Monday, February 25, 2008

Religious Vernaculars


Oleh : Azyumardi Azra

Kalam ('teologi') merupakan bagian integral pemikiran Islam yang berkembang sejak zaman klasik sampai pertengahan. Pertumbuhan kalam yang melibatkan dinamika intelektual yang intens di kalangan ulama dan pemikir Islam kelihatannya mengalami masa surut pada masa modern.

Apa yang tersisa adalah paradigma dan kerangka teologis Islam klasik, seperti Asy'ariyah, yang kini dominan di kalangan mayoritas Muslim di berbagai penjuru dunia. Sedangkan aliran Kalam lainnya, seperti Mu'tazilah, kelihatannya sulit mengalami kebangkitan kembali.

Masihkah relevan berbicara tentang Kalam? Mungkin juga tidak, jika Kalam lebih banyak berbicara tentang 'sifat' dan 'zat' Tuhan dan posisi manusia vis-a-vis Tuhan. Wacana dan perdebatan tentang itu lebih merupakan konsumsi dan intellectual exercise di kalangan terbatas saja.

Tapi, Kalam ('teologi') dalam bidang-bidang tertentu pemikiran keagamaan tampaknya masih diperlukan. Ini terlihat misalnya dari berbagai wacana dan pemikiran, misalnya, tentang 'teologi bumi', 'teologi lingkungan hidup', 'teologi sosial', dan sebagainya. Teologi-teologi seperti ini pada dasarnya merupakan upaya perumusan pemikiran Islam dalam bidang-bidang tersebut, sehingga memberikan landasan 'doktrinal' yang valid dan kuat. Teologi semacam itu merupakan respons pemikiran Islam atas tantangan aktual di masa kini.

Dalam konteks itu, sebuah upaya terobosan untuk merumuskan 'teologi Muslim kontemporer tentang agama-agama dunia' tengah digiatkan sejumlah pemikir Muslim antarbenua. Mereka menyelenggarakan konferensi pertama pada 27-30 Mei 2007 di Universitas al-Akhawayn, Ifrane, Maroko. Hasil-hasil pertemuan itu yang akhir Januari 2008 lalu dirilis secara terbatas menampilkan sejumlah kerangka pemikiran menarik.

Pertama, sejauh menyangkut teologi, seperti pernah dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, salah satu tantangan adalah bagaimana kita sebagai Muslim dapat menjaga kebenaran Islam, ortodoksi Islam, dan struktur dogmatis tradisi Islam. Tapi, pada saat yang sama juga membuka diri pada tradisi keagamaan lain. Stockholm bukan hanya orang tua, tapi juga banyak yang muda-muda, bahkan anak-anak.

Tantangan seperti ini tidaklah unik, dan juga tidaklah baru, karena kaum Muslim telah menghadapi tantangan seperti itu di masa silam. Dan para ulama serta pemikir Muslim juga telah memberikan respons intelektual mereka terhadap tantangan tersebut. Tetapi pada akhir modernitas dan globalisasi sekarang, tantangan itu kelihatan kian sentral. Kini bahkan merupakan salah satu dari beberapa tantangan utama terhadap para pemuka dan pemikir agama, baik secara internal di dalam satu agama, maupun eksternal, antara satu agama dan agama lain.

Konferensi Ifrane dalam konteks itu menawarkan kerangka yang disebut religius vernaculars. Istilah ini dipinjam dari teori antropologi tentang vernacular cultures yang berdasarkan pada konsep sosiolinguistik tentang bahasa-bahasa vernakular (lokal) yang relatif berbeda dalam hal-hal tertentu dengan bahasa standar.

Dalam konteks Eropa atau Barat umumnya, peningkatan sentimen keislaman justru meningkat setelah Peristiwa 11 September 2001 di AS. Dampaknya bukan hanya berlaku terhadap kaum Muslim di Amerika, tetapi juga di Eropa, yang sejak itu kian sering menjadi sasaran kecurigaan, diskriminasi, kebencian, dan kemarahan dari kelompok masyarakat setempat yang semakin menunjukkan sikap antiorang asing, khususnya Muslim, untuk tidak menyebut 'anti-Islam'.

Perkembangan seperti ini, pada gilirannya membangkitkan self-defence mechanism di dalam masyarakat Muslim. Mekanisme pertahanan diri ini, baik langsung maupun tidak, mendorong peningkatan identitas Muslim. Pemakaian hijab, dan bahkan juga pergi haji, misalnya, kini merupakan bagian integral dari politik identitas di kalangan Muslim yang hidup dalam diaspora Eropa atau Dunia Barat lainnya. Pergi haji, dan kemudian kembali ke diaspora dengan gelar haji membuat identitas keislaman menjadi lebih lengkap; dan ini secara langsung memperkuat Islam sebagai politik identitas tersebut.

Naik haji dari Eropa seperti juga dari Indonesia kian singkat dari segi waktu, karena perjalanan dengan pesawat jet. Keharuan dan kesyahduan naik haji mungkin juga berkurang karena waktu yang singkat itu. Tetapi, terlepas dari itu, makna dan simbolisme ibadah haji tidak pernah berkurang, apalagi menghilang. Ia kini bahkan kian menjadi bagian tidak terpisahkan dari 'kebangkitan Islam'. Sekali lagi, dalam konteks Eropa, naik haji merupakan salah satu ekspresi politik identitas tadi.

No comments: