Wednesday, January 9, 2008

NU, MUI, dan Ma`ruf Amin


Oleh Abd Moqsith Ghazali

Tidak sebagaimana MUI yang mengharamkan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme, maka NU tak pernah mengharamkan pemikiran. Bagi kiai NU jelas, hukum tak terkait dengan pemikiran, melainkan dengan tindakan (fi`l al-mukallaf). Dengan demikian, menurut para kiai NU, sebuah pemikiran tak bisa diberi status hukum.

Seorang petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma`ruf Amin, membuat pernyataan mengejutkan. Melalui situs NU Online (Ahad, 9/12/2007), ia berkata bahwa Nahdatul Ulama (NU) telah dirasuki pikiran-pikiran Islam liberal. Menurutnya, NU harus bersih dari orang-orang liberal. Ia tak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan ajektif liberal itu.

Apakah orang yang menolak formalisasi syari`at Islam bisa dimasukkan ke dalam kategori pemikir liberal sehingga harus dikeluarkan dari NU? Apakah orang yang berpendapat bahwa firman Allah itu tak bersuara dan tak beraksara (bi la shawt wa la harf), seperti dikemukakan Imam Abul Hasan al-Asy`ari (teolog anutan warga nahdliyyin), dapat disebut pemikir Muslim liberal?

Kalau itu salah satu unsur pemikiran Islam liberal yang dimaksudkannya, maka banyak kiai yang harus keluar dari NU. Salah satunya adalah Ra'is `Am PBNU sendiri, KH MA Sahal Mahfud, yang menolak fikih Islam sebagai hukum positif negara. Begitu juga, kalau para kiai NU yang mengikuti Imam Asy`ari dalam memandang al-Qur'an itu dianggap liberal, maka mereka bisa dinon-aktifkan.

Atas pernyataannya itu, Kiai Ma'ruf perlu memberikan klarifikasi. Saya khawatir ungkapan Kiai Ma`ruf tersebut akan memunculkan ketegangan baru di lingkungan warga nahdliyyin jika tak cepat ditabayyunkan.

Ia juga berkata bahwa yang paling Aswaja (Ahl al-sunnah wa al-jama'ah) di antara ormas-ormas Islam di Indonesia adalah MUI. Ia mempertanyakan ke-Aswaja-an NU. Penting dikemukakan, NU memang berbeda dengan MUI. NU misalnya tak segarang MUI dalam menyikapi sejumlah peristiwa dan perbedaan penafsiran dalam Islam.

Tidak sebagaimana MUI yang mengharamkan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme, maka NU tak pernah mengharamkan pemikiran. Bagi kiai NU jelas, hukum tak terkait dengan pemikiran, melainkan dengan tindakan (fi`l al-mukallaf). Dengan demikian, menurut para kiai NU, sebuah pemikiran tak bisa diberi status hukum.

Begitu juga, jika MUI mudah menjatuhkan vonis sesat kepada kelompok-kelompok atau sekte-sekte tertentu, maka NU mengambil langkah lebih elegan dengan mengajak mereka berdialog (wa jadilhum billatin hiya ahsan). MUI berpendapat bahwa orang-orang al-Qiyadah al-Islamiyah, Ahmadiyah, Lia Eden, dan lain-lain adalah sesat-menyesatkan. Ia lalu meminta pemerintah untuk menghukum mereka. Berbeda dengan MUI, NU cenderung lebih rileks dan bijak-bestari. Sa`id Aqiel Siradj, ketua PBNU, mengajak pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah, Ahmad Mushaddeq, berdiskusi. Dan hasilnya pun cukup mencengangkan, sang pemimpin yang mendaku sebagai nabi itu bertobat.

NU sesungguhnya telah merumuskan karakter-karakter pemikiran Aswaja, yaitu tawassuth (moderat), tawazun (berimbang), dan i`tidal (konsisten). Dengan pakem ini, agak sulit sekiranya meminta NU bertindak sekasar MUI dalam menyikapi aneka perbedaan termasuk perbedaan tafsir di dalam tubuh NU sendiri. NU selalu mengambil cara moderat dan toleran. Tak mungkin NU seradikal MUI, karena ia sudah merasakan kegetiran distigmatisasi, distereotype, dan dimarginalisasikan. Cukup lama orang-orang NU misalnya dianggap musyrik dan mengidap penyakit TBC (takhayul, bid'ah, dan churafat). Sebuah pernyataan yang melukai kaum nahdliyyin. Dari pengalaman itu, para kiai NU berjuang untuk tegaknya Islam yang ramah, santun, dan toleran; bukan Islam yang angker, anti dialog, dan gampang memvonis orang lain.

Sejauh yang bisa dipantau, NU masih ajeg berada pada jalur Aswaja. Tanpa publisitas media, para kiai di kampung-kampung terus menjaga bahtera NU agar tetap berada di tengah; tak oleng ke kiri dan ke kanan. NU tak ekstrem dan tak radikal seperti MUI. Pendeknya, NU tak berubah.

Seorang teman menilai, perubahan itu justru terjadi pada Kiai Ma`ruf; ia tak lagi berada di tengah seperti umumnya para kiai NU, melainkan mulai 'bergeser' ke kanan mengikuti arus utama dalam MUI. Di berbagai forum dan kesempatan, menurut teman tadi, Kiai Ma`ruf lebih tampak sebagai prototipe kiai MUI yang ekstrem ketimbang sebagai brand kiai NU yang santun dan moderat.

Banyak warga NU berharap agar Kiai Ma`ruf kembali kepada cara-cara NU dalam mengatasi masalah dan pulang kepada Aswaja sebagaimana dirumuskan NU. Jika ini terjadi, kita akan menyaksikan Kiai Ma`ruf seperti lima belasan tahun silam sebagai kiai yang moderat, fleksibel, berpikiran segar dan mencerahkan. Saya merindukan itu. []

No comments: