Thursday, May 15, 2008

Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim

(The Need to Change Muslim Political Attitude)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Media Indonesia, 19 March 2004

Khilafah adalah salah satu produk pemikiran politik Islam klasik yang semakin tidak populer. Sebab utama ketidakpopuleran konsep ini adalah bahwa ia tidak lagi visibel untuk diterapkan dalam kehidupan modern di mana konsep negara-bangsa (nation-state) telah menjadi satu konsensus semua orang modern. Khilafah yang mengandaikan adanya satu payung kekuasaan politik di mana seorang khalifah (pemimpin negara) berkuasa penuh terhadap negara-negara Muslim di dunia, adalah gagasan utopis yang absurd. Bahkan di masa silam ketika peradaban Islam mencapai kejayaannya, gagasan khilafah, sesungguhnya tak pernah berjalan secara sempurna.

Karakter khilafah yang totaliter hanya mungkin terlaksana pada wilayah geografis yang tidak terlalu luas dan masyarakat politik yang relatif homogen. Karena itu, dalam sejarah Islam, konsep khilafah dalam pengertian yang sesungguhnya, hanya pernah terjadi selama empat dasawarsa pertama, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan pada masa Ali, institusi khilafah mulai mengalami ancaman serius yang berpuncak pada terbunuhnya sang khalifah dan naiknya Muawiyah dari klan Bani Umayyah menggantikan Ali.

Di tangan Bani Umayyah, lembaga khilafah menjadi sistem kerajaan yang otoriter. Para khalifah Bani Umayyah berusaha mengatasai gejolak-gejolak politik secara dingin. Dan pada tingkat tertentu mereka berhasil. Tapi, dengan semakin meluasnya wilayah Islam, dinasti Umayyah tak lagi mampu mengontrol kekuasaannya. Maka, pada pertengahan abad ketiga hijriah, dimulai dari konflik-konflik berdarah yang panjang, institusi khilafah, untuk pertama kali dalam sejarah Islam, terbelah menjadi dua: satu di bawah kekuasaan Abbasiyyah yang berkuasa di Baghdad dan lainnya berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah yang berkuasa di Andalusia. Sejak saat itu, konsep khilafah yang mengandaikan adanya satu kepemimpinan politik Islam hanyalah sebatas konsep teoretis yang tak punya rujukan di dunia nyata.

Khilafah dan Totalitarianisme. Adalah mengherankan kalau pada masa modern, sebagian kaum Muslim berusaha menghidupkan konsep khilafah yang sudah mati ratusan tahun silam. Mengherankan karena sistem ini telah terbukti gagal dan tak berjalan dengan sempurna. Bahkan pada masa-masa awal Islam, yakni masa khalifah yang empat (khulafa al-rasyidun), yang kerap dianggap sebagai contoh ideal, sistem khilafah tidak berjalan secara mulus. Berbagai konflik, ketegangan politik, dan peperangan, mewarnai masa-masa ini. Cukuplah bagi kita menyebutkan bahwa tiga khalifah terakhir dari khulafa al-rasyidun, semuanya mati terbunuh secara mengenaskan. Jika sistem itu memang benar-benar berjalan dengan baik dan ideal, mestinya ada sebuah mekanisme politik yang dapat menjamin keamanan pengelola negara dan ketenteraman masyarakatnya.
Para pendukung gagasan khilafah kerap memiliki gambaran yang ideal tentang sistem politik Islam ini. Mereka membayangkan bahwa di bawah satu komando Islam, kaum Muslim bakal mudah diarahkan menjalankan aktifitas kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Secara politik, lembaga khilafah juga bisa dimanfaatkan untuk memobilisasi kaum Muslim sesuai dengan keinginan sang penguasa atau khalifah. Akibatnya, sistem khilafah model ini sangat mirip dengan komunisme atau fasisme, di mana semua masyarakat harus tunduk kepada satu rezim totaliter.

Hampir semua sistem totaliter dibangun lewat cara-cara pemaksaan dan kekerasan. Komunisme adalah contoh paling jelas dalam sejarah totalitarianisme. Namun, karena pemaksaan dan kekerasan bertentangan dengan fitrah manusia, sistem ini gagal dan berakhir dengan kebangkrutan.

Para pendukung gagasan khilafah tentu saja akan menolak jika gagasan mereka dibandingkan dengan komunisme atau sistem totaliter lainnya. Tapi, penolakan itu sesungguhnya merefleksikan ketidakmantapan dan ketidakpercayaan diri dalam menyikapi konsep khilafah. Dalam filsafat politik Islam klasik, khilafah didefinisikan sebagai sebuah sistem politik totaliter (nidham al-siyasi al-syamil) di mana Islam menjadi pilar utamanya, sama seperti sosialisme dalam sistem komunisme. Khilafah yang tidak totaliter adalah bukan khilafah, tapi sistem politik lain yang diklaim sebagai khilafah.

Dari Khilafah ke Negara Islam. Para intelektual Muslim modern seperti Rasyid Ridha dan Abul A’la al-Maududi mencoba bersikap jujur dan mengakui bahwa khilafah adalah sebuah gagasan utopis yang sulit untuk diterapkan. Berpijak dari kegagalan Jamaluddin al-Afghani dengan gagasan pan-Islamismenya, para intelektual Muslim itu mencoba bersikap realistis dengan mengesampingkan ide khilafah dan menggantinya dengan konsep “negara Islam.” Di dunia modern di mana paradigma komunitas politik didominasi oleh gagasan negara-bangsa, hanya gagasan “negara Islam” yang mungkin untuk diterapkan.

Maka, sejak paruh pertama abad ke-20, banyak dari pemimpin Muslim berlomba-lomba menyuguhkan konsep negara Islam sebagai alternatif dari sistem khilafah yang tak bisa lagi diterima oleh sebagian besar kaum Muslim. Pada tahun 1902, Arab Saudi memulainya dengan mendeklarasikan diri sebagai “kerajaan Islam.” Langkah ini kemudian disusul oleh Pakistan, Sudan, dan Iran yang mengumumkan diri sebagai “republik Islam.”

Di Indonesia, gagasan “negara Islam” pernah sangat kuat didukung oleh partai-partai Islam dan hampir terrealisasi pada pertengahan tahun 1950-an, kalau saja partai-partai itu berhasil memenangkan Pemilu. Tapi, lambat-laun, orang pun semakin sadar bahwa konsep “negara Islam” pun tidak realistis dan tak bisa bekerja dengan baik. Tidak mengherankan kalau sejak tahun 1970-an, para tokoh Muslim sendiri mulai mengkritisi dan bahkan menolaknya.

Ada banyak alasan untuk menolak ide negara Islam. Di antaranya, negara-negara yang menerapkan sistem ini, seperti Arab Saudi, Pakistan, Sudan, dan Iran, baik secara sosial, politik, dan ekonomi, gagal memberikan contoh yang baik. Bahkan negara-negara itu cenderung memberikan contoh buruk dengan banyaknya pelanggaran HAM, hilangnya kebebasan, dan kondisi hidup masyarakatnya yang terbelakang. Singkat kata, negara Islam bukanlah solusi yang baik bagi kehidupan bernegara orang-orang modern.

Berbagai Pilihan Model Politik. Salah satu sebab mengapa gagasan khilafah atau negara Islam tidak lagi relevan dan karenanya ditolak oleh sebagian besar kaum Muslim adalah karena ia menyalahi logika politik yang berlaku pada masa kini. Seperti saya katakan di atas, gagasan khilafah hanya mungkin diterapkan pada wilayah geografis yang terbatas dan komunitas politik yang relatif homogen. Sekarang ini, adalah mustahil menyatukan kaum Muslim yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik. Langkah maksimal yang bisa dilakukan adalah mewujudkan organisasi internasional seperti OKI (Organisasi Konferensi Islam) dengan tetap memberikan kebebasan pada masing-masing negara anggota untuk menentukan dan mengatur urusan politiknya.
Keterbatasan lain dari konsep khilafah (dan juga negara Islam) adalah pada karakternya yang eksklusif. Di tengah komunitas politik yang beragam di mana manusia tidak lagi dilihat berdasarkan afiliasi agamanya, tapi karena statusnya sebagai warga negara, konsep politik yang mengedepankan afiliasi keagamaan tak lagi bisa bekerja. Baik konsep khilafah maupun negara Islam memiliki persoalan serius menyangkut isu-isu agama-politik.

Dengan keterbatasan seperti itu, para pembaru Muslim sejak awal abad ke-20 telah berusaha melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi pemikiran klasik. Mereka berpendepat bahwa konsep-konsep politik masa silam harus dilihat dan diletakkan pada semangat zamannya. Dari sini, para ulama modernis menganggap bahwa konsep khilafah sudah tak lagi relevan. Soal platform dan model politik sepenuhnya dikembalikan kepada ijtihad kaum Muslim apakah mereka akan mengambil bentuk republik, parlementer, atau kerajaan. Yang ditekankan adalah bagaimana sebuah model politik dapat berjalan dan memberikan maslahat kepada orang banyak dan bukan hanya kepada sekelompok penganut agama tertentu saja.

No comments: