Wednesday, January 9, 2008

Islam Santun ala Indonesia

Oleh Saidiman

Fakta bahwa kaum agamawan begitu alpa terhadap fenomena sosial seperti kemiskinan dan lumpur Lapindo (Sidoarjo, Jawa Timur) adalah bukti bahwa agama tidak lagi memiliki daya pikat untuk berbicara tentang persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam pada itu, agama menjadi terasing di tengah-tengah arus modal yang luar biasa besar. Agama begitu mudah diseret ke dalam konflik kepentingan.

Bangsa Indonesia menghadapi persoalan besar ihwal kebebasan beragama. Demikian kesimpulan yang mengemuka pada Diskusi Akhir Tahun bertajuk “Membangun Toleransi Kebangsaan: Menuju Indonesia Masa Depan (Perspektif Islam Indonesia)” di Aula Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), 27 Desember 2007. Diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) PTIQ bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan sejumlah lembaga lain ini menghadirkan Beni Susetyo (Konferensi Wali Gereja Indonesia), Abu Zayd (Hizbut Tahrir Indonesia), dan Abdul Moqsith Ghazali (Jaringan Islam Liberal) sebagai pembicara.

Beny Susetyo memulai paparannya dengan menyatakan bahwa bangsa Indonesia sedang disandera oleh dua kekuatan fundamentalis: fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Agama, menurut Beny, tidak lagi muncul dalam kesejatiannya. Agama telah dibajak oleh kepentingan para pemodal. Fakta bahwa kaum agamawan begitu alpa terhadap fenomena sosial seperti kemiskinan dan lumpur Lapindo (Sidoarjo, Jawa Timur) adalah bukti bahwa agama tidak lagi memiliki daya pikat untuk berbicara tentang persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam pada itu, agama menjadi terasing di tengah-tengah arus modal yang luar biasa besar. Agama begitu mudah diseret ke dalam konflik kepentingan.

Apa yang terjadi pada agama-agama di Indonesia adalah fenomena tentang agama dan cara beragama yang sakit. Betapa tidak, negara dengan sebegitu ceroboh mencoba masuk ke wilayah agama. “Masak urusan salaman saja harus diatur?!” kata Beny. Masyarakat Indonesia dianggap sedemikian bodohnya sehingga harus terus dibimbing.

Bagi Beny, yang dibutuhkan masyarakat beragama Indonesia bukan sekedar toleransi, melainkan kemauan untuk saling memahami. Itulah yang ia sebut sebagai persaudaraan sejati. Natal tahun ini dirayakan dengan penuh nuansa. Salah satu yang paling menarik adalah ketika Presiden Palestina, Mahmod Abbas, menghadiri Misa Natal di Yerussalem. “Ini adalah peristiwa yang luar biasa yang menggambarkan betapa indahnya persaudaraan sejati,” tegas Beny.

Abu Zayd menekankan tentang pentingnya meluruskan pemahaman mengenai keislaman. Zayd melihat bahwa ada semacam pembelokan pemahaman mengenai Islam. Islam dianggap pro terhadap radikalisme dan kekerasan. Padahal, Islam justru datang dengan semangat perdamaian. “Mereka yang menghalalkan kekerasan,” kata Zayd, “adalah tidak melakukan perbuatan yang islami.”

Zayd menambahkan bahwa tidak ada preseden di dalam sejarah dimana Islam datang untuk melenyapkan kelompok lain. Agama-agama lokal di Indonesia, misalnya, tidak pernah punya masalah dengan Islam yang mayoritas. Toleransi dan hubungan antar-manusia tidak seharusnya dipertentangkan dengan keyakinan. “Saya boleh berbeda keyakinan dengan Romo Beny, tapi dengan senang hati saya akan memberikan pertolongan jika ia membutuhkan,” imbuhnya.

Moqsith Ghazali menggarisbawahi bahwa mayoritas kelompok Islam Indonesia adalah Islam yang santun. Ghazali menyatakan: “Yang saya suka dari kelompok Islam semacam Hizbut Tahrir adalah karena kelompok ini menyebarkan gagasan yang mereka yakini dengan santun, tidak mentolerir kekerasan.” Islam yang santun itu pulalah yang dicontohkan oleh kelompok-kelompok lain seperti NU, Muhammadiyah, dan JIL. Dalam hal itu, JIL dan Hizbut Tahrir, serta kelompok-kelompok Islam lain, memiliki kesamaan fundamental, yakni cara penyebaran gagasan dengan santun.

Ghazali yang baru merampungkan studi doktoralnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini kembali menegaskan tentang pentingnya kesadaran tentang pluralitas bangsa Indonesia. Di Indonesia, kata Ghazali, gagasan apa saja boleh tumbuh: mulai dari yang paling ekstrim kanan sampai yang paling liberal. Ini semua terjadi karena berkah demokrasi. Tidak terbayangkan bahwa NU akan ditolerir tumbuh di Arab Saudi yang negaranya secara resmi menganut ideologi Wahhabi. Hal yang sama juga terjadi kepada Hizbut Tahrir. Demokrasilah yang memungkinkan semua gagasan ini bisa tumbuh, hal yang tidak mungkin ditemukan di negara-negara Islam totaliter.

Ghazali mendapat sambutan meriah dari peserta yang mencapai seratusan orang itu ketika ia mengurai latar belakang pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ghazali menyatakan bahwa MUI pada awalnya adalah Ormas yang didirikan oleh pemerintah Orde Baru pada 26 Juli 1975 . Pada waktu itu, Orde Baru merasa membutuhkan legitimasi religius dalam setiap kebijakan pembangunannya. Sementara mayoritas ulama yang memiliki pengaruh pada tingkat akar rumput kerapkali memberikan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. MUI diharapkan bisa memberi legitimasi religius terhadap pemerintah. Tidak heran jika Ormas yang satu ini adalah Ormas yang paling istimewa. Setiap tahun Ormas ini memperoleh kucuran dana tidak kurang dari 16 trilyun rupiah. Sebagai ganjarannya, kebijakan pemerintah yang dirasa kontroversial di tengah masyarakat Islam selalu mendapat bantuan fatwa dari MUI.

Sebagai Ormas yang sejajar dengan Ormas lain, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, JIL, dan lain-lain seharusnya pemerintah tidak mengistimewakan lembaga ini. Parahnya, menurut Ghazali, pemerintah justru tunduk bahkan meminta fatwa kepada MUI. Padahal, MUI tidak memiliki fungsi apa-apa dalam struktur negara.

Mengenai Ahmadiyah, menurut Moqsith, MUI tidak punya hak apa-apa untuk melenyapkannya (melalui sejumlah fatwa sesat). Ahmadiyah telah ada di Indonesia sejak tahun 1800-an dan menjadi Ormas dengan landasan hukum yang jelas sejak tahun 1953, jauh sebelum MUI berdiri. “Kalau Ahmadiyah mau dibubarkan,” kata Ghazali, “legalitas hukum pendiriannya harus dicabut dulu. Lebih jauh, konstitusi negara ini harus diubah dulu menjadi negara Islam dan mengangkat MUI sebagai lembaga tinggi negara selevel dengan Mahkamah Konstitusi.” Jika tidak, upaya untuk melenyapkan Ahmadiyah dengan landasan fatwa MUI adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. “Presiden bisa di-impeach karena melanggar konstitusi,” tegas Ghazali.

No comments: