Friday, February 29, 2008

Bermazhab yang Ideal


M Afifuddin Muchit
Wakil Ketua Tanfidhiyah PCI-NU Pakistan (Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Social Science IIU Islamabad)

Sejarah NU adalah perlawanan hegemoni ideologi purifikasi yang hendak membabat tradisi-tradisi lokal yang disinyalir menyimpang dari ajaran Islam. Perlawanan terhadap hegemoni pembaruan Islam ini titik kulminasi terakhir dari tiga gerakan yang mendahulinya, yaitu Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air) 1916, Taswirul Afkar atau Kebangkitan Pemikiran, dan Nadlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar).

Dari rentetan keempat event itu, terlihat perjuangan kaum pribumi yang digawangi kelompok sayap pesantren tradisionalis sangat antidiskriminatif dan prokebebasan dan pencerahan. Pembelaan terhadap kebebasan beragama dan tafsirnya yang di antaranya melahirkan gerakan NU, merupakan hak setiap manusia yang harus dilindungi. Tafsir Islam tunggal tidak hanya akan merobek barisan umat Islam, tapi juga pemicu lahirnya pertumpahan darah di antara sesama umat Islam.

Kendati Islam berasal dari satu sumber, penafsiran Islam tidaklah tunggal alias sangat beragam seiring perjalanan waktu. Nabi mengakui perbedaan pandangan umatnya dan mengatakan perbedaan adalah rahmat. Pengesahan Nabi ini momentum penting dalam kebebasan mengungkapkan tafsir Islam. Namun, pengabsahan perbedaan pendapat ini tidak berlaku di semua lini. Kebebasan berbeda terjemah Islam ini tidak berlaku dalam bidang fundamental, seperti rukun iman dan Islam.

Tidak perlu diperpanjang
Wacana akulturasi dan kompromi budaya lokal yang kerap melahirkan stigma negatif pada NU, seperti bid'ah dan khurafat sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Ini semua interpretasi masing-masing dalam memahami agama dalam aspek sosio-kultur masyarakat setempat. Praktik agama yang selalu menjurus kepada kecurigaan dan saling tuding tidak kondusif untuk merapatkan barisan umat yang masih tercerai-berai. Terlebih lagi untuk memasarkan Islam yang cinta damai dan toleran kepada penduduk dunia.

Islam memberikan pengesahan terhadap praktik akulturasi budaya lokal saat era pertama Islam muncul di Arab. Sebut saja praktik poligami, fanatisme kelompok, kejantanan dan kehebatan berperang, dendam kelompok, dan bederma yang berlebihan adalah tradisi lokal Arab yang tetap dilegalkan oleh Islam hingga sekarang. Tapi, dengan sedikit mengubah motif dan caranya menjadi Islami.

Kehebatan NU mendobrak hegemoni beragama yang kaku ini tidak dibarengi dengan cara bermazhab yang kreatif dan progresif. Cara beragama NU yang terlalu mendewakan tradisi ini menumpulkan kritik beragama. Slogan NU mengusung konsep 'menjaga tradisi yang masih laik dan menerima ide baik dari luar' membawa kaum nahdliyyin menjadi kelompok prokemapanan alias kurang kritis dengan perubahan sosial.

Ini tampak saat NU dihadapkan pada realitas problem sosial. Mereka hanya mampu menyodorkan jawaban legalitas hukumnya dan bukan pada aspek pemecahan problem. Ini bisa dilihat dengan masih menguatnya tradisi bahsul masail pada nahdliyyin sebagai jawaban atas problem sosial dengan merujuk pada kitab-kitab klasiknya.

Keahlian mencari legalitas hukum sebuah persoalan dalam kitab-kitab agama memang tetap diperlukan. Namun, keahlian ini tak cukup untuk memecahkan problem sosial riil. Persoalan tidak selesai dengan hanya menyodorkan jawaban ini haram, ini boleh, ini makruh, dan lain-lain.

Menurut A Qadri Azizi dalam bukunya: Islam dan Permasalahan Sosial (LKiS 2000), yang patut disayangkan dari cara bermazhab kaum nadliyyin ini lebih banyak mengacu pada metode adopsi matang pendapat ulama tertentu yang tertera dalam kitab-kitab mu'tabaroh (terkenal) dan bukan pada metodologi hukumnya. Tidak mengherankan bila ada persoalan yang muncul lalu tidak ditemui teks matang dari kitab tersebut.

Ulama NU cenderung menghentikan persoalan (mauquf) tanpa berani mengeluarkan ijtihad pendapat pribadi. Padahal, sebuah problem terkadang menuntut jawaban yang cepat dan solutif.

Sikap bermazhab ala NU ini sudah tidak kondusif di era modern. Pengembangan wacana bermazhab yang progresif dan berani mengadopsi ijtihad pribadi sangat perlu untuk tidak mengatakan sudah sangat mendesak di era sekarang. Sebenarnya khazanah keilmuan ulama dan intlektual NU lebih dari cukup untuk menelurkan sebuah produk hukum baru dalam kaca mata Imam Syatibi, pemilik kitab Al-muwafaqot.

Keahlian ulama NU dalam mencari legalitas sebuah hukum persoalan dalam kitab-kitab agama tidak perlu dipertanyakan lagi. Akan tetapi, ini sangat terbatas pada pencarian produk matang karya ulama terdahulu. Padahal, materi metodologi pengambilan hukum Islam, seperti ushul fiqh dan kaedah fikih selalu mereka pelajari dan ajarkan kepada santri-santrinya.

Sayang, materi ini hanya terbatas untuk 'bacaan' saja dan bukan dicoba dipraktikkan untuk memproduk hukum baru sesuai kaedah yang mereka pelajari dari kitab tersebut. Keengganan mereka mempraktikkan ilmu metodologi pengambilan sebuah hukum baru yang sesuai dengan tuntutan zaman karena masih kuatnya persepsi bahwa teks dalam kita-kitab agama adalah sebuah nash taken for granted yang harus dipatuhi dan diikuti.

Padahal, teks-teks dalam kitab-kitab agama tersebut adalah produk sebuah pemikiran yang punya setting sejarah dan tempat. Ini artinya ia punya nilai relativitas dengan zaman.

Produk pemikiran bukanlah nash agama (wahyu) yang punya nilai sakral dan suci. Ketika seseorang menafsirkan nash agama maka produk tafsir nash tersebut akan menjelma menjadi sebuah produk pemikiran dan bukan nash itu sendiri. Dari sinilah muncul beberapa produk pemikiran ulama yang biasa dikenal dengan istilah mazhab.

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bermazhab yang ideal bukanlah mengikuti pendapat ulama secara membabi-buta, tapi mengikuti metodologinya sehingga produk-produk hukum agama akan bisa up to date menjawab zaman. Tapi, lagi-lagi problem yang mungkin akan muncul adalah dikotomi perbandingan antara ulama dahulu dan ulama sekarang yang diyakini kualitasnya sangat rendah dibanding ulama zaman dahulu.

Ini sebenarnya problem klasik yang selalu bersentuhan dengan syarat menjadi seorang mujtahid dan persyaratannya yang sangat ketat. Menurut penulis tidak ada salahnya bila ulama nahdliyyin membuka diri dengan konsep ijtihad yang pernah ditelurkan oleh Imam Syatibi. Ini untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Ia mengatakan syarat menjadi mujtahid hanya dua, yaitu mengusai literatur bahasa Arab secara baik dan memahami maqasid syariah secara benar.

No comments: