Sunday, October 14, 2007

Menuju Masyarakat Bebas Korupsi

Oleh :

Mohammad Yasin Kara
Anggota DPR RI, Sekretaris Fraksi PAN

Menuju masyarakat bebas korupsi, mungkinkah? Pertanyaan ini selalu muncul setiap saat karena banyaklah sudah bukti menunjukkan betapa perilaku korupsi di negeri ini kian merajalela dan proses pemberantasannya tidak berjalan efektif. Hukum tidak mampu menjadi panglima yang berfungsi sebagai efek jera. Secara umum, pemerintah (terutama presiden) ternyata tidak memiliki kewenangan luas secara yuridis. Akibatnya tidak mampu untuk memerintah sehingga pemberantasan perilaku korupsi seolah berjalan di tempat. Oleh karena itu, menuju masa depan masyarakat bebas korupsi masih menimbulkan tanda tanya besar.

Mengapa demikian? Faktanya Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) yang dibentuk pada 2 Mei 2005 dengan Kepres No 11/2005 secara resmi telah dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ironisnya, pembubaran tim ini tidak memiliki landasan pemikiran yang jelas dan kondusif bagi proses pemberantasan korupsi di masa depan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya mengatakan pihaknya puas terhadap kinerja Timtastipikor itu dan proses pemberantasan perilaku korupsi selanjutnya akan diserahkan pada Kepolisian dan Kejaksaan. Sementara Ketua Timtastipikor, Hendarman Supandji, mengklaim telah berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 3.946.825.876.796. dengan dana operasional yang digunakan sebesar Rp. 25.008.427.587.

Pertanyaannya, apakah benar klaim uang negara yang berhasil diselamatkan itu telah seluruhnya masuk ke kas negara atau sekadar merupakan dana potensial. Pertanyaan ini relevan diajukan mengingat biaya yang telah dikeluarkan negara untuk membiayai kerja Timtastipikor selama dua tahun itu cukup besar, sementara Timtastipikor sendiri tidak menghasilkan satu teori baru bagaimana pemberantasan perilaku korupsi di kalangan para pejabat negara yang efektif di masa depan. Padahal, aspek ini sesungguhnya amat penting. Oleh karena itu, ada benarnya pendapat sementara kalangan yang mengatakan bahwa Timtastipikor itu memang layak untuk dibubarkan karena kerja dan kinerjanya tidak jelas, tidak ada perbedaan dengan lembaga-lembaga lainnya secara prinsip.

Pertanyaan berikutnya, sejauhmana proses pemberantasan perilaku korupsi di kalangan para pejabat negara itu akan berjalan efektif di tangan kepolisian dan kejaksaan? Bukankah ini adalah cara yang sangat konvensional sebagaimana pada masa-masa sebelumnya? Lebih dari itu, bukankah sudah menjadi rahasia umum lembaga-lembaga tersebut masih perlu dipertanyakan komitmen dan integritas moralnya untuk memberantas perilaku korupsi. Artinya, penulis hendak menegaskan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sungguh-sungguh memiliki tekad untuk memberantas perilaku korupsi di kalangan para pejabat negara, maka strategi pemberantasan korupsi itu perlu dikaji ulang.

Proses pemberantasan perilaku korupsi itu harus memiliki landasan teoritis sehingga secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Pemberantasan korupsi yang hanya mengedepankan politik pencitraan tidak akan pernah berhasil dan metode ini sudah sangat klasik serta �basi�. Perlu penulis tegaskan bahwa masyarakat kita saat ini sudah semakin cerdas. Dengan mudah mereka akan mengetahui mana gerakan politik pencitraan dan mana pula gerakan politik yang memang benar-benar bekerja untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan atau masyarakat bebas korupsi di masa depan. Salah satu cirinya, sebuah gerakan politik yang memang memiliki orientasi untuk kemajuan bangsa dan negara biasanya selalu bekerja keras secara berkesinambungan. Terus-terang, saya tidak melihat aspek kontinuitas dalam proses pemberantasan perilaku korupsi di kalangan pejabat negara yang dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.

Banyak kalangan menilai dalam praktiknya, pemberantasan korupsi masih tebang pilih. Kepentingan politik terlihat lebih mendominasi dan hukum belum menjadi panglima sehingga proses pemberantasan perilaku korupsi di kalangan para pejabat negara sangat ambigu. Dengan demikian, maka pesimisme pemberantasan korupsi di masa depan menjadi tidak terhindarkan. Disamping lebih dominannya kepentingan politik, hal ini terutama disebabkan oleh tidak adanya kerangka teoritis sebagai formula untuk memetakan proses pemberantasan korupsi yang efektif, baik, dan memadai sesuai dengan konteks kehidupan sosiokultural masyarakat di Indonesia saat ini.

Janganlah membersihkan lantai dengan sapu lidi kotor. Sebuah perumpamaan agar proses pemberantasan perilaku korupsi itu tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tidak bersih. Penulis tidak menuduh kepolisian dan kejaksaan serta lembaga yang lainnya tidak bersih dan melakukan korupsi selama ini. Yang ingin saya katakan adalah, proses pemberantasan perilaku korupsi di kalangan para pejabat negara yang sudah sangat kronis di Indonesia ini tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional seperti yang ada selama ini.

Berharap pada KPK
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesungguhnya adalah satu terobosan baru dalam proses pemberantasan perilaku korupsi di negeri ini dan masyarakat umumnya berharap KPK dapat mengambil peran penting dan strategis. Sayangnya, KPK sendiri masih disibukkan oleh aspek kelembagaan sehingga kinerjanya masih sering terhambat. Pada sisi lain, sementara kalangan masih menyangsikan komitmen dan integritas KPK dalam proses pemberantasan korupsi itu. KPK dinilai tidak juga lepas dari tebang pilih serta terjepit dalam hegemoni politik dan kekuasaan. Jika benar penilaian ini, maka eksistensi KPK juga menambah psimisme pemberantasan korupsi.

Berpijak pada penjelasan ini, maka �konsep� KPK pun sesungguhnya perlu segera ditata ulang. Jika tidak, maka KPK pun akan terjebak dalam problem klasik lembaga penegak hukum yang lainnya di negeri ini. Problem KPK secara kelembagaan yang sangat krusial adalah independensi. Selama KPK tidak menjadi lembaga independen baik secara politik dan yuridis, maka selama itu pula perilaku korupsi akan berlangsung di negeri ini.

No comments: