Oleh : Haedar Nashir
Kadang, tak mudah memahami hasrat negara. Negara tidak jarang begitu dingin terhadap agama, bahkan tak segan berhadapan dengan keras dan otoritatif. Di lain kesempatan begitu ramah dan merangkulnya dengan hangat, terutama jika ada maunya.
Rakyat Aceh berpuluh-puluh tahun hingga harus memberontak ketika negara bersikap kejam, untuk kemudian dicoba dimanjakan dengan jalan diberikan apa pun yang diinginkan kecuali merdeka. Rezim Orde Baru bahkan memaksa parpol dan ormas Islam untuk berasas tunggal Pancasila dan tidak boleh berasas Islam, yang kayaknya akan ditiru oleh sebagian kekuatan politik warisan lama itu pada saat ini. Hubungan antara negara dan agama memang sering sekali panas-dingin, sarat dengan dialektika.
Negara sering tampil dalam seribu satu wajah terhadap urusan agama dan umat beragama. Ketika Idul Fitri dan Idul Adha milik umat Islam tiba, tiba-tiba negara menjadi sangat peduli dan penuh hasrat. Negara, lewat institusi yang mengurus soal-soal agama, menjadi tampak sangat bertanggung jawab. Kapan kedua hari raya itu tiba, siapa yang harus mengumumkan, bahkan memelototi siapa saja yang tak sejalan dengan keputusan pemerintah.
Bahkan sampai perlu tergopoh-gopoh memeragakan peralatan teknologi canggih untuk meyakinkan publik, kendati selama ini logika ilmu pengetahuan di mana teknologi itu dilahirkan dari rahimnya menjadi sesuatu yang sering diabaikan. Padahal jika diserahkan pada masyarakat, perbedaan dua hari raya itu tak serumit yang dibayangkan karena mereka biasa berbeda dan arif untuk toleransi.
Negara juga begitu peduli dengan soal ukhuwah. Peduli dengan kebingungan umat. Padahal sejak dulu umat di negeri ini sering berbeda hari raya dan tersebar dalam ragam mazhab dan golongan. Tak ada sesungguhnya yang terlalu perlu dirisaukan dengan ukhuwah, yang membuat negara harus tergopoh-gopoh memprihatinkannya. Umat terbiasa dengan perbedaan. Umat di bawah jauh lebih bingung menghadapi kian naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan semakin sulitnya mencari pekerjaan daripada terlalu dipusingkan oleh perbedaan hari raya. Boleh jadi ada yang bingung, tetapi tak akan terlalu mengganggu, dan tak perlu menjadi heboh dan gaduh. Masih banyak tugas pemerintah atas nama negara untuk mengurusi beban hidup rakyat yang kian berat.
Namun rupanya negara via institusi pemerintah yang mengurus agama berhasrat kuat untuk bercampur tangan. Tak mengapa, asalkan konsisten pula untuk mengurusi keperluan-keperluan besar dan fundamental dari urusan agama dan umat beragama. Negara bertanggung jawab penuh untuk tegaknya Rukun Iman, Rukun Islam, dan seluruh urusan muamalat dunyawiyah dari umat Islam, plus urusan-urusan agama lain secara adil pula. Bukan hanya mengurusi haji dan zakat yang ada dananya, tetapi juga mengurusi segala keperluan untuk terlaksananya dakwah Islam seluas-luasnya. Lebih jauh lagi melakukan penegasan sebagai negara agama. Jadi, negara menjadi beragama. Menjadi benar-benar bertuhan! Tidak sekuler seperti sekarang ini.
Bahwa negara di Republik tercinta ini telah menjadi bertuhan lahir dan batin, itu suatu yang positif. Menjadi semakin beragama dan peduli dengan urusan umat beragama. Kita patut merayakannya. Dari dulu hingga kini, sebenarnya itulah yang didambakan umat Islam. Agar negara dengan seluruh aparatur atau institusi pemerintahannya bersungguh-sungguh peduli terhadap urusan-urusan besar umat Islam, sebagaimana layaknya untuk seluruh hajat umat beragama lain di negeri Khatulistiwa nan indah ini.
Setiap orang beragama menghendaki agar negara tercinta ini tidak menjadi semakin sekuler. Serba membiarkan berbagai kemunkaran yang berada di pelupuk marak secara meluas, termasuk kemunkaran-kemunkaran buatan di media massa cetak dan elektronik. Jangan menjadi anak manis kapitalisme global dan neoliberalisme yang penuh ketaatan, yang membiarkan nilai-nilai luhur bangsa semakin dimarginalkan serta mengeliminasi nilai-nilai keagamaan yang dianut setiap orang beragama.
Umat Islam dan pada umumnya orang beragama tentu saja sangat senang jika negara Republik tercinta ini berhasrat kuat untuk benar-benar semakin religius. Apalagi jika religiusitas yang kental itu menjadi suri tauladan para pejabat dan segenap aparatur negara, sehingga tak ada lagi praktik penyelewengan dan kesewenang-wenangan. Menjadi alat dan aparat negara yang betul-betul menjalankan ajaran agama secara total dan tersistem. Tak mendiskriminasikan pegawai pemerintahan dan warga negara yang berbeda paham dan golongan agama mana pun. Menjadi sebuah institusi paling amanah, sehingga tak ada lagi kisah pejabatnya masuk penjara.
Bahkan ada yang lebih radikal. Jika negara melalui tangan pemerintahannya begitu sangat peduli dengan urusan-urusan parsial yang menyangkut hajat hidup umat Islam, kenapa tidak lebih berani melangkah menjadi sebuah negara agama. Bahkan menjadi negara Islam sebagaimana disuarakan dengan lantang oleh gerakan-gerakan Islam formalis. Jika negara atau pemerintah di Republik tercinta ini ingin memposisikan diri sebagai Ulil Amri sebagaimana sering dikatakan ketika menetapkan hari raya umat Islam, kenapa tidak sekaligus saja menjadi sebuah Pemerintahan Negara Islam. Menjadi sebuah pemerintahan yang seratus persen amanah, sehingga umat atau rakyat percaya dan rela hati untuk menyerahkan urusannya tanpa ragu sedikit pun. Bukan menjadi negara agama yang despotik dan totalitarian.
Negara jika mau mengurusi soal agama hingga ke wilayah praktis dan perbedaan mazhab, selain harus berubah wajah ke wilayah struktural, juga sekaligus harus berani mewujudkan institusi paling otoritatif untuk mewujudkan "baldatun thayyibatun wa rabbaun ghafur". Biar segalanya menjadi serba terbuka dan tersistem secara menyeluruh. Bukan mengambil wilayah parsial saja. Jika negara melalui tangan pemerintahannya begitu peduli dengan urusan agama dan umat beragama, juga harus bergerak lebih luas seluas pesan utama Tuhan agar umatnya menunaikan risalah rahmatan lil-'alamin di muka bumi ini. Jadi tidak kepalang tanggung, sehingga dari Republik tercinta ini dapat dibangun peradaban baru yang modern sekaligus berketuhanan seperti cita-cita "al-Madinah al-Fadhilah" atau "al-Daulah al-Fadhilah". Menjadi negara idaman Tuhan dan dambaan rakyat.
Namun, jangan ambigu seperti sekarang ini. Sesekali begitu berhasrat mengurusi urusan umat. Lebih-lebih kalau ada keperluannya seperti soal haji misalnya. Di kesempatan lain alergi dan menegasikan suara dan kepentingan umat terutama menyangkut soal-soal besar dan fundamental. Pemerintah begitu resisten ketika Piagam Jakarta diusung kembali oleh sebagian kecil kalangan umat, kendati gagasan pengusungan itu sendiri sungguh tak realistik dan bukan aspirasi mayoritas umat. Sikap negara atau pemerintah yang semacam itulah yang membikin umat bingung, bukan bingung karena perbedaan hari raya. Negara melalui institusi pemerintahan yang mengurus soal agama bahkan dapat menjadi sumber kebingungan manakala masuk ke area urusan agama yang sifatnya khilafiyah atau perbedaan paham. Apalagi jika menjelmakan diri atau memihak pada satu mazhab dan golongan, malah bisa menjadi sumber perpecahan umat. Ikut menentukan hari raya sambil memelototi yang berbeda, padahal semestinya dengan semangat yang dijamin Pancasila dan UUD 1945 memiliki hak dan kebebasan untuk menjalankan agama sesuai keyakinan dan kepercayaannya. Bukan dianaktirikan.
Masih banyak soal kegamangan negara. Kita dapat bertanya soal posisi negara ketika menghadapi urusan-urusan besar yang umat beragama sendiri memprihatinkannya. Di mana sesungguhnya kiprah negara -juga aparatur "sucinya"- berada ketika harus berhadapan dengan berbagai bentuk kemunkaran yang semakin terbuka telanjang di negeri ini? Pemancar-pemancar televisi dibiarkannya mempertontonkan keseronokan, gaya hidup bebas, hedonis, dan menjual kemaksyiatan. Bahkan RUU APP pun tak menjadi perhatian, seolah dibiarkan menggantung di gedung Senayan tanpa pertanyaan pemerintah. Tempat-tempat maksiat di kota-kota besar bahkan dibiarkan ada campur tangan lembaga-lembaga keagamaan semi-kamtibmas untuk melakukan sweeping di bulan Ramadhan. Kita belum mendengar aparatur negara yang mengurus agama lantang melawan produksi-produksi seronok seperti itu, yang di belakangnya bertengger pemilik-pemilik modal raksasa.
Ketika cap terorisme dikonotasikan pada golongan Islam, negara atau institusi pemerintahan seolah tak begitu berusaha menetralisasikan cap buruk itu ke dunia internasional. Proyek antiterorisme bahkan diambil pemerintah seolah tanpa reserve, yang mengesankan pembenaran atas stigma Islam teroris. Padahal arus besar Islam di negeri ini tak bersangkutan apa pun dengan kekerasan semacam itu, bahkan sebagian tanda tanya ada apa di balik gencarnya dunia internasional khususnya Amerika Serikat mempropagandakan terorisme di negeri ini. Kita sebagai bangsa berdaulat bahkan dibikin lemah-lunglai dan nyaris tak bisa menegakkan kepala di hadapan bangsa lain. Entah di mana martabat dan eksistensi negara dengan isu dan pencitraan buruk terorisme yang mengenaskan itu.
Belum ke soal urusan kemunkaran lain yang menyangkut hajat hidup bangsa, termasuk umat beragama. Sebutlah soal pemberantasan korupsi. Soal nasib TKI yang sering menjadi korban di luar negeri. Soal anak-anak dan perempuan yang menjadi korban traficking. Urusan bagaimana birokrasi bebas dari campur tangan kekuatan-kekuatan sosial, termasuk dalam mengangkat pegawai dan pejabat publik, yang semestinya mempraktikkan sikap amanah dan adil sebagaimana ajaran agama mengutamakannya. Bagaimana agar penyelenggaraan haji benar-benar bersih dan baik, bebas dari berbagai bentuk penyimpangan sistemik. Bagaimana pula menghadapi dengan lantang soal nasib kaum dhu'afa dan mustadh'afin di negeri ini, yang makin hari kian susah hidup, padahal Tuhan begitu sangat peduli dengan kaum papa dan lemah itu sebagaimana pesan sucinya dalam Surat Al-Ma'un.
Negara jika tak ingin mengambil seluruhnya urusan agama dan umat beragama memang dituntut meninjau kembali fungsi-fungsi yang diperankannya. Mana yang harus diurus dan mana yang semestinya dibiarkan menjadi tanggung jawab para pemeluk agama itu sendiri. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa memang negara Indonesia tidak boleh menjadi sekuler sebagaimana negara-negara Barat. Tetapi juga bukan berarti mengambil seluruh urusan agama dan umat, lebih-lebih jika ambigu dan salah mengambil peran. Perlu reposisi peran negara dalam menghadapi urusan agama dan umat beragama di negeri tercinta ini.
Jika terlalu jauh, boleh jadi negara menjelma sebagai institusi suci yang memaksa siapa pun untuk beragama dan bertuhan tanpa kesadaran para pemeluk agama. Negara bahkan bisa mengejar-ngejar siapa pun yang tidak menjalankan ibadah, padahal ibadah merupakan urusan para pemeluk agama dengan Tuhannya, bukan tanggung jawab negara. Manakala salah mengambil paham agama, negara bahkan bisa menjadi institusi bermazhab yang paling berkuasa di muka bumi ini, yang pada akhirnya akan menciptakan benturan antar mazhab yang mekar di negeri ini. Sudah saatnya negara mengambil posisi dan peran yang tepat dan terukur dalam mengurus keperluan agama dan umat beragama di Republik tercinta ini. Memang urusan menjadi pelik ketika negara ikut menentukan hari raya, ikut beridul fitri. Negara beridul fitri, beridul adha. Memang, itukah yang dihasratkan?
No comments:
Post a Comment