Monday, October 22, 2007

Moral Negara Usai Puasa


Subagyo
Advoklat Publik Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesiadi Surabaya dan Walhi Jatim

Meskipun setiap tahun, Muslim di negara ini dilatih untuk bermoral dengan jalan berpuasa, yang tujuannya adalah untuk membentuk pribadi takwa (bermoral), tetapi tetap saja moral di negara ini sekadar menjadi ajaran dan bahan dakwah. Angka korupsi tetap tinggi. Angka pengangguran serta kemiskinan juga tetap tinggi, meski di sisi lain menunjukkan adanya kelompok kemewahan yang sangat menyolok.

Puasa bagi sedikit orang telah memberikan penyadaran, tetapi bagi banyak orang hanya menjadi ritual yang akan berujung pada sebuah pesta besar yang bernama Hari Raya Idul Fitri. Orang yang berpuasa kebanyakan tidak menjadi 'kembali suci' seperti makna Idul Fitri, tapi ancang-ancang untuk mencari mangsa setelah lepas dari liburan Idul Fitri.

Para artis Muslim pada bulan puasa tampil beda dengan mengenakan baju koko atau yang perempuan mengenakan jilbab dan baju panjang. Tetapi selepas puasa mereka berpesta pora kembali dalam busana yang tetap saja pamer aurat. Baju koko ataupun mukena bagi artis Muslim di Indonesia, atau mungkin juga bagi lainnya, bukanlah alat ketakwaan untuk menutup aurat, tapi menjadi bagian koleksi mode.

Kalau pada bulan puasa, pemerintah dengan tekanan lembaga agama (Islam) melakukan paksaan menutup lokalisasi, kafe-kafe, diskotek dan bar yang biasa digunakan untuk pesta pora memuntahkan hawa nafsu, maka setelah puasa usai, semuanya kembali seperti semula. Kemaksiatan terhenti sejenak, dan merebak kembali begitu puasa dan Idul Fitri berlalu. Kelihatannya bulan puasa hanya mereka jadikan bulan penyamaran dan kelihatan lagi aslinya setelah Idul Fitri berlalu.

Problem moral
Pancasila telah disepakati secara final sebagai sumber segala sumber hukum di negeri ini, dan itu juga diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi konsep politik di negara ini juga dikampanyekan harus adanya pemisahan antara agama dan negara. Artinya, negara tidak mengurusi soal moral, sebab moral biar diurusi oleh agama. Ini adalah paham sekularisme. Ada yang setuju dan tidak setuju dan biar jalan demokrasi (musyawarah) yang menyelesaikannya.

Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Tapi jangan lupa bahwa bicara soal Pancasila juga bicara soal moral, sebab negara berdasarkan berketuhanan Yang Maha Esa. Karena itulah dahulu kita di sekolah diberikan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kalau begitu, mestinya bulan puasa seharusnya juga menjadi training (pelatihan) bagi masyarakat Muslim untuk menaati hukum, karena ketaatan terhadap hukum juga bagian dari ajaran moral agama dan Pancasila.

Moral Pancasila mengajarkan orang agar takwa kepada Tuhan, mempunyai perikemanusiaan yang adil dan beradab, memegang teguh persatuan nasional, melaksanakan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam demokrasi Pancasila, serta mewujudkan keadilan sosial, terutama bagi rakyat Indonesia. Semua sila Pancasila dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bicara soal moral ketuhanan, ternyata masih berlaku dominasi kebenaran, meski masing-masing agama mengajarkan toleransi. Dalam Islam dikenal ajaran laa ikraha fiddiin (tak ada paksaan dalam agama), serta lakum diinukum waliyadiin (bagiku agamaku, bagimu agamamu). Orang merasa dirinya paling benar, memakai jubah Tuhan.

Moral kemanusiaan yang adil dan beradab juga masih menjadi teka-teki. Setiap hari di televisi kita menyaksikan penggusuran rakyat kecil yang dianggap mengotori trotoar dan tempat-tempat megah, serta di stren kali, dengan cara yang represif. Kita juga masih sering mendengar pernyataan dari oknum militer atau polisi yang memerintahkan 'tembak di tempat' untuk mereaksi aksi rakyat yang dipermainkan pemerintah. Dari contoh-contoh itu terlihat betapa aparat masih menggunakan cara-cara biadab dalam menangani problem sosial. Pembangunan, meminjam Sri Edi Swasono, mengalami dehumanisasi.

Moral persatuan Indonesia juga kembang-kempis. Ketika Aceh dihantam tsunami, banyak sekali yang simpati kepada para korban dan banyak sumbangan mengalir. Begitu pula ketika gempa Jogja. Tetapi ketika masalah yang ditangani adalah soal reformasi hukum, maka di kelembagaan negara terjadilah konflik antarlembaga tinggi negara.

Dalam pemilihan umum pun seringkali terjadi konflik horisontal antarkonstituen partai politik. Terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial yang mencolok di negara ini juga menunjukkan belum adanya semangat persatuan nasional, sebab masih terlalu banyak orang yang sibuk menikmati kekayaannya sendiri tanpa mau tahu dengan nasib sesama warga negara.

Kalau soal demokrasi Pancasila, sejak reformasi tahun 1998 ada perubahan lebih demokratis tapi hanya kuantitasnya, sebab belum berakibat pada perbaikan nasib rakyat. Yang banyak terjadi adalah perebutan kekuasaan. Kata Johan Galtung (1996) mungkin dalam negara otoriter pemerintah bisa menindas kelas elite, tapi dalam negara demokrasi mereka menindas kelas bawah. Itu tampak dalam pengkhianatan amanat rakyat. Kini, para pengurus negara yang telah dipilih bisa menikmati segala fasilitas mereka bahkan cenderung korupsi dan lupa dengan nasib rakyat kecil.

Menurut Bung Hatta, negara ini belum berdasarkan Pancasila jika pemerintah dan masyarakatnya belum melaksanakan UUD 1945 terutama pasal 27 ayat (2), 31, 33 dan 34 (Muhammad Hatta, 1977). Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 menyebutkan angka buta huruf anak usia 15 tahun mencapai 12.881.080 orang. Sampai Maret 2006 masyarakat miskin paling banyak di pedesaan sebanyak 63,41 persen. Orang miskin Indonesia menurut BPS hingga Maret 2007 masih 37,17 juta jiwa. Ini menunjukkan bahwa keadilan sosial pun masih merupakan angan-angan.

Tidak efektif
Apalagi, pemerintah ternyata menerapkan kebijakan ekonomi instan yang berakibat pada penghisapan produksi dalam negeri oleh asing atau pun pemilik modal privat. Angka penghisapan di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2002 rata-rata lebih dari 50 persen (Mubyarto, 2005). Ini berarti dari total 100 persen produksi di Indonesia, yang dapat dinikmati rakyat hanya sekitar 50 persen, sisanya dihisap oleh para pemilik modal. Keadaan itu tidak membuat pemerintah berpikir tetapi malah bersemangat terus untuk menjual BUMN kepada swasta, bahkan sektor minyak dan gas bumi pun diserahkan ke tangan asing.

Ternyata, moral Pancasila yang menjadi dasar serta asas hukum final yang secara filosofis bersumberkan pada moral agama, tidak cukup efektif untuk hanya diajarkan dan bahkan bangsa ini telah berpuluh-puluh tahun kehilangan makna agama itu sendiri. Cukup memprihatinkan kalau ternyata agama hanya dijadikan merek untuk ladang bisnis, sehingga bulan puasa yang dijalani dengan lapar dan dahaga tidak membuahkan peningkatan kualitas moral negara, tapi sekadar menjadi ritual serta momen bisnis bagi yang memanfaatkannya.

Ikhtisar

- Berkah dari momentum Ramadhan dan Idul Fitri belum bisa sepenuhnya ditangkap oleh negeri ini.
- Buktinya, setelah momentum tersebut lewat, moral negara secara umum tidak mengalami perbaikan.
- Penguasa negara cenderung memanfaatkan demokrasi untuk mengambil keuntungan pribadi.
- Kebijakan ekonomi instan yang dijalankan pemerintah juga membuat masyarakat hanya bisa menikmati 50 persen dari produktivitas negara.

No comments: