekankan mekanisme pertarungan politik saja, dan kurang peduli pada inti yang menjadi target demokrasi, yakni kebebasan individu dan hak-hak sipil.

Islam Liberal. Kelompok-kelompok dan partai-partai Islam, sejak Masyumi hingga PKS, menolak konsep demokrasi liberal. Bagi mereka, demokrasi liberal bertentangan dengan ajaran Islam tentang “kedaulatan Allah” dan “keunikan Islam.” Muhammad Natsir mengatakan bahwa Islam tidak bisa menyerahkan segala urusan manusia kepada demokrasi, karena ada banyak hal yang secara qat’i (pasti) sudah diatur oleh syari’ah (Natsir. Persatuan Agama dengan Negara, Padang: Jajasan Pendidikan Islam, 1968).

Pandangan-pandangan semacam itu belakangan selalu diulang-ulang oleh para tokoh Islam, baik dari PKS, FPI, maupun Hizbut Tahrir. Intinya, menurut mereka, demokrasi liberal tidak sesuai dengan Islam. Para pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahkan tak pernah sungkan-sungkan mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.

Benarkah demikian? Benar, jika yang dimaksud dengan Islam adalah Islam yang sempit, yang tak mau berubah; Islam yang selalu memposisikan dirinya berlawanan dengan Barat; Islam yang dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk tentang dunia modern; Islam yang kelelahan karena selalu sibuk mencari-cari kesalahan orang lain.

Tapi, demokrasi liberal sangat sesuai dan cocok dengan Islam yang juga mengusung nilai-nilai liberal. Inilah yang oleh para sarjana kontemporer disebut “Islam liberal.” Dalam sebuah tulisannya, Bernard Lewis, mengatakan, satu-satunya jenis Islam yang bisa menerima dan menjalankan “demokrasi liberal” adalah “Islam liberal,” yakni Islam yang meyakini bahwa kedaulatan adalah milik rakyat, dan bukan milik Tuhan, kebebasan individu harus dijamin, dan hak-hak minoritas harus ditegakkan (Lewis, “Islam and Liberal Democracy: A Historical Overview,” Journal of Democracy 7.2, 1996).

Sejak tahun 1990-an, dan khususnya sejak peristiwa pengeboman WTC di Amerika Serikat, semakin tumbuh nilai-nilai liberal dalam diri kaum Muslim. Dari Maroko hingga Indonesia, perlahan-lahan bermunculan semangat liberalisme Islam. Sebagian besar mereka memilih menjadi pendukung dan penganut pasif, karena mereka sadar bahwa mengaku liberal berbahaya, karena kaum Muslim cenderung memusuhi liberalisme (seperti tercermin dalam fatwa MUI baru-baru ini).

Tapi, sebagian lainnya, mencoba bersuara, mengambil sikap, sambil terus memperkuat jaringan dengan membangun organisasi-organisasi yang menyuarakan kebebasan, persamaan, dan hak-hak minoritas. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, saya merasakan denyut “Islam liberal” yang diam-diam terus tumbuh.

Organisasi-organisasi seperti JIL, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, P3M, LKAJ (Jakarta), LKiS (Yogyakarta), LKPMP (Makassar), Syarikat (Yogyakarta), MiSPI (Aceh), LK3 (Banjarmasin), dan eLSAD (Surabaya), adalah kapal-kapal yang menampung gagasan dan semangat “Islam liberal.”

Tentu saja, “Islam liberal” bukan hanya para anggota organisasi itu. Kaum Muslim siapa saja yang meyakini nilia-nilai kebebasan, menghormati hak-hak individu dan minoritas, serta berjuang untuk menegakkan demokrasi berlandaskan cita-cita kaum liberal—dan bukan cita-cita para ideolog dan demagog—adalah Muslim liberal.

Kaum Muslim yang meyakini bahwa demokrasi, dan bukan teokrasi atau apalagi khilafah, sebagai sistem terbaik adalah Muslim liberal. Kaum Muslim yang menerima dasar negara yang plural, dan bukan dasar agama atau apalagi syariat Islam, adalah Muslim liberal.

Akhirnya, demokrasi liberal hanya bisa diterapkan oleh orang-orang yang meyakini nilai-nilai liberal. Ia tidak bisa dijalankan oleh para demagog dan ideolog yang sesungguhnya hanya berpura-pura mengusung demokrasi, tapi sebenarnya ingin membunuh demokrasi itu sendiri.

No comments: