Thursday, November 29, 2007

Monopoli


Oleh : Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc

Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada pekan ini adalah keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan bahwa salah satu perusahaan asing dianggap bersalah karena mempunyai kepemilikan silang di dua perusahaan telekomunikasi papan atas Indonesia. Perusahaan tersebut dinyatakan telah melanggar UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Meskipun mendapat dukungan penuh Presiden dan Wapres, keputusan ini mendapat reaksi yang bermacam-macam, baik pro maupun kontra. Banyak kalangan yang menunjukkan kekhawatiran bahwa keputusan KPPU tersebut akan memiliki dampak negatif terhadap iklim investasi yang tengah dibangun oleh pemerintah Indonesia. Kuasa hukum perusahaan asing tersebut pun menyatakan akan mengajukan banding ke pengadilan negeri karena merasa tidak bersalah dan menganggap bahwa keputusan tersebut mengandung banyak kesalahan.

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, langkah yang telah ditempuh KPPU perlu diapresiasi dan didukung, karena menunjukkan keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan ekonomi nasional. Kekhawatiran akan terganggunya iklim investasi tidak perlu dibesar-besarkan, karena diyakini bahwa potensi yang dimiliki oleh bangsa ini untuk menarik dana investasi sangat besar. Justru dengan ketegasan KPPU, Indonesia telah menunjukkan kepada dunia bahwa kepastian hukum telah menjadi bagian dari agenda pembangunan nasional, terutama di bidang ekonomi.

Islam dan praktik monopoli
Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dibahas. Bahkan permasalahan ini telah mendapat perhatian yang sangat serius dari ajaran Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT: "...agar harta itu jangan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu sekalian..." (QS 59: 7). Selain riba, monopoli adalah komponen utama yang akan membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi.

Para ulama terkemuka abad pertengahan pun, seperti Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dan Ibn Khaldun, telah pula melakukan kajian yang mendalam tentang praktik monopoli. Ibn Taimiyyah misalnya, dalam kitabnya Al-Hisbah fil Islam menyatakan bahwa ajaran Islam sangat mendorong kebebasan untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama.

Kepemilikan dan penguasaan aset kekayaan di tangan individu adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam. Namun demikian, ketika kebebasan tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan praktik-praktik monopolistik yang merugikan, maka adalah tugas dan kewajiban negara untuk melakukan intervensi dan koreksi.

Negara bertanggung jawab penuh untuk menciptakan keadilan ekonomi, dengan memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Karena itulah, beliau menekankan pentingnya keberadaan lembaga al-Hisbah sebagai organ negara yang bertugas untuk memonitor pasar, mengawasi kondisi perekonomian dan sekaligus mengambil tindakan jika terjadi ketidakseimbangan pasar akibat monopoli dan praktik-praktik lain yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya At-Turuk al-Hukmiyyah.

Sementara itu, Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah juga menyatakan pentingnya peran negara dalam menciptakan keadilan ekonomi dan keseimbangan pasar. Ia menegaskan bahwa pajak (dan juga denda) adalah instrumen yang dapat digunakan oleh negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus untuk mengeliminasi praktik-praktik kecurangan yang terjadi di pasar, termasuk praktik-praktik monopoli yang dilakukan oleh segelintir pebisnis.

Karena itu, keputusan yang dijatuhkan KPPU yang antara lain berupa kewajiban membayar denda bagi perusahaan asing tersebut, selain melepaskan sahamnya, adalah keputusan yang sangat tepat. Diharapkan ada efek jera bagi perusahaan-perusahaan lain yang berniat untuk melakukan manipulasi pasar demi kepentingan bisnis mereka.

Namun demikian, ajaran Islam membolehkan praktik monopoli yang dilakukan oleh negara, dengan syarat hanya terbatas pada bidang-bidang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, api, dan padang rumput". Ke depan, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengelola investasi yang diharapkan dapat mengembangkan perekonomian nasional.

Langkah strategis
Pertama, perlunya penguatan karakter bangsa yang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya, memiliki keberpihakan kuat terhadap kepentingan masyarakat terutama kaum dhuafa, dan mempunyai etos kerja yang kuat dan produktif. Kedua, memanfaatkan secara optimal instrumen-instrumen ekonomi alternatif, yaitu instrumen ekonomi Islam, seperti sukuk dan zakat.

Membangun kemandirian ekonomi dengan memanfaatkan potensi dan instrumen ekonomi dalam negeri, harus terus-menerus dilakukan, karena tidak mungkin kemajuan akan dicapai dengan mengandalkan bantuan asing semata-mata. Sukuk dapat dijadikan sebagai pintu masuk investasi yang diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, sekaligus menjamin keseimbangan sektor moneter dan sektor riil. Zakat dapat digunakan dalam upaya memerangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan kaum dhuafa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: "Kalian akan diberi pertolongan dan diberi rezeki dengan sebab (menolong) kaum dhuafa di antara kalian...". Pemanfaatan zakat jauh lebih baik daripada mengandalkan utang luar negeri, termasuk utang dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia yang terkadang menjerumuskan.

Ketiga, konsistensi penegakan hukum. Pemerintah dan lembaga peradilan tidak boleh ragu-ragu di dalam menegakkan hukum, apalagi tunduk terhadap desakan negara-negara luar. Pemerintah harus memiliki keyakinan bahwa rakyat akan selalu mendukung jika pemerintah konsisten menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meskipun pada akhirnya harus berhadapan dengan kekuatan dan tekanan asing. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

No comments: