Monday, February 11, 2008

Tradisi Ilmu ke Peradaban Islam


 
(Catatan untuk Lima Tahun INSISTS)

Oleh :Adian Husaini dan Nuim Hidayat
Peneliti INSISTS

Hari ini, 9 Februari 2008, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) menggelar acara tasyakkur lima tahun kiprahnya dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia. INSISTS adalah sebuah lembaga yang selama beberapa tahun gencar mempromosikan gagasan dan gerakan membangun tradisi ilmu menuju peradaban Islam melalui berbagai aktivitas workshop dan penerbitan.

Mengapa tradisi ilmu? Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali peradaban Islam.

Rasulullah SAWA telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliyah gurun pasir, Rasulullah mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi dikenal sebagai orang-orang yang gila ilmu.

Tradisi ilmu yang didorong oleh ayat-ayat Alquran berhasil mengubah sahabat Nabi dari orang-orang jahiliyah menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan berakhlak mulia, mengubah generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam pergolakan dunia menjadi pemimpin kelas dunia.

Tradisi baca dan tulis begitu hidup dalam masyarakat yang sebelumnya didominasi tradisi lisan. Tiap ayat Alquran turun, Rasulullah memerintahkan kepada sahabatnya untuk menulis. Bahkan, tradisi ini menjadi simbol kemuliaan seseorang.

Rasulullah menjadikan pelajaran baca tulis sebagai tebusan tawanan Badar. Rasulullah menugaskan Abdullah bin Said bin al Ash untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah. Beliau juga memberi mandat Ubadah bin as-Shamit mengajarkan tulis-menulis ketika itu.

Kata Ubadah, ia pernah diberi hadiah panah dari salah seorang muridnya setelah mengajarkan tulis-menulis kepada Ahli Shuffah. Saad bin Jubair berkata: ''Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata: ''Hafalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.'' (Mustafa Azami, 2000).

Semangat mereka dalam memburu ilmu pengetahuan makin tinggi berkat pemahaman terhadap Alquran yang mendorong agar Muslim senantiasa menggunakan akalnya. Ibnu Taimiyah mencatat banyak sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah.

Menurut Ibnu Taimiyyah, orang yang tinggal di dalam suffah (asrama tempat belajar) mencapai 400 orang. Menurut Prof Azami, Rasulullah mempunyai 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai hal khusus.

Khusus menulis Alquran adalah Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan, dan Ubay bin Kaab. Khusus mencatat harta sedekah Zubair bin Awwam dan Jahm bin al Shalit. Masalah utang dan perjanjian lain-lain Abdullah bin al Arqam dan al-Ala bin Uqbah.

Bertugas mempelajari dan menerjemahkan bahasa asing adalah Zaid bin Tsabit. Zaid memang diperintahkan Rasulullah belajar bahasa Ibrani dan Suryani. Sekretaris cadangan dan selalu membawa stempel Nabi adalah Handhalah.

Generasi selanjutnya, peradaban Islam mencatat para ulama yang sangat tinggi kecintaannya terhadap ilmu. Jabir ibn Abdullah ra, misalnya, menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah ke kota Arisy di Mesir hanya untuk mencari satu Hadis. Ibnu al-Jauzi menulis lebih dari seribu judul.

Imam Ahmad pernah menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk mencari satu Hadis, bertani untuk mencari rezeki, dan masih membawa-bawa tempat tinta pada usia 70 tahun. Imam al-Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu shalat dua rakaat setiap kali menulis satu Hadis, serta berdoa meminta petunjuk Allah.

Imam Nawawi (w. 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu', dan Syarah Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar delapan cabang ilmu dari subuh sampai larut malam.

Manusia beradab
Peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid yang menyatukan unsur dunia dan akhirat. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan.

Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya agar bisa fokus kepada ibadah.

Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad justru mendeklarasikan: ''Nikah adalah sunahku, dan siapa yang benci pada sunahku, maka dia tidak termasuk golonganku.''

Meskipun begitu, Rasulullah juga memperingatkan dengan keras: ''Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.''

Inilah peradaban Islam, bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang membuang agama dalam kehidupan mereka.

Dalam Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu 'anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya.

Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan qadhi negara. Tradisinya berbeda dengan masyarakat Yunani yang merupakan salah satu unsur penting peradaban Barat.

Dalam bukunya, Budaya Ilmu (Satu Penjelasan, 2003), Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar pendidikan dan pemikiran Islam dari Universitas Islam Internasional Malaysia, mencatat kisah Demonsthenes, seorang filosof Yunani, yang mengungkap pandangan kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: ''Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan (keindahan, Pen.), gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.''

Karena itu, tradisi ilmu Islam tidak sama dengan yang dibangun dalam peradaban sekuler. Menurut Prof Naquib al-Attas, pendiri ISTAC, konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia. Karena itu, saat menjadi keynote speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Makkah pada 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul 'The Dewesternization of Knowledge'.

Langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah Islamisasi ilmu. Menurut al-Attas, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yang disebutnya sebagai ta'dib, bukan tarbiyah.

Tujuan utamanya membentuk manusia beradab. Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertingginya ialah mengenal Allah SWT dan meletakkan-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan.

Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuk satu peradaban yang dalam bahasa Melayu disebut tamadun, yang berbasiskan pada 'ad-din. Madinah adalah kota di mana 'ad-din diaplikasikan.

Seorang dapat menjadi manusia beradab jika memiliki ilmu yang benar. Karena itulah, suatu pendidikan Islam pasti akan gagal mewujudkan tujuannya jika dibangun di atas konsep ilmu yang salah, yakni ilmu yang tidak mengantarkan seseorang pada ketakwaan dan kebahagiaan.

Untuk itulah INSISTS berusaha turut andil dalam sebuah proses pembangunan peradaban Islam dengan memulai menghidupkan tradisi ilmu Islam. INSISTS yakin peradaban Islam hanya bisa berdiri tegak di atas konsep pemikiran Islam dan diwujudkan oleh kaum Muslim sendiri.

Ikhtisar:
- Rasulullah mengajarkan tradisi tulis-menulis.
- Peradaban Islam menyeimbangkan kehidupan dunia dan akherat.
- Hanya ilmu yang benar bisa menjamin kehidupan yang membahagiakan.

No comments: