|
Kemunculan aliran-aliran pemikiran dan gerakan baru dalam Islam adalah suatu keniscayaan dan gejala yang wajar. Setiap zaman baru dalam sejarah peradaban mengharuskan umat beragama untuk meninjau kembali isi khasanah doktrinnya. (mbs)Apakah pola pemahaman Islam yang dianut dapat digunakan untuk melihat permasalahan umat secara akurat? Apakah para penganut Islam dapat merampungkan seluruh persoalan kehidupan yang dihadapinya dengan menggunakan pendekatan Islam? Jika kedua masalah itu clear, berarti pemahaman keislamannya masih fungsional dan tidak memerlukan pemahaman atau penafsiran baru atas doktrin. Aliran Islam baru itu akan muncul apabila corak pemahaman Islam yang mereka anut dirasakan sudah tidak mempan lagi untuk melihat masalah kehidupan. Karena itu, berbagai persoalan yang muncul tidak terselesaikan dengan baik dan cenderung semakin menumpuk. Dalam situasi demikian, kemunculan berbagai aliran baru tidak terelakkan. Demikianlah dalam sebuah episode sejarah Islam klasik kita mengenal aliran-aliran teologi Islam, seperti Khawarij, Murjiah, Qodariah, Jabariah, Mu'tazilah, dan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dalam fikih Islam juga dikenal berbagai aliran hukum Islam, atau lebih dikenal dengan mazhab, seperti Syafii, Hambali, Maliki, dan Hanafi. Di Indonesia juga muncul aliran Islam yang bercorak reformis, seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, ada pula yang bercorak tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah mengapa ada aliran Islam yang sesat dan ada pula yang lurus (shiraatal mustaqim)? Memakai tolok ukur apa suatu aliran Islam dikatakan sesat, sementara ada aliran Islam lain yang tidak sesat. Siapa yang berhak membuat tolok ukur sebagai alat kategorisasi? Berdasarkan ketentuan Allah, lembaga keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, dan NU, atau malah negara? Secara sederhana, pemahaman rukun Islam bisa digunakan sebagai salah satu tolok ukur ortodoksi Islam. Maka, yang menyimpang dari lima pilar keagamaan tersebut bisa dikatakan menyimpang dari ajaran Islam ortodoks. Misalnya, rukun Islam pertama adalah syahadat, sebuah persaksian bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, jika ada aliran Islam yang percaya bahwa ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad, itu sudah bisa dianggap aliran sesat karena pemahamannya tentang salah satu pilar Islam telah menyimpang dari ajaran Islam ortodoks. Bila berdasarkan tolok ukur tersebut, memang ditemukan ada aliran sesat, selanjutnya bagaimana sikap kita terhadap mereka? Memunculkan fatwa sesat, membunuhnya, membakar rumahnya, atau merangkul kembali mereka dan membimbingnya menuju Islam yang benar? Peran Ormas Islam Akhir-akhir ini ada tiga aliran Islam baru yang dianggap sesat dan mengemuka ke permukaan, yaitu Ahmadiyah, Lia Eden, dan terakhir Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Ketiga aliran itu disebut menyimpang karena mempercayai ada Nabi atau Rasul (baru) setelah Muhammad SAW. Menghadapi maraknya aliran-aliran sesat itu, apa yang bisa diperankan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah untuk meredam dan menanggulanginya? Apakah mengumumkan fatwa sesat ke publik cukup efektif, yang biasanya diikuti dengan tindakan anarkistis massa terhadap para penganut aliran tersebut? Apakah tidak ada jalan lain untuk mengingatkan dan menarik mereka kembali kepada jalan yang benar? Sebelum mengambil sikap terhadap mereka, sebaiknya dikenali dan dipahami terlebih dahulu akar penyebab pemunculannya. Mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas umat. Sebuah aliran sesat timbul karena beberapa alasan; (a) reaksi terhadap proses marginalisasi dan atomisasi kehidupan modern, terlempar dari kehidupan masyarakat, (b) secara psikologis mereka merasa kehilangan pegangan dalam menghadapi proses sosial yang baru, dan (c) biasanya mereka tidak terjangkau oleh kepemimpinan organisasi umat yang ada. Dengan demikian, kemunculan aliran-aliran sesat tersebut lebih banyak disebabkan faktor kulturalreligius, bukan masalah ekonomi. Karena itu, aliran-aliran sesat bisa muncul di pedesaan dan juga di wilayah perkotaan, orang-orang terpelajar maupun yang kurang terdidik. Karena akar kemunculan aliran sesat itu bersifat kultural-religius, ormas Islam memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka menanggulangi lahirnya aliran-aliran sesat tersebut. Ada dua langkah yang bisa dilakukan ormas Islam untuk menanggulangi munculnya aliran sesat. Pertama, mengefektifkan peran dan fungsinya sebagai gerakan pendidikan dan dakwah. Hampir semua ormas Islam memiliki kedua kegiatan tersebut. Saluran pendidikan melalui sekolah, madrasah, dan pesantren. Para santri dan siswa ditanamkan sejak dini bagaimana model keberagamaan Islam yang benar sejalan dengan ortodoksi Islam, sembari dijelaskan tentang perbedaan-perbedaan furu'iyah yang bisa ditolerir sehingga bisa bersikap moderat terhadap perbedaan pemahaman. Senapas dengan model pendidikan formal yang dijalankan di lapangan, dakwah seperti pengajian juga mengembangkan model pemahaman keagamaan moderat sehingga kelompok-kelompok jamaah pengajian tidak gampang menyesatkan kelompok lain yang tidak sehaluan dengan pemahaman kelompoknya. Kedua, memperluas basis gerakan pendidikan dan dakwahnya kepada kelompok-kelompok masyarakat yang sejauh ini tidak terjangkau oleh kepemimpinan umat atau ormas Islam. Kehadiran ormas Islam pada umumnya berada di daerah yang tingkat pemahaman keislaman masyarakatnya sudah memadai. Tokoh-tokoh Islam muncul dari komunitas seperti ini. Di sisi lain, komunitas muslim yang tidak terjangkau kepemimpinan semakin jauh dari paham Islam ortodoks sehingga mereka sangat rentan untuk berpaling kepada aliran-aliran sesat. Untuk mengatasi masalah ini, ormas Islam bisa mengambil prakarsa mengadakan migrasi dakwah, mendorong perpindahan beberapa ahli agama dari satu daerah ke daerah lain yang kering komunitas keislamannya. Cara ini bisa ditempuh dengan menyebarkan dai-dai muda untuk memasuki kehidupan kelompok-kelompok masyarakat yang belum terjamah oleh kepemimpinan umat tersebut. Dai inilah yang akan membimbing umat ke jalan Islam yang benar. Jika sejenak menengok ke belakang, pesantren pada umumnya muncul di balik komunitas masyarakat abangan atau bahkan penduduknya menjalankan tindakan "hitam"(pencuri/rampok) sebagaimana kasus pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah Tebuireng Jombang. Setelah pesantren berdiri, perilaku umat berubah. Pesantren mampu mentransformasikan masyarakat dari abangan dan "dunia hitam" menjadi komunitas santri. Penyebaran gerakan dakwah Muhammadiyah juga dipercepat oleh mobilitas pedagang Minang yang memiliki jiwa merantau. Para pedagang Minang, di samping menguasai keterampilan dagang, memiliki pemahaman agama yang memadai sehingga pengembangan usaha dagang dilakukan bersamaan dengan perluasan dakwah Islamiah. Dengan demikian, baik NU maupun Muhammadiyah memiliki pengalaman untuk melakukan migrasi dakwah dan melakukan proses santrinisasi. Sudah tentu, untuk konteks sekarang perlu ada desain dakwah, bukan sekadar peristiwa insidental seperti peristiwa masa lalu. Dua langkah tersebut yaitu mengefektifkan peran ormas Islam sebagai gerakan pendidikan dan dakwah serta perluasan basis dakwah ke daerah yang keislamannya "tandus". Hal tersebut perlu menjadi bahan renungan sebagai usaha memperbaiki strategi dakwah ormas Islam. Dalam konteks ini, munculnya aliran sesat pada dasarnya menunjukkan bahwa strategi dakwah ormas Islam belum tepat sasaran, belum mampu menembus penduduk muslim yang justru sangat memerlukan sentuhan dakwah. Melahirkan fatwa sesat terhadap suatu aliran keagamaan harus dipandang sebagai usaha kuratif. Yang lebih penting dari itu adalah memikirkan usaha-usaha preventif sehingga aliran itu tidak muncul. Usaha preventif bisa dilakukan ormas Islam dengan melakukan dua langkah tersebut. Tanah yang tandus sangat rentan terhadap bencana banjir maupun tanah longsor, demikian pula keberagamaan yang "tandus". Tugas kita adalah menanami kembali tanah keagamaan yang tandus itu dengan dakwah yang menyejukkan, dakwah bil hikmah dan keteladanan. Peran itu dapat dimainkan secara penuh oleh ormas Islam karena itu adalah ladang dakwah yang konkret dan membumi. Wallahu a'lam bish-shawab. (*) Drs Marpuji Ali, MSi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah |
No comments:
Post a Comment