Oleh : Abrar Aziz
Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah periode 2006-2008
Apakah fungsi agama yang sebenarnya? Pertanyaan ini menjadi sangat penting jika melihat fenomena keberagamaan umta Islam dewasa ini. Ada beberapa masalah serius yang kita hadapi saat ini.
Pertama, bangkitnya gerakan baru Islam yang mengusung corak islam yang doktriner dan literal. Kelompok ini memiliki kecenderungan bergerak secara konfrontatif dan ekstrem. Bahkan, tidak jarang mereka bertindak sebagai polisi syariat dan polisi moral dalam memberengus kelompok yang dianggap berseberangan dan “sesat”.
Kedua, maraknya perdagangan ayat-ayat Tuhan yang bahkan dilakukan oleh kaum yang merasa santri sekalipun. Atas nama dakwah, mereka berani memasang harga hingga puluhan juta rupiah untuk sekali tampil. Dalam hal ini, aktivitas dakwah hanya menjadi tempat transaksi antara konsumen dan produsen. Jika transaksi sudah selasai, maka jamaah akan pulang dengan membawa cerita-cerita lucu dan sang da`i pun kembali dengan setumpuk uang dan ketenaran. Apa yang didapatkan dengan dakwah yang seperti ini?
Bukan hanya itu, media pun sepertinya tidak mau ketinggalan untuk meraup keuntungan dari pasar Muslim terbesar di dunia ini. Berbagai tayangan yang dibungkus label Islami disodorkan kepada masyarakat luas. Nuansa tahayyul dan khurafat sangat kental dalam tayangan 'Islami' ini. Apalagi jika tayangan itu juga diakhiri dengan ceramah seorang ustadz kondang, maka semakin kuatlah legitimasi tayangan tersebut sebagai tayangan Islami.
Ironisnya lagi, di tengah kekhusyukkan umat dalam menyaksikan tayangan yang katanya memiliki tingkat kepemirsaan yang tinggi itu, tiba-tiba diselingi dengan iklan-iklan yang menampilkan gambar-gambar yang justru sangat tidak Islami. Dari sini dapat kita lihat bahwa motif tayangan tersebut ternyata hanyalah bisnis semata, dan jauh dari keinginan untuk mengembangkan nilai-nilai Islam secara baik.
Dua masalah tersebut, dan tentunya masih banyak deretan masalah lain, menunjukkan kepada kita betapa besarnya masalah yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia pada khususnya, saat ini. Persoalannya tentu menjadi lebih berat lagi jika kita saksikan fenomena yang sangat menyakitkan hati, yaitu fenomena korupsi yang justru dilakukan oleh departemen yang seharusnya diisi oleh orang-orang yang beriman dan saleh. Yang lebih menyakitkan, kejahatan ini dilakukan saat umat ini sangat kesusahan karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kepada siapa lagi umat ini harus mengadu jika lembaga agama saja sudah tidak bisa lagi dipercaya?
Kumpulan para ulama juga ternyata tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah yang kita hadapi. Fatwa-fatwa yang diputuskan tidak jarang justru malah memicu konflik di antara umat Islam sendiri. Kita tentu saja sangat merindukan fatwa-fatwa yang berpihak pada kaum mustadh'afin, fatwa tentang penggusuran atau fatwa tentang hukuman berat bagi pejabat negara yang korupsi.
Hal ini mejadi sangat penting mengingat persoalan terbesar yang sedang kita hadapi adalah kemiskinan di tengah negeri yang kaya raya. Bagaimana mungkin negeri yang diberi berkah sangat melimpah oleh Allah ini dengan bermacam kekayaan alam harus menerima kenyataan bahwa rakyatnya terpaksa makan nasi aking dan harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan lima liter minyak tanah.
Pertanyaannya adalah, pernahkan para ulama, pengkhotbah, kaum ekstrimis yang mengaku menjadi tentara Tuhan, atau ustadz yang memasang tarif jutaan rupiah itu melakukan langkah konkret untuk menyelasaikan masalah ini? Apakah cukup persoalan yang berat ini diselesaikan dengan hanya meminta umat bersabar karena setiap musibah ada hikmahnya? Atau, tepatkah jika dalam kondisi seperti ini dalil bahwa Allah sangat mencintai orang yang bersabar disalahgunakan untuk menutupi perilaku buruk para pemimpin umat?
Yang sangat diperlukan oleh umat saat ini adalah langkah konkret, bukan ceramah-ceramah yang tidak mampu mengatasi kelaparan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial lainnya. Bagaimana mungkin seseorang dipaksa beribadah dengan khusyu sementara perut keluarga belum terisi selama dua hari. Bagaimana mungkin seseorang harus dicambuk karena mencuri sedangkan di rumahnya tidak ada satu pun bahan makanan yang bisa dimakan. Di sinilah pentingnya kita mengkaji kembali fungsi agama bagi manusia dan kepada siapakah agama harus berpihak.
Mempertegas keberpihakan
Dalam Alquran jelas sekali disebutkan bahwa yang disebut al birri atau kebajikan adalah beriman kepada Allah, nabi-nabi, kitab-kitab dan senantiasa mencintai orang-orang miskin, orang yang meminta-minta, anak yatim dan memerdekakan budak (QS Al Baqarah 177). Tidak ada keraguan sedikitpun bagi kita tentang maksud ayat ini. Yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan lemah.
Ajaran bahwa keimanan harus memberikan implikasi kepada dimensi sosialnya sangat jelas diungkapkan dalam Alquran. Dengan kata lain, iman tidak akan memiliki arti sama sekali jika tidak memiliki dimesi sosial. Tidak kurang dari 36 ayat dalam Alquran yang mengaitkan iman dan amal shaleh. Di antaranya QS Al Baqarah; 62, Al Maidah; 69, Al An`am; 54, Al Kahfi; 88, Maryam; 60, dan ayat-ayat lainnya.
Langkah yang harus kita lakukan juga telah disampaikan oleh Kitab Suci, yaitu dengan memberikan sebagian harta kita kepada mereka, memberikan pertolongan, dan memperlakukan mereka sebagai manusia yang mulia. Bukanlah langkah yang tepat jika persoalan ini hanya diatasi dengan mengajak umat untuk terus bersabar dan berdoa.
Keberpihakan Islam terhadap kaum tertindas memang tidak dapat dipungkiri. Untuk itulah dibutuhkan sebuah gerakan dakwah yang membebaskan umat dari belenggu ketertindasan. Dan gerakan ini tentu saja harus dimulai oleh para ulama, pemimpin negara, dan kelompok-kelompok Islam yang menjadi panutan masyarakat. Jika ulamanya hanya bertindak sebagai polisi syariat, para ustadz terus memasang tarif selangit sambil menyuruh umat bersabar atas musibah, media terus membodohi umat, dan kelompok-kelompok agama sibuk berdebat soal mana yang sesat dan mana yang benar, maka jangan harap kondisi bangsa ini akan membaik.
Langkah konkret harus dimulai sesegera mungkin. Dalam hal ini para ulama diharapkan mampu menjadi pembela kaum tertindas dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang bisa secara jelas menunjukkan keberpihakan itu. Sikap yang bisa memberi keberpihakan itu antara lain bisa diwujudkan dalam fatwa tentang penggusuran, hukuman bagi koruptor, atau fatwa lain yang mampu melepaskan umat dari ketertinggalan. Begitu juga pemerintah harus senantiasa menunjukkan keberpihakan kepada rakyat miskin dalam membuat setiap kebijakan. Ustadz-ustadz juga diharapkan mampu memberikan ceramah-ceramah yang menggerakan masayarakat untuk saling peduli.
Dan ingat, jangan pasang tarif yang memberatkan jamaah. Mudah-mudahan negeri ini mampu menjadi surga bagi para penduduknya. Baldatun thayyibatun waraabun ghafuur. Amin.
Ikhtisar
- Pada praktiknya, dua hal tersebut kerap membuat posisi umat menjadi dilemahkan.
- Para tokoh agama harus segera menjalankan langkah konkret untuk mengatasi persoalan berat yang kini dihadapi umat berupa kemiskinan, ketertindasan, kebodohan, dan sebagainya.
- Ulama dan umara wajib menempatkan dirinya pada pihak yang membela kaum tertindas.
No comments:
Post a Comment