Thursday, May 15, 2008

Sikap Negara terhadap Aliran Sesat

(Attitude of State toward Deviant Sects)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Koran Tempo, 22 December 2007

Perilaku negara dan tokoh agama dalam menyikapi aliran dan kelompok agama yang dianggap sesat akhir-akhir ini memunculkan persoalan serius menyangkut kebebasan dan hak-hak individu di negeri kita. Setiap kali ada kelompok agama atau keyakinan baru yang muncul, reaksi yang diperlihatkan para tokoh Islam dan kaum Muslim secara umum tampak sangat berlebihan. Jika bukan dihakimi langsung, kaum Muslim ramai-ramai menuntut polisi dan aparat pemerintah untuk memberangusnya; seringkali dengan cara yang merendahkan dan mempermalukan martabat seseorang.

Setelah kasus al-Qiyadah al-Islamiyah yang masih segar dalam ingatan kita, kini muncul lagi kasus penyerangan terhadap anggota Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat. Ini adalah peristiwa yang kesekian lusin kalinya Ahmadiyah mengalami kekerasan dan permusuhan dari umat Islam. Dengan pemberitaan yang tak adil, media massa kita juga cenderung memihak agama status-quo, sambil ikut-ikutan mencap “sesat” kelompok minoritas itu.

Kelompok agama atau keyakinan bukanlah sekumpulan preman atau gerakan makar yang harus ditumpas. Mereka memiliki kebebasan dan hak beragama dan berkeyakinan yang dilindungi undang-undang. Secara jelas konstitusi kita menegaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29). Aturan atau fatwa apa saja yang menegasikan semangat konstitusi yang begitu agung ini sudah semestinya ditinjau ulang.

Salah satu alasan yang kerap dikemukakan para pemeluk agama mayoritas (dalam Islam misalnya), kelompok-kelompok agama/keyakinan baru dianggap “meresahkan masyarakat” dan karenanya harus ditindak secara hukum. Kepolisian biasanya dipanggil untuk menangkap kelompok-kelompok itu atas alasan yang sangat problematis ini.

Mengapa problematis? Istilah “meresahkan masyarakat” tentu bukan milik kelompok agama saja, dan bukan hanya milik agama/keyakinan minoritas saja. Siapa saja bisa meresahkan masyarakat, dengan cara yang berbeda-beda. Para tokoh agama mayoritas paling sering melakukan tindakan “meresahkan masyarakat.” MUI berkali-kali meresahkan masyarakat dengan fatwa-fatwa mereka (fatwa menghadiri perayaan natal, misalnya).

Para polisi dan aparat keamanan sudah semestinya memikirkan ulang cara mereka menghadapi isu-isu keagamaan. Semestinya mereka bukan memberikan perlindungan kepada kelompok mayoritas, tapi sebaliknya, kepada kelompok minoritas. Kelompok-kelompok minoritaslah yang paling berpotensi ditekan dan diabaikan hak-hak dasarnya.

Agama dan keyakinan adalah hak asasi yang dilindungi oleh undang-undang. Tugas polisi melindungi kelompok-kelompok minoritas dari tekanan orang atau lembaga yang mencoba mengancam atau menghancurkannya. Polisi dan aparat negara tidak semestinya terpengaruh, dan apalagi tunduk, kepada kelompok mayoritas untuk memberangus kelompok minoritas. Penegak hukum bekerja bukan atas dasar jumlah manusia, tapi atas dasar kebenaran.

“Sesat” adalah istilah dan katagori teologi yang diwariskan dari abad pertengahan. Polisi tidak memiliki wewenang untuk menangkap seseorang atas dasar pilihan keimanan atau keyakinan. Jika seseorang dianggap “sesat” oleh kelompok mayoritas, polisi wajib turun tangan, bukan untuk membela mayoritas, tapi untuk melindungi keyakinan minoritas yang hak-hak beragamanya ditindas.

Polisi hanya bisa ikut-campur jika sebuah kelompok terbukti melakukan perbuatan kriminal. Polisi boleh menahan pemimpin atau pengikut kelompok itu semata-mata karena alasan kejahatan—dan bukan karena alasan “sesat.” Polisi memiliki wewenang untuk memeriksa para petinggi al-Qiyadah al-Islamiyah, jika mereka dicurigai terlibat penipuan atau kekerasan, tapi bukan karena mereka memiliki keyakinan dan pemahaman agama tertentu.

Dari sudut pandang negara, tidak ada aliran yang sesat. Berdasarkan UUD 45, semua agama dan kepercayaan mendapat perlindungan. Sesat adalah katagori teologi dan bukan katagori hukum. Sanksi teologi adalah di akhirat dan bukan di dunia. Negara kita bukanlah negara agama, dan bukan pula negara yang mengadopsi praktik-praktik biadab di zaman kegelapan yang membunuh atau memenjarakan manusia semata-mata karena dianggap kafir, zindik, atau sesat.

Indonesia adalah negara netral agama, dan bukan negara yang memihak kepada satu agama tertentu. Otoritas tertinggi di negeri ini adalah UUD 45 yang menjadi konstitusi kita, bukannya fatwa MUI atau pendapat para tokoh agama.

Sudah teramat sering peringatan dari ahli-ahli sejarah bahwa konflik-konflik komunal dimulai dari ikut-campurnya agama ke wilayah politik dan pemerintahan. Setiap ada berita tentang penangkapan seseorang atau kelompok agama karena alasan “aliran sesat,” negeri ini sebenarnya sedang menyemai bibit-bibit permusuhan. Semakin sering kita mendengar berita semacam ini, semakin banyak bibit-bibit itu ditebarkan.

Satu-satunya cara untuk mengatasi potensi konflik itu adalah mengubah sikap kita yang keliru selama ini dalam melihat isu-isu kebebasan beragama. Para petinggi agama dan aparat negara harus kembali lagi kepada konstitusi negeri ini, bahwa agama dan keyakinan adalah hak manusia yang paling asasi. Melarang atau menghalangi seseorang untuk menjalankan agama atau keyakinannya adalah pelanggaran HAM yang dikutuk oleh semua bangsa.

Luthfi Assyaukanie. Kordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta.

No comments: