Wednesday, January 2, 2008

Keagamaan


2007 Marak Kekerasan Mengatasnamakan Agama

Jakarta, Kompas - Ketua Umum Dewan Syuro Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid mengkritik sikap Majelis Ulama Indonesia yang selama ini mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok masyarakat atau pemeluk agama tertentu.

Tidak hanya itu, Abdurrahman juga mempertanyakan sikap pemerintah, yang sering kali membiarkan saja setiap aksi kekerasan dan radikalisme dengan mengatasnamakan agama. Hal itu disampaikan Abdurrahman, Minggu (31/12), saat berbicara dalam catatan akhir tahunnya.

"Apa yang disampaikan MUI penting bagi bangsa ini. Jadi harus berhati-hati, misalnya, mengeluarkan fatwa. Terkait kasus pemeluk Ahmadiyah, saya sudah pernah peringatkan jangan menggunakan kata ’sesat’ dan biarkan masalah itu ditangani Bakor Pakem karena di dalamnya ada wakil Polri, kejaksaan, MA," ujar Abdurrahman.

Menurut dia, konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya kebebasan berbicara dan kemerdekaan berpendapat. Dengan demikian, kata Abdurrahman, MUI diminta berhati-hati mengeluarkan pendapat, yang dikhawatirkan malah akan memperlebar perbedaan.

Dalam acara itu, hadir Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar beserta jajarannya, Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir, Agum Gumelar, rohaniawan Frans Magnis-Suseno dan Pendeta Nathan Setiabudi, Ketua Komisi Yudisial (KY) M Busyro Muqoddas, HS Dillon, dan Mohammad Sobary.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan, yang dihubungi Selasa, mengatakan, fatwa ajaran sesat yang dikeluarkan MUI merupakan tanggung jawab moral yang harus dilakukan oleh MUI sebagai penjaga dan pengingat bagi umat Islam agar tidak tersesat. "Jadi, fatwa MUI hanya pendukung dan pembeda agar umat Islam yang belum sesat jangan terperosok, dan yang sudah terperosok bisa diminta kembali ke jalan yang benar," ujarnya.

Tentang keputusan negara untuk membubarkan sebuah aliran, menurut Amidhan, merupakan keputusan dan tanggung jawab negara.

"Bubar atau tidak bubarnya sebuah aliran merupakan urusan pemerintah. Fatwa MUI bukan hukum positif, kalau negara mau mempertimbangkan fatwa MUI, itu lain soal," ujarnya. (DWA/MAM)


2007 Marak Kekerasan Mengatasnamakan Agama

Jakarta, Kompas - Ketua Umum Dewan Syuro Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid mengkritik sikap Majelis Ulama Indonesia yang selama ini mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok masyarakat atau pemeluk agama tertentu.

Tidak hanya itu, Abdurrahman juga mempertanyakan sikap pemerintah, yang sering kali membiarkan saja setiap aksi kekerasan dan radikalisme dengan mengatasnamakan agama. Hal itu disampaikan Abdurrahman, Minggu (31/12), saat berbicara dalam catatan akhir tahunnya.

"Apa yang disampaikan MUI penting bagi bangsa ini. Jadi harus berhati-hati, misalnya, mengeluarkan fatwa. Terkait kasus pemeluk Ahmadiyah, saya sudah pernah peringatkan jangan menggunakan kata ’sesat’ dan biarkan masalah itu ditangani Bakor Pakem karena di dalamnya ada wakil Polri, kejaksaan, MA," ujar Abdurrahman.

Menurut dia, konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya kebebasan berbicara dan kemerdekaan berpendapat. Dengan demikian, kata Abdurrahman, MUI diminta berhati-hati mengeluarkan pendapat, yang dikhawatirkan malah akan memperlebar perbedaan.

Dalam acara itu, hadir Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar beserta jajarannya, Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir, Agum Gumelar, rohaniawan Frans Magnis-Suseno dan Pendeta Nathan Setiabudi, Ketua Komisi Yudisial (KY) M Busyro Muqoddas, HS Dillon, dan Mohammad Sobary.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan, yang dihubungi Selasa, mengatakan, fatwa ajaran sesat yang dikeluarkan MUI merupakan tanggung jawab moral yang harus dilakukan oleh MUI sebagai penjaga dan pengingat bagi umat Islam agar tidak tersesat. "Jadi, fatwa MUI hanya pendukung dan pembeda agar umat Islam yang belum sesat jangan terperosok, dan yang sudah terperosok bisa diminta kembali ke jalan yang benar," ujarnya.

Tentang keputusan negara untuk membubarkan sebuah aliran, menurut Amidhan, merupakan keputusan dan tanggung jawab negara.

"Bubar atau tidak bubarnya sebuah aliran merupakan urusan pemerintah. Fatwa MUI bukan hukum positif, kalau negara mau mempertimbangkan fatwa MUI, itu lain soal," ujarnya. (DWA/MAM)

No comments: