Friday, October 12, 2007

Fitrah Manusia


Heru Prakosa

Ucapan selamat hari raya Idul Fitri saat setiap akhir bulan Ramadhan banyak terlontar dari kalangan saudara-saudari Muslim dan non-Muslim. Tak terkecuali di akhir Ramadhan 1428 H/2007 M ini; sebuah surat berisi pesan dan salam hangat sempat melayang dari Vatikan.

Tradisi pengiriman surat dari Vatikan kepada kaum Muslim di pelbagai belahan dunia saat hari raya Idul Fitri telah berakar lama. Pada tahun 1993, Vatikan memperingati 25 tahun atas itu. Berarti, tradisi ini telah berlangsung sejak 1968. Hanya pada tahun 1991, kebiasaan itu sempat tak terlaksana. Namun, itu tak berarti tidak ada apa-apa yang terkirim dari Vatikan pada tahun itu. Semua pihak mengetahui, pada tahun itu terjadi Perang Teluk. Atas pertimbangan ini, Paus Yohanes Paulus II memutuskan untuk mengirim surat istimewa kepada kaum Muslim.

Memang pada akhir Ramadhan, dari Vatikan banyak terkirim surat dalam berbagai bahasa dan tidak berhenti pada ucapan selamat. Di dalamnya terkandung wacana tentang beberapa hal yang menjadi keprihatinan bersama umat Muslim dan Kristiani. Maksudnya, untuk mengadakan sharing religius yang berdasar pada—meminjam istilah Paus Yohanes Paulus II—iman Abraham akan Allah yang Esa, Maha Kuasa, dan Maha Rahim. Beberapa tema yang diangkat ialah penyerahan diri, kesaksian hidup, perjumpaan dalam semangat doa, kesatuan, solidaritas, keadilan, pembangunan dialog, nilai kemanusiaan di zaman teknologi, dan perdamaian.

Idul Fitri 1428 H/2007 M

Tahun ini, melalui Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beriman, Vatikan mengangkat tema "Umat Islam dan Umat Kristiani Dipanggil Memajukan Budaya Damai". Bentuk dan isi surat diringkas sebagai berikut.

Surat diawali penyampaian salam persahabatan. Lalu, kalimat-kalimat mengalir ke arah sharing religius, bermuara pada ajakan untuk membangun persaudaraan yang semakin meluas dalam semangat antikekerasan dan budaya damai. Disinggung pula perlunya dialog di antara umat Muslim dan Kristiani yang disertai kesaksian hidup atas dasar penghargaan antarsesama sebagai saudara seciptaan, menghindari munculnya kotak-kotak budaya atau agama.

Sementara itu, keluarga, pelaku dunia pendidikan, dan pemuka masyarakat—sipil ataupun keagamaan—memiliki tugas yang tidak sederhana. Mereka diharapkan mampu berperan aktif dalam mendampingi kaum muda sebagai pemegang tanggung jawab atas dunia di masa depan demi terciptanya solidaritas atas dasar nilai kemanusiaan universal.

Refleksi

Pesan itu mengingatkan kepada apa yang diungkap James Fowler. Kalau Jean Piaget (1896-1980) mengembangkan gagasannya tentang teori perkembangan kognitif, dan Lawrence Kohlberg (1927-1987) mengenai teori perkembangan kesadaran moral, Fowler berbicara panjang lebar seputar teori perkembangan iman.

Dalam buku Stages of Faith: The Psychology of Human Development and the Quest for Meaning (1981), Fowler berpendapat, iman manusia mengalami perkembangan, dari tahap intuitif-proyektif, mitis-literal, sintesis-konvensional, individual-reflekstif, konjungtif, ke tahap universal. Dalam perkembangan yang tinggi, iman dihayati sebagai upaya menginkarnasikan dan mengaktualisasikan semangat berlandaskan inklusivitas dan universalitas. Di sini, perhatian dan kepentingan tidak lagi terkungkung batas-batas jemaat atau kelompok sendiri. Jadi, apa yang tumbuh pada tahap ini adalah penghargaan kepada pihak lain sekaligus dorongan untuk membangun persaudaraan yang berdasar nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam terang teori perkembangan iman yang digagas James Fowler, harapan yang tertuang dalam surat dari Vatikan di akhir Ramadhan tahun ini mempunyai bobot tersendiri. Ajakan untuk membangun dialog dalam budaya damai dan harapan mengembangkan penghargaan atas dasar nilai kemanusiaan universal adalah bagian upaya pendewasaan iman. Semua itu adalah konsekuensi logis dari tingkat kedewasaan iman.

Dalam konteks Indonesia, gagasan itu amat relevan. Tampak bahwa harapan untuk membangun dialog dalam semangat persaudaraan yang mencakup sesama dari aneka latar belakang—termasuk latar belakang iman—tidak cukup dipahami sekadar dalam tataran politik dan sosial budaya. Anggapan bahwa dialog antarumat beriman menjadi penting karena situasi dan kondisi masyarakat yang heterogen belum memadai. Demikian pula dengan pandangan yang mengatakan, dialog diperlukan sebagai upaya menghindari konflik horizontal. Aneka alasan tidak cukup didasarkan unsur-unsur eksternal, tetapi harus dibangun pada unsur-unsur internal, yang menyangkut iman. Arahnya jelas, semakin seseorang memiliki kedewasaan iman, ia akan semakin bersikap terbuka kepada pihak lain yang berbeda darinya.

Isi surat Vatikan itu sejalan harapan para pemimpin Muslim dari al-Azhar. Pada salah satu kesempatan, mereka menekankan, kerangka pandang dialog antara umat Kristiani dan Muslim harus "sebuah ketulusan niat untuk melaksanakan nilai-nilai luhur kemanusiaan (al-qiyam al-nabila) dan upaya untuk menciptakan alam semesta (iqamat al-‘alam) atas dasar perdamaian dan keadilan".

Terkait dengan ini, Dekan Fakultas Usul al-Din Universitas al-Azhar kala itu, Mahmud Hamdi, atas nama Shaykh al-Azhar, berkata, "Karena alasan kemanusiaan, perdamaian menjadi sebuah tujuan yang harus diarah oleh bangsa manusia. Tujuan ini bukan sebuah gagasan filosofis atau sekadar harapan kosong, tetapi kebutuhan dasariah yang lahir dari kodrat manusiawi. Itu ada sejak tumbuhnya kelompok-kelompok manusia dan terbangunnya pertalian serta solidaritas (ta‘awun)… demi kebaikan seluruh bangsa manusia", (Le Dialogue vu par Les Musulmans, dalam Etudes Arabes, No 88-89, hal 120.)

Di sini kemanusiaan menjadi kata kunci. Bukankah Idul Fitri merupakan hari raya untuk merenungkan fitrah manusia?

Selamat Idul Fitri!

HERU PRAKOSA Pengajar Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

No comments: