Monday, February 11, 2008

Perdebatan Dangkal soal Riba


Senin, 11 Februari 2008 | 03:07 WIB

Oleh : Tjahja Gunawan Diredja

Dalam penerapan prinsip syariah, terdapat kontradiksi antara Inggris dan Indonesia. Inggris adalah negara non-Muslim pertama yang menerapkan prinsip syariah, sementara Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia justru belum menerapkan prinsip syariah secara penuh.

Di Inggris, kegiatan operasional bank-bank konvensional dengan perbankan syariah berjalan bersama-sama. Bahkan banyak bank-bank konvensional di Inggris yang membuka unit syariah.

Negara itu menerapkan aturan industri syariah dengan cara mengadopsinya dari negara-negara Timur Tengah, kemudian dimodifikasi dan diintegrasikan dengan aturan serta undang-undang yang sudah ada di Inggris.

Kegiatan operasional industri perbankan syariah di Inggris diawasi oleh sebuah badan independen, yaitu Financial Services Authority (FSA). Prinsip utama transaksi keuangan syariah adalah menggunakan sistem bagi hasil dan tidak berdasarkan perhitungan bunga.

Di Indonesia, industri perbankan syariah masih belum berkembang seperti halnya di Inggris karena belum ada instrumen (hukum) yang mengaturnya. Hal itu terjadi antara lain karena berbagai pihak masih terjebak pada perdebatan dangkal soal riba dan prinsip syariah yang masih dianggap sebagai bagian dari dominasi ajaran agama Islam.

Padahal, menurut Direktur Utama PT Bank Muamalat Indonesia Tbk A Riawan Amin, semua agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) menuntut orang yang beriman dalam urusan muamalahnya untuk tidak menggunakan praktik riba.

Dalam kitab Deuteronomy (Yahudi), Pasal 23 Ayat 19 antara lain disebutkan, ”Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan”.

Kitab Levicitus (Imamat) Pasal 35 Ayat 7 juga menyebutkan, ”Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut dengan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”.

Adapun dalam ajaran Islam, surat Al-Baqarah 275 menyatakan, ”Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Sementara itu, dalam ajaran Kristen, Kitab Ulangan 23:19, menyebutkan, ”Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan”.

Di satu sisi, penerapan sistem bunga bisa memicu kompetisi antarpelaku ekonomi. Sistem bunga juga memerlukan pertumbuhan ekonomi tanpa henti meskipun standar kehidupan riil masyarakat tetap konstan.

Akan tetapi, menurut Ahamed Kameel Mydin Meera dalam bukunya, Theft of Nations Returning to Gold, sistem bunga memusatkan kekayaan pada kaum minoritas dengan membebani kaum mayoritas.

Sistem bunga juga menciptakan utang menumpuk yang tidak terbayar, yang bisa mengakibatkan perpindahan aset dari debitor kepada kreditor dengan harga yang sangat murah.

Selain itu, sistem bunga dapat menciptakan inflasi dan kondisi ekonomi yang tidak stabil serta bisa mengakibatkan bangkrutnya sektor produktif, dan menciptakan pengangguran.

Implikasi dari penerapan sistem bunga sudah dirasakan Indonesia ketika dihantam krisis ekonomi pada akhir tahun 1997. Akibat utang pemerintah dan swasta yang menumpuk waktu itu, harus dibayar dengan sangat mahal saat ini. Aset-aset negara dan swasta banyak yang berpindah tangan kepada sejumlah perusahaan asing.

Perpindahan aset itu tidak lepas dari dominasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang telah mengatur dengan ketat Pemerintah Indonesia dalam mengupayakan pemulihan ekonomi.

Kita masih ingat bagaimana gaya Direktur Pelaksana IMF saat itu, Michael Camdesus, menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menatap mata bak tuan mengawasi Presiden Soeharto yang meneken lembar letter of intent (LOI), yang menandai kerja sama IMF dengan Indonesia.

Sejumlah resep pun diberikan IMF. Namun, bukan kesembuhan yang dialami ekonomi nasional, justru keterpurukan yang dialami rakyat Indonesia.

Di sektor perbankan, sebelum ataupun pascakrisis ekonomi, menunjukkan bank-bank konvensional di Indonesia yang menerapkan sistem bunga telah gagal dalam menjalankan fungsi intermediasinya.

Hal itu terlihat dari banyaknya bank konvensional yang kolaps karena virus negative spread pada saat Indonesia dilanda krisis ekonomi berkepanjangan.

Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan rekapitalisasi dengan menghabiskan dana (obligasi) sebesar Rp 650 triliun. Triliunan rupiah kredit macet dihapusbukukan (write off). Semuanya itu (kapitalisasi dan write off) ditanggung dengan pajak rakyat.

SBI membebani

Pertanyaannya sekarang, apakah bank-bank konvensional kondisinya membaik setelah program penyelamatan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)?

Kalau sampai sekarang bank-bank lebih tertarik menanamkan dana pihak ketiga dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang menyalurkan kredit ke sektor riil, sulit untuk menyebutkan kinerja bank-bank konvensional telah membaik.

Padahal, dengan banyaknya dana perbankan yang disimpan di SBI, beban pemerintah makin bertambah karena biaya bunga SBI yang tinggi. Tidak hanya dana perbankan yang diternakkan dalam SBI, tetapi juga dana-dana milik pemerintah daerah juga banyak yang disimpan di SBI.

Lalu bagaimana dengan perbankan syariah? Pada saat krisis ekonomi, tidak satu sen pun dana rekapitalisasi yang dikeluarkan pemerintah untuk menolong bank syariah sehingga bank syariah tidak perlu menjadi pasien BPPN seperti umumnya bank- bank konvensional.

”Pada tahun 1998 Bank Muamalat memang mengalami rugi operasional hingga Rp 105 miliar, tetapi karena menerapkan sistem perbankan tanpa bunga sehingga bisa terhindar dari infeksi virus negative spread. Kami juga terhindar dari kerugian oleh spekulasi di pasar uang karena tidak ada transaksi derivative,” ujar Riawan Amin, yang juga Direktur International Islamic Financial Market (IIFM).

Kerugian yang pernah diderita Bank Muamalat, jelas Riawan, lebih disebabkan memburuknya ekonomi nasional yang telah menyebabkan semua sektor industri meredup, tak terkecuali Bank Muamalat. Jadi wajar jika waktu itu kinerja bank yang mulai beroperasi 1 Mei 1992 ini mengalami penurunan.

Namun, kerugian tersebut kemudian bisa ditekan dan bahkan menghasilkan laba operasional berturut-turut dari tahun 2000 hingga 2002 sebesar Rp 10,85 miliar, Rp 50,32 miliar, dan Rp 32,15 miliar.

Selain Bank Muamalat, bank lain di Indonesia yang telah melaksanakan prinsip syariah adalah Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Adapun jumlah unit usaha syariah sebanyak 25 dan bank perkreditan rakyat (BPR) syariah sebanyak 109.

Dalam ”Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2008”, yang diterbitkan BI, disebutkan bahwa selama tahun 2007 dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun bank syariah Rp 24,7 triliun atau mencapai 37,3 persen. Adapun DPK pada tahun 2006 mencapai 32,7 persen.

Sesungguhnya potensi perkembangan industri syariah di Indonesia sangat besar karena perekonomian negara ini masih akan terus tumbuh pada masa datang. Apalagi saat ini banyak sektor yang perlu dibangun dan tentu saja itu semua membutuhkan pendanaan.

Pertanyaannya, apakah pembangunan nasional ini masih akan menggunakan pola lama, yakni menggunakan pinjaman yang berbasis pada bunga?

Keledai seharusnya tidak terantuk pada lubang yang sama. Untuk itu, sekarang sudah saatnya mengubah paradigma pembangunan, yakni dengan mengoptimalkan dana-dana yang berhasil dihimpun perbankan syariah.

Dalam kaitan itu, instrumen keuangan syariah berupa Sukuk atau obligasi syariah (UU Sertifikat Berharga Syariah Negara- SBSN), perlu segera dirampungkan oleh DPR dan pemerintah.

Demikian pula penyempurnaan Undang-Undang Pajak (Pajak Pertambahan Nilai/PPN), perlu segera diselesaikan secepatnya karena ini akan menjadi pintu masuk bagi investor dari luar negeri, terutama dari Timur Tengah ke dalam industri perbankan syariah di Indonesia.

Terkait dengan itu, sebenarnya juga tidak relevan jika satu partai politik menolak instrumen keuangan syariah hanya karena dibayangi kekhawatiran bahwa sistem keuangan syariah bisa mengganggu keutuhan negara ini.

Kekhawatiran tersebut jelas sangat tidak beralasan dan lebih mencerminkan belum pahamnya anggota parlemen soal instrumen dan masa depan industri syariah di Indonesia.

No comments: