Tiba-tiba saya ingat Pak Surono. Ingatan itu muncul berkaitan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal Oktober lalu yang menolak gugatan bahwa Undang-Undang Perkawinan 1974 bertentangan dengan hukum Islam dan hak konstitusional warga negara laki-laki Muslim Indonesia untuk berpoligami. Bahkan, menurut gugatan itu, larangan --atau tepatnya pengetatan poligami dalam perundangan Indonesia-- mendorong laki-laki berselingkuh atau bahkan melakukan perzinaan. Jadi, poligami seharusnya dibolehkan undang-undang agar laki-laki tidak berselingkuh dan tidak terjerumus ke dalam perzinaan.
Menyimak argumen gugatan ini ingatan saya kembali ke Pak Surono. Pak Surono adalah 'orang kecil' yang mungkin sering terabaikan. Saya mengenalnya di Bandara Frankfurt, Jerman, saat transit di sana. Pak Surono, orang Banten yang sudah lebih dari dua dasawarsa 'malang melintang' di Jerman, bekerja di berbagai tempat, sejak dari perusahaan Jerman sampai lembaga atau instansi Indonesia. Pak Surono tetap mempertahankan kecintaannya kepada Indonesia; dan ia selalu mengikuti perkembangan di Tanah Air. Dengan begitu, Pak Surono menjadi tipikal orang Indonesia dalam diaspora.
Dengarlah cerita Pak Surono; dan saya lebih banyak menjadi pendengar yang baik. Ia mulai dengan meningkatnya sikap anti-Islam dari kalangan masyarakat Jerman, khususnya sejak kehebohan berkaitan dengan kasus kartun Denmark yang menghina Nabi Muhammad SAW. Dampak dari reaksi keras kaum Muslimin terhadap kartun itu berkelanjutan dalam masyarakat Jerman, yang melihat kaum Muslim sebagai over-reactive.
Lebih jauh, dengan bangkitnya sikap Islamophobia, muncul pula kembali berbagai mispersepsi klasik tipikal dalam masyarakat Jerman dan Eropa lainnya tentang Islam. Di antaranya berkenaan dengan poligami. Bagi kalangan masyarakat Jerman atau Eropa dan Barat umumnya sejak masa klasik dan pertengahan, ajaran Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah, untuk tidak dikatakan sebagai 'menindas'. Salah satu alasan bagi mispersepsi ini adalah Islam mengizinkan poligami.
Karena itulah Pak Surono menentang poligami. Menurut dia, Islam tidak pernah membenarkan poligami, kecuali dalam keadaan sangat-sangat darurat, misalnya, jika istri betul-betul tidak bisa memberi keturunan, atau dalam keadaan sakit permanen yang hampir tidak mungkin sembuh lagi. Bagi Pak Surono, alasan dengan berpoligami laki-laki akan terhindar dari perselingkuhan dan perzinaan adalah alasan yang tidak masuk akal. Hujjah itu hanya menunjukkan kelemahan iman laki-laki yang bersangkutan. Pak Surono kemudian mengingatkan pada hadis Nabi Muhammad, bahwa jika seorang laki-laki memiliki nafsu yang bernyala-nyala, maka ia sebaiknya melakukan puasa.
Bagi Pak Surono, seorang suami yang berpoligami tidak mungkin, atau bahkan mustahil bisa melaksanakan keadilan terhadap para istrinya. Sang suami mungkin bisa berlaku adil secara material, tetapi tidak mungkin secara psikologis dan rohaniah. Karena tidak mungkin berlaku adil, makanya poligami, pada dasarnya Islam tidak mengizinkan, apalagi mendorong seorang suami mengawini perempuan lebih dari satu.
Sekali lagi, keputusan MK yang menegaskan keabsahan perundangan Indonesia yang memperketat poligami, pastilah menggembirakan Pak Surono, banyak laki-laki lain, dan istri-istri umumnya. Hampir bisa dipastikan, kelompok yang disebutkan terakhir, yaitu para istri boleh dikatakan tidak ada yang mau dimadu. Hanya karena terpaksa saja mereka mau 'berbagi suami' dengan wanita lain yang dinikahi suami mereka.
Dalam masa reformasi sekarang, memang ada gejala meningkatnya praktik poligami. Ini antara lain karena hampir tiada penegakan hukum yang memperketat praktik poligami. Saya tahu beberapa PNS yang kini berpoligami; dan hampir tidak ada penegakan hukum terhadap mereka. Juga karena meningkatnya tuntutan kebolehan poligami.
Dalam beberapa kajian saya dan banyak kajian lain tentang perundangan Indonesia mengenai masalah ini saya menemukan, posisi perempuan Muslimah lebih terlindungi pasca UU Perkawinan 1974. Jelas, suami tidak bisa lagi seenaknya melakukan poligami; ia harus mendapat izin dari istrinya dan bahkan juga atasannya jika ia pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri.
Sepatutnya kita mendukung pengetatan praktik poligami. Karena dengan begitu, kita bukan hanya melindungi kaum perempuan, tapi juga tidak kurang pentingnya dapat lebih punya peluang untuk mewujudkan keluarga sakinah yang mudah-mudahan penuh mawaddah wa rahmah.
No comments:
Post a Comment