Thursday, November 29, 2007

Pak Haji!



Oleh : Zaim Uchrowi

"Mengapa orang berhaji disebut Pak Haji, dan orang shalat tak disebut Pak Shalat?" Pesan ringkas itu masuk ke telepon genggam saya. Pak Akhyar, seorang guru di Tangerang, pengirimnya. Tak ada yang dapat saya jawab selain tersenyum. Itulah kita. Pertanyaan 'nakal'-nya memgingatkan siapa sosok kita sebenarnya.

Di masa-masa lampau, seorang haji memang selalu pribadi istimewa. Seorang haji adalah seorang yang nyaris paripurna sebagai manusia. Mereka tentu pribadi-pribadi yang telah melampaui banyak hal dalam hidup. Baik lahir maupun batin. Baik yang terkait kebendaan maupun yang bukan kebendaan. Seorang haji, secara umum, memiliki jejak langkah melebihi jejak langkah orang kebanyakan.

Dalam ekonomi, misalnya. Kaji Ngusman, ayah kakek buyut saya, punya sawah luas dan sukses berdagang sebelum berhaji. Hampir semua haji lain di tanah nusantara ini seperti itu. Petani sukses, atau pedagang sukses. Mereka umumnya bukan orang gajian, dan jelas bersih dari bau-bau korupsi. Kesuksesannya juga tidak dinikmati sendiri. Mereka adalah orang-orang yang selalu membantu orang lain. Bukan hanya dalam urusan sosial, melainkan juga ekonomi. Mereka sosok-sosok yang aktif untuk memberdayakan masyarakat. Urusan hubungan sesama manusia, hablum minannas, mereka relatif sempurna.

Dalam urusan hubungan dengan Tuhan, hablum minallah, mereka juga nyaris sempurna untuk ukuran manusia biasa. Shalat lima waktu akan selalu terjaga tepat waktu. Hampir semuanya dilakukan secara berjamaah di masjid yang dibangunnya sendiri. Ibadah-ibadah sunah juga tak pernah ditinggalkan. Shalat dhuha, shalat tahajud, hingga puasa sunah adalah bagian dari hidup mereka. Wajar bila hidup mereka berkah, ditinggikan maqamnya, serta damai-sejahtera. Mereka umumnya orang-orang terbaik dalam agama maupun dalam penghidupan dibanding masyarakat sekitarnya.

'Orang-orang terbaik' itulah yang lalu bertekad menyempurnakan hidup dengan menunaikan Rukun Islam paripurna: Berhaji. Mereka menyiapkan diri menempuh perjalanan yang, di masa itu, merupakan 'perjalanan hidup-mati'. Tak ada asuransi, dan ada penyelenggara haji, atau jaminan apa pun bahwa akan ada yang kembali ke rumahnya sendiri. Perjalanan yang rumit dan berbahaya selama berbulan-bulan ditempuhnya.

Tak sedikit pun itu menggentarkan mereka. Mereka tahu, perjalanannya bukan apa-apa dibanding perjalanan Nabi Ibrahim-Siti Hajar-Nabi Ismail untuk mengukuhkan esensi kebenaran hidup. Yakni, untuk menjadi manusia yang benar-benar merdeka dengan bergantung hanya pada Allah. Keluarga itu tidak mati di tengah gurun saat meneguhkan ketauhidannya. Mereka sangat siap meneladani keluarga istimewa tersebut.

Dengan kesiapan demikian, proses haji yang dijalaninya pun menjadi sempurna. Mereka bukan saja menunaikan rukun dan wajib haji, namun memahami persis makna setiap langkah ibadah yang dilakukannya. Berhaji membuat mereka benar-benar menjadi manusia Tauhid. Manusia yang benar-benar memiliki jiwa merdeka karena tak mau tergantung pada apa pun dan siapa pun selain Allah. Haji inilah menjadi 'haji mabrur'.

Kemabrurannya ditandai dengan perilaku yang lebih banyak lagi memberdayakan masyarakat; Juga lebih santun dalam kata-kata. Jadilah mereka pribadi-pribadi utama di lingkungannya. Wajar bila orang-orang menghormatinya, dan menyebutnya 'Pak Haji'. Berhaji sekarang jauh lebih mudah dibanding dulu. Semua orang praktis bisa berhaji tanpa perlu kesiapan diri seberat dulu. Siapa pun bisa berhaji sepanjang punya uang. Maka sungguh tak mudah bagi kita yang berhaji sekarang untuk mendapatkan 'kualitas haji' sebanding para haji terdahulu.

Jadi, apakah pantas kita mendapat penghormatan sebutan 'Pak Haji'? Jika tidak, mengapa tidak kita singkirkan atribut haji dari nama kita? Banyak haji luar biasa melakukan itu sebagaimana banyak orang salih yang jelas keturunan Nabi Muhammad yang memilih tak menggunakan sebutan 'Habib' untuk diri sendiri. Bila langkah ini ditempuh, mereka percaya, mereka percaya, agama akan lebih bernilai maknawi dibanding sebagai label dan atribut.

No comments: