Friday, February 15, 2008

Problem Yuridis RUU Syariah

 

Oleh :Ahmad Tholabi Kharlie
Dosen Syariah Universitas Islam Negeri, Jakarta

Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah tampaknya masih menyisakan ketimpangan mulai dari aspek filosofis, sosiologis, politis, hingga praktis. Itulah simpul-simpul yang dapat diurai dalam diskusi para guru besar, pakar, dan praktisi hukum ekonomi syariah yang digelar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dan Himpunan Ilmuwan Sarjana Syariah se-Indonesia (HISSI) beberapa waktu lalu di Jakarta.

Diskusi terbatas ini menyoal secara tajam beberapa poin krusial menyangkut eksistensi nomenklatur ilmu ekonomi Syariah dan kompetensi institusi Peradilan Agama. Draf terakhir yang setelah mengalami pelbagai revisi menunjukkan adanya bias kepentingan pragmatis dan inkonsistensi bahkan kerancuan dari sisi aturan main pembentukan perundang-undangan.

Entah apa yang menyebabkan itu terjadi. Namun, patut diduga pemerintah sebagai penyusun draf tidak sepenuhnya memahami tentang substansi dan konsep ekonomi Islam. Selain itu, ada semacam kegamangan yang menghinggapi pemerintah terhadap profesionalitas dan integritas para yuris Muslim di negeri ini.

Dari titik ini memunculkan suatu kekhawatiran yang bernuansa historis, metodologis, dan politis yang tergambar dalam benak para pakar, guru besar, dan praktisi ekonomi syariah tersebut. Kekhawatiran historis berwujud dalam persepsi tentang 'keterpojokan' kepentingan umat Islam dalam menjalani lakon-lakon publiknya. Di sisi lain, forum juga menangkap adanya kekeliruan interpretasi publik, terutama para pemegang kebijakan, terhadap akar-akar metodologis ekonomi syariah di tengah kuatnya sentimen politis yang beraroma syariah phobia.

Kontradiksi
Pasal 52 mengenai Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah adalah salah satu bukti ketimpangan RUU tersebut. Pasal ini berbunyi: ''Penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum''. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat komersial.

Terdapat dua kekeliruan mendasar atas munculnya pasal sensitif ini. Pertama, secara yuridis pencantuman pasal ini dinilai ahistoris mengingat keberadaannya telah ditampung dalam Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang secara tegas menegasikan kewenangan secara penuh kepada institusi Peradilan Agama untuk menerima dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

Memberikan atau lebih tepatnya mengalihkan kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah kepada peradilan umum dengan demikian jelas bertentangan dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kedua payung hukum ini secara nyata telah melegitimasi kompetensi absolut Peradilan Agama sebagai peradilan yang berwenang menangani perkara-perkara umat Islam dalam ranah hukum Islam, termasuk di dalamnya ekonomi syariah. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (1) TAP MPR No III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang secara hierarki lebih tinggi.

Hal ini dapat pula kita artikan bahwa dalam hierarki yang setara pun sejatinya tidak bertentangan karena akan melahirkan kerancuan, bahkan kekacauan hukum. Inilah yang terjadi dalam RUU Perbankan Syariah, yakni Pasal 52 RUU Perbankan Syariah versus Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Kedua, secara metodologis munculnya suatu pasal dalam RUU yang mengatur tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah dinilai kurang tepat atau salah tempat. Terlepas dari perbedaan sudut pandang (word view), tampaknya persoalan ini perlu dikritisi agar tidak menjadi preseden buruk dalam program legislasi nasional.

Ketidaktepatan tampak dari perspektif aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya, aturan mengenai penyelesaian sengketa perbankan tidak dimasukkan dalam regulasi atau perundang-undangan dalam ranah atau rezim bisnis, seperti halnya RUU ini.

Aturan mengenai institusi mana yang lebih berhak atau berkompeten menangani sengketa perbankan tidak lain merupakan wilayah atau rezim kekuasaan kehakiman. Secara metodologis hal ini menyalahi Pasal 5 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegasikan suatu asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dari titik ini maka usulan mengenai masuknya pasal 52 yang mengatur tentang penyelesaian sengketa bank syariah harus ditolak demi hukum. Ketentuan ini telah cukup termaktub dalam Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang selaras dengan rezimnya.

Menepis kegamangan
Nuansa kegamangan juga mewarnai proses penyusunan RUU Perbankan Syariah tersebut. Ini dapat kita rasakan dalam dua hal. Pertama, hingga kini masih saja ada anggapan bahwa Peradilan Agama merupakan peradilan eksklusif umat Islam.

Anggapan mengenai eksklusivitas ini melahirkan kekhawatiran otoritas moneter kita tentang keengganan investor asing datang ke Indonesia. Kesan inilah yang pada gilirannnya melahirkan nuansa Islamophobia yang tidak semestinya hadir. Padahal, secara faktual saat ini konsep ekonomi syariah telah mendapat pengakuan dan dipraktikkan di pelbagai penjuru dunia.

Perlu dikemukakan di sini bahwa apa yang disebut sebagai eksklusivitas Peradilan Agama sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Sebab, jika dicermati dalam penjelasan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama tidak hanya diperuntukkan bagi orang Islam, tapi juga bagi siapa saja yang menundukkan dirinya kepada hukum Islam, tentu yang dimaksud adalah non-Muslim.

Kedua, usai diundangkannya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang di dalamnya antara lain memuat kewenangan di bidang ekonomi syariah, ternyata melahirkan keraguan atas profesionalitas dan kredibilitas hakim-hakim agama. Ini pula yang melatarbelakangi munculnya gagasan untuk mengalihkan kewenangan memutus sengketa perbankan syariah kepada peradilan umum sebagai dimaksud pada pasal 52 RUU Perbankan Syariah.

Menurut logika akademis, hakim-hakim agama sebagai abituren fakultas syariah tentu akan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang ilmu-ilmu syariah, dalam hal ini fikih muamalah, dibandingkan dengan hakim-hakim peradilan umum yang notabene tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu syariah. Logika sederhana ini sejatinya menjadi argumen tentang tidak beralasannya meragukan profesionalitas dan kredibilitas hakim-hakim agama dalam menangani sengketa perbankan syariah.

Akhirnya, kita semua tentu berharap RUU Perbankan Syariah ini segera disahkan menjadi Undang-Undang Perbankan Syariah. Ini karena akan kian mengukuhkan eksistensi perbankan syariah dalam aras perekonomian nasional.

Ikhtisar:
- Ada kekeliruan interpretasi publik pada pasal tertentu RUU Syariah.
- Ada pertentangan dengan UU Peradilan Agama dan UU Kekuasaan Kehakiman.
- Aturan main yang keliru akan menghalangi masuknya investor asing.

No comments: