Thursday, November 29, 2007

Pak Haji!



Oleh : Zaim Uchrowi

"Mengapa orang berhaji disebut Pak Haji, dan orang shalat tak disebut Pak Shalat?" Pesan ringkas itu masuk ke telepon genggam saya. Pak Akhyar, seorang guru di Tangerang, pengirimnya. Tak ada yang dapat saya jawab selain tersenyum. Itulah kita. Pertanyaan 'nakal'-nya memgingatkan siapa sosok kita sebenarnya.

Di masa-masa lampau, seorang haji memang selalu pribadi istimewa. Seorang haji adalah seorang yang nyaris paripurna sebagai manusia. Mereka tentu pribadi-pribadi yang telah melampaui banyak hal dalam hidup. Baik lahir maupun batin. Baik yang terkait kebendaan maupun yang bukan kebendaan. Seorang haji, secara umum, memiliki jejak langkah melebihi jejak langkah orang kebanyakan.

Dalam ekonomi, misalnya. Kaji Ngusman, ayah kakek buyut saya, punya sawah luas dan sukses berdagang sebelum berhaji. Hampir semua haji lain di tanah nusantara ini seperti itu. Petani sukses, atau pedagang sukses. Mereka umumnya bukan orang gajian, dan jelas bersih dari bau-bau korupsi. Kesuksesannya juga tidak dinikmati sendiri. Mereka adalah orang-orang yang selalu membantu orang lain. Bukan hanya dalam urusan sosial, melainkan juga ekonomi. Mereka sosok-sosok yang aktif untuk memberdayakan masyarakat. Urusan hubungan sesama manusia, hablum minannas, mereka relatif sempurna.

Dalam urusan hubungan dengan Tuhan, hablum minallah, mereka juga nyaris sempurna untuk ukuran manusia biasa. Shalat lima waktu akan selalu terjaga tepat waktu. Hampir semuanya dilakukan secara berjamaah di masjid yang dibangunnya sendiri. Ibadah-ibadah sunah juga tak pernah ditinggalkan. Shalat dhuha, shalat tahajud, hingga puasa sunah adalah bagian dari hidup mereka. Wajar bila hidup mereka berkah, ditinggikan maqamnya, serta damai-sejahtera. Mereka umumnya orang-orang terbaik dalam agama maupun dalam penghidupan dibanding masyarakat sekitarnya.

'Orang-orang terbaik' itulah yang lalu bertekad menyempurnakan hidup dengan menunaikan Rukun Islam paripurna: Berhaji. Mereka menyiapkan diri menempuh perjalanan yang, di masa itu, merupakan 'perjalanan hidup-mati'. Tak ada asuransi, dan ada penyelenggara haji, atau jaminan apa pun bahwa akan ada yang kembali ke rumahnya sendiri. Perjalanan yang rumit dan berbahaya selama berbulan-bulan ditempuhnya.

Tak sedikit pun itu menggentarkan mereka. Mereka tahu, perjalanannya bukan apa-apa dibanding perjalanan Nabi Ibrahim-Siti Hajar-Nabi Ismail untuk mengukuhkan esensi kebenaran hidup. Yakni, untuk menjadi manusia yang benar-benar merdeka dengan bergantung hanya pada Allah. Keluarga itu tidak mati di tengah gurun saat meneguhkan ketauhidannya. Mereka sangat siap meneladani keluarga istimewa tersebut.

Dengan kesiapan demikian, proses haji yang dijalaninya pun menjadi sempurna. Mereka bukan saja menunaikan rukun dan wajib haji, namun memahami persis makna setiap langkah ibadah yang dilakukannya. Berhaji membuat mereka benar-benar menjadi manusia Tauhid. Manusia yang benar-benar memiliki jiwa merdeka karena tak mau tergantung pada apa pun dan siapa pun selain Allah. Haji inilah menjadi 'haji mabrur'.

Kemabrurannya ditandai dengan perilaku yang lebih banyak lagi memberdayakan masyarakat; Juga lebih santun dalam kata-kata. Jadilah mereka pribadi-pribadi utama di lingkungannya. Wajar bila orang-orang menghormatinya, dan menyebutnya 'Pak Haji'. Berhaji sekarang jauh lebih mudah dibanding dulu. Semua orang praktis bisa berhaji tanpa perlu kesiapan diri seberat dulu. Siapa pun bisa berhaji sepanjang punya uang. Maka sungguh tak mudah bagi kita yang berhaji sekarang untuk mendapatkan 'kualitas haji' sebanding para haji terdahulu.

Jadi, apakah pantas kita mendapat penghormatan sebutan 'Pak Haji'? Jika tidak, mengapa tidak kita singkirkan atribut haji dari nama kita? Banyak haji luar biasa melakukan itu sebagaimana banyak orang salih yang jelas keturunan Nabi Muhammad yang memilih tak menggunakan sebutan 'Habib' untuk diri sendiri. Bila langkah ini ditempuh, mereka percaya, mereka percaya, agama akan lebih bernilai maknawi dibanding sebagai label dan atribut.

Alquran dan Realitas Umat


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Jika kita mau jujur, sebenarnya sudah lama Alquran tidak lagi berfungsi sebagai petunjuk untuk urusan-urusan besar umat Islam, seperti urusan kenegaraan, ekonomi, hubungan internasional, dan lain-lain. Bahwa Alquran masih diimani sebagai Kitab Suci yang tahan bantingan sejarah, adalah pula sebuah fakta, setidaknya secara formal. Tetapi, bahwa kitab ini sudah diabaikan sebagai acuan dalam memecahkan masalah penting umat Islam juga adalah fakta yang lain pula.

Terlihat di sini jurang yang lebar sekali antara akuan dan laku. Umat Islam pada tataran global sama-sama terkurung dalam jurang itu sambil menyalahkan satu sama lain. Masing-masing merasa yang paling benar, sementara saudaranya yang lain palsu belaka, jika perlu dihancurkan. Parameter yang digunakan untuk saling menghancurkan itu sungguh sangat rapuh, tetapi diaku sebagai yang benar.

Gejala yang semakin kentara di awal abad ke-21 ini adalah polarisasi antara kelompok puritan dan moderat, untuk meminjam kategorisasi Khaled Abou El Fadl. Masing-masing merasa berada di jalan lurus. Kaum puritan tampak mengkristal dalam format Taliban dan sampai batas tertentu di kalangan orang Arab Saudi. Mereka ini ingin menciptakan sebuah dunia seperti masa dini Islam, sebagaimana yang dibayangkan.

Mereka anti semua sistem Barat tetapi menikmati hasil teknologinya, seperti mobil dan telepon, bahkan teknik membuat bom. Mereka menilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia sebagai produk Barat yang harus dilawan karena merusak Islam. Mereka ingin menciptakan sebuah dunia cita-cita berdasarkan tafsiran mereka yang monolitik terhadap Alquran dan sejarah nabi. Kelompok ini juga tersebar di berbagai bagian dunia Islam yang umumnya berideologi radikal tunggal: ingin mengubah dunia secara berani dan cepat, sekalipun berisiko pertumpahan darah. Mereka tidak peduli.

Sebenarnya kelompok puritan ini tidak punya tawaran peradaban yang jelas, tetapi relatif terikat ideologi tunggal yang fasistis. Di antara doktrin yang mengikat mereka adalah konsep taat kepada pemimpin, hampir tanpa reserve. Karena itu, ada yang menafsirkan bahwa mereka adalah faksi totalitarian dengan payung syariat. Mereka memandang enteng kematian, jika mati itu adalah dalam upaya mencari ridha Allah menurut visi mereka.

Di sisi lain, kelompok moderat juga mengaku berpegang kepada Alquran, tetapi umumnya mereka membela gagasan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Mereka tidak risau apakah gagasan itu berasal dari Barat atau Timur. Selama gagasan itu mendukung cita-cita Alquran untuk membumikan keadilan, perdamaian, moralitas, dan hubungan yang elok sesama umat manusia, mengapa harus ditolak.

Mereka merasakan keperihan saat menonton dunia Islam yang gelap di bawah sistem politik despotisme yang zalim dan korup tetapi sering diberi legitimasi agama. Didorong oleh keprihatinan ini, mereka tidak segan berpendapat bahwa pemerintahan non-Muslim yang adil lebih baik dari pemerintahan Muslim yang zalim dan korup. Mereka sangat kritikal dengan label yang serba Islam, tetapi dalam realitas bertolak belakang dengan pesan universal Islam yang membela keadilan dan suasana hidup rukun sesama umat manusia.

Dibandingkan dengan kelompok puritan yang relatif solid, kelompok moderat tidak terikat dengan ideologi tunggal. Islam bagi mereka tetap menjadi peradaban alternatif masa depan, tetapi yang harus dipahami secara cerdas, jujur, komprehensif, dan historis. Mereka sangat kritikal terhadap Barat, tetapi tidak menolak unsur-unsur peradaban lain yang positif melalui filter agama.

Itulah gambaran kasar polarisasi umat Islam masa kini dengan mengabaikan varian-varian kecil yang banyak sekali. Kalau demikian, di mana posisi Alquran? Mari kita sama-sama berpikir keras untuk mencari jalan yang solutif sehingga Alquran dapat berfungsi kembali sebagai petunjuk tertinggi dalam memecahkan masalah fundamental dan kemelut kemanusiaan yang tak pernah usai. Alquran sebenarnya juga berfungsi al-furqan (kriterium pembeda antara yang hak dengan yang batil), tetapi mengapa kita masih saja terpasung dalam polarisasi yang tajam sesama umat Islam?

Mari kita belajar bersikap jujur dalam memahami Alquran, buang jauh-jauh subjektivisme sejarah dan kepentingan pribadi. Menurut Alquran risalah kenabian adalah sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan hanya untuk umat Islam. Realitas terkini adalah: umat Islam secara keseluruhan tidak berdaya, banyak energi terbuang secara sia-sia, sehingga sering menjadi bulan-bulanan pihak lain karena memang busuk dari dalam.

Akhirnya, mohon dibaca fakta keras ini dengan seksama: baik yang puritan maupun yang moderat keduanya masih terkapar di buritan peradaban jika dilihat dalam perspektif cita-cita "rahmat bagi seluruh makhluk." Namun, kita tidak boleh patah harapan karena seluruh semangat Alquran mengajarkan optimisme menghadapi masa depan, asal kita mau berkaca diri.

Kalau 'Rasul' Menyerah, Kalau 'Jibril' Menangis



Oleh : KH A Hasyim Muzadi

Belakangan ini marak bermunculan ''bayi-bayi agama baru'' yang menyempal dari agama ''induknya''. Kebetulan yang banyak muncul di media massa, adalah penyempalan dari mereka yang sebelumnya mengaku bersumpah setia kepada Islam. Karena aneka macam alasan, maka lahirlah bayi-bayi itu dengan nama antara lain, Salamullah, Wetu Tellu, ajaran salat versi Yusman Roy, Alquran Suci, Jamaah Udeng Ireng serta beberapa lainnya dengan nama yang aneh-aneh. Yang paling mutakhir adalah testimoni Abdussalam alias Ahmad Mushaddeq yang mengaku sebagai seorang nabi dan rasul sekaligus. Setelah sekian hari, demikian pengakuan yang bersangkutan, melakukan tapabrata di gunung Bunder, Bogor, turunlah wahyu versi keyakinannya. Ia meproklamirkan diri telah mendapatkan ''amar'' dari Tuhan dan diberi tanggungjawab menyelamatkan umat manusia, khususnya umat Islam di Indonesia.

Seruan mantan pelatih fisik bulu tangkis ini, luar biasa sukses, karena tak sedikit umat yang terbuai ajakannya. Kabarnya, puluhan ribu orang bertekuk keyakinan di hadapan ''sang rasul''. Beberapa bahkan ada yang rela menukar akidahnya dengan ajaran baru. Maka, setelah sekian waktu berlalu dengan damai sentosa, dan dengan keberanian yang luar biasa pula, Mushaddeq melakukan pembaiatan atas para pendukungnya, secara terbuka, terang-terangan, bahkan sangat demonstratif di sebuah hotel di Jakarta. Diliput puluhan media massa pula. Dengan busana yang khas para profesional, celana gelap, baju lengkap dengan jas dan dasinya, Mushaddeq menerima ''takluknya'' beberapa orang di hadapannya. Seperti tanpa daya untuk mempertanyakan, mereka menyatakan persaksian dengan mengubah syahadat yang biasa dilakukan umat Islam. Syahadatnya menjelaskan; Mushaddeq sebagai Almasih Almaw'ud. Almasih yang dinanti-nanti kehadirannya.

Berbeda dengan Islam yang dibawa Baginda Rasul Muhammad SAW, Mushaddeq memberi kemudahan kepada pengikutnya untuk tidak salat, tidak puasa, tidak berhaji dan tidak mengeluarkan zakat. Kilahnya, mereka tengah hidup di periode Makkah, periode yang beberapa rukun Islam belum disyari'atkan. Akunya, itu semua baru akan dilakukan setelah hijrah. Hijrah entah kapan. Hijrah entah ke mana. Karena tak lama setelah secara blow-up diberitakan di semua media, cetak dan elektronik, Mushaddeq menyatakan menyerahkan diri kepada aparat kepolisian. Itu pun hampir terlambat, karena banyak pengikutnya, yang di luar harapan banyak penganut agama lama, tak pantas menerima perlakuan keterlaluan, karena sejatinya mereka bisa diajak dan diantar ''pulang'' ke rumah lama. Seorang rasul menyerah? Seorang nabi bertekuk lutut? Rasanya belum ada dalam sejarah seorang rasul menyerahkan diri.

Pada waktu nyaris bersamaan, seseorang yang mengaku sebagai Malaikat Jibril justru meninggalkan ''ruang tahanan'' aparat hukum; aparat yang notabene berasal dari kalangan para manusia juga. Setelah hampir dua tahun mendekam, ia bebas dengan air muka penuh iba dan menangis. Aparat hukum berjanji akan terus memata-matainya; apakah ia masih setia meluaskan ajarannya itu setelah bebas dari bui. Kalau untuk kedua kalinya dinilai menista agama tertentu, maka boleh jadi ia akan berhadapan kembali dengan hukum positif negeri ini. Ia mendirikan madzhab Salamullah dan mengajarkan tuntunan tertentu kepada anak buahnya. Menurut keyakinan Islam, minimal melalui sikap sahabat Nabi, Abubakar Assshiddiq, wahyu telah terputus setelah wafatnya Baginda Rasul Muhammad. Tetapi orang nomor satu di lingkungan Salamullah ini masih mendakwakan turunnya wahyu hingga lahirlah Indonesia merdeka, ratusan tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Sebuah momentum tetapi melahirkan dua paradoks; satu menyerah dan satunya lagi menangis. Dua sifat sangat manusia. Ada yang secara berkelakar mengatakan, kalau ingin membuktikan kebenaran pengakuan Mushaddeq maka silakan bertanya kepada Jibril yang baru meninggalkan ruang tahanan itu. Sesuatu yang sarkartis. Beberapa analis melihat bahwa aparat negara, para penghulu agama, serta beberapa kelompok lainnya telah menunjukkan perlakuan yang keterlaluan terhadap para pengikut ''agama baru'' ini. Beberapa di antaranya mempersalahkan kondisi yang menyebabkan mereka bisa lahir. Mereka bilang situasi yang ada telah menyebabkan semua agama baru itu bisa lahir dengan leluasa. Malah diangkat opini soal menghukum sebuah keyakinan dianggap bukanlah kewenangan manusia. Maka dikutiplah beberapa penggal ayat suci untuk menguatkan analisisnya. Hukuman opini dijatuhkan kepada aparat negara, penghulu agama serta mereka yang selama ini dianggap umat agama tradisionalis yang antinalar. Sedang terhadap penganut ''agama baru'' ini, mereka tak menjanjikan apa-apa tentang kebenaran ajaran yang dianutnya kecuali sebuah kebebasan yang sumir.

Bagaimana ini semua bisa terjadi? Sebenarnya kalau ''agama baru'' ini tidak mengambil sikap merongrong terhadap ajaran yang telah ada, persoalannya akan menjadi lain. Memang, sepanjang bumi ini masih menjadi hunian anak manusia, maka beragam persoalan akan terus bermunculan, termasuk fenomena ''agama baru''. Sebagai umat Islam, tentu kita memiliki keyakinan yang tak bisa ditawar, bahwa Islam dengan segala tuntunannya sudah final sebagai sebuah akidah. Dan kita sudah bersumpah setia untuk menjaga keyakinan kita. Memang benar sebuah diktum yang mengatakan bahwa tidak mungkin aturan yang notabene profan buatan manusia berpretensi melindungi ajaran agama yang transendental dan datang dari Tuhan. Tetapi pranata sosial dan keagamaan tak bisa diabaikan keberadaannya untuk menjaga harmoni umat manusia. Tampaknya semua agama memiliki pranatanya sendiri-sendiri untuk membantu lahirnya harmoni di kalangan umatnya. Belum ada dalam sejarah, umat beragama hidup tanpa pranata sosial yang profan dan dibuat oleh manusia.

Nah! Bagaimana kalau seorang di antara anggota keluarga kita menghilang? Tak jelas di mana keberadaan anak kita? Menghilang karena ajaran tertentu. Menganggap orang tuanya kafir? Menjauhi rumah tempat dirinya dilahirkan karena menganggapnya najis? Memutus hubungan kekerabatan dengan semua anggota keluarganya. Tanpa merujuk kepada agama pun, kejadian semacam ini akan meluluhlantakkan harmoni di tengah sebuah keluarga. Tanpa diperintah oleh agama apa pun, kita akan mencari anak kita yang hilang. Menjadi aneh kalau ada orang tua yang bisa tidur nyenyak dan membiarkan anaknya minggat dari rumah tanpa alasan. Jangankan Tuhan yang memberikan amanah anak kepada kita, aparat hukum pun akan menanyakan kita sebab kehilangan anak. Kita harus bertanggung jawab. Apalagi kalau sampai anak kita memendam sebuah keyakinan yang aneh dengan menyebut kita sebagai bukan dari kalangannya sehingga pantas ditinggalkan untuk selama-lamanya. Duh Gusti! Kembalikan mereka yang terlalu jauh melangkah. Karuniakan hidayah-Mu. Jadikan kami, orang tua yang mampu melindungi keturunan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas amanah-Mu. WalLaahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thoriiq.

Al-Amin


Oleh : Haedar Nashir

Kenapa para Nabiyullah ternama bergelar Al-Amin? Sosok yang sangat tepercaya. Nabi Muhammad diberi predikat al-amin jauh sebelum diangkat sebagai Rasul, ketika berhasil mempersatukan elite dan kabilah Quraisy yang berselisih tatkala membangun Ka'bah. Putra Abdullah bin Abdul Muthalib itu telah menjadi figur baru yang memberikan harapan cerah bagi masyarakat Arab, kendati di belakang hari harus berhadapan dengannya karena membawa agama baru, Islam.

Sejarah akhirnya mencatat, dengan sifat al-amin dan risalah kenabiannya, Muhammad berhasil membebaskan dan mencerahkan seluruh masyarakat di jazirah Arabia, sekaligus menjadi sosok panutan seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Nabi kekasih Tuhan ini benar-benar menjadi pribadi dan pemimpin dunia yang memancarkan uswah hasanah. Lebih dari itu, Muhammad SAW bahkan telah menorehkan Islam sebagai agama rahmatan lil-'alamin. Pembawa agama rahmat bagi semesta alam.

Musa alaihissalam disebut pula qawwiy al-amin. Sosok Nabi yang kuat sekaligus tepercaya. Dengan sikap tegas dan kokoh pendirian, Musa juga menjadi sosok yang amanah. Nabi putra Imran bin Qahits bin Lawi bin Ya'qub ini berhasil meruntuhkan rezim super-otoritarian Fir'aun dan membangun peradaban baru Bani Israil yang beriman kepada Allah.

Melalui Musa yang qawwiy al-amin itu, Islam hadir sebagai agama pembebasan. Pembongkar segala bentuk penindasan dan pembelengguan hidup umat manusia dalam kungkungan rezim kafir dan paganisme. Menjadi Nabi pembawa misi perjuangan kaum dhu'afa dan mustadh'afin melawan kedigdayaan rezim diktatorial Firaun yang borjuis dan penindas.

Yusuf alaihissalam pun bergelar "al-makin al-amin", begitu julukan raja Mesir Rayyan Bin Walid kepadanya. Yakni sosok manusia yang memperoleh jabatan tinggi tetapi tepercaya. Tuhan bahkan memberi Yusuf predikat "al-hafid" dan "al-'alim". Nabi kelahiran kota Fadan Aram itu adalah Nabi pemegang jabatan publik yang cakap atau mampu memelihara jabatan yang diembannya sekaligus tepercaya. Nabi Muhammad bahkan menyebut Nabi Yusuf sebagai "al-karim ibn al-karim", sosok mulia dari anak keturunan yang mulia.

Dengan sifat cakap dan amanah itulah Nabiyullah nan tampan dan murah hati itu berhasil membawa rakyat dan negeri Mesir menjadi makmur, aman, dan damai. Nabi putra kinasih Ya'qub alaihissalam itu adalah sosok negarawan teladan yang mampu mengubah sebuah bangsa dan negara dari bencana kelaparan dan kekeringan menjadi gemah ripah lohjinawi. Dari Nabiyullah yang satu ini risalah Tuhan ditransformasikan menjadi agama yang menebar etos kemakmuran di muka bumi ini.

Kita sedikit berandai-andai. Bagaimana jika negeri Indonesia tercinta ini dipimpin oleh sosok-sosok elite pemangku jabatan publik yang memiliki sifat al-amin? Para pemimpin pemerintahan dan tokoh-tokoh wibawa yang amanah. Sosok-sosok yang tepercaya secara lahir dan batin. Tepercaya pikiran dan tindakannya. Amanah dalam segala kebijakannya ketika mengurus negara dan hajat hidup publik. Termasuk amanah dalam memelihara dan melaksanakan janji yang diikrarkan ketika kampanye.

Jika para pemimpin dan elite negeri tercinta yang terhormat itu mampu menghiasi dirinya dengan sifat-sfat al-amin, sungguh beruntung bangsa Indonesia yang sudah merdeka 62 tahun ini. Namun jika menyaksikan gelagat umum, tampaknya masih jauh panggang dari api. Sifat amanah atau al-amin itulah yang kini terasa hilang dari para elite publik di negeri ini, kendati tentu saja selalu ada yang tersisa dan masih amanah.

Tengoklah betapa banyak urusan serba tertunda dan kian ruwet. Bila menyangkut keluhan dan pengaduan rakyat kecil seing lambat bahkan terabaikan untuk diselesaikan, sebaliknya jika menyangkut kepentingan kelas papan atas seringkali ringan penyelesaiannya. Malah muncul ironi, para elite politik lebih responsif atas urusan dirinya seperti menaikkan gaji dan fasilitas, ketika urusan rakyat yang diwakilinya banyak yang tak terjamah. Para koruptor, perusak kekayaan negara, dan penghancur negeri masih banyak yang berkeliaran dan sebagian malah secara menyolok mata dibebaskan. Semua itu terjadi karena para pemegang kunci jabatan publik tidak amanah, bagaikan pagar makan tanaman.

Eloknya, di negeri yang kian penuh beban ini bahkan para pemimpinnya seolah kelebihan syahwat-kuasa. Mengalami inflasi ambisi yang tumpah-ruah di sejumlah tempat, dari pusat hingga ke daerah-daerah. Dari hari ke hari kita menyaksikan kian bermunculan orang yang mendeklarasikan diri siap menjadi presiden atau wakil presiden. Siap menjadi gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.

Alhamdulillah, rupanya negeri ini memang tak akan kehabisan stok para calon pemimpin yang siap untuk memimpin bangsa. Soal apakah nanti benar-benar menjadi pemimpin yang al-amin, tinggal menunggu pembuktian saja. Tinggal menanti dan menagih bukti saja, sambil berdoa semoga pada selamat sampai ke tujuan.

Aroma hasrat kuasa itu bahkan kian menular ke ranah-ranah organisasi-organisasi kemasyarakatan. Termasuk di sebagian para elite dan organisasi kaum muda. Bagaimana saling berlomba merebut dan meretas jalan ke kursi-kursi jabatan publik di pemerintahan. Politik kini jadi panglima sekaligus pesona baru yang menggairahkan para elite ormas kepemudaan. Argumentasinya sangat logis dan indah, bahwa politik itu sangatlah penting dan strategis untuk memecahkan urusan-urusan rakyat, yang tak akan mampu dipecahkan oleh lembaga-lembaga dan alite-elite partikelir.

Hasrat kuasa itu tentu wajar adanya sejauh rasional. Namun selalu ada masalah dengan energi manusia yang satu ini. Potensi ambisi seringkali tumbuh menjadi energi ambisius, lalu mekar menjadi love of power atau gila kuasa. Lantas berlaku hukum israf, keberlebihan. Berkuasa secukupnya berubah menjadi kekuasaan sepanjang hayat. Hasrat kuasa akhirnya tak setara dengan tanggung jawab. Padahal segala sesuatu yang melebihi takaran biasanya tidak baik. Malah bisa menjurus ke penyakit ta'bid 'an siyasiyah, jenis penghambaan diri pada nafsu kuasa. Sebelum berkuasa serba siap dan seolah amanah, namun setelah berkuasa malah lupa janji semula.

Negeri ini terlalu banyak inflasi para elite yang siap berkuasa tetapi nihil spiritualisasi kekuasaan. Sebutlah spiritualisasi al-amin. Kini yang diperlukan dari lubuk hati para elite di negeri ini ialah, bagaimana memberi porsi sekadarnya terhadap hasrat kuasa. Sekaligus memperbesar jiwa pengkhidmatan yang lahir dari panggilan nurani yang jernih untuk sebesar-besarnya meringankan beban rakyat yang dipimpin. Hasrat kuasa tak boleh melebihi takaran, apalagi meluap-luap hingga ke gila kuasa. Kekuasaan bukan untuk mengambil, tetapi untuk memberi.

Ada kisah teladan yang dilukiskan Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani. Tersebutlah seorang raja nan arif bijaksana dan cinta rakyat di sekitar jazirah Mesir. Suatu saat sang raja merasa sudah cukup berkuasa dan ingin menjadi orang biasa, serta menumpahkan diri untuk bertaqarrub kepada Allah. Sang raja meninggalkan istana dan tiba di sebuah wilayah kerajaan tetangganya, yang juga dipimpin oleh raja yang bijaksana.

Dalam pakaian orang biasa, sang raja menjadi tukang batu bata dan hasil pekerjaannya dibagi-bagikan sebagai sedekah bagi orang-orang miskin di daerah itu. Perbuatan terpuji itu diketahui raja setempat, sehingga diutuslah pengawal kerajaan untuk menemui sang tukang bata itu. Tapi tukang batu bata yang berhati mulia itu tak mau diajak ke istana, hingga raja sendiri menemuinya.

Nyaris mantan raja yang menjadi rakyat biasa itu melarikan diri dan tidak mau menemui sang raja setempat, hingga akhirnya sang raja yang mengejarnya berhenti dan kemudian turun dari kuda serta meninggalkan pasukannya. "Aku akan berhenti mengejar tuan, tapi ceritakanlah siapa tuan itu sebenarnya?"

Berceritalah tukang batu bata itu kalau dirinya raja yang melengserkan diri dari istana untuk menjadi ahli ibadah dan berkhidmat bagi orang miskin dalam posisi sebagai orang biasa. Setelah mendengar kisah yang seolah tak masuk akal itu, akhirnya raja yang satunya pun memutuskan diri untuk meninggalkan istana dan hidup menjadi rakyat biasa sebagaimana raja pertama yang menjadi tukang batu bata.

Kisah yang dilukiskan Rasulullah itu sungguh kaya makna. Itulah kisah tentang dekonstruksi hasrat kuasa dan kemegahan kekuasaan, yang seringkali lupa akan makna dan fungsinya. Bagaimana para pemegang kuasa melucuti nafsu dan kemegahan kuasanya untuk kemudian berkhidmat sepenuh hati untuk Tuhan dan kemanusiaan. Itulah bentuk spiritualisasi tentang kekuasaan.

Makna lainnya? Rasulullah mengingatkan secara tak langsung. Tak perlu terjerumus pada love of power apalagi ta'bid 'an siyasiyah: cinta kuasa dan menghambakan diri pada hasrat kuasa melebihi takaran. Bila perlu minimalisasi dan nihilkan hasrat kuasa itu hingga ke titik zero. Kata orang Muhammadiyah yang berpikiran moderat: janganlah mengejar jabatan, namun manakala diberi amanah tunaikanlah dengan sebaik-baiknya.

Kalaupun diberi amanah, janganlah menghargai diri berlebihan hingga abai terhadap makna dan fungsi dari jabatan yang diamanahkan. Bahkan harus berani berpikir sebaliknya. Manakala tak akan membuahkan masalahat dan rahmat bagi semesta kehidupan untuk apa menanam benih hasrat kuasa dan menanggung amanah orang banyak.

Monopoli


Oleh : Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc

Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada pekan ini adalah keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan bahwa salah satu perusahaan asing dianggap bersalah karena mempunyai kepemilikan silang di dua perusahaan telekomunikasi papan atas Indonesia. Perusahaan tersebut dinyatakan telah melanggar UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Meskipun mendapat dukungan penuh Presiden dan Wapres, keputusan ini mendapat reaksi yang bermacam-macam, baik pro maupun kontra. Banyak kalangan yang menunjukkan kekhawatiran bahwa keputusan KPPU tersebut akan memiliki dampak negatif terhadap iklim investasi yang tengah dibangun oleh pemerintah Indonesia. Kuasa hukum perusahaan asing tersebut pun menyatakan akan mengajukan banding ke pengadilan negeri karena merasa tidak bersalah dan menganggap bahwa keputusan tersebut mengandung banyak kesalahan.

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, langkah yang telah ditempuh KPPU perlu diapresiasi dan didukung, karena menunjukkan keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan ekonomi nasional. Kekhawatiran akan terganggunya iklim investasi tidak perlu dibesar-besarkan, karena diyakini bahwa potensi yang dimiliki oleh bangsa ini untuk menarik dana investasi sangat besar. Justru dengan ketegasan KPPU, Indonesia telah menunjukkan kepada dunia bahwa kepastian hukum telah menjadi bagian dari agenda pembangunan nasional, terutama di bidang ekonomi.

Islam dan praktik monopoli
Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dibahas. Bahkan permasalahan ini telah mendapat perhatian yang sangat serius dari ajaran Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT: "...agar harta itu jangan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu sekalian..." (QS 59: 7). Selain riba, monopoli adalah komponen utama yang akan membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi.

Para ulama terkemuka abad pertengahan pun, seperti Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dan Ibn Khaldun, telah pula melakukan kajian yang mendalam tentang praktik monopoli. Ibn Taimiyyah misalnya, dalam kitabnya Al-Hisbah fil Islam menyatakan bahwa ajaran Islam sangat mendorong kebebasan untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama.

Kepemilikan dan penguasaan aset kekayaan di tangan individu adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam. Namun demikian, ketika kebebasan tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan praktik-praktik monopolistik yang merugikan, maka adalah tugas dan kewajiban negara untuk melakukan intervensi dan koreksi.

Negara bertanggung jawab penuh untuk menciptakan keadilan ekonomi, dengan memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Karena itulah, beliau menekankan pentingnya keberadaan lembaga al-Hisbah sebagai organ negara yang bertugas untuk memonitor pasar, mengawasi kondisi perekonomian dan sekaligus mengambil tindakan jika terjadi ketidakseimbangan pasar akibat monopoli dan praktik-praktik lain yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya At-Turuk al-Hukmiyyah.

Sementara itu, Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah juga menyatakan pentingnya peran negara dalam menciptakan keadilan ekonomi dan keseimbangan pasar. Ia menegaskan bahwa pajak (dan juga denda) adalah instrumen yang dapat digunakan oleh negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus untuk mengeliminasi praktik-praktik kecurangan yang terjadi di pasar, termasuk praktik-praktik monopoli yang dilakukan oleh segelintir pebisnis.

Karena itu, keputusan yang dijatuhkan KPPU yang antara lain berupa kewajiban membayar denda bagi perusahaan asing tersebut, selain melepaskan sahamnya, adalah keputusan yang sangat tepat. Diharapkan ada efek jera bagi perusahaan-perusahaan lain yang berniat untuk melakukan manipulasi pasar demi kepentingan bisnis mereka.

Namun demikian, ajaran Islam membolehkan praktik monopoli yang dilakukan oleh negara, dengan syarat hanya terbatas pada bidang-bidang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, api, dan padang rumput". Ke depan, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengelola investasi yang diharapkan dapat mengembangkan perekonomian nasional.

Langkah strategis
Pertama, perlunya penguatan karakter bangsa yang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya, memiliki keberpihakan kuat terhadap kepentingan masyarakat terutama kaum dhuafa, dan mempunyai etos kerja yang kuat dan produktif. Kedua, memanfaatkan secara optimal instrumen-instrumen ekonomi alternatif, yaitu instrumen ekonomi Islam, seperti sukuk dan zakat.

Membangun kemandirian ekonomi dengan memanfaatkan potensi dan instrumen ekonomi dalam negeri, harus terus-menerus dilakukan, karena tidak mungkin kemajuan akan dicapai dengan mengandalkan bantuan asing semata-mata. Sukuk dapat dijadikan sebagai pintu masuk investasi yang diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, sekaligus menjamin keseimbangan sektor moneter dan sektor riil. Zakat dapat digunakan dalam upaya memerangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan kaum dhuafa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: "Kalian akan diberi pertolongan dan diberi rezeki dengan sebab (menolong) kaum dhuafa di antara kalian...". Pemanfaatan zakat jauh lebih baik daripada mengandalkan utang luar negeri, termasuk utang dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia yang terkadang menjerumuskan.

Ketiga, konsistensi penegakan hukum. Pemerintah dan lembaga peradilan tidak boleh ragu-ragu di dalam menegakkan hukum, apalagi tunduk terhadap desakan negara-negara luar. Pemerintah harus memiliki keyakinan bahwa rakyat akan selalu mendukung jika pemerintah konsisten menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meskipun pada akhirnya harus berhadapan dengan kekuatan dan tekanan asing. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Monday, November 26, 2007

Ormas Islam dan Aliran Sesat





Kemunculan aliran-aliran pemikiran dan gerakan baru dalam Islam adalah suatu keniscayaan dan gejala yang wajar. Setiap zaman baru dalam sejarah peradaban mengharuskan umat beragama untuk meninjau kembali isi khasanah doktrinnya.

Apakah pola pemahaman Islam yang dianut dapat digunakan untuk melihat permasalahan umat secara akurat? Apakah para penganut Islam dapat merampungkan seluruh persoalan kehidupan yang dihadapinya dengan menggunakan pendekatan Islam? Jika kedua masalah itu clear, berarti pemahaman keislamannya masih fungsional dan tidak memerlukan pemahaman atau penafsiran baru atas doktrin.

Aliran Islam baru itu akan muncul apabila corak pemahaman Islam yang mereka anut dirasakan sudah tidak mempan lagi untuk melihat masalah kehidupan. Karena itu, berbagai persoalan yang muncul tidak terselesaikan dengan baik dan cenderung semakin menumpuk. Dalam situasi demikian, kemunculan berbagai aliran baru tidak terelakkan. Demikianlah dalam sebuah episode sejarah Islam klasik kita mengenal aliran-aliran teologi Islam, seperti Khawarij, Murjiah, Qodariah, Jabariah, Mu'tazilah, dan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dalam fikih Islam juga dikenal berbagai aliran hukum Islam, atau lebih dikenal dengan mazhab, seperti Syafii, Hambali, Maliki, dan Hanafi.

Di Indonesia juga muncul aliran Islam yang bercorak reformis, seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, ada pula yang bercorak tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah mengapa ada aliran Islam yang sesat dan ada pula yang lurus (shiraatal mustaqim)? Memakai tolok ukur apa suatu aliran Islam dikatakan sesat, sementara ada aliran Islam lain yang tidak sesat. Siapa yang berhak membuat tolok ukur sebagai alat kategorisasi? Berdasarkan ketentuan Allah, lembaga keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, dan NU, atau malah negara? Secara sederhana, pemahaman rukun Islam bisa digunakan sebagai salah satu tolok ukur ortodoksi Islam.

Maka, yang menyimpang dari lima pilar keagamaan tersebut bisa dikatakan menyimpang dari ajaran Islam ortodoks. Misalnya, rukun Islam pertama adalah syahadat, sebuah persaksian bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, jika ada aliran Islam yang percaya bahwa ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad, itu sudah bisa dianggap aliran sesat karena pemahamannya tentang salah satu pilar Islam telah menyimpang dari ajaran Islam ortodoks. Bila berdasarkan tolok ukur tersebut, memang ditemukan ada aliran sesat, selanjutnya bagaimana sikap kita terhadap mereka? Memunculkan fatwa sesat, membunuhnya, membakar rumahnya, atau merangkul kembali mereka dan membimbingnya menuju Islam yang benar?

Peran Ormas Islam

Akhir-akhir ini ada tiga aliran Islam baru yang dianggap sesat dan mengemuka ke permukaan, yaitu Ahmadiyah, Lia Eden, dan terakhir Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Ketiga aliran itu disebut menyimpang karena mempercayai ada Nabi atau Rasul (baru) setelah Muhammad SAW. Menghadapi maraknya aliran-aliran sesat itu, apa yang bisa diperankan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah untuk meredam dan menanggulanginya?

Apakah mengumumkan fatwa sesat ke publik cukup efektif, yang biasanya diikuti dengan tindakan anarkistis massa terhadap para penganut aliran tersebut? Apakah tidak ada jalan lain untuk mengingatkan dan menarik mereka kembali kepada jalan yang benar? Sebelum mengambil sikap terhadap mereka, sebaiknya dikenali dan dipahami terlebih dahulu akar penyebab pemunculannya. Mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas umat. Sebuah aliran sesat timbul karena beberapa alasan; (a) reaksi terhadap proses marginalisasi dan atomisasi kehidupan modern, terlempar dari kehidupan masyarakat, (b) secara psikologis mereka merasa kehilangan pegangan dalam menghadapi proses sosial yang baru, dan (c) biasanya mereka tidak terjangkau oleh kepemimpinan organisasi umat yang ada.

Dengan demikian, kemunculan aliran-aliran sesat tersebut lebih banyak disebabkan faktor kulturalreligius, bukan masalah ekonomi. Karena itu, aliran-aliran sesat bisa muncul di pedesaan dan juga di wilayah perkotaan, orang-orang terpelajar maupun yang kurang terdidik. Karena akar kemunculan aliran sesat itu bersifat kultural-religius, ormas Islam memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka menanggulangi lahirnya aliran-aliran sesat tersebut. Ada dua langkah yang bisa dilakukan ormas Islam untuk menanggulangi munculnya aliran sesat.

Pertama, mengefektifkan peran dan fungsinya sebagai gerakan pendidikan dan dakwah. Hampir semua ormas Islam memiliki kedua kegiatan tersebut. Saluran pendidikan melalui sekolah, madrasah, dan pesantren.

Para santri dan siswa ditanamkan sejak dini bagaimana model keberagamaan Islam yang benar sejalan dengan ortodoksi Islam, sembari dijelaskan tentang perbedaan-perbedaan furu'iyah yang bisa ditolerir sehingga bisa bersikap moderat terhadap perbedaan pemahaman. Senapas dengan model pendidikan formal yang dijalankan di lapangan, dakwah seperti pengajian juga mengembangkan model pemahaman keagamaan moderat sehingga kelompok-kelompok jamaah pengajian tidak gampang menyesatkan kelompok lain yang tidak sehaluan dengan pemahaman kelompoknya. Kedua, memperluas basis gerakan pendidikan dan dakwahnya kepada kelompok-kelompok masyarakat yang sejauh ini tidak terjangkau oleh kepemimpinan umat atau ormas Islam.

Kehadiran ormas Islam pada umumnya berada di daerah yang tingkat pemahaman keislaman masyarakatnya sudah memadai. Tokoh-tokoh Islam muncul dari komunitas seperti ini. Di sisi lain, komunitas muslim yang tidak terjangkau kepemimpinan semakin jauh dari paham Islam ortodoks sehingga mereka sangat rentan untuk berpaling kepada aliran-aliran sesat. Untuk mengatasi masalah ini, ormas Islam bisa mengambil prakarsa mengadakan migrasi dakwah, mendorong perpindahan beberapa ahli agama dari satu daerah ke daerah lain yang kering komunitas keislamannya.

Cara ini bisa ditempuh dengan menyebarkan dai-dai muda untuk memasuki kehidupan kelompok-kelompok masyarakat yang belum terjamah oleh kepemimpinan umat tersebut. Dai inilah yang akan membimbing umat ke jalan Islam yang benar. Jika sejenak menengok ke belakang, pesantren pada umumnya muncul di balik komunitas masyarakat abangan atau bahkan penduduknya menjalankan tindakan "hitam"(pencuri/rampok) sebagaimana kasus pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah Tebuireng Jombang. Setelah pesantren berdiri, perilaku umat berubah.

Pesantren mampu mentransformasikan masyarakat dari abangan dan "dunia hitam" menjadi komunitas santri. Penyebaran gerakan dakwah Muhammadiyah juga dipercepat oleh mobilitas pedagang Minang yang memiliki jiwa merantau. Para pedagang Minang, di samping menguasai keterampilan dagang, memiliki pemahaman agama yang memadai sehingga pengembangan usaha dagang dilakukan bersamaan dengan perluasan dakwah Islamiah. Dengan demikian, baik NU maupun Muhammadiyah memiliki pengalaman untuk melakukan migrasi dakwah dan melakukan proses santrinisasi. Sudah tentu, untuk konteks sekarang perlu ada desain dakwah, bukan sekadar peristiwa insidental seperti peristiwa masa lalu.

Dua langkah tersebut yaitu mengefektifkan peran ormas Islam sebagai gerakan pendidikan dan dakwah serta perluasan basis dakwah ke daerah yang keislamannya "tandus". Hal tersebut perlu menjadi bahan renungan sebagai usaha memperbaiki strategi dakwah ormas Islam. Dalam konteks ini, munculnya aliran sesat pada dasarnya menunjukkan bahwa strategi dakwah ormas Islam belum tepat sasaran, belum mampu menembus penduduk muslim yang justru sangat memerlukan sentuhan dakwah. Melahirkan fatwa sesat terhadap suatu aliran keagamaan harus dipandang sebagai usaha kuratif. Yang lebih penting dari itu adalah memikirkan usaha-usaha preventif sehingga aliran itu tidak muncul.

Usaha preventif bisa dilakukan ormas Islam dengan melakukan dua langkah tersebut. Tanah yang tandus sangat rentan terhadap bencana banjir maupun tanah longsor, demikian pula keberagamaan yang "tandus". Tugas kita adalah menanami kembali tanah keagamaan yang tandus itu dengan dakwah yang menyejukkan, dakwah bil hikmah dan keteladanan. Peran itu dapat dimainkan secara penuh oleh ormas Islam karena itu adalah ladang dakwah yang konkret dan membumi. Wallahu a'lam bish-shawab. (*)

Drs Marpuji Ali, MSi
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah
(mbs)

Keberpihakan Pada Mustadh`afin



Oleh : Abrar Aziz

Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah periode 2006-2008

Apakah fungsi agama yang sebenarnya? Pertanyaan ini menjadi sangat penting jika melihat fenomena keberagamaan umta Islam dewasa ini. Ada beberapa masalah serius yang kita hadapi saat ini.

Pertama, bangkitnya gerakan baru Islam yang mengusung corak islam yang doktriner dan literal. Kelompok ini memiliki kecenderungan bergerak secara konfrontatif dan ekstrem. Bahkan, tidak jarang mereka bertindak sebagai polisi syariat dan polisi moral dalam memberengus kelompok yang dianggap berseberangan dan “sesat”.

Kedua, maraknya perdagangan ayat-ayat Tuhan yang bahkan dilakukan oleh kaum yang merasa santri sekalipun. Atas nama dakwah, mereka berani memasang harga hingga puluhan juta rupiah untuk sekali tampil. Dalam hal ini, aktivitas dakwah hanya menjadi tempat transaksi antara konsumen dan produsen. Jika transaksi sudah selasai, maka jamaah akan pulang dengan membawa cerita-cerita lucu dan sang da`i pun kembali dengan setumpuk uang dan ketenaran. Apa yang didapatkan dengan dakwah yang seperti ini?

Bukan hanya itu, media pun sepertinya tidak mau ketinggalan untuk meraup keuntungan dari pasar Muslim terbesar di dunia ini. Berbagai tayangan yang dibungkus label Islami disodorkan kepada masyarakat luas. Nuansa tahayyul dan khurafat sangat kental dalam tayangan 'Islami' ini. Apalagi jika tayangan itu juga diakhiri dengan ceramah seorang ustadz kondang, maka semakin kuatlah legitimasi tayangan tersebut sebagai tayangan Islami.

Ironisnya lagi, di tengah kekhusyukkan umat dalam menyaksikan tayangan yang katanya memiliki tingkat kepemirsaan yang tinggi itu, tiba-tiba diselingi dengan iklan-iklan yang menampilkan gambar-gambar yang justru sangat tidak Islami. Dari sini dapat kita lihat bahwa motif tayangan tersebut ternyata hanyalah bisnis semata, dan jauh dari keinginan untuk mengembangkan nilai-nilai Islam secara baik.

Dua masalah tersebut, dan tentunya masih banyak deretan masalah lain, menunjukkan kepada kita betapa besarnya masalah yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia pada khususnya, saat ini. Persoalannya tentu menjadi lebih berat lagi jika kita saksikan fenomena yang sangat menyakitkan hati, yaitu fenomena korupsi yang justru dilakukan oleh departemen yang seharusnya diisi oleh orang-orang yang beriman dan saleh. Yang lebih menyakitkan, kejahatan ini dilakukan saat umat ini sangat kesusahan karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kepada siapa lagi umat ini harus mengadu jika lembaga agama saja sudah tidak bisa lagi dipercaya?

Kumpulan para ulama juga ternyata tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah yang kita hadapi. Fatwa-fatwa yang diputuskan tidak jarang justru malah memicu konflik di antara umat Islam sendiri. Kita tentu saja sangat merindukan fatwa-fatwa yang berpihak pada kaum mustadh'afin, fatwa tentang penggusuran atau fatwa tentang hukuman berat bagi pejabat negara yang korupsi.

Hal ini mejadi sangat penting mengingat persoalan terbesar yang sedang kita hadapi adalah kemiskinan di tengah negeri yang kaya raya. Bagaimana mungkin negeri yang diberi berkah sangat melimpah oleh Allah ini dengan bermacam kekayaan alam harus menerima kenyataan bahwa rakyatnya terpaksa makan nasi aking dan harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan lima liter minyak tanah.

Pertanyaannya adalah, pernahkan para ulama, pengkhotbah, kaum ekstrimis yang mengaku menjadi tentara Tuhan, atau ustadz yang memasang tarif jutaan rupiah itu melakukan langkah konkret untuk menyelasaikan masalah ini? Apakah cukup persoalan yang berat ini diselesaikan dengan hanya meminta umat bersabar karena setiap musibah ada hikmahnya? Atau, tepatkah jika dalam kondisi seperti ini dalil bahwa Allah sangat mencintai orang yang bersabar disalahgunakan untuk menutupi perilaku buruk para pemimpin umat?

Yang sangat diperlukan oleh umat saat ini adalah langkah konkret, bukan ceramah-ceramah yang tidak mampu mengatasi kelaparan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial lainnya. Bagaimana mungkin seseorang dipaksa beribadah dengan khusyu sementara perut keluarga belum terisi selama dua hari. Bagaimana mungkin seseorang harus dicambuk karena mencuri sedangkan di rumahnya tidak ada satu pun bahan makanan yang bisa dimakan. Di sinilah pentingnya kita mengkaji kembali fungsi agama bagi manusia dan kepada siapakah agama harus berpihak.

Mempertegas keberpihakan
Dalam Alquran jelas sekali disebutkan bahwa yang disebut al birri atau kebajikan adalah beriman kepada Allah, nabi-nabi, kitab-kitab dan senantiasa mencintai orang-orang miskin, orang yang meminta-minta, anak yatim dan memerdekakan budak (QS Al Baqarah 177). Tidak ada keraguan sedikitpun bagi kita tentang maksud ayat ini. Yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan lemah.

Ajaran bahwa keimanan harus memberikan implikasi kepada dimensi sosialnya sangat jelas diungkapkan dalam Alquran. Dengan kata lain, iman tidak akan memiliki arti sama sekali jika tidak memiliki dimesi sosial. Tidak kurang dari 36 ayat dalam Alquran yang mengaitkan iman dan amal shaleh. Di antaranya QS Al Baqarah; 62, Al Maidah; 69, Al An`am; 54, Al Kahfi; 88, Maryam; 60, dan ayat-ayat lainnya.

Langkah yang harus kita lakukan juga telah disampaikan oleh Kitab Suci, yaitu dengan memberikan sebagian harta kita kepada mereka, memberikan pertolongan, dan memperlakukan mereka sebagai manusia yang mulia. Bukanlah langkah yang tepat jika persoalan ini hanya diatasi dengan mengajak umat untuk terus bersabar dan berdoa.

Keberpihakan Islam terhadap kaum tertindas memang tidak dapat dipungkiri. Untuk itulah dibutuhkan sebuah gerakan dakwah yang membebaskan umat dari belenggu ketertindasan. Dan gerakan ini tentu saja harus dimulai oleh para ulama, pemimpin negara, dan kelompok-kelompok Islam yang menjadi panutan masyarakat. Jika ulamanya hanya bertindak sebagai polisi syariat, para ustadz terus memasang tarif selangit sambil menyuruh umat bersabar atas musibah, media terus membodohi umat, dan kelompok-kelompok agama sibuk berdebat soal mana yang sesat dan mana yang benar, maka jangan harap kondisi bangsa ini akan membaik.

Langkah konkret harus dimulai sesegera mungkin. Dalam hal ini para ulama diharapkan mampu menjadi pembela kaum tertindas dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang bisa secara jelas menunjukkan keberpihakan itu. Sikap yang bisa memberi keberpihakan itu antara lain bisa diwujudkan dalam fatwa tentang penggusuran, hukuman bagi koruptor, atau fatwa lain yang mampu melepaskan umat dari ketertinggalan. Begitu juga pemerintah harus senantiasa menunjukkan keberpihakan kepada rakyat miskin dalam membuat setiap kebijakan. Ustadz-ustadz juga diharapkan mampu memberikan ceramah-ceramah yang menggerakan masayarakat untuk saling peduli.

Dan ingat, jangan pasang tarif yang memberatkan jamaah. Mudah-mudahan negeri ini mampu menjadi surga bagi para penduduknya. Baldatun thayyibatun waraabun ghafuur. Amin.

Ikhtisar

- Distorsi terhadap ajaran Islam dan 'perdagangan' ayat-ayat Alquran menjadi persoalan umat yang harus dituntaskan.
- Pada praktiknya, dua hal tersebut kerap membuat posisi umat menjadi dilemahkan.
- Para tokoh agama harus segera menjalankan langkah konkret untuk mengatasi persoalan berat yang kini dihadapi umat berupa kemiskinan, ketertindasan, kebodohan, dan sebagainya.
- Ulama dan umara wajib menempatkan dirinya pada pihak yang membela kaum tertindas.

Saturday, November 24, 2007

Rekonstruksi Islam Indonesia




ImageMeskipun telah banyak buku yang terbit dengan secara khusus mengulas dan membahas wacana wihdatul wujud, namun kebanyakan masih memandangnya sebagai sejarah penyimpangan dan masih meletakkan wacana tersebut dalam perdebatan filosofis dan teologis. Jadul Maula memberi perspektif yang lebih kontekstual mengenai wihdatul wujud di era kekinian, terutama dalam konteks rekonstruksi Islam Indonesia. Demikian wawancara redaksi dengan M. Jadul Maula, Ketua Yayasan LKiS



Dalam beberapa waktu terakhir anda tampak konsen mengangkat wacana Wihdatul Wujud sebagai pintu masuk rekonstruksi Islam Indonesia di banyak forum diskusi. Apa yang melatari anda menggulirkan kembali wacana ini di saat sekarang?

Begini, saya mulai dari ini saja, tanggal 4 Maret 2005 saya diskusi di LKiS tentang ‘asrutadwinIslam Indonesia dan tentang ta’sis itu, dan tanggal 5 Maretnya saya juga diskusi di Utan Kayu JIL, tentang masa depan pemikiran Islam. Menarik, ternyata saling berkaitan di luar dugaan saya juga. Saling berkaitan dalam arti begini, waktu itu teman-teman Jaringan Islam Liberal ( JIL) diwakili Ulil Abshor Abdalla mengatakan bahwa yang dihadapi dan menjadi tantangan para pemikir Islam sekarang tidak lagi berhadapan dengan masalah ideologis. Jadi masalah-masalah ideologis seperti hubungan agama dan negara itu sudah diselesaikan lumayan bagus oleh generasinya Gus Dur dan Cak Nur. Zaman sekarang ini semua relatif terbuka, semua orang bebas berekspresi tanpa ada hambatan ideologis, jadi masalah yang dihadapi pemikir Islam tinggal masalah kecil, mikroskopik. Seperti, Perda Syari’at Islam di berbagai daerah, lalu zaman mutakhir ini soal Kompilasi Hukum Islam, itu hal-hal, yang menurutnya bisa diselesaikan melalui studi ushul fiqh. Tapi saya tidak setuju terhadap pandangan itu. Menurut saya, ada masalah besar yang tengah dihadapi pemikir Islam saat sekarang yang mungkin tidak begitu kentara pada zamannya Gus Dur dan Cak Nur yaitu tentang nasib manusia di hadapan sistem ekonomi-politik. Kalau dikatakan sekarang ini ada ruang publik yang lebar dan bebas, itu sebenarnya mistifikasi. Mistifikasi ruang publik yang digembar-gemborkan seolah bebas. Semua warga negara bisa terlibat ambil peran di dalamnya. Mistifikasinya terletak pada penyembunyian fakta tentang dominannya pasar dan pemodal besar. Bahkan ruang publik yang dianggap terbuka itu, pada kenyataannya diciptakan oleh pasar.

Bagaimana anda bisa mengatakan demikian?

Saya ambil contoh kasus BBM. Setelah pemilihan presiden langsung yang seolah-olah rakyat bebas memilih untuk kepentingan mereka, tapi eksekutif yang terpilih kemudian menjalankan agendanya IMF dan World Bank bukan agendanya rakyat. BBM itu minyak Indonesia tapi patokan harganya dipatok pihak asing. Dan seandainya diadakan polling atau survei apakah masyarakat Indonesia setuju kenaikan BBM, saya rasa semua tidak setuju. Menurut saya, ini soal yang besar. Ini membutuhkan jawaban-jawaban dari para agamawan. Merupakan tanggung jawab etik agamawan untuk menyelamatkan nasib manusia ini, manusia yang teralienasi dari satu sistem yang dilegitimasinya sendiri. Sistem politik sekarang ini bagaimana pun rakyat kan

Apa kaitannya dengan Wihdatul Wujud dan rekonstruksi Islam Indonesia?

Untuk menghadapi tantangan-tantangan yang saya sebutkan tadi, menurut saya dibutuhkan jawaban-jawaban yang bisa menjawab di satu sisi soal kontemporer ini tapi di sisi yang lain mesti berakar pada karakter Islam Indonesia. Ini yang menjadi tantangan. Misalnya jawaban langsung HAM, gerakan HAM. ini problematis. Kita berkenalan dengan Islam dan HAM itu kanWihdatul Wujud untuk ditempatkan sebagai bagian dari sebuah pencarian. ini salah satu problem metodologi. Dalam pengembangan penulisan kita masih belum bertemu ta’sis, asrutadwinnya, itu titik tolaknya darimana? Sejarahnya seperti apa? Dan dasar pemikiran yang seperti apa? Nah saya mengajukan satu tesis, kita perlu mempertimbangkan Wihdatul Wujud ini, penulisan sejarah Wihdatul Wujud dan tempatnya dalam pembentukan karakter Islam Indonesia.

Apa yang anda bayangkan tentang penulisan ulang sejarah wihdatul wujud ini?

Dalam penulisan sejarah Wihdatul Wujud ini, kita harus keluar dari konstruksi mapan selama ini. Sejarah Wihdatul Wujud di Indonesia ini kan seolah-olah sejarah kekafiran, sejarah penyimpangan, fase murtad atau Pantheisme, sejarah tentang bid’ah atau sejarah tentang gerakan anti syari’at. Di dunia akademik Wihdatul Wujud dibicarakan hanya tentang filsafat, soal filsafat hidup atau jaringan sufisme, wacana sufisme dan seterusnya. Belum ada satu upaya untuk mensintesiskan itu untuk menguji dalam kasus peranan Wihdatul Wujud ini di Indonesia. Menurut saya, ini menarik untuk konteks Indonesia. Jadi di kala abad 13 sampai 14 peradaban Islam Arab itu hancur, rusak, lalu peradaban lari kedua tempat. Yang selama ini disorot peradaban itu lari ke Barat dalam bentuk Humanisme, pencerahan, tapi Humanisme ini juga berkembang sampai ke Indonesia pada abad ke-14 itu juga. Bedanya kalau Humanisme di Barat berkembang melalui penemuan rasio pencerahan dalam arti penemuan model Descartes, “aku berpikir maka aku ada”. Jadi manusia adalah akalnya. Di Indonesia, pada saat itu berkembang Humanisme juga tapi Humanisme Insan Kamil dan kalau dirumuskan begini, “karena semuanya tak ada, karena alam tak ada dan yang ada hanyalah tuhan, maka aku adalah Tuhan”. kira-kira begitu. Jadi Temanya sama tentang pembentukan manusia melawan mitos, melawan mistifikasi. Kalau di Barat melawan mistik melalui akal tapi kalau di sini justru melawan mistik melalui proses pembentukan manusia Misalkan manusia ada indera, indera di dalamnya ada akal, akal dibongkar di dalamnya ada nafsu-nafsu, ada nafsu muthmainnah, di belakangnya ada roh idhofi terus sampai nur Muhammad, sampai haqiqotul hakikat, sampai haqiqot al Muhammadiyah. Inikan ilmu Tuhan yang abadi, ilmu segala ilmu itu di sini di nur muhammad yang kemudian menjadi sumber penciptaan dunia, sumber penciptaan manusia dan nur Muhammad ini ada di manusia, di dalam manusia sehingga manusia menjadi jembatan bejana Tuhan melihat alam dan alam bertemu Tuhan. Kita tahu inikan sumbernya dari Ibnu Arabi. Ibnu Arabi merupakan satu titik penting sistematisasi paham ini yang kemudian menjadi sumber rujukan paham ini ke Persia dan kemudian nusantara.

Kenapa Wihdatul Wujud sering dicap anti Syari’at?

Jadi begini, penulisan sejarah Wihdatul Wujud di Indonesia selama ini banyak salah kaprah. Sejak dari Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, ar-Raniri, Abdur Rauf Singkil, Abdus Shomad al-Palembani, Syeikh Yusuf Makassar, sampai di Jawa itu ada Hasyim Asy’ari dan seterusnya itu ternyata semua Wihdatul Wujud. Mereka semua tidak anti syari’at. Mbah Hasyim Asy’ari mengatakan yang namanya ilmu Syari’at itu isinya dua, fiqh dan haqiqat, itu nggak bisa dipisah. Kalau mengajarkan ilmu syari’at hanya fiqh itu fasiq. Ilmu-ilmu syara’ ini baik fiqh maupun hakikat itu harus satu paket. Hamzah Fansuri mengatakan “as syariatu aqwali wal thoriqotu af’ali wal hakikotu ahwali”. Syari’at, thoriqat, hakikat dan makrifat itu satu paket. jadi nggak benar penulisan sejarah Wihdatul Wujud sebagai anti syari’at itu jelas nggak benar.

Wihdatul Wujud itu juga kan impor dari Islam Maghrib, lalu begaimana anda bisa mengatakan kalau itu khas Islam Indonesia?

Menurut saya, Wihdatul Wujud baru masuk dan dieksprimentasikan di nusantara pada abad ke-13. Salah satu keistemewaannya adalah mampu melahirkan sufi wali-wali orang nusantara asli. Seperti Hamzah Fansuri, dia ulama asli Aceh bisa menjadi ulama dan menulis karyanya dalam bahasa Melayu, demikian juga Samsuddin al-Sumatrani. Artinya Wihdatul Wujud ini menjadi jalan bagi orang lokal untuk bereksperimentasi menemukan Islamnya sendiri dan mengembangkan identitas Islam sendiri. Banyak ulama-ulama seperti Syeikh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging dan lain-lain. Mereka melahirkan satu model keulamaan yang melahirkan ilmu-ilmu yang lebih mandiri dan khas Indonesia, itu bisa dilihat sebagai karakter Islam Indonesia. Ini yang pertama. Kemudian di bidang politik pada abad 14,15, dan 16 menurut saya jasa Wihdatul Wujud ini adalah menyatukan kerajaan-kerajaan kecil menjadi satu besar. Di Aceh ditandai dengan berdirinya kerajaan Aceh abad 15/16. Tadinya kecil-kecil seperti Pasai, Pariinan, Kuamri dan sebagainya, kemudian menjadi Aceh Darussalam besar. Itu yang berjasa membikin satu undang-undang, satu ideologi dengan penataan antara adat dan syara’. Adat adalah aturan-aturan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang sudah ada, di mana wewenang raja-raja masih tetap. Sedangkan, syara’ adalah prinsip pembinaan manusianya dan itu jadi kewenangan Qodli. Ini mestinya dilihat oleh orang-orang sekarang yang memperjuangkan Syari’at Islam itu. Dulu kerajaan-kerajaan Islam itu beda praktiknya. Misalnya Abdur Rauf Singkil, dia itu jadi qodli tapi tidak mengembangkan hukum yang seperti sekarang, hukum positif. Jadi qodli itu punya kreatifitas, punya wilayah ijtihad. Dia guru agama, guru thariqat. Dan dia tidak memisahkan antara fiqh dan hakikat, dan ini Wihdatul Wujud. Jadi ini bukan hukum positif yang pokoknya kalau ada tatanan ini semua orang bisa menjalankan. Jadi ini berbeda. Dan ini kemudian digabungkan adat basandi syara’, syara’ basandi adat. Ini formula mempertemukan dan menyatukan beberapa kerajaan yang tadinya kecil, berpisah dan bagaimana tatanan lama, sistem politik lama dengan satu komunitas Islam yang baru tumbuh menjadi satu bentuk di Aceh. Demikian juga di Jawa. Kerajaan Demak itu masih menggunakan tatanan majapahit, ada kadipaten-kadipaten. Bahkan menurut informasi yang saya terima, Demak itu masih menggunakan undang-undang Majapahit, itu adat. Dan ini sumbernya bukan dari Ibnu Arabi itu. Ini yang kedua. Yang ketiga Wihdatul Wujud melahirkan kreasi-kreasi di bidang kesusasteraan. Naquib Alatas mengatakan sastra nusantara itu ya Hamzah Fansuri. Di bidang bahasa, Syeikh Abdul Rauf telah menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa melayu dan juga hadits-hadits, ada banyak karya-karya bidang literer juga. Lalu muncul karya-karya Wihdatul Wujud yang penting dalam pembentukan manusia dalam peribahasa, seperti syara’ basandi adat, adat basandi syara’, syara’ membagi, adat menurun itu kan karya dari Wihdatul Wujud ini Di Jawa ini “ra aku ra ono kowe sing ono awake dewe. Ini Multikultural. Jadi mengembangkan, melebur, meniadakan identitas yang penting aku (aku kecil) dan kamu (kamu kecil) itu tak ada, yang ada kita bersama. Jadi pembentukan identitas. Di satu sisi, ia mengajarkan proses pembentukan manusia yang berdaulat, pribadi yang berdaulat. Tapi di sisi yang lain, pribadi yang berdaulat ini, punya kemampuan untuk berbagi dengan pribadi yang lain untuk membentuk identitas bersama, sintesis. Di sini, Wihdatul Wujud dibangun dengan guyon. Di Arab peradaban dibangun menyesuaikan teks, dengan al-Qur’an, di Barat peradaban dibangun menyesuaikan hitungan akal, di Indonesia ini, ya peradaban manusia Indonesia seutuhnya.

Lalu bagaimana implikasinya terhadap gerakan sosial sebagai pengukuhan identitas manusia di era sekarang?

Itu tugas kita. Salah satu struktur agenda penulisan ulang Wihdatul Wujud ini antara lain adalah tidak lagi menstigmatisasi ini sesat dan menyimpang. Saya baru menyadari misalnya qanon siyasi NU, kyai Hasyim Asy’ari menyatukan fiqh Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali. Ini kan di Arab bertarung, mereka perang, di sini disatukan, apa artinya? Saya dulu bertanya di mana caranya menyatukan, basis epistemologis seperti apa sehingga orang bisa mentolerir perbedaan antar mazhab ini. Mazhab Hambali yang paling tekstual yang gurunya Ibnu Taimiyah, Hanafi yang rasional, Maliki yang sangat adat, kira-kira begitu, Wihdatul Wujud yang bisa ini, tapi ini nggak ditambahkan. Jadi Wihdatul Wujud itu mainstream di ulama Indonesia. Menurut saya, dari dulu sampai sekarang itu mainstream. Cuma nanti kalau kita mencoba menuliskan ulang, kita harus hati-hati, agar tidak terjebak dalam dikotomi ini anti syari’at, atau ini bukan bid’ah, bukan Pantheisme dan seterusnya. Kita juga mungkin tidak menulis yang sudah ditulis para ulama. Itu kan sangat didaktik, mereka menulis Wihdatul Wujud untuk diajarkan pada santrinya soal aspek perbuatan hidupnya, soal adab hubungan guru dengan murid, soal maqam-maqam yang nanti akan dicapai. Kita tidak akan menulis ini. Lalu apa? Menurut saya, dari segi epistemologi misalnya, kita akan kaya mungkin dari segi filsafat dengan mendialogkan ini dengan Eksistensialisme, mendialogkan ini dengan Rasionalisme, dengan Silogisme, karena itu akan ada, akan bersinggungan sekali dengan Eksistensialisme, dengan logika. Logika akan bertemu dengan filsafat Wihdatul Wujud sampai ke bahasa. Itu agenda yang bisa kita kembangkan. Lalu dengan catatan kemampuan ini untuk mengembangkan manusia yang kreatif, ini dulu ya, manusia kreatif, Hamzah Fansuri meletakkan puitika dalam kalimat, ada yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan, Syeikh Siti Jenar itu menata pembagian hak milik dalam masyarakat, adakalanya di bidang pemerintahan, adakalanya dalam membangun solidaritas hubungan antar manusia, ada kalanya hubungan perbedaan identitas lokal, seperti Islam Dayak, Islam Banjar, Islam Melayu, Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Bugis, Islam Makasar, ini solidaritas identitas kultural, semboyan persatuan dan kesatuan itu spiritnya mestinya dari sana itu. Seperti persatuan dan kesatuan wahidiyah, wahdah, dan ahadiyah.
nggak bisa menolak. Jadi tugas para agamawan untuk melindungi, mendampingi dan memperjuangkan nasib manusia yang teralienasi dan tertindas oleh sistem yang justru seolah-olah diciptakan oleh manusia itu sendiri. Jadi tantangan para pemikir Islam zaman sekarang menurut saya adalah memikirkan hal ini. masih butuh soal bagaimana mengaitkan HAM dalam konteks keindonesiaan, bagaimana sosialisasi gerakan HAM agar tidak menjadi alienasi baru. Bagi Islam Indonesia seolah itu hal yang baru. Memakai analisa Marxis misalnya tidak menyelesaikan soal. Jadi masalah impor obatnya juga impor, JIL juga begitu, membawa impor Islam Barat untuk melawan Islam Timur Tengah. Hizbut Tahrir itu sama–sama impor. Nah, waktu diskusi di LKiS saya menawarkan kita menulis ulang sejarah

Friday, November 23, 2007

Takfir Minimalis al-Ghazali


Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya.

Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) “Mengaji Pemikiran al-Ghazali” sesi kedua (25/9) membahas buku Fayshal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Sesi ini mengundang KH. Husein Muhammad, Nanang Tahqiq, dan Novriantoni Kahar sebagai pembicara. Tadarus dipandu oleh Mohamad Guntur Romli.

Setelah sesi sebelumnya mengurai pemikiran al-Ghazali seputar kritikan al-Ghazali terhadap beberapa masalah dalam debat filsafat, melalui buku Tahafut al-Falasifah, sesi yang dihadiri sekitar seratus peserta ini lebih banyak bicara tentang konteks dan fenomena pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali. Pertanyaan besar yang ingin diajukan dalam diskusi ini adalah motivasi apa yang mendorong al-Ghazali dalam melakukan pengkafiran terutama terhadap tiga masalah dalam filsafat? Pertanyaan lanjutannya adalah, sejauhmana pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali berpengaruh terhadap fenomena umat Islam saat ini yang begitu mudah terjebak ke dalam proses takfir semacam itu?

Nanang Tahqiq memulai presentasinya dengan mencoba memberikan konteks terhadap gagasan-gagasan al-Ghazali. Menurut Tahqiq, masa di mana al-Ghazali hidup adalah masa yang serba sulit. Saat itu umat Islam berada dalam ancaman disintegrasi yang demikian menyedihkan. Masing-masing kelompok Islam berusaha tampil meraih simpati dengan cara merebut legitimasi teologis atas kelompok mereka. Akibatnya, pengkafiran tidak kuasa dihindarkan. Tahqiq menyebut saat itu sangat lumrah didapati kelompok Hanbali mengafirkan Asy’ari demikian pula sebaliknya. Kelompok Asy’ari juga menyulut kebencian dengan mengkafirkan kelompok Mu’tazila, demikian sebaliknya.

Dengan kondisi pengkafiran yang begitu lumrah semacam ini, al-Ghazali tampil sebagai sosok yang moderat dengan hanya mengkafirkan tiga hal dalam filsafat: qadim-nya alam; Tuhan tidak mengetahui yang partikular (juz’iyyah); dan tiadanya kebangkitan jasmani. Selebihnya, menurut Tahqiq, al-Ghazali tidak lagi mengkafirkan apa-apa. Pada posisi ini, bagi Tahqiq, sebetulnya al-Ghazali ingin menawarkan alternatif bagi tradisi pengkafiran yang begitu akut saat itu. Al-Ghazali tentu punya banyak kelemahan dalam proses pengkafiran ketiga hal di atas, tetapi setidaknya ia memberi contoh bentuk pengkafiran yang tidak membabi-buta sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.

Dalam buku Faisyal Tafriqah, al-Ghazali menyatakan bahwa sikap kafir-mengkafirkan umumnya disebabkan oleh perbedaan pendirian mazhab atau perbedaan cara pandang dengan kelompok lain yang menjadi kompetitornya, bukan karena argumentasi-argumentasi yang bertanggungjawab. Itulah sebabnya al-Ghazali memberikan batasan yang ketat terhadap proses pengkafiran. Pengakfiran hanya mungkin dilakukan oleh seorang ahli, pun hanya menyangkut soal-soal yang paling mendasar.

Melanjutkan tesis yang telah dibangun oleh Nanang Tahqiq, KH. Husein Muhammad mencoba memperjelas posisi al-Ghazali yang menurut dia banyak disalahpahami oleh para pengkritiknya. Kiai Husein melihat bahwa al-Ghazali adalah sosok yang kontroversial justru karena kedalaman ide dan keluasan jelajah intelektualnya. Terlalu banyak orang salah dalam menilai al-Ghazali justru karena pembacaannya yang parsial, tanpa mencoba melihat al-Ghazali secara utuh. Kiai Husein menolak pembacaan parsial tersebut tanpa melihat bangunan metodologinya. Al-Ghazali memang tampak mengajukan pemikiran yang ta’arudh (kotradiktif), tadhadud (berlainan), hirah (membingungkan), taraddud (ragu-ragu), dan jam’ wa farq (seolah-olah utuh tapi retak), tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah penjelajahan intelektual yang sangat kaya. Tak heran, jika umat Islam menganggapnya sebagai manusia Islam teragung setelah Nabi Muhammad.

Mengutip Maurice Bouyge, Kiai Husein menyatakan bahwa buku al-Tafriqa ditulis dalam masa al-Ghazali mengucilkan diri (488-499). Pada masa-masa inilah sejumlah buku ditulis oleh al-Ghazali: Ihya Ulum al Din, al Munqidz min al Dhalal, al Mustasyfa, Misykat al Anwar, dan lainnya.

Menurut Kiai Husein, fenomena pengkafiran yang begitu marak saat itu juga menimpa al-Ghazali sendiri. Pemikiran-pemikirannya banyak diserang oleh pelbagai kalangan. Kelompok agamawan yang paling banyak menyerangnya adalah para ahli fiqh, ahli kalam (teolog), dan ahli hadits. Sejak awal, al-Ghazali selalu merespon para pengkritiknya dengan cara membuat buku. Kritikan-kritikan semacam itu pulalah yang melatarbelakangi al-Ghazali menghadirkan karya al Tafriqa tersebut.

Dalam buku itu, al-Ghazali menyebut para pengkritiknya sebagai orang-orang fanatik (al muta’asshib) yang sedang marah. Al-Ghazali begitu risau bahwa mereka yang begitu mudah terlibat dalam pengkafiran semata-mata adalah karena buah dari hasutan orang lain. Hasud, iri, dan dengki adalah penyakit yang sangat berbahaya dan begitu sulit disembuhkan. Al-Ghazali menegaskan: “orang yang menganggap kafir orang yang menolak atau menentang doktrin Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali, atau mazhab lain adalah sebuah kebodohan yang nyata.” Pada kesempatan lain, al-Ghazali mengkritik para teolog (ahli kalam) yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengerti dalil-dalil teologi. Al-Ghazali menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mengetahui Tuhan. Dan surga tidak hanya dimonopoli oleh kaum teolog. Atas dasar itulah maka, bagi Kiai Husein, sesungguhnya al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas yang mengusung ide-ide kebebasan.

Lalu siapakah yang bisa disebut kafir? Pertanyaan ini harus dijawab dengan hati-hati. Al-Ghazali dengan tegas melarang orang yang hendak mengkafirkan tetapi hatinya masih diliputi rasa dengki, iri, dan kotor. Sejumlah syarat harus diajukan sebelum orang bisa sampai kepada kesimpulan untuk mengkafirkan: hati yang bersih, terlatih, jiwa yang senantiasa berzikir kepada Tuhan, pikiran yang cerdas dan kritis, serta taat menjalankan hukum-hukum Tuhan.

Menurut al-Ghazali, Islam menetapkan kriteria kafir sebagai orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW. Sementara orang mukmin adalah mereka yang membenarkan semua yang disampaikan Nabi Muhammad. Pernyataan sederhana di atas sekilas tampak meneguhkan pendapat sebagian kalangan yang memandang al-Ghazali sebagai seorang eksklusif dengan mengkafirkan kelompok Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain yang tidak membenarkan Nabi Muhammad. Akan tetapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Kata “mendustakan” dan “membenarkan” perlu peninjauan dan penjernihan lebih jauh. Pertanyaannya, siapakah sebetulnya yang memiliki klaim paling sahih mengenai risalah atau kebenaran Nabi?

Pertanyaan ini, menurut Kiai Husein, dijawab oleh al-Ghazali dengan menawarkan teori ta’wil (hermeneutika). Sebuah berita dinyatakan benar atau salah berdasarkan lima pendekatan: wujud dzaty (wujud hakiki); wujud hissy (wujud yang dapat ditangkap oleh potensi manusia di dalam indera); wujud khayali (khayalan atau angan-angan); wujud aql (rasional); dan wujud syibby (wujud tanpa makna, tanpa bentuk, dan tak ada dalam realitas, melainkan hanya berupa wujud serupa dan metaforis). Sejauh sebuah berita bisa dita’wil dalam lima pendekatan itu, maka tidak ada alasan untuk pengkafiran di sana.

Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya. Al-Ghazali tampak begitu risau dengan fenomena pengkafiran.

Berangkat dari fakta yang sama, Novriantoni memiliki pemikiran yang agak berbeda dengan pembicara sebelumnya. Melalui makalah yang diberi judul Al-Ghazali, Toleransi Setengah Hati, Novri (panggilan akrab Novriantoni) menyoroti fakta pengkafiran dan penghalalan darah yang telah dilakukan oleh al-Ghazali.

Kendati begitu, al-Ghazali, menurut pandangan Novri, memang menawarkan sebuah sikap toleransi, namun toleransi yang dibangun adalah toleransi terbatas. Novri kemudian mengurai pokok-pokok pikiran al-Ghazali yang terdapat dalam Fayshalut Tafriqah ke dalam sepuluh point: (1) al-Ghazali menganjurkan pembacanya untuk tidak gegabah dalam menjatuhkan vonis kafir; (2) konsep kenabian sebagai mediator syariat memegang posisi yang sangat sentral, karena itu definisi iman dan kafir terkait secara langsung dengan kepercayaan terhadap risalah Nabi; (3) adanya pembedaan ateisme-mutlak dan ateisme-terbatas; (4) toleransi yang dibangun oleh al-Ghazali, kalaupun benar, hanyalah toleransi internal umat Islam, bukan untuk orang-orang di luar Islam; (5) al-Ghazali mengakui konsep rahmat Allah yang luas; (6) al-Ghazali berpendapat bahwa ahli-ahli kalam yang mengkafirkan kalangan awam hanya karena mereka tidak memahami prinsip-prinsip teologi adalah keterlaluan; (7) al-Ghazali memaknai term “yang selamat” sebagai mereka yang sama sekali tidak masuk neraka, sementara “yang celaka” adalah mereka yang benar-benar kekal di dalam neraka; (8) dalam buku ini al-Ghazali tampak sedikit toleran terhadap Syi’ah; (9) keniscayaan ta’wil dan kaedah-kaedahnya; dan (10) untuk menghindar dari vonis “kafir,” al-Ghazali memperkenalkan konsep “sesat” dan “bid’ah.”

Menurut Novri, jika dalam Fayshal Tafriqah al-Ghazali tampak sedikit toleran, tapi di dalam buku lain seperti Fadla’ihul Bathiniyyah dan Tahafut al Falasifa, al-Ghazali muncul sebagai sosok yang sama sekali tidak toleran, bahkan cenderung menyebar permusuhan. Novri menunjukkan bagaimana al-Ghazali memilih sikap yang begitu keras terhadap kelompok Batini-Ismaili yang juga merupakan musuh ideologis khalifah al-Mustdzhir Billah. Novri mengutip pernyataan al-Ghazali: “Singkat kata, perlakuan terhadap mereka haruslah seperti perlakuan terhadap orang-orang murtad menyangkut aspek nyawanya, nikahnya, sembelihannya, transaksinya, dan ibadahnya. Arwah mereka tidak layak diperlakukan, bahkan sebagaimana orang kafir tulen.” Lebih jauh al-Ghazali menegaskan: “Untuk anak-anak, tidak dibunuh karena mereka belum menjadi subjek hukum, dan hukumnya akan saya jelaskan selanjutnya. Tapi perempuan-perempuan, bila mereka terang-terangan mengaku berkeyakinan dengan apa yang sudah kita tetapkan sebagai kekafiran itu, maka bagi kita hukumnya sama dengan hukum murtad yang harus dibunuh berdasar pemahaman umum kita tentang hadis berikut: “Yang mengganti agamanya, bunuhlah ia!”

Di atas semua kontroversi dan ketidakkonsistenan yang melekat kepada gagasan-gagasan yang diusungnya, semua pembicara sepakat pada satu hal, yakni bahwa al-Ghazali tetap adalah seorang besar yang menulis karya-karya besar dalam jumlah besar. Karena kebesarannya pulalah yang menyebabkan umat Islam terlalu sulit untuk keluar dari penjara dogmatis yang telah dibangunnya. Novriantoni menawarkan gagasan untuk keluar dari penjara al-Ghazali agar kreativitas umat Islam semakin tumbuh. Kiai Husein dan Nanang Tahqiq mengusulkan pembacaan yang lebih kritis dan menyeluruh terhadap al-Ghazali agar konsep dan gagasan yang muncul adalah gagasan yang lebih mencerahkan, ketimbang sisi-sisi gelap yang selama ini menjangkiti umat Islam. []

Siapa Yang Rancu: Para Filosof atau al-Ghazali?


Luthfi memperingatkan sikap dasar al-Ghazali yang amat berbahaya, yaitu takfir (pengkufuran terhadap orang lain) yang bisa diikuti preskripsi al-qatl (perintah bunuh). Sebab, mayoritas umat Islam memposisikan al-Ghazali sebagai hujjatul Islâm (jubir agama Islam). Itulah kenapa praktek apostasi, menganggap orang lain murtad, terus saja berkembang di dunia Islam sampai sekarang ini.

Siapakah sebenarnya yang dihinggapi kerancuan, al-Ghazali atau para filosof (al-Farabi dan Ibnu Sina)? Itulah poin yang mengemuka dalam diskusi seri pertama Tadarus Ramadlan 2007/1428 Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bertajuk Mari Mengaji Al-Ghazali. Dalam seri pertama ini, kitab al-Ghazali yang dikaji adalah Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Narasumber malam itu (Selasa, 18/9/2007), terdiri dari: Dr. Zainun Kamal, Dr. Mulyadhi Kartanegara, dan Dr. Luthfi Assyaukani, yang sekaligus memberi prakata sebagai koordinator JIL yang baru sebelum diskusi berlangsung.

Pertanyaan di atas dijawab oleh Luthfi—yang sebenarnya tampil sebagai pembicara ketiga—dengan tegas: al-Ghazali-lah yang mengalami kerancuan, persis seperti yang diisyaratkan oleh judul kitab Ibnu Rusyd, Tahâfut at-Tahâfut (Rancunya [Kitab] Kerancuan). Luthfi memberi makna yang beragam pada kata kerancuan yang diatributkan kepada al-Ghazali. Al-Ghazali dianggap mengalami kerancuan, misalnya, karena sebenarnya ia tidak mengerti secara sungguh-sungguh persoalan-persoalan filsafat-metafisis yang ia tuliskan dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah.

Bahkan Luthfi mencurigai bahwa kitab al-Ghazali yang lain, yaitu Maqâshid al-Falâsifah, sebenarnya bukan karya otentik al-Ghazali. “Maqâshid al-Falâsifah adalah buku terjemahan, atau paling jauh hanya parafrase dari buku lain,” tukas Luthfi. Karenanya, yang sebenarnya dilakukan al-Ghazali adalah memukul sesuatu yang salah. Luthfi memberi contoh tentang isu ba’ts al-jasad (kebangkitan ragawi) dan pengetahuan Tuhan tentang juz’iyyât (hal-hal yang partikular) yang dipersoalkan al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya para filosof sebelum al-Ghazali tidak berbicara tentang dua masalah tersebut persis seperti yang dikemukakan al-Ghazali. Dua masalah tersebut hanya hasil asumsi al-Ghazali belaka.

Lebih lanjut, Luthfi menyebut al-Ghazali rancu, juga karena perspektif yang digunakannya dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah, adalah perspektif polemis (jadalî), bahkan kadang terjatuh pada level khatthâbi (retoris), dan bukan perspektif kaum filosof, yakni perspektif burhânî (demonstratif). “Kita tahu,” lanjut Luthfi, “bahwa perspektif polemis (jadalî) adalah perspektif para teolog, bukan perspektif filosof. Padahal yang ia target dengan kitabnya adalah para filosof dan persoalan-persoalan filosofis-metafisis! Ini kan rancu?!” tegas Luthfi. Luthfi juga menekankan bahwa sejak awal sampai akhir hayatnya, prototipe al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Statemen ini ia simpulkan dari sebuah film semi dokumenter tentang al-Ghazali, garapan sineas Iran, The Alchemist of Happiness (Kimiya’ al-Sa’adah).

Jadi inti-diri al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Karena itu, bila dia mencoba masuk ke zona lain, maka hasilnya adalah kerancuan. Begitulah yang hendak dimaksudkan oleh statemen Luthfi di atas. Makanya, tatkala al-Ghazali mencoba bicara tentang persoalan filosofis-metafisis, ia selalu kembali lagi kepada dalil-dalil Alqur’an guna menopang pendiriannya; seolah-olah dzihniyyah (mentalitas) kesufiannya mengekang dirinya untuk menggunakan akalnya untuk bermain pada level burhânî, sebagaimana yang dilakukan para filosof. “Makanya, dalam meng-counter al-Ghazali, Ibn Rusyd pun menggunakan cara-cara al-Ghazali. Karena al-Ghazali senantiasa kembali kepada Alqur’an untuk menopang posisi ortodoksinya, maka Ibnu Rusyd pun melakukan hal yang sama, mengais-ngais ayat Alqur’an untuk mendukung posisi filosofisnya.

Dan “celakanya”, Ibnu Rusyd juga mendapatkan ayat-ayat yang bisa mendukung posisi filosofisnya. Karena Alqur’an, sebagaimana entitas lain, adalah laksana dua sisi satu keping koin. Dan dengan cara begitulah Ibnu Rusyd merasa lebih nyaman dan berhasil dalam meng-counter al-Ghazali, daripada harus capek-capek berargumen secara burhânî. Toh pada akhirnya al-Ghazali lagi-lagi kembali kepada dalil-dalil Alqur’an,” kelakar Luthfi.

Contoh yang dikemukakan Luthfi malam itu misalnya soal keazalian alam (azaliyyat al-`alam). Soal ini, al-Ghazali meyakini ex-nihilo, karena Tuhan maha kuasa. Dan untuk itu, al-Ghazali mengutip ayat, Innama amruhu idzâ arada syai’an an yaqûla lahu kun fayakun (Q.S. Yasin, 36:82). Perspektif Ibn Rusyd adalah ex-creatio, penciptaan dari sesuatu yang ada sebelumnya. Hebatnya, Ibnu Rusyd juga menemukan ayat Alqur’an yang mendukung perspektif ex-creatio. Misalnya ayat, wa huwa al-ladzî khalaqa al-samâwâti wa al-‘ardla fi sittati ayyam wa kâna`‘arsyuhu ‘ala al-mâ’i (Q.S. Hud, 11:7). Juga ayat, awalam yara al-ladzîna kafaru ‘anna al-samâwâti wa al-ardla kânatâ ratqan fafataqnâhumâ wa ja`alna min al-mâ’i kulla syai’in hayyan (Q.S. Al-Anbiya’, 21:30). Artinya pada “waktu” itu, ada Allah dan ada air. Dan sebelum Socrates, sudah ada seorang filosof, yaitu Thales, yang meyakini bahwa substansi segala sesuatu bermula dari air.

Juga ayat, tsumma istawa ila al-samâ’i wa hiya dukhân (Q.S. Fushshilat, 41:11). Jadi pada “saat” itu, situasinya tidak nihil sama sekali, tapi ada dukhan (asap/uap). Dan kebetulan ada juga filosof pra-Socrates, yakni Anaximenes yang sudah meyakini bahwa dunia ini bermula dari uap, sesuatu yang humid (lembab). Juga secara semantis, menurut Ibnu Rusyd, kata khalaqa itu selalu dipakai dalam konteks penciptaan sesuatu dari sesuatu lainnya yang sudah ada, dan itu berarti ex-creatio. Untuk itu, Ibnu Rusyd mengutip ayat, wa laqad khalaqna al-insana min sulâlatin min thîn (Q.S. Al-Mukminun, 23:12).

Luthfi juga mengkritik struktur atau sistematika penulisan kitab Tahafut Al-Falasifah yang menurutnya tidak proporsional, sebab pembahasan tentang azaliyyatul ‘alam (keazalian alam) mengambil porsi sampai seperempat kitab. Sembilan belas masalah lainnya hanya mendapat porsi sisanya, bahkan ada salah satu item masalah yang hanya dibahas dalam satu-dua halaman saja. Selain itu, Luthfi juga meragukan riwayat tentang periode skeptisisme Al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya al-Ghazali tidak pernah mengalami skeptisisme serius seperti para filosof Ibn Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. “Skeptisisme itu hanya proyeksi al-Ghazali atas dirinya sendiri, seolah-olah ia pernah mengalami masa dlalal (ketersesatan),” ujar Luthfi. Proyeksi itu ia lakukan, ujung-ujungnya untuk mendukung posisi ortodoksinya; seolah-olah ia seorang warrior of God (tentara Tuhan).

Malam itu memang penuh kritik dari Luthfi atas al-Ghazali. Menjelang akhir diskusi, Luthfi baru membuka “kartu”, kenapa ia begitu “gerah” terhadap al-Ghazali. Dia mengatakan, ada semacam mekanisme dalam dirinya yang secara otomatis melakukan respon resisten terhadap figur yang dielu-elukan—baik oleh dia sendiri maupun orang lain—secara berlebihan. Dan dia sendiri mengaku pernah menjadi simpatisan al-Ghazali ketika dua tahun belajar di Malasyia, di bawah bimbingan Dr. Naguib Al-Attas. Bahkan Luthfi memperingatkan sikap dasar al-Ghazali yang amat berbahaya, yaitu takfir (pengkufuran terhadap orang lain) yang bisa diikuti preskripsi al-qatl (perintah bunuh). Sebab, mayoritas umat Islam memposisikan al-Ghazali sebagai hujjatul Islâm (jubir agama Islam). Itulah kenapa praktek apostasi, menganggap orang lain murtad, terus saja berkembang di dunia Islam sampai sekarang ini.

Luthfi kemudian beranjak membahas item-item masalah yang diulas al-Ghazali dalam Tahâfut al-Falâsifah, yang berjumlah dua puluh masalah. Enam belas masalah metafisik dan empat masalah non-metafisik (fisik). Dalam tujuh belas masalah dari dua puluh tadi, al-Ghazali menuduh para filosof telah melakukan bid’ah. Dan dalam tiga masalah, al-Ghazali menganggap para filosof telah keluar dari Islam, alias kafir. Tiga masalah krusial tersebut adalah ke-kadiman alam, Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular, dan penolakan filosofis akan adanya kebangkitan jasmani. Untuk penjelasan item- item ini, Luthfi tidak berkomentar banyak. Hanya sedikit item yang ia ulas, di antaranya tentang azaliyyat al-‘alam (pre-eternity alam). Selain itu, Luthfi juga menyinggung sedikit tentang masalah abadiyyat al-‘alam (post-eternity alam). Dalam perspektif al-Ghazali, post-eternity alam itu tidak mungkin. Tetapi dalam pandangan Ibnu Rusyd, post-eternity itu ada dalilnya di dalam Alqur’an sendiri. Makanya ia mengutipkan ayat, yauma tubaddalu al-ardlu ghaira al-ardli wa al-samâwâtu wa barazu lilLâhi al-wâhid al-qahhâr (Q.S. Ibrahim, 14:48).

Zainun Kamal–yang malam itu tampil sebagai pembicara pertama—juga tak luput mengkritik al-Ghazali dengan perspektif yang berbeda dari Luthfi. Zainun mengatakan bahwa al-ghazali-lah yang telah ikut berperan dalam membendung pemikiran rasional di dalam Islam. Universitas Nizhamiyah yang berdiri pada masanya juga ikut menjadi institusi yang menghambat pemikiran rasional Islam. Sebab yang boleh dipelajari di kampus itu, dalam bidang fikih hanya fikih Al-Syafi’i, dalam bidang teologi adalah teologinya al-Asy’ari, dan dalam bidang pemikiran adalah pemikiran al-Ghazali. “Dan inilah cermin dunia Islam sampai saat ini,” jelas Zainun. “Padahal, pada abad ke-8 M sampai abad ke-12 M, dunia Islam mengalami masa keemasannya,” sesal Zainun.

Zainun pun lalu menyarankan, “Mestinya yang lebih banyak kita pelajari adalah Ibnu Rusyd. Al-Ghazali itu kita pelajari secara sambil lalu saja. Karena al-Ghazali ini sudah jadi darah daging kita semenjak dari pesantren. Tidak belajar al-Ghazali pun, sejak kita lahir, wajah kita sudah al-Ghazali,” kelakar Zainun. Ia juga menambahkan bahwa lahirnya kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, telah memungkasi riwayat pemikiran rasional di dunia Islam dan hanya menghidupkan ilmu-ilmu agama; sesuai nama kitab tersebut. Dan al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu agama wajib dipelajari secara individual, orang per orang (fardlu ‘ain). Berbeda dengan ilmu dunia, yang bagi al-Ghazali hanya fardlu kifayah; kalau sudah ada pihak yang meng-handle, gugur sudah kewajiban kita untuk mempelajarinya. “Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din ini kan simbol pemikiran tasawuf; dan itu melemahkan dunia Islam. Lebih parah lagi, setelah al-Ghazali, pemikiran tasawuf diperkuat oleh Ibnu ‘Arabi. Tamatlah riwayat pemikiran rasional di dunia Islam,” pungkas Zainun.

Di akhir presentasinya, Pak Zainun mengutip pendapat almarhum Nurcholish Madjid dan Hassan Hanafi. Dari Hassan Hanafi, ia mengutip bahwa semestinya kita umat Islam beralih dari “persoalan langit” ke “persoalan bumi” (min al-sama’ ila al-ardl), dan juga beralih dari menghidupkan ilmu-ilmu agama ke arah menghidupkan ilmu-ilmu dunia yang sekuler (min ihya’ ‘ulum al-din ila ihya’ ‘ulum al-dunya). Dari Cak Nur, Zainun mengutip ungkapan berikut: di dunia timur, pemikiran al-Ghazali begitu mendominasi, sedang di dunia barat, yang lebih banyak berpengaruh adalah pemikiran Ibnu Rusyd. Karena itu, kalau dunia barat menjajah timur”, kata Cak Nur, “itu tidak lebih dari simbol penjajahan Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali.”

Berbeda dari dua pembicara lainnya, Mulyadhi Kartanegara yang malam itu tampil sebagai pembicara kedua, mengambil posisi yang fair terhadap al-Ghazali. Bahkan terkadang membantah kritikan atas Al-Ghazali oleh dua pembicara lainnya, sembari membela al-Ghazali. Ketika dua pembicara lainnya mengatakan al-Ghazali sebenarnya tidak memahami apa yang ia mau kritik, Mulyadhi justru membantah. “Kenapa Tahafut al-Falâsifah begitu berhasil? Itu tidak lain karena sebenarnya al-Ghazali memang paham apa yang dia mau kritik,” kata Mulyadi. Ia lalu menambahkan bahwa dari kitab al-Ghazali lainnya, Al-Munqidz min al-Dlalâl, sebenarnya kita tahu posisi “epistemologis” al-Ghazali, yaitu: janganlah mengkritik sesuatu kalau anda belum memahami betul apa yang mau anda kritik.

Mulyadhi juga menjelaskan kenapa kritik al-Ghazali terhadap para fisosof lewat Tahâfut al-Falâsifah tidak tepat sasaran–seperti dikatakan Luthfi—tapi tetap berhasil dan menang. “Itu tak lain karena kebanyakan dari kita cara berpikirnya masih teologis, bukan filosofis,” jelas Mulyadhi. Posisi fair Mulyadhi terhadap al-Ghazali nampak juga tatkala ia menyatakan sekaligus menyarankan, “jangan ikuti ¬ qaul-nya dong, tapi ikuti manhaj-nya.” Mulyadhi menambahkan, “kalau ada qaul (pendapat) al-Ghazali yang kurang tepat, ya kritik saja, sebab itulah manhaj (metode) yang al-Ghazali sarankan sendiri.”

Di akhir presentasinya, Mulyadi menjelaskan bahwa memang sosok al-Ghazali ibarat dua sisi dari satu keping koin. Ia bisa punya pengaruh destruktif dan konstruktif sekaligus. Destruktif, terutama untuk perkembangan filsafat peripatetik. Dan konstruktif, sebab dia-lah yang memicu munculnya aliran filsafat isyrâqi (illuminasionisme) di dalam Islam, yang kemudian dikembangkan oleh Syuhrawardi yang sangat kagum terhadap kitab al-Ghazali, Misykât al-Anwâr. []