Friday, February 22, 2008

Agama untuk Kemanusiaan



SEPANJANG sejarah, nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan senantiasa hidup. Keduanya merupakan sumber dan acuan perjuangan serta dinamika sosial.

Berbagai revolusi sosial terjadi karena dipicu dan diinspirasi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan adakalanya oleh nilai-nilai dan spirit keagamaan. Lebih dari itu, banyak monumen sejarah yang sangat indah dan megah yang diinspirasi oleh keyakinan agama. Tentu ada yang keberatan dengan pembedaan dan bahkan memperhadapkan keduanya. Bukankah agama diwahyukan untuk membela martabat manusia, bukan sebaliknya manusia dicipta untuk membela agama? Pembedaan antara agama dan kemanusiaan bukannya tanpa alasan.

Alasan pertama dan utama, secara ontologis agama diyakini sebagai kebenaran yang diwahyukan (revealed) melalui para nabi pilihan Tuhan, sementara postulat nilai-nilai kemanusiaan merupakan produksi dan refleksi penalaran insani. Meski agama diyakini dari Tuhan, ketika wahyu ilahi masuk ranah sejarah kemanusiaan, berbagai perkembangan muncul sehingga seringkali menimbulkan perdebatan dan perkelahian berdarah-darah.

Ketika sejarah menghadirkan sekian wajah nabi dan kemudian mewariskan ajaran agama dengan beragam bahasa, tradisi, dan ajaran yang sudah membaur dengan budaya, kita pun bertanya, dari semua agama itu mana yang paling benar? Yakin bahwa Tuhan adalah Esa, mengapa di muka bumi terdapat beragam agama? Agama mana yang mesti saya ikuti? Kalaupun semuanya mengandung unsur kebenaran, mungkinkah kebenaran yang berserakan itu disatukan, lalu manusia memiliki satu agama yang diterima bersama?

Pertanyaan dan harapan tersebut hanyalah sebuah ilusi karena pada kenyataannya di atas planet bumi yang satu ini tumbuh sekian banyak agama, budaya, bahasa, dan manusia pun terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok etnis, bangsa, dan negara. Belum lagi sekian ratus sekte, mazhab, dan kepercayaan yang semuanya dihayati dan diyakini secara eksklusif, yang satu cenderung merendahkan yang lain.

Ketika keragaman dan perilaku agama telah menimbulkan sekian konflik sosial, bahkan perang, dan dianggap mempersempit dialog kritis-konstruktif, situasi demikian mendorong sikap skeptis-apatis terhadap agama,baik lembaga, tokoh maupun doktrinnya. Di Barat gerakan humanisme-sekularisme juga dikondisikan oleh kegagalan agama menampilkan dirinya sebagai pelopor peradaban yang menjunjung nalar kritis dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, memasuki abad ke-21 ini muncul tanda-tanda terjadinya rekonsiliasi dan dialog cerdas antara ilmu pengetahuan, paham humanisme, dan spirit keagamaan dalam format yang baru.

Bagaimanapun juga agama menawarkan nilai-nilai luhur yang bersifat metafisisperenial yang sangat sejalan dengan agenda humanisme. Humanisme-sekularisme yang tidak memberikan ruang bagi bimbingan wahyu ilahi akan menemui jalan buntu dan mempersempit perspektif hidup dan perjuangan kemanusiaan itu sendiri.

Di sisi lain, jika paham dan artikulasi serta praktik keberagamaan berseberangan dengan nalar kritis serta agenda kemanusiaan, agama akan terpinggirkan dalam pasar sejarah. Agama senantiasa dibela dan dalam waktu bersamaan juga dikritik dan dicaci. Lagi-lagi, orang akan berkata, yang salah adalah umatnya atau pemeluknya, bukan agamanya.

Namun, bukankah mata rantai penyebaran dan pemahaman agama adalah manusia? Artinya, memisahkan agama ke dalam ruang steril yang terpisah dari pemahaman, penafsiran, keyakinan, dan pengamalan para pemeluknya adalah mustahil. Oleh karenanya usaha pemurnian dan proses penyimpangan paham keagamaan selalu berkembang bersama. Keduanya mesti melibatkan penafsiran yang bersifat nisbi, relatif, tetapi tidak berarti mesti jatuh pada paham nihilisme.

Mari kita cermati sekian banyak buku bernuansa keagamaan yang beredar hari ini. Bahwa yang disebut buku keagamaan mesti terdapat unsur-unsur keyakinan agama, wawasan ilmu pengetahuan, dan kepedulian pada masalah sosial kemanusiaan yang kesemuanya saling bertalian. Dengan demikian, pada tataran praksis wilayah agama, budaya, dan cita-cita kemanusiaan sudah melebur jadi satu. Agama yang tidak peduli pada masalah kemanusiaan dan politik akan kehilangan dimensi dan fungsi liberatifnya.

Bukankah panggung politik merupakan medium paling efektif untuk memikirkan masalah rakyat dan negara? Kalau demikian halnya, bukankah agama harus masuk ke wilayah politik? Di sinilah mulai muncul wilayah kelabu (grey area), wilayah konflik dan kolaborasi antara perjuangan nilai-nilai agama dan kemanusiaan di satu sisi serta agenda kekuasaan yang sarat dengan kepentingan pribadi/kelompok di sisi yang lain. Artikulasi dan agenda aksi gerakan keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini perlu kita cermati saksama karena tidak jarang simbol dan kutipan ayat-ayat suci agama dimanipulasi untuk kepentingan politik murahan.

Atau bisa saja pemahaman agama yang eksklusif sering kurang memedulikan dimensi kemanusiaan serta enggan mendengarkan suara yang berbeda, padahal semuanya mengatasnamakan misi keagamaan yang sama. Yang berbeda lalu diposisikan sebagai lawan yang mengancam sehingga harus dikutuk, tidak boleh hidup. Masyarakat kita yang begitu mudah menggunakan simbol agama ternyata juga sangat mudah terjatuh pada sikap brutal yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan.

Lihat saja berbagai konflik yang muncul, mulai dari konflik antarwarga desa, konflik antara pendukung parpol dalam pilkada hingga konflik akibat pemahaman agama yang berbeda, semua itu melahirkan sebuah pertanyaan: apa pengaruh pemahaman dan keyakinan agama dalam perilaku sosial? Jangan-jangan etika beragama itu berawal dan berakhir di masjid atau gereja saja, tetapi begitu masuk ranah sosial-politik etika agama dan kemanusiaan diinjak-injak.

Korupsi dan sikap saling mengumpat ditemui di mana-mana. Yang menyedihkan lagi, adakalanya mimbar khotbah agama dinodai dengan cacian dan fitnah terhadap pihak-pihak lain tanpa dasar yang kuat. Demikianlah, tanpa disadari kehidupan beragama yang kurang mengindahkan etika sosial dan nilai-nilai kemanusiaan pada urutannya akan mendorong paham sekularisme dan liberalisme akibat kekecewaan pada praktik beragama yang tidak sehat.

Membela agama dengan cara tidak etis dan tidak cerdas sama halnya dengan melecehkan dan menjatuhkan martabat agama. Dengan demikian, kita bisa membuat formula, panggung kemanusiaan mestinya menjadi lokus aktualisasi nilai agama sehingga agama dan kemanusiaan bagaikan dua sisi dari satu mata uang. (*)

Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

No comments: