Oleh : Azyumardi Azra
Menunggu di ruang check in Bandara Arlanda, Stockholm, awal Desember lalu, saya menyaksikan rombongan calon jamaah haji yang cukup mencolok, baik segi jumlahnya maupun dari segi berpakaiannya.
Mereka yang kebanyakannya perempuan mengenakan hijab dan baju panjang busana Muslim khas Timur Tengah. Saya bisa segera memastikan bahwa mereka adalah kaum Muslimin migran asal Turki, yang memang banyak terdapat di wilayah Eropa Barat dan negara-negara Skandinavia; di dada mereka tertempel bendera Turki, bukan bendera Swedia. Hal ini secara sempurna menunjukkan Islam dan Muslim dalam diaspora.
Musim haji memang menampilkan fenomena distingtif di berbagai bandara internasional di berbagai penjuru dunia; tidak hanya di Dunia Muslim, tapi juga di Barat, seperti Swedia. Karena perjalanan menuju Tanah Suci di Barat dan banyak negara lain diselenggarakan biro perjalanan, bukan oleh pemerintah seperti berlaku di Tanah Air maka para jamaah calon haji ini tidak bertolak dari terminal khusus di bandara yang ada.
Naik haji dari manapun titik berangkatnya tampaknya selalu merupakan sebuah pengalaman (lifetime experience) yang berkesan. Saya sendiri pertama kali dari Belanda pada 1991, ketika melakukan riset untuk disertasi PhD. Mengajukan aplikasi visa haji ke Kedubes Belanda di Den Haag, kawan-kawan mukimin dalam diaspora di Belanda mengatur perjalanan saya ke Jeddah via Amman, Yordania. Dan, ketika sampai di Makkah, saya bergabung secara tidak resmi dengan jamaah haji ONH Indonesia asal Banten.
Meningkatnya fenomena rombongan calon jamaah haji di berbagai bandara Eropa mengisyaratkan berbagai hal. Pertama, tentu saja mencerminkan peningkatan jumlah kaum Muslim di Eropa, yang berasal dari berbagai kawasan Muslim. Islam bahkan disebut sebagai agama yang tumbuh paling cepat di Eropa dan Barat umumnya; ini juga berarti Eropa menjadi wilayah diaspora terbesar Muslim di dunia. Kedua, kaum Muslim di diaspora Eropa atau bahkan Barat umumnya masih berpegang kuat pada pengamalan ajaran Islam, dalam hal ini ibadah haji.
Dan ini terlihat bukan hanya pada generasi pertama atau kedua yang datang ke wilayah diaspora Eropa lebih awal, tetapi juga pada generasi yang lebih akhir, yang sudah menjadi 'European-born Muslims', Muslimin kelahiran Eropa. Saya menyaksikan, rombongan calon jamaah haji di Bandara Arlanda, Stockholm, bukan hanya orang tua, tapi juga banyak yang muda-muda, bahkan anak-anak.
Dengan begitu, Islam tidak serta-merta lenyap atau lambat laun lenyap dalam kehidupan kaum Muslim perantauan, meski mereka telah berada di wilayah diaspora dalam satu, dua, atau bahkan tiga generasi atau mungkin lebih. Memang, sementara ahli dan peneliti tentang Islam di Eropa atau Dunia Barat umumnya mengasumsikan bahwa kaum Muslimin yang datang dari berbagai wilayah ini, cepat atau lambat akan kehilangan keislamannya dalam dua atau tiga generasi saja. Selanjutnya, mereka boleh saja tetap Muslim, tetapi sudah mengalami 'Eropanisasi', menjadi 'Europanized Muslims'.
Peningkatan jumlah jamaah haji dari Eropa menunjukkan kekeliruan asumsi itu. Perkembangan sentimen dan semangat keagamaan tidaklah linear, seperti sering diasumsikan sejumlah orang; ada faktor-faktor tertentu, baik internal ataupun eksternal yang membuat terjadinya peningkatan semangat dan sentimen keagamaan.
Dalam konteks Eropa atau Barat umumnya, peningkatan sentimen keislaman justru meningkat setelah terjadinya Peristiwa 11 September 2001 di AS. Dampak peristiwa itu seperti kita ketahui bukan hanya berlaku terhadap kaum Muslim di Amerika, tetapi juga di Eropa, yang sejak itu kian sering menjadi sasaran kecurigaan, diskriminasi, kebencian, dan kemarahan dari kelompok masyarakat setempat yang semakin menunjukkan sikap antiorang asing, khususnya Muslim, untuk tidak menyebut 'anti-Islam'.
Perkembangan seperti ini, pada gilirannya membangkitkan 'self-defence mechanism' di dalam masyarakat Muslim umumnya. Mekanisme pertahanan diri ini, baik langsung maupun tidak, mendorong peningkatan identitas Muslim. Pemakaian hijab, dan bahkan juga naik haji ke Tanah Suci, misalnya, kini merupakan bagian integral dari politik identitas (identity politics) di kalangan kaum Muslim yang hidup dalam diaspora Eropa atau Dunia Barat lainnya. Pergi haji dan kemudian kembali ke diaspora dengan gelar haji membuat identitas keislaman menjadi lebih lengkap; dan ini secara langsung memperkuat Islam sebagai politik identitas tersebut.
Naik haji dari Eropa seperti juga dari Indonesia kian singkat dari segi waktu, karena perjalanan dengan pesawat jet. Keharuan dan kesyahduan naik haji mungkin juga berkurang karena waktu yang singkat itu. Tetapi, terlepas dari itu, makna dan simbolisme ibadah haji tidak pernah berkurang apalagi menghilang. Ia kini bahkan kian menjadi bagian tidak terpisahkan dari 'kebangkitan Islam' kebangkitan yang juga dialami agama-agama lain.
No comments:
Post a Comment