Thursday, November 22, 2007

Pascaidul Fitri


Oleh : Haedar Nashir

Apa yang dilakukan para pemimpin negeri ini di bulan Syawal? Sudah pasti, yang paling populer ialah bersilaturahim dalam beragam cara. Ada yang melakukan open house, ini khas gaya pejabat negara. Ada pula yang road show bersilaturahim ke berbagai pihak, kadang dikenal pula sebagai silaturahim politik jika dikaitkan dengan agenda dan komunikasi politik.

Malah ada yang memakai cara Majapahitan, duduk di kursi raja dengan gagah perkasa untuk dicium lututnya (disungkemi, ngabekten), yang mengingatkan kita pada zaman kerajaan dan feodalisme ratusan tahun silam. Semuanya memanfaatkan momentum Idul Fitri atau Lebaran, yakni bersilaturahim. Sambil mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum, doa populer agar seluruh amal ibadah kita, termasuk puasa di bulan Ramadhan yang baru saja berlalu diterima di sisi Allah SWT.

Tak lupa saling mengucapkan "mohon maaf lahir dan batin", untuk menunjukkan sikap saling memberi maaf, yang mengandung spirit agar yang menyangkut urusan salah dan khilaf dengan sesama dapat diselesaikan saat itu juga. Adapun soal "silaturahim politik", ya tergantung niat dan keperluannya, itu urusan masing-masing aktor, hanya mereka sendiri yang tahu.

Silaturahim merupakan bagian dari ajaran dan tradisi Islam yang sangat baik dan mulia. Kata "shilat" artinya menyambung, mempertautkan, menghubungkan. Sedangkan kata "rahim" artinya persaudaraan atau kasih sayang. Jadi, silaturahim artinya menyambung persaudaraan, menyambung tali asih dengan sesama.

Ada pula yang menggunakan kata "silaturahmi", kendati secara harfiah artinya "menghubungkan rahim", tapi spiritnya sama yakni menyambung persaudaraan, karena jika dirunut ke belakang memang seluruh anak manusia berasal dari satu rahim yang sama, yakni Siti Hawa, istri Adam alaihissalam, sehingga dikatakan sebagai anak-cucu Adam. Karenanya, persaudaraan yang klasik dan autentik itu harus dipersambungkan kembali.

Dengan silaturahim maka selain merajut kembali persudaraan yang boleh jadi retak atau berserakan karena satu dan sekian sebab, tak kalah pentingnya ialah membangun persaudaraan yang lebih erat atau lebih baik lagi daripada sebelumnya. Dua pekerjaan atau keperluan bersilaturahim seperti sungguh tak mudah, gampang diucapkan dan dilakukan secara lahiriah, tapi tak mudah untuk dipraktikkan.

Hubungan yang retak atau terganggu antarsesama ada yang karena soal sepele, ada pula karena soal yang berat, yang ikhtiar untuk menyambungkannya kembali memerlukan spirit saling berbagi. Silaturahim yang seperti itu tidak dapat dilakukan dalam semangat tidak merasa salah diri dan mau menang sendiri. Menyambung kembali silaturahim yang retak tak mungkin awet manakala tak lahir dari nurani yang autentik atas segala khilaf dan salah. Bahkan memerlukan sikap belajar saling mendengar, bukan saling berujar.

Sedangkan untuk silaturahim yang kedua, yakni membangun tatanan persaudaraan ke arah yang lebih bermakna, sungguh memerlukan sikap sekaligus langkah-langkah positif dan konkret. Yakni bagaimana mempraktikkan titah Allah "saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, serta tidak saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan".

Dalam dunia politik misalnya, pekerjaan mulia seperti itu kelihatan mudah disemboyankan, tetapi tak gampang untuk dipraktikkan, apalagi menjadi bagian dari "political behavior" (perilaku politik), sebab yang sering tampak ke permukaan justru sebaliknya, konspirasi politik. Logika tak ada perkawanan atau permusuhan yang abadi kecuali kepentingan, demikian kuat dalam dunia nyata politik, sehingga silaturahim seringkali menjadi sebatas ornamen luar belaka.

Pascaidul Fitri, baik silaturahim maupun ibadah-ibadah lainnya termasuk puasa, memerlukan transformasi langkah besar-besaran di tubuh bangsa ini, yang muaranya pada itikad dan sikap-sikap autentik sebagaimana spirit Idul Fitri. Jika "Idul Fitri" dimaknai "kembali ke fitrah", selain makna "hari raya berbuka puasa", maka betapa pentingnya membangkitkan kembali dan mengaktualisasikan segala hal yang serba fitri, serba autentik dalam keseluruhan hidup kita ini. Lebih-lebih dalam kehidupan para pemimpin bangsa dalam mengurus negara.

Termasuk sikap autentik dari para elite politik atau politisi di negeri ini, yang pada umumnya sering lebih mengedepankan perlilaku-perilaku semu, bahkan antagonistik. Apa yang hilang dari kebanyakan para elite dan pemimpin negeri ini? Sikap yang autentik, yang berjiwa fitri. Sikap yang bermuara dari kebenaran dan bisikan nurani yang jernih tentang apa yang semestinya dilakukan selaku pemegang amanah dan urusan rakyat dalam menyikapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan saat ini lebih dari sekadar memanfaatkan jabatan untuk kepentingan kekuasaan belaka. Jika orientasi pada capaian kekuasaan begitu kuat maka jangan harap akan lahir sikap yang autentik dalam memangku jabatan dan mengkhidmatkannya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Ini soal hukum politik antara politisi dan negarawan.

Politisi selalu berorientasi pada kekuasaan semata. Bahwa kekuasaan ya untuk kekuasaan. Jabatan semata-mata sebagai tahta, dan tahta pun untuk kekuasaan belaka, bukan untuk hajat hidup publik. Sebelum berkuasa ingin berkuasa, setelah berkuasa ingin berkuasa lebih besar lagi, bila perlu untuk seumur hidup. Jika sebelumnya target sekadar lolos electoral threshold, maka setelah tercapai muncul hasrat politik lebih besar lagi, bagaimana meraih suara di atas batas lolos pemilu itu. Setelah meraih suara cukup signifikan, masih ingin meraih lebih besar lagi, sampai menjadi pemenang.

Setelah menjadi pemenang bagaimana mempertahankan kemenangan, bila perlu menjadi pemenang mayoritas. Begitu seterusnya, hingga tak ada lagi waktu dan ruang untuk mengkhidmatkan kekuasaan itu untuk menyelesaikan urusan-urusan bangsa dan negara yang menyangkut hajat hidup dan nasib rakyat. Teorinya memang kekuasaan untuk bangsa dan negara, tapi kapan senggang manakala nafsunya terus bergelora untuk berkuasa. Lama-kelamaan jadi budak nafsu-kuasa, ta'bid 'an siyasiyah.

Adapun jiwa negarawan melampaui politisi. Kekuasaan seberapa pun kecil atau besar, dikhidmatkannya untuk bangsa dan negara, untuk hajat hidup dan kepentingan rakyat banyak. Jika jabatan atau kekusaaan yang diperolehnya tak lagi bermakna dan berfaedah untuk hajat hidup rakyat, untuk bangsa dan negara, maka dengan rela hati melepaskannya. Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono X merupakan contoh dari negarawan di negeri ini.

Soekarno, mungkin juga para Presiden selanjutnya, pada awalnya negawaran, tetapi setelah tahta kuasa begitu meninabobokannya, kemudian berubah menjadi politisi. Maka hasrat untuk berkuasanya jauh melampaui hasrat pengkhidmatanya untuk bangsa dan negara. Bagi politisi yang tidak berjiwa negarawan atau "negarawan semu", kalaupun dia melepaskan jabatan tertentu, tebersit hasrat dan langkah untuk meraih jabatan yang lebih tinggi lagi, sehingga "kenegarawanannya" tidaklah fitri atau autentik.

Negeri ini terlalu banyak diisi oleh para elite atau politisi dan pemimpin yang kehilangan sukma kefitriannya selaku negarawan. Dalihnya mempesona, bahwa politik, partai politik, dan jabatan-jabatan publik itu sangatlah strategis dan mulia untuk membangun bangsa dan negara. Ada banyak pekerjaan yang sangat penting dan strategis yang dapat dilakukan oleh politisi, oleh partai politik, oleh pejabat-pejabat publik, yang tidak dapat dilakukan oleh orang-orang partikelir, ormas, dan kelompok-kelompok kepentingan.

Memang benar, tapi bagaimana implementasinya secara signifikan dalam menyelesaikan krisis dan persoalan-persoalan bangsa yang dari hari ke hari kian ruwet saja? Teriakan tentang jumlah orang miskin dan pengangguran yang kian meningkat, aset-aset negara yang lenyak dan kini banyak dikuasai asing, sumber daya alam yang semakin dirusak, utang luar negeri yang melilit, hinggga kedaulatan bangsa dan negara yang compang-camping; kayaknya tak begitu mengusik para politisi, elite, dan para pucuk pemimpin negeri ini dari pusat hingga ke bawah. Banyak pekerjaan politik yang dilakukan asal-asalan, bahkan terkesan main-main saja.

Gejala paling krusial bahkan mulai mewabah, yakni demam Pemilu 2009. Setiap tetes adrenalin politik elite semuanya bermuara ke 2009. Partai politik berlomba memasang target perolehan suara besar, pada satu kursi saja jika dimanfaatkan untuk bangsa dan negara sangatlah berarti. Para elite begitu percaya diri untuk sukses tahun 2009, hanya berbekal uang atau iming-iming hasil survei sementara, tanpa bertanya pada diri sendiri untuk apa berkuasa?

Banyak orang mendeklarasikan diri siap memimpin tanpa rasa risih, padahal betapa berat dan tak mudahnya memimpin dengan penuh kejujuran, amanah, dan tanggung jawab yang besar. Banyak contoh di depan mata kita pemimpin yang memperoleh mandat besar dari rakyat, akhirnya sekadar tahta dan pesona. Pemimpin akhirnya sekadar jadi beban rakyat. Jadi beban sejarah.

Pascaidul Fitri, kita ingin menyaksikan lahirnya para elite dan pemimpin negeri yang berjiwa dan bersikap fitri, yang menampilkan tindakan-tindakan yang autentik. Bukan yang imitasi. Autentik niat, sikap, dan tindakannya untuk sebesar-besarnya berkhidmat bagi rakyat. Berkhidmat setulus hati untuk mengurus urusan bangsa dan negara dengan totalitas pengabdian.

Bukan yang penuh ornamen dan pesona, yang tindakan lahirnya tidak sama dengan denyut batinnya. Bukan tindakan-tindakan yang serba siap untuk berkuasa, tetapi tidak berjiwa negarawan: bagaimana meraih kekuasaan secara beradab dan memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya hajat hidup orang banyak. Pemimpin dan para elite yang selalu menyembunyikan hasrat-hasrat kuasa gaya para raja di msa silam, di mana tahta memang untuk raja, bukan untuk rakyat. Membawa agama pun ke dunia politik sekadar ornamen luaran dan pinggiran, bukan jiwa dan tindakan, sehingga sekadar politisasi agama dengan model baru.

Kalau boleh berharap, kita ingin para politisi dan pemimpin negeri ini kembali ke fitrah dalam makna sesungguhnya. Fitrah mengurus bangsa dan negara dengan benar, jujur, amanah, dan penuh pertanggungjawaban. Bukankah fitrah politik itu adalah fungsi risalah kekhalifahan di muka bumi sebagaimana dibebankan kepada seluruh anak cucu Adam? Fitrah politik itu "sawasa al-amr", mengurus sesuatu dengan sebaik-baiknya.

Bukan malah selalu menambah nafsu kuasa. Kita ingin menyaksikan para elite dan peimpin di Republik ini menjalankan fungsi sebagai "khalifat fi al-ardl", bukan sebagai pemburu kuasa. Apalah artinya kuasa manakala tak membuahkan makna dan maslahat di muka bumi ini, apalagi kalau melahirkan madlarat dan kekisruhan. Sungguh alangkah indahnya negeri ini manakala para elite dan seluruh pemimpinnya berjiwa fitri. Menjadikan Idul Fitri sebagai sukma sehari-hari.

No comments: