Friday, February 29, 2008

Penanggulangan Tingginya Angka Perceraian




Oleh :M Fuad Nasar

Badan Amil Zakat Nasional

Indonesia kini berada dalam peringkat tertinggi negara-negara yang menghadapi angka perceraian (marital divorce) paling banyak dibandingkan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya. Berdasarkan data yang diungkapkan Dirjen Bimas Islam Depag, setiap tahun ada dua juta perkawinan. Tetapi, yang memprihatinkan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, yaitu setiap 100 orang yang menikah, 10 di antaranya bercerai.

Tidak sedikit perceraian terjadi pada mereka yang baru berumah tangga. Perkawinan yang banyak mengalami kegagalan sebagian besar adalah perkawinan di kalangan Muslim. Tingginya angka perceraian bukan sebuah fenomena yang wajar dalam kehidupan masyarakat.

Perceraian pada kalangan masyarakat menengah bawah terutama karena faktor ekonomi. Tetapi, saat ini perceraian banyak terjadi pada lapisan masyarakat menengah atas yang sudah mapan secara ekonomi dan sosial.

Dulu kondisi yang lebih parah pernah terjadi dalam dekade 1950-an, yaitu sebelum berdirinya BP4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) dan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Penanggulangan yang dilakukan pada masa itu ialah upaya yang dipelopori HSM Nasaruddin Latif selaku perintis BP4 dan Kepala KUA Provinsi Jakarta Raya bahwa setiap suami istri yang akan mengajukan perceraian pada Pengadilan Agama harus terlebih dahulu datang ke kantor penasihat perkawinan untuk sedapat mungkin dirukunkan dan diselesaikan perselisihannya.

Lembaga penasihat perkawinan ketika itu mengambil peranan sebagai mediasi, yakni mencegah perceraian selagi belum diajukan ke Pengadilan Agama. Upaya tersebut terbukti berhasil menurunkan angka perceraian secara signifikan.

Kini pada sebagian kalangan masyarakat perkawinan sudah tidak dianggap lagi sebagai pranata sosial yang sakral sehingga ketika terjadi masalah atau perselisihan, perceraian langsung menjadi pilihan utama. Padahal, ikatan perkawinan bukan semata-mata ikatan perdata.

Banyaknya perceraian belakangan ini juga ditengarai sebagai dampak globalisai arus informasi yang mengganggu psikologi masyarakat melalui multimedia yang menampilkan figur artis dan selebriti dengan bangga mengungkap kasus perceraiannya. Penulis tertarik dengan pembinaan perkawinan di Singapura sewaktu berkunjung ke negara tersebut menjelang akhir 2007 lalu.

Setiap calon pengantin diwajibkan mengikuti kursus pranikah yang di Singapura disebut Kursus Bimbingan Rumah Tangga. Untuk calon pengantin Muslim, peserta kursus bimbingan rumah tangga memperoleh sijil (sertificate) yang diiktiraf oleh Jabatan Pernikahan Islam setempat.

Selain Singapura atau Malaysia, di beberapa negara Eropa nasihat sebelum perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester, sementara di Indonesia hanya sekitar 30 menit saat berhadapan dengan penghulu. Prof Dr Zakiah Daradjat, ahli ilmu jiwa agama yang banyak memberi perhatian terhadap masalah kesejahteraan keluarga, pernah menyatakan jika kita tanyakan kepada orang tua yang mempunyai anak yang sudah mencapai usia dewasa awal, bahkan usia remaja, tentang apa yang mereka pikirkan, jawabnya hampir sama, yaitu masalah jodoh bagi anaknya.

Jarang kita dengar tentang cara membekali putra putri mereka menghadapi kehidupan berkeluarga kelak. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya pemikiran orang tua tentang pembekalan putra putrinya yang telah di ambang pernikahan.

Padahal, untuk suatu pekerjaan sederhana sekali pun, orang perlu dipersiapkan. Namun, untuk menjadi seorang suami yang akan menjadi kepala rumah tangga atau seorang istri yang akan menjadi pendamping suami, pengatur kehidupan rumah tangga dan cepat atau lambat akan menjadi pengasuh, pendidik, dan pembimbing anak-anak yang lahir di dalam keluarga itu nanti, tidak ada kursus atau sekolahnya. Setiap pengantin hanya diantar dengan doa, ditambah sedikit nasihat pernikahan dari orang yang dipandang dapat memberikannya.

Di tengah tingginya potensi instabilitas rumah tangga dan banyaknya perceraian, maka pendidikan dan pembekalan kepada pasangan yang hendak menikah adalah salah satu cara yang paling mungkin dilakukan. Upaya tersebut akan berfungsi ganda sebagai edukasi nilai-nilai perkawinan di semua level masyarakat maupun sebagai langkah untuk memperbaiki mutu perkawinan dan mengurangi perceraian.

Pemerintah bersama BP4 perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat lembaga perkawinan dan mengurangi perceraian. Langkah yang dapat dilakukan ialah kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin di seluruh Tanah Air.

Di samping itu, langkah lainnya ialah revitalisasi peran BP4 untuk bertindak sebagai mediasi dalam penyelesaian kasus perceraian di luar peradilan atau out of court settlement. Mengenai lembaga mediasi, perlu dibahas secara lintas sektoral antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung dalam hal ini Direktorat Jenderal Peradilan Agama.

Penulis optimistis upaya di atas dapat mengurangi perceraian. Berkenaan dengan hal di atas, dalam Peraturan Menteri Agama RI tentang Pencatatan Nikah perlu ditambahkan ketentuan mengenai kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin yang akan menyampaikan pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA).

Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni beberapa waktu lalu yang menginstruksikan kepada Direktorat Urusan Agama Islam supaya membuat terobosan program guna memperkuat lembaga perkawinan, di antaranya lewat pendidikan pranikah. Lembaga yang ditugaskan untuk menyelenggarakan kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga itu adalah BP4 pusat dan daerah dengan sumber dana APBN dan APBD.

Di samping itu, dapat pula diselenggarakan oleh lembaga swasta secara swadana dengan akreditasi dan sertifikasi diberikan oleh BP4. Jika bukan sekarang, kapan lagi kita berbuat lebih serius memperkuat nilai-nilai perkawinan dan rumah tangga di tengah masyarakat.

Pada hemat penulis, penguatan lembaga perkawinan sama mendesaknya dengan penanggulangan bencana moral dan pergaulan bebas yang kini melanda para remaja kita. Betapa tidak risau, norma standar dan nilai-nilai yang seharusnya menjadi simpul pengikat perkawinan dan kehidupan rumah tangga Muslim belakangan ini tampak semakin pudar pengaruhnya di masyarakat.

Semua kalangan tentu sepakat bahwa mempersiapkan perkawinan yang mempunyai tujuan mulia sebagai ibadah kepada Allah Swt berarti meletakkan fondasi yang kokoh bagi mahligai rumah tangga dan masa depan satu generasi. Begitu pula menyelamatkan perkawinan dan rumah tangga yang sedang dirundung masalah berarti menyelamatkan satu generasi.

1 comment:

presiden nusantara said...

Boleh saja. Asal tdk dijadikan lahan bisnis. Malas banget kalau untuk pmbekalan nikah saja ada uangnya. Sudah Akta nikah pake uang, tambah lagi yang ginian. Males gitu lho