Sunday, January 6, 2008

Rp 23 Triliun untuk Hal yang Haram



Oleh : Ahmad Tohari

Kata seorang teman, ada yang berubah pada diri Gus Mus atau KH Mustofa Bisri, kiai seniman dari Rembang itu. Disampaikan kepada saya, wajah Gus Mus jadi kian berseri dan jernih? ''Ada apa rupanya?'' tanya saya. ''Dia sudah berhasil menghentikan kebiasaan merokok. Itulah rupanya yang menyebabkan terjadi perubahan pada wajahnya,'' jawab teman saya.

Terpujilah Allah. Semoga banyak pribadi panutan yang berhenti merokok agar banyak orang menirunya. Ya merokok. Kebiasaan buruk yang konon berawal dari tradisi orang Indian itu kini telah melanda dunia. Demikian besar daya cengkeram rokok atas kehidupan manusia sehingga ada orang yang menganggapnya sebagai salah satu ironi peradaban manusia. Betapa tidak; sudah diketahui dengan pasti bahwa mrokok dapat menyebabkan kanker, gangguan jantung, dsb, tapi konsumsi dan industri rokok terus dan terus berkembang.

Masih bisa 'dipahami' bila perkembangan rokok hanya terjadi di negeri yang sudah makmur. Tapi tidak demikian kenyataannya. Di negera miskin seperti Indonesia pun konsumsi rokok telah mencapai angka yang mengerikan. Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Sarimun Hadisaputro, mengungkapkan, biaya yang dikeluarkan oleh keluarga miskin Indonesia untuk belanja rokok mencapai Rp 23 triliun per tahun. Diperkirakan 19 juta keluarga miskin Indonesia mengonsumsi rokok sehingga jumlah biaya yang dikeluarkan sangat fantastis, setara dengan harga 5,8 juta ton beras dan lebih tinggi dari subsidi BBM untuk mereka.

Ya, itulah faktanya. Masyarakat miskin menyia-nyiakan dana Rp 23 triliun pertahun untuk sesuatu yang bukan hanya sia-sia melainkan buruk bagi mereka. Dan yang buruk itu malah lebih diutamakan daripada hal yang baik dan perlu seperti gizi, pendidikan, atau kesehatan bagi keluarga mereka. Lihatlah di sekeliling kita, banyak sekali orang yang mendahulukan rokok daripada susu, buah-buahan, atau buku untuk anak-anak mereka.

Atau bicaralah dengan kaidah agama, maka merokok oleh fikih yang sudah ketinggalan zaman dihukumi makruh (berpahala bila ditinggalkan). Ketinggalan zaman karena fikih kuno itu membutakan mata terhadap penemuan ilmiah modern yang menyatakan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, ila akhirihi, yakni sesuatu yang bisa mengancam kehidupan manusia. Bahkan rokok juga dipercaya menjadi jendela untuk memasuki dunia narkoba. Artinya, merokok seharusnya dihukumi haram (berdosa bila dilakukan).

Anehnya rezim rokok terus berjaya. Pemerintah boleh dibilang sama sekali tidak berniat mengendalikan kekuatan yang jelas-jelas merusak itu. Sebabnya, seperti pernah dikatakan dulu oleh Prof Sumitro Djojohadikusumo, industri rokok masih sangat penting bagi perekonomian Indonesia dan pendapatan negara. Dari sisi pandang ekonomi semata, Pak Mitro memang benar. Data tahun 2006 menunjukkan pendapatan APBD di seluruh Indonesia industri rokok mencapai Rp 83 triliun. Selain itu ribuan petani tembakau dan puluhan ribu pekerja industri rokok ikut menggantumg hidup dari dari bisnis nikotin ini.

Untuk inilah agaknya pemerintah membiarkan para kapitalis industri rokok menggoda masyarakat dengan iklan yang luar biasa gencar dan dahsyat. Kayaknya pemerintah tak peduli atas para korban iklan ini, yakni puluhan juta anak muda yang menjadi lemah secara fisik dan didekatkan kepada narkoba. Juga puluhan juta orang-orang miskin yang jatuh menjadi lebih miskin lagi. Masih untung ada Lembaga Konsumen Indonesia yang dengan kekuatan tak seberapa berhasil mendesakkan peringatan akan bahaya merokok. Sayangnya peringatan itu menjadi semacam ironi. Karena, meski tertulis pada setiap bungkus rokok, juga pada setiap iklannya, kekuatan peringatan itu seakan sirna oleh mitos kenikmatan merokok.

Sebagai salah satu anomali dalam kehidupan manusia, rokok rasanya tidak bisa dihilangkan secara total dari muka bumi. Apalagi dari bumi Indonesia yang masyarakatnya telah dibina dengan sukses oleh para kapitalis rokok, dan rezim nikotin telah menjadi bagian penting bagi perekonomian Indonesia. Maka rokok akan tetap menjadi bagian dari ironi sepanjang masa.

Sampai kapan ironi atau bahkan tragedi ini akan terus berlangsung? Mengapa para ulama ahli fikih tidak berani mengharamkannya? Mengapa mereka masih berpegang pada ukuran masa lalu? Dulu memang belum bisa dibuktikan keburukan merokok bagi kesehatan badan. Tetapi sekarang sudah terbukti merokok berbahaya bagi kehidupan. Atau okelah, kata mereka merokok hanya makruh. Tapi kata mereka pula, perkara makruh yang dilanggengkan hukumnya naik menjadi haram.

Daftar pertanyaan ini membuat saya kembali terbayang akan wajah Gus Mus, guru dan senior saya. Dia telah berhenti merokok. Saya berharap hal ini akan diikuti oleh para tokoh yang biasa merokok. Bahkan hal ini kiranya bisa menjadi pembuka mata para ahli fikih bahwa merokok memang sepantasnya dihukumi haram. Mungkin ini harapan yang terlalu tinggi, namun saya amat bersungguh-sungguh.

No comments: