Friday, October 12, 2007

Takfir Minimalis al-Ghazali


Sesi Kedua Tadarus Ramadan JIL 1428 H

Oleh Saidiman

05/10/2007

Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya.

Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) “Mengaji Pemikiran al-Ghazali” sesi kedua (25/9) membahas buku Fayshal al-Tafriqah Bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Sesi ini mengundang KH. Husein Muhammad, Nanang Tahqiq, dan Novriantoni Kahar sebagai pembicara. Tadarus dipandu oleh Mohamad Guntur Romli.

Setelah sesi sebelumnya mengurai pemikiran al-Ghazali seputar kritikan al-Ghazali terhadap beberapa masalah dalam debat filsafat, melalui buku Tahafut al-Falasifah, sesi yang dihadiri sekitar seratus peserta ini lebih banyak bicara tentang konteks dan fenomena pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali. Pertanyaan besar yang ingin diajukan dalam diskusi ini adalah motivasi apa yang mendorong al-Ghazali dalam melakukan pengkafiran terutama terhadap tiga masalah dalam filsafat? Pertanyaan lanjutannya adalah, sejauhmana pengkafiran yang dilakukan oleh al-Ghazali berpengaruh terhadap fenomena umat Islam saat ini yang begitu mudah terjebak ke dalam proses takfir semacam itu?

Nanang Tahqiq memulai presentasinya dengan mencoba memberikan konteks terhadap gagasan-gagasan al-Ghazali. Menurut Tahqiq, masa di mana al-Ghazali hidup adalah masa yang serba sulit. Saat itu umat Islam berada dalam ancaman disintegrasi yang demikian menyedihkan. Masing-masing kelompok Islam berusaha tampil meraih simpati dengan cara merebut legitimasi teologis atas kelompok mereka. Akibatnya, pengkafiran tidak kuasa dihindarkan. Tahqiq menyebut saat itu sangat lumrah didapati kelompok Hanbali mengafirkan Asy’ari demikian pula sebaliknya. Kelompok Asy’ari juga menyulut kebencian dengan mengkafirkan kelompok Mu’tazila, demikian sebaliknya.

Dengan kondisi pengkafiran yang begitu lumrah semacam ini, al-Ghazali tampil sebagai sosok yang moderat dengan hanya mengkafirkan tiga hal dalam filsafat: qadim-nya alam; Tuhan tidak mengetahui yang partikular (juz’iyyah); dan tiadanya kebangkitan jasmani. Selebihnya, menurut Tahqiq, al-Ghazali tidak lagi mengkafirkan apa-apa. Pada posisi ini, bagi Tahqiq, sebetulnya al-Ghazali ingin menawarkan alternatif bagi tradisi pengkafiran yang begitu akut saat itu. Al-Ghazali tentu punya banyak kelemahan dalam proses pengkafiran ketiga hal di atas, tetapi setidaknya ia memberi contoh bentuk pengkafiran yang tidak membabi-buta sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.

Dalam buku Faisyal Tafriqah, al-Ghazali menyatakan bahwa sikap kafir-mengkafirkan umumnya disebabkan oleh perbedaan pendirian mazhab atau perbedaan cara pandang dengan kelompok lain yang menjadi kompetitornya, bukan karena argumentasi-argumentasi yang bertanggungjawab. Itulah sebabnya al-Ghazali memberikan batasan yang ketat terhadap proses pengkafiran. Pengakfiran hanya mungkin dilakukan oleh seorang ahli, pun hanya menyangkut soal-soal yang paling mendasar.

Melanjutkan tesis yang telah dibangun oleh Nanang Tahqiq, KH. Husein Muhammad mencoba memperjelas posisi al-Ghazali yang menurut dia banyak disalahpahami oleh para pengkritiknya. Kiai Husein melihat bahwa al-Ghazali adalah sosok yang kontroversial justru karena kedalaman ide dan keluasan jelajah intelektualnya. Terlalu banyak orang salah dalam menilai al-Ghazali justru karena pembacaannya yang parsial, tanpa mencoba melihat al-Ghazali secara utuh. Kiai Husein menolak pembacaan parsial tersebut tanpa melihat bangunan metodologinya. Al-Ghazali memang tampak mengajukan pemikiran yang ta’arudh (kotradiktif), tadhadud (berlainan), hirah (membingungkan), taraddud (ragu-ragu), dan jam’ wa farq (seolah-olah utuh tapi retak), tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah penjelajahan intelektual yang sangat kaya. Tak heran, jika umat Islam menganggapnya sebagai manusia Islam teragung setelah Nabi Muhammad.

Mengutip Maurice Bouyge, Kiai Husein menyatakan bahwa buku al-Tafriqa ditulis dalam masa al-Ghazali mengucilkan diri (488-499). Pada masa-masa inilah sejumlah buku ditulis oleh al-Ghazali: Ihya Ulum al Din, al Munqidz min al Dhalal, al Mustasyfa, Misykat al Anwar, dan lainnya.

Menurut Kiai Husein, fenomena pengkafiran yang begitu marak saat itu juga menimpa al-Ghazali sendiri. Pemikiran-pemikirannya banyak diserang oleh pelbagai kalangan. Kelompok agamawan yang paling banyak menyerangnya adalah para ahli fiqh, ahli kalam (teolog), dan ahli hadits. Sejak awal, al-Ghazali selalu merespon para pengkritiknya dengan cara membuat buku. Kritikan-kritikan semacam itu pulalah yang melatarbelakangi al-Ghazali menghadirkan karya al Tafriqa tersebut.

Dalam buku itu, al-Ghazali menyebut para pengkritiknya sebagai orang-orang fanatik (al muta’asshib) yang sedang marah. Al-Ghazali begitu risau bahwa mereka yang begitu mudah terlibat dalam pengkafiran semata-mata adalah karena buah dari hasutan orang lain. Hasud, iri, dan dengki adalah penyakit yang sangat berbahaya dan begitu sulit disembuhkan. Al-Ghazali menegaskan: “orang yang menganggap kafir orang yang menolak atau menentang doktrin Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali, atau mazhab lain adalah sebuah kebodohan yang nyata.” Pada kesempatan lain, al-Ghazali mengkritik para teolog (ahli kalam) yang mengkafirkan masyarakat umum hanya karena mereka tidak mengerti dalil-dalil teologi. Al-Ghazali menyatakan bahwa ada banyak cara untuk mengetahui Tuhan. Dan surga tidak hanya dimonopoli oleh kaum teolog. Atas dasar itulah maka, bagi Kiai Husein, sesungguhnya al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas yang mengusung ide-ide kebebasan.

Lalu siapakah yang bisa disebut kafir? Pertanyaan ini harus dijawab dengan hati-hati. Al-Ghazali dengan tegas melarang orang yang hendak mengkafirkan tetapi hatinya masih diliputi rasa dengki, iri, dan kotor. Sejumlah syarat harus diajukan sebelum orang bisa sampai kepada kesimpulan untuk mengkafirkan: hati yang bersih, terlatih, jiwa yang senantiasa berzikir kepada Tuhan, pikiran yang cerdas dan kritis, serta taat menjalankan hukum-hukum Tuhan.

Menurut al-Ghazali, Islam menetapkan kriteria kafir sebagai orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW. Sementara orang mukmin adalah mereka yang membenarkan semua yang disampaikan Nabi Muhammad. Pernyataan sederhana di atas sekilas tampak meneguhkan pendapat sebagian kalangan yang memandang al-Ghazali sebagai seorang eksklusif dengan mengkafirkan kelompok Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain yang tidak membenarkan Nabi Muhammad. Akan tetapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Kata “mendustakan” dan “membenarkan” perlu peninjauan dan penjernihan lebih jauh. Pertanyaannya, siapakah sebetulnya yang memiliki klaim paling sahih mengenai risalah atau kebenaran Nabi?

Pertanyaan ini, menurut Kiai Husein, dijawab oleh al-Ghazali dengan menawarkan teori ta’wil (hermeneutika). Sebuah berita dinyatakan benar atau salah berdasarkan lima pendekatan: wujud dzaty (wujud hakiki); wujud hissy (wujud yang dapat ditangkap oleh potensi manusia di dalam indera); wujud khayali (khayalan atau angan-angan); wujud aql (rasional); dan wujud syibby (wujud tanpa makna, tanpa bentuk, dan tak ada dalam realitas, melainkan hanya berupa wujud serupa dan metaforis). Sejauh sebuah berita bisa dita’wil dalam lima pendekatan itu, maka tidak ada alasan untuk pengkafiran di sana.

Melalui lima ta’wil yang ditawarkan oleh al-Ghazali, Kiai Husein menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya al-Ghazali sedang mengkampanyekan gagasan pluralisme, inklusivisme, dan liberalisme. Lima ta’wil tersebut tak lain adalah sebentuk penghargaan kepada semua orang apapun latar belakang ideologis dan sosiologisnya. Al-Ghazali tampak begitu risau dengan fenomena pengkafiran.

Berangkat dari fakta yang sama, Novriantoni memiliki pemikiran yang agak berbeda dengan pembicara sebelumnya. Melalui makalah yang diberi judul Al-Ghazali, Toleransi Setengah Hati, Novri (panggilan akrab Novriantoni) menyoroti fakta pengkafiran dan penghalalan darah yang telah dilakukan oleh al-Ghazali.

Kendati begitu, al-Ghazali, menurut pandangan Novri, memang menawarkan sebuah sikap toleransi, namun toleransi yang dibangun adalah toleransi terbatas. Novri kemudian mengurai pokok-pokok pikiran al-Ghazali yang terdapat dalam Fayshalut Tafriqah ke dalam sepuluh point: (1) al-Ghazali menganjurkan pembacanya untuk tidak gegabah dalam menjatuhkan vonis kafir; (2) konsep kenabian sebagai mediator syariat memegang posisi yang sangat sentral, karena itu definisi iman dan kafir terkait secara langsung dengan kepercayaan terhadap risalah Nabi; (3) adanya pembedaan ateisme-mutlak dan ateisme-terbatas; (4) toleransi yang dibangun oleh al-Ghazali, kalaupun benar, hanyalah toleransi internal umat Islam, bukan untuk orang-orang di luar Islam; (5) al-Ghazali mengakui konsep rahmat Allah yang luas; (6) al-Ghazali berpendapat bahwa ahli-ahli kalam yang mengkafirkan kalangan awam hanya karena mereka tidak memahami prinsip-prinsip teologi adalah keterlaluan; (7) al-Ghazali memaknai term “yang selamat” sebagai mereka yang sama sekali tidak masuk neraka, sementara “yang celaka” adalah mereka yang benar-benar kekal di dalam neraka; (8) dalam buku ini al-Ghazali tampak sedikit toleran terhadap Syi’ah; (9) keniscayaan ta’wil dan kaedah-kaedahnya; dan (10) untuk menghindar dari vonis “kafir,” al-Ghazali memperkenalkan konsep “sesat” dan “bid’ah.”

Menurut Novri, jika dalam Fayshal Tafriqah al-Ghazali tampak sedikit toleran, tapi di dalam buku lain seperti Fadla’ihul Bathiniyyah dan Tahafut al Falasifa, al-Ghazali muncul sebagai sosok yang sama sekali tidak toleran, bahkan cenderung menyebar permusuhan. Novri menunjukkan bagaimana al-Ghazali memilih sikap yang begitu keras terhadap kelompok Batini-Ismaili yang juga merupakan musuh ideologis khalifah al-Mustdzhir Billah. Novri mengutip pernyataan al-Ghazali: “Singkat kata, perlakuan terhadap mereka haruslah seperti perlakuan terhadap orang-orang murtad menyangkut aspek nyawanya, nikahnya, sembelihannya, transaksinya, dan ibadahnya. Arwah mereka tidak layak diperlakukan, bahkan sebagaimana orang kafir tulen.” Lebih jauh al-Ghazali menegaskan: “Untuk anak-anak, tidak dibunuh karena mereka belum menjadi subjek hukum, dan hukumnya akan saya jelaskan selanjutnya. Tapi perempuan-perempuan, bila mereka terang-terangan mengaku berkeyakinan dengan apa yang sudah kita tetapkan sebagai kekafiran itu, maka bagi kita hukumnya sama dengan hukum murtad yang harus dibunuh berdasar pemahaman umum kita tentang hadis berikut: “Yang mengganti agamanya, bunuhlah ia!”

Di atas semua kontroversi dan ketidakkonsistenan yang melekat kepada gagasan-gagasan yang diusungnya, semua pembicara sepakat pada satu hal, yakni bahwa al-Ghazali tetap adalah seorang besar yang menulis karya-karya besar dalam jumlah besar. Karena kebesarannya pulalah yang menyebabkan umat Islam terlalu sulit untuk keluar dari penjara dogmatis yang telah dibangunnya. Novriantoni menawarkan gagasan untuk keluar dari penjara al-Ghazali agar kreativitas umat Islam semakin tumbuh. Kiai Husein dan Nanang Tahqiq mengusulkan pembacaan yang lebih kritis dan menyeluruh terhadap al-Ghazali agar konsep dan gagasan yang muncul adalah gagasan yang lebih mencerahkan, ketimbang sisi-sisi gelap yang selama ini menjangkiti umat Islam. []

No comments: