Monday, October 15, 2007

"Rantang" dan Kedermawanan Sosial


Megawati Taufik Kiemas

Sebagai ibu rumah tangga, saya selalu mengamati dan melakukan kontemplasi atas perikehidupan manusia.

Dalam tradisi Lebaran masyarakat yang diisi saling kirim rantang, saya tergelitik untuk mengulasnya dari sisi kehidupan sosial dan mikro-ekonomi.

Dalam masyarakat kita, menjelang Lebaran, banyak yang masih mentradisikan untuk bertukar makanan di dalam rantang. Tradisi tukar rantang ini memperkuat ikatan sosial ataupun tali silaturahim antarkerabat atau handai tolan.

Saling tukar rantang adalah simbol dari sebuah proses sosial dan berbagi, sebagai tanda ungkapan syukur atas nikmat iman dan berkah rezeki yang diberikan Tuhan kepada mereka.

Selain itu, mengirim rantang/ makanan juga dilakukan masyarakat lapisan atas yang lebih mampu kepada yang tidak mampu atau kaum duafa.

Jadi, makna mengirim rantang dalam tradisi masyarakat bukan hanya simbol ungkapan bersyukur kepada Tuhan, melainkan juga simbol berprosesnya rasa keadilan sosial dalam masyarakat.

Agaknya, yang harus kita semua sadari adalah tradisi mengirim bingkisan yang merupakan bagian dari sisi keanekaragaman kebudayaan. Bung Karno mengatakan, keanekaragaman kebudayaan kita ibarat Taman Sari bagi Indonesia.

Tradisi masyarakat itu dapat dilihat pada orang Betawi yang terkenal dengan juadahnya, dodol Betawi. Orang Minang dengan rendangnya, orang Sunda dengan tape uli. Orang Melayu di Medan dengan lontong dan orang Jawa dengan jenang, dan sebagainya.

Tradisi ini merupakan proses transformasi budaya yang panjang, percampuran pengaruh kebudayaan China, Arab, dan India yang masuk Nusantara.

Pengiriman parsel

Akhirnya, tradisi saling kirim rantang ini juga menuju ranah ekonomi, menjadi bagian alternatif mata pencarian masyarakat. Usaha ini pun berkembang menjadi pengiriman parsel.

Parsel berasal dari kosakata parcel (Inggris), dimaksudkan sebagai bingkisan, bungkusan, dan paket (Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, John M Echols dan Hassan Shadily).

Dalam perkembangannya, masalah parsel menjadi polemik, terutama saat Lebaran tiba.

Kini, mengirim parsel kepada pejabat, mitra kerja, atau atasan dianggap sebagai salah satu bentuk aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai indikasi penyuapan dan dapat dianggap mengganggu jalannya sistem tata pemerintahan yang baik.

Marcell Mauss, antropolog Perancis, mengatakan bahwa ada hubungan nilai ekonomis bingkisan yang diberikan atau ditukarkan di antara kedua pihak yang terlibat.

Oleh karena itu, orang merasa wajib bukan saja saat memberi, tetapi juga saat menerima dan mengembalikan "budi baik" pemberian itu. Dalam konteks itulah mungkin pemerintah melihat parsel sebagai tradisi yang diduga dapat merusak sistem pemerintahan yang baik dan bebas KKN.

Pemerintah lupa, selain itu Marcell Mauss juga mengatakan, kebiasaan memberi dan menerima hadiah juga berfungsi dalam menciptakan ikatan sosial dan menggalang solidaritas antarkelompok dan warga masyarakat.

Kini, parsel hampir kehilangan makna sosialnya sebagai penguat ikatan silaturahim dan menggalang solidaritas sosial antar warga dan kelompok masyarakat. Bahkan, yang ada di depan semangat pemberian parsel adalah nilai-nilai ekonomis dan kekuasaan.

Munculnya larangan pemberian parsel secara tidak langsung berdampak terhadap ketahanan ekonomi rakyat yang menggeluti profesi sebagai perajin keranjang, petani buah, petani bunga, perangkai bunga, pembuat kue, industri patiseri, jasa pengiriman barang, dan seterusnya.

Kita bisa mendengarkan keluhan pengusaha parsel di Pasar Cikini, Asemka, Gang Ribal, Glodok, Pasar Bunga Barito di Jakarta. Mereka menyatakan, makin lama omzetnya makin turun sejalan dengan imbauan pemerintah untuk tidak mengirim parsel kepada handai taulan yang notabene adalah para pejabat. Padahal, para pelaku usaha parsel berharap bisa mendapat sedikit keuntungan untuk berlebaran bersama keluarga.

Karena itu, agar polemik tentang parsel tidak terus berulang dari waktu ke waktu dan hanya menjadi wacana di masyarakat, sudah saatnya ditetapkan aturan yang memberi batas kepada pemberi atau penerima.

Kedermawanan sosial

Parsel sebagai bagian tradisi masyarakat harus diatur dan ditransformasikan dalam kerangka meningkatkan potensi dan nilai kedermawanan sosial dari golongan yang lebih mampu kepada golongan tidak mampu seperti kelompok miskin dan duafa. Parsel juga bisa menghidupkan dan menjamin ketahanan ekonomi masyarakat yang terkait usaha ini secara keseluruhan.

Nilai-nilai kedermawanan sosial adalah pedoman bertindak bagi pihak yang memiliki kekuasaan dan kemampuan ekonomi berlebih, yaitu para hartawan atau penguasa, untuk berbagi kasih kepada mereka yang belum beruntung seperti kelompok miskin dan termarjinalkan ataupun kaum duafa.

Potensi dan nilai-nilai kedermawanan sosial itu harus dibangkitkan untuk menuju Indonesia yang adil, sejahtera, makmur, dan sentosa. Semoga Ramadhan dan Lebaran mampu kita refleksikan dengan berbuat lebih baik lagi bagi sesama dan Indonesia.

Selamat hari raya Iedul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Megawati Taufik Kiemas Pemerhati Kehidupan

No comments: