Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Jika kita mau jujur, sebenarnya sudah lama Alquran tidak lagi berfungsi sebagai petunjuk untuk urusan-urusan besar umat Islam, seperti urusan kenegaraan, ekonomi, hubungan internasional, dan lain-lain. Bahwa Alquran masih diimani sebagai Kitab Suci yang tahan bantingan sejarah, adalah pula sebuah fakta, setidaknya secara formal. Tetapi, bahwa kitab ini sudah diabaikan sebagai acuan dalam memecahkan masalah penting umat Islam juga adalah fakta yang lain pula.
Terlihat di sini jurang yang lebar sekali antara akuan dan laku. Umat Islam pada tataran global sama-sama terkurung dalam jurang itu sambil menyalahkan satu sama lain. Masing-masing merasa yang paling benar, sementara saudaranya yang lain palsu belaka, jika perlu dihancurkan. Parameter yang digunakan untuk saling menghancurkan itu sungguh sangat rapuh, tetapi diaku sebagai yang benar.
Gejala yang semakin kentara di awal abad ke-21 ini adalah polarisasi antara kelompok puritan dan moderat, untuk meminjam kategorisasi Khaled Abou El Fadl. Masing-masing merasa berada di jalan lurus. Kaum puritan tampak mengkristal dalam format Taliban dan sampai batas tertentu di kalangan orang Arab Saudi. Mereka ini ingin menciptakan sebuah dunia seperti masa dini Islam, sebagaimana yang dibayangkan.
Mereka anti semua sistem Barat tetapi menikmati hasil teknologinya, seperti mobil dan telepon, bahkan teknik membuat bom. Mereka menilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia sebagai produk Barat yang harus dilawan karena merusak Islam. Mereka ingin menciptakan sebuah dunia cita-cita berdasarkan tafsiran mereka yang monolitik terhadap Alquran dan sejarah nabi. Kelompok ini juga tersebar di berbagai bagian dunia Islam yang umumnya berideologi radikal tunggal: ingin mengubah dunia secara berani dan cepat, sekalipun berisiko pertumpahan darah. Mereka tidak peduli.
Sebenarnya kelompok puritan ini tidak punya tawaran peradaban yang jelas, tetapi relatif terikat ideologi tunggal yang fasistis. Di antara doktrin yang mengikat mereka adalah konsep taat kepada pemimpin, hampir tanpa reserve. Karena itu, ada yang menafsirkan bahwa mereka adalah faksi totalitarian dengan payung syariat. Mereka memandang enteng kematian, jika mati itu adalah dalam upaya mencari ridha Allah menurut visi mereka.
Di sisi lain, kelompok moderat juga mengaku berpegang kepada Alquran, tetapi umumnya mereka membela gagasan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Mereka tidak risau apakah gagasan itu berasal dari Barat atau Timur. Selama gagasan itu mendukung cita-cita Alquran untuk membumikan keadilan, perdamaian, moralitas, dan hubungan yang elok sesama umat manusia, mengapa harus ditolak.
Mereka merasakan keperihan saat menonton dunia Islam yang gelap di bawah sistem politik despotisme yang zalim dan korup tetapi sering diberi legitimasi agama. Didorong oleh keprihatinan ini, mereka tidak segan berpendapat bahwa pemerintahan non-Muslim yang adil lebih baik dari pemerintahan Muslim yang zalim dan korup. Mereka sangat kritikal dengan label yang serba Islam, tetapi dalam realitas bertolak belakang dengan pesan universal Islam yang membela keadilan dan suasana hidup rukun sesama umat manusia.
Dibandingkan dengan kelompok puritan yang relatif solid, kelompok moderat tidak terikat dengan ideologi tunggal. Islam bagi mereka tetap menjadi peradaban alternatif masa depan, tetapi yang harus dipahami secara cerdas, jujur, komprehensif, dan historis. Mereka sangat kritikal terhadap Barat, tetapi tidak menolak unsur-unsur peradaban lain yang positif melalui filter agama.
Itulah gambaran kasar polarisasi umat Islam masa kini dengan mengabaikan varian-varian kecil yang banyak sekali. Kalau demikian, di mana posisi Alquran? Mari kita sama-sama berpikir keras untuk mencari jalan yang solutif sehingga Alquran dapat berfungsi kembali sebagai petunjuk tertinggi dalam memecahkan masalah fundamental dan kemelut kemanusiaan yang tak pernah usai. Alquran sebenarnya juga berfungsi al-furqan (kriterium pembeda antara yang hak dengan yang batil), tetapi mengapa kita masih saja terpasung dalam polarisasi yang tajam sesama umat Islam?
Mari kita belajar bersikap jujur dalam memahami Alquran, buang jauh-jauh subjektivisme sejarah dan kepentingan pribadi. Menurut Alquran risalah kenabian adalah sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan hanya untuk umat Islam. Realitas terkini adalah: umat Islam secara keseluruhan tidak berdaya, banyak energi terbuang secara sia-sia, sehingga sering menjadi bulan-bulanan pihak lain karena memang busuk dari dalam.
Akhirnya, mohon dibaca fakta keras ini dengan seksama: baik yang puritan maupun yang moderat keduanya masih terkapar di buritan peradaban jika dilihat dalam perspektif cita-cita "rahmat bagi seluruh makhluk." Namun, kita tidak boleh patah harapan karena seluruh semangat Alquran mengajarkan optimisme menghadapi masa depan, asal kita mau berkaca diri.
No comments:
Post a Comment