Thursday, February 28, 2008

Beragama ala Ibrahim


Oleh Husein Ja'far Al Hadar


Jumat, 22 Februari 2008
Upaya guna merefleksikan kembali dinamika keagamaan di masa lalu yang ditorehkan oleh pembawa risalah "langit", dinilai efektif guna menjadi objek refleksi bagi umat beragama di Indonesia. Utamanya karena keberagamaan di Indonesia makin menjauh dari nilai-nilai dasar profetik agama berupa toleransi, humanisme, dan peradaban dialogis.
Dinamika serta pergulatan keagamaan Ibrahim yang melahirkan "agama-agama Ibrahim" (Islam, Kristen dan Yahudi) dapat menjadi titik tolak refleksi dalam upaya merekonstruksikan pemahaman keagamaan yang nantinya mengarah pada terbangunnya tatanan peradaban keagamaan yang lebih ideal dalam tatanan masyarakat beragama kini. Pasalnya, dinamika serta pergolakan keagamaan Ibrahim sarat dengan nilai-nilai toleransi, humanisme, dialogis serta nilai-nilai filosofis-rasionalis.
Selain itu, pergolakan keagamaan Ibrahim memuat substansi dari "agama-agama Ibrahim" sehingga representatif menjadi rujukan. Bertolak dari sini, maka tulisan ini mencoba memaparkan pergolakan teologis-keagamaan sosok Ibrahim yang sarat dengan nilai-nilai dasar profetik keagamaan (toleran, humanis serta dialogis) sebagai dasar refleksi bagi tatanan keagamaan di era kini dan masa depan dalam membangun peradaban agama.
Keyakinan Ibrahim akan keberadaan dan eksistensi Tuhannya merupakan sebuah kesimpulan teologis yang dicapai setelah melalui ronde-ronde pergolakan ketuhanan dan keagamaan yang panjang dan sarat makna. Teologi Ibrahim lahir dari lingkungan yang puas akan eksistensi tuhan simbolik (bintang, bulan, matahari dan atribut alam lain). Namun, teologis simbolik itu tak memuaskan Ibrahim yang rasional, filosofis, dan dialogis.
Sebaliknya, fenomena pemahaman dan keyakinan atas Tuhan simbolik yang tersebar dalam tatanan kosmologis alam semesta -yang diyakini oleh masyarakat kala itu- menjadi refleksi bagi Ibrahim menuju pergulatan ketuhanan yang mengarahkannya kepada suatu kesempurnaan keyakinan akan eksistensi Tuhan (QS. 6: 75). Dan, Ibrahim berhasil membawa pemahaman ketuhanan subjektifnya pada sebuah paradigma dan keyakinan teologis yang terus bergerak dinamis pada titik kesempurnaan dan kesejatian.
Dalam dinamikanya, Ibrahim cenderung "menyeret" fenomena teologis tersebut dalam ranah pergulatan ketuhanannya yang sarat dengan tinjauan-tinjauan teologis-filosofis berbasis rasionalistis. Oleh karena itu, ketika bintang tersebut tenggelam, maka Ibrahim pun menentangnya dan mengkritisinya dengan sebuah gugatan teologis-filosofis bahwa ia tidak pernah suka pada eksistensi (Tuhan) yang tenggelam (QS. 6: 76). Ibrahim mendasarkan pada silogisme, bahwa seluruh eksistensi yang timbul dan tenggelam adalah objek yang terikat pada sederetan norma kosmologis (hukum kausalitas). Keberadaan dan pergerakannya bergantung pada objek lain yang mengawali sekaligus menggerakkannya. Selaras dengan pemahaman Aristoteles -dalam konsep Aktus Murni-nya- Ibrahim menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang bergerak adalah objek yang ada atas dasar keberadaan penciptanya yang menggerakkannya.
Respons teologis tersebut mengindikasikan sebuah kematangan pemahaman serta paradigma ketuhanan sosok Ibrahim, sekaligus meruntuhkan keyakinan teologis berbasis mitologi. Selain itu, ketika Ibrahim melihat sederetan fenomena kosmologis -bulan dan matahari- yang diyakini sebagai eksistensi Tuhan oleh mayoritas masyarakat jahiliyah kala itu, Ibrahim secara ofensif menentang pemahaman teologis "purba" tersebut dengan sederetan paradigma teologis-filosofis berbasis rasionalistik yang ia suguhkan kepada penyembah Tuhan simbolik tersebut (QS. 6: 77-78).
Nilai-nilai dasar profetik keagamaan lain yang tersirat di balik pergolakan teologia Ibrahim adalah totalitas pemahaman yang bukan didasarkan pada klaim subjektivitas Ibrahim. Sosok Ibrahim menyisakan kesan keagamaan bahwa pada dasarnya peradaban keagamaan dasar "langit" merupakan sebuah peradaban keagamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dialogis dalam pergulatan pencapaian kebenarannya. Oleh karena itu, sosok Ibrahim selalu menjalin dialog teologi-keagamaan terkait fenomena keagamaan yang cenderung plural, bahkan paradoks dalam tatanan umat beragama.
Dengan begitu, maka sejatinya konsep ketuhanan dan keagamaan yang diwariskan Ibrahim merupakan sebuah konsep teologi-keagamaan substansial yang didasarkan pada paradigma dan pemahaman filosofis-rasionalistis. Sehingga, sebagaimana hipotesa Ismail Raji Faruqi (1986) dalam Trialogue of The Abrahamic Faiths, cenderung terlihat keselarasan konsep teologis dasar antar-"agama-agama Ibrahim" (Abrahamic faiths) yang sejatinya terinspirasi dari pegulatan ketuhanan Ibrahim.
Bertolak dari sini, maka serangkaian kesan teologis-filosofis yang kemudian menjadi bekal dalam upaya rekonstruksi peradaban umat beragama saat ini. Pertama, Ibrahim cenderung memandang dan memahami seluruh fenomena keagamaan dan ketuhanan pada paradigma filosofis-teologis berbasis rasionalistis. Itu juga mengindikasikan penghargaan pada rasio sebagai salah satu perspektif dominan dalam membangun pemahaman dan keyakinan keagamaan dan ketuhanan.
Kedua, pergolakan ketuhanan yang dilalui Ibrahim -dengan didasarkan pada dialog keagamaan dengan sekelompok umat dengan keyakinan ketuhanan yang bersebelahan, bahkan berseberangan-dalam upaya menuju eksistensi kebenaran sejati, mengindikasikan signifikansi peran dialog dalam membangun sebuah paradigma dan keyakinan keagamaan yang lebih toleran dan sesuai dengan nilai-nilai transendensi "langit" dan imanensi manusia. Sejarah Ibrahim mendorong dibangunnya sebuah peradaban yang berlandaskan toleransi dan dialog, yang menuntut metode dakwah keagamaan berbasis dialogis-toleran, sekaligus sebagai media potensial memahami pluralitas keagamaan.
Pergulatan keagamaan Ibrahim yang terekam dalam teks "suci" dapat menjadi dasar refleksi umat beragama dalam membangun tatanan peradaban keagamaan, khususnya di Indonesia yang berbasis pada nilai toleransi, dialogis, dan humanis.***
Penulis adalah ketua lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta

No comments: